Prediksi Curah Hujan Menggunakan Metode Logika Fuzzy
PENDAHULUAN
Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama. Diantaranya ada yang mempunyai pola munsonal, ekuatorial dan lokal. Pola hujan tersebut dapat diuraikan berdasarkan pola masing-masing. Distribusi hujan bulanan dengan pola monsun adalah adanya satu kali hujan minimum.
Perubahan frekuensi curah hujan oleh komponen termodinamika dan dinamis. Komponen termodinamika diinduksi oleh perubahan uap air di atmosfer, sedangkan komponen dinamis dikaitkan dengan perubahan gerak vertikal. Dalam kontribusi termodinamika, peningkatan uap air mengurangi besarnya gerak vertikal yang diperlukan untuk menghasilkan kekuatan yang relatif sama dengan curah hujan, sehingga frekuensi curah hujan meningkat. Peningkatan uap air juga mengintensifkan curah hujan akibat peningkatan ketersediaan uap air di atmosfer. Dalam kontribusi dinamis, kondisi lebih stabil dan cenderung mengurangi frekuensi dan intensitas curah hujan Chou et al (2012).
Kecenderungan pola curah hujan yang fluktuatif, kadang membuat aktivitas kita terganggu sebagai akibat dari kurang tepat dalam memprediksi apakah pada saat ini akan terjadi hujan atau tidak. Dalam dinamika ilmi pengetahuan saat ini, para saintis telah banyak menemukan model untuk memprediksi cuaca. Memprediksi curah hujan akan digunanakan Teori logika fuzzy dikatakan sebagai logika baru yang lama, sebab ilmu tentang logika fuzzy modern dan metodis baru ditemukan beberapa tahun yang lalu, padahal sebenarnya konsep tentang logika fuzzy itu sendiri sudah ada pada diri kita sejak lama.
METODOLOGI
Perancangan FIS (Fuzzy Inference System)
Perancangan FIS (Fuzzy Inference System) menggunakan fitur fuzzy logic toolbox MATLab 2008. Perancangan FIS untuk cuaca di gunakan variable input yaitu suhu (T) dan variabel output cuaca (Gambar 1).
Gambar 1. Fungsi keanggotaan variabel input dan output
Untuk variabel input suhu dibagi dalam 3 fungsi keanggotaan yaitu rendah (Lo), sedang (Mod), dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 20 sampai 24. Fungsi keanggotaan variabel input suhu rendah (Lo) dengan rentang (range) 20 sampai 26, sedang (Mod) dengan rentang (range) 26 sampai 31, dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 31 sampai 34 (Gambar 2).
Gambar 2. Fungsi keanggotaan variabel input suhu
Variabel kelembaban (RH) dibagi dalam tiga fungsi keanggotaan yaitu rendah (Lo), sedang (Mod), dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 50 sampai 99. Fungsi keanggotaan variabel input Kelembaban rendah (Lo) dengan rentang (range) 50 sampai 70, sedang (Mod) dengan rentang (range) 70 sampai 80, dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 80 sampai 99 (Gambar 3).
Gambar 3. Fungsi keanggotaan variabel input kelembaban
Variabel input kecepatan angin (V) dibagi dalam tiga fungsi keanggotaan yaitu rendah (Lo), sedang (Mod), dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 1 sampai 70. Fungsi keanggotaan variabel input kecepatan angin rendah (Lo) dengan rentang (range) 1 sampai 10, sedang (Mod) dengan rentang (range) 10 sampai 20, dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 20 sampai 70 (Gambar 4).
Gambar 4. Fungsi keanggotaan variabel input kecepatan
Variabel output cuaca dibagi dalam 4 fungsi keanggotaan yaitu cerah berawan (CRB) dengan range 0 sampai 5, hujan ringan (HR) dengan range 5 sampai 20, hujan sedang (HS) dengan range 20 sampai 50, dan hujan lebat (HL) dengan range 50 sampai 100 (Gambar 5). Penentuan range ini didasrakan pada tetapan dari BMKG 2012.
Gambar 5. Fungsi Keanggotaan Variabel Output (cuaca)
Perancangan Rule
Perancangan rule didasarkan pada keterangan pakar tentang hubungan antara suhu, kelembaban, dan kecepatan angin sehingga terjadi kondisi cuaca yang berbeda-beda (cerah berawan, hujan ringan, hujan sedang, dan hujan lebat). Berikut ini adalah rule yang telah di rancang:
- Jika suhu (Lo), Kelembaban (Lo), Kecepatan angin (Lo), maka cuaca adalah (CRB).
- Jika suhu (Lo), Kelembaban (Hi), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HL).
- Jika suhu (Lo), Kelembaban (Mod), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HS).
- Jika suhu (Lo), Kelembaban (Mod, Kecepatan angin (Mod), maka cuaca adalah (HR).
- Jika suhu (Hi), Kelembaban (Mod), Kecepatan angin (Lo), maka cuaca adalah (CRB).
- Jika suhu (Hi), Kelembaban (Lo), Kecepatan angin (Mod), maka cuaca adalah (CRB).
- Jika suhu (Mod), Kelembaban (Hi), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HS).
- Jika suhu (Mod), Kelembaban (Mod), Kecepatan angin (Mod), maka cuaca adalah (HR).
- Jika suhu (Mod), Kelembaban (Hi), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HS).
- Jika suhu (Lo), Kelembaban (Mod), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HL).
Validasi dan Analisa FIS (Fuzzy Inference System)
Proses validasi FIS dilakukan dengan mengambil data cuaca berdasarkan prediksi BMKG pada tanggal 21 Juni 2012 dari sebelas kota di Indonesia yaitu Banda Aceh, Semarang, Pekanbaru, Bandung, Palembang, Lampung, Palu, Kendari, Ternate, Jayapura, dan Manokwari. Sementara untuk data kecepatan angin, suhu, dan kelembaban diperoleh dari websate Automatic Weather Station BMG (http://aws-online.bmg.go.id/bmg/aws/index.php) waktunya disesuaikan dengan data suhu, kelembaban dan keterangan cuaca yang diperoleh. Data cuaca disajikan pada Tabel 1.
Validasi dan analisis dilakukan dengan cara menginput data observasi yang di peroleh dari BMKG ke dalam sistem perangkat Fuzzy yang telah di rancang. Kemudian nilai output cuaca yang dihasilkan dari sistem perangkat Fuzzy disesuikan dengan rentang atau range cuaca (cerah berawan, hujan ringan, hujan sedang, dan hujan lebat) yang telah di tetapkan oleh BMKG.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan running terhadap hasil observasi dari suhu, kelembaban, dan kecepatan angin, maka didaptkan hasil simulasi dari masing-masing variabel seperti pada Tabel 2 berikut:
Agar lebih mempermudah dan memperjelas dalam memvalidasi antara hasil observasi dan simulasi maka hasil observasi di buat dalam bentuk skoring dengan mengacu pada skala likert, dimana skala pengukuran ini merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval. Dengan menggunakan skala likert variable yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, kemudian indikator teresebut dijadikan sebagai titik tolak. Skoring untuk variabel tersebut seperti pada Tabel 3.
Dengan mengacu pada hasil skoring tabel di atas maka validasi antara kesesuaian hasil observasi dan hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.
Gambar 6. Validasi Hasil Observasi dan Simulasi
Gambar 6 di atas menunjukan bahwa ketidaksesuaian antara hasil observasi dan hasil simulasi dengan koefisien korelasi sebesar 0.024. Artinya penyusunan perancangan FIS (Fuzzy Inference System) yang telah dilakukan dapat dikatakan belum akurat sehingga tidak dapat digunakan dalam melakukan prediksi curah hujan untuk seluruh wilayah di Indonesia.
KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
- Perancangan FIS (Fuzzy Inference System) untuk prediksi cuaca di berbagai wilayah di Indonesia belum memilki kesesuaian antara observasi dan simulasi.
- Dalam Perancangan FIS (Fuzzy Inference System) perlu dipahami aturan dalam penentuan range ketika akan melakukan input variabel.
- Kemungkinan kesalahan dalam perancangan FIS (Fuzzy Inference System) dalam kasus ini adalah kurang tepat dalam menentukan range setiap variabel ketika akan melakukan input dan penentuan rule yang digunakan. Karena keterbatasan pakar dan referensi yang mendukung kajian ini.
SARAN
Perlu dilakukan pengkajian untuk seluruh wilayah di Indonesia dengan variabel input seluruh unsur cuaca.
REFERENSI
Asmoro I.B. 2011. Perancangan Perangkat Lunak Prediktor Cuaca Berbasis Logika Fuzzy. [skripsi]. Surabaya. Istitut Teknologi Surabaya
[BMKG]. 2012. Prospek Cuaca Satu Minggu Kedepan
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Meteorologi/Prospek_Cuaca_Mingguan.bmkg\
Chou C, Chen CA, Ting Chen K, Tan PH. 2012. Mechanisms for Global Warming Impacts on Precipitation Frequency and Intensity. Jouranal Of Climate 25: 3291-3306.
Syukur A.R. 2007. Cuaca dan Iklim. http://mbojo.wordpress.com/2007/04/15/cuaca-dan-iklim/
[AWS BMG]. 2012. Badan Meteorologi dan Geofisika. http://aws-online.bmg.go.id/bmg/aws/index.php
Review Simulasi Hidrologi Dengan Menggunakan Model SWAT Dalam Beberapa Penelitian
PENDAHULUAN
SWAT adalah model komprehensif yang memerlukan keragaman informasi dalam menjalankan. Pengguna pemula mungkin merasa sedikit kewalahan oleh keragaman dan jumlah input ketika pertama kali mulai menggunakan model. Namun, ada beberapa dari input yang digunakan untuk mensimulasikan khusus untuk beberapa daerah aliran sungai (DAS) dan tidak digunakan pada daerah aliran sungai (DAS) yang lain Neitsch et al (2002). Sehingga model SWAT dapat dikatakan sebagai model konseptual, hal ini sesuai pendapat yang diungkapkan oleh Ibbitt dan O’Donnel (t.t) bahwa masalah utama yang terkait dengan penggunaan model konseptual yang di bangun hanya cocok untuk suatu DAS tertentu, model konseptual bertolak balakang dengan model matematika, dimana model matematika dapat mensimulasikan respon dari catchment hingga curah hujan dan kejadian meteorologi lainnya memiliki beberapa tingkat realisme fisik Manley (t.t), hal ini berlaku untuk model yang mencakup satu atau lebih dari daerah aliran sungai (DAS).
Model SWAT mensimulasikan suluruh daerah aliran sungai (DAS) tidak menjadi masalah, karena model ini mrupakan model komperhensif sehingga memuat fitur-fitur khusus untuk daerah aliran sungai (DAS) dimanapun, tergantung pengguna yang menggunakan model ini dapat menyesuaikan dengan karakter daerah aliran sungai (DAS) yang akan disimulsikan. Menurut Arnold et al (1998) diacu dalam Setegn (2010) bahwa model SWAT digunakan untuk skala daerah aliran sungai (DAS) secara terus menurus dan jangka panjang, model ini dirancang untuk memprediksi dampak dari pengolahan lahan terhadap respon hidrologi, sedimentasi dalam suatu daerah aliran sungai (DAS), dan pencemaran pada daerah aliran sungai (DAS) dari aktifitas pertanian.
METODOLOGI KAJIAN
Kajian pustaka dilakukan untuk menelusuri perkembangan model SWAT yang digunakan dalam simulasi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan di daerah aliran sungai (DAS) tersebut, sehingga dapat menarik kesimpulan tentang model SWAT dari berbagai kondisi daerah aliran sungai (DAS) yang dikaji.
PEMBAHASAN
Setegn et al., (2010) melakukan penelitian dengan menguji model SWAT untuk memprediksi sedimen di DAS Anjenigauged, Ethiopia. Masalah yang ada di di sekitar das tersebut adalah erosi tanah dan degradasi lahan yang berasal dari dataran tinggi Ethiopia. Hasil yang diperoleh Setegn et al (2010) bahwa kinerja model SWAT untuk memprediksi hasil sedimen rata-rata tahunan adalah 24,6 ton/ha. Sedangkan hasil simulasi sedimen rata-rata tahunan di peroleh 27.8 dan 29.5 ton/ha. Penelitan Setegn et al (2010) menujukan bahwa kesesuaian antara nilai yang diamati dengan hasil sedimen yang disimulasi dengan Nash-Sutcliffe efisiensi (NSE)= 0.81, persen bias (PBIAS) = 28%, RMSE-pengamatan rasio standar deviasi (RSR) = 0.23, dan koefisien determinasi (R2) = 0.86 untuk kalibrasi nilai yang diperoleh NSE = 0.79, PBIAS = 30%, RSR = 0.29, dan R2 = 0.84 .
Gambar 1. Perbandingan Antara Stremflow Bulanan pengukuran dan Simulasi Kalibrasi (atas) dan Periode Validasi (bawah) Setegn et al., (2010).
Gambar 2. Perbandingan Antara hasil sedimentasi Bulanan pengukuran dan Simulasi Kalibrasi (atas) dan Periode Validasi (bawah) Setegn et al., (2010)
Secara umum hasil simulasi menunjukkan pola tahunan yang sesuai dengan data observasi. Debit puncak aliran pada data observasi dan simulasi baik kalibrasi dan validasi terjadi pada bulan ke 20 mencapai 0.12 m3/ha, hal ini mengindikasikan bahwa pada bulan tersebut merupakan puncak curah hujan sehingga berakibat pada menigkatnya debit aliran di DAS Anjenigauged, Ethiopia. Peningkatan debit ini akan disertai dengan meningkatnya hasil sedimentasi pada DAS Anjenigauged, Ethiopia. Terlihat pada gambar 2 bahwa puncak sedimentasi terjadi pada bulan ke 20 yang mencapai sekitar 33 ton/ha untuk kalibarasi dan untuk periode validasi mencapai 20 ton/ha.
Secara keseluruhan model SWAT yang digunakan dalam mensimulasikan hasil sedimentasi di DAS Anjenigauged, Ethiopia dapat dikatakan baik artinya model SWAT dapat meniru kejadian sebernarnya, hal ini juga di dukung oleh nilai NSE sebesar 0.81, maka model SWAT untuk DAS Anjenigauged, Ethiopia dapat dikatakan baik. Penelitian Setegn et al (2010) menujukan bahwa yang mempengaruhi hasil sedimentasi tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang berpengaruh pada peningkatan debit aliran di DAS Anjenigauged, Ethiopia, tetapi juga dipengaruhi oleh hasil sedimentasi sensitif terhadap kemiringan saluran, panjang lereng dan kerapatan drainase.
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Abbaspour et al (2007) menggunakan model SWAT untuk mensimulasi proses yang tekait dengan kualitas air, sedimen, dan hara yang berada di daerah tangkapan. Untuk mengkalibrasi model SWAT Abbaspour et al (2007) menggunakan dua langkah untuk menilai keakuratan dari kalibrasi: (1) persentase ketidakpastian prediksi 95% dihitung dengan persentil 2.5 dan 97.5 dari distribusi komulatif variabel simulasi. (2) faktor yang merupakan rasio dari jarak rata-rata antara persentil dan standar deviasi dari variabel yang diukur menunjukan kesesuaian. Hal ini menggambarkan bahwa penyelesaian secara statistik sangat baik untuk debit dan nitrat dan hasil cukup baik untuk sedimen dan fospor. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa model SWAT dinilai menjadi model yang pantas digunakan untuk menilai kualitas air dan jumlah air di suatu DAS. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4 di bawah.
Gambar 4 Simulasi dan observasi sedimen dua mingguan di outlet DAS. Kalibrasi sedimen (1991-1995) atas, dan validasi sedimen (1996-2000) bawah. Abbaspour et al., (2007).
Gambar 4 di atas memberikan informasi bahawa hasil simulasi dan observasi sedimen setelah validasi memberikan nilai persentasi yang bagus yaitu 85 % artinya adalah model SWAT yang digunakan menunjukan keakuratan dalam mensimulasikan sedimen dan mnghasilkan nilai d-faktor 0.73 artinya pada saat di validasi rasio dari jarak rata-rata antara persentil dan standar deviasi dari sedimen yang diukur sudah sesuai baik observasi maupun simulasi, maka dapat dikatakan model SWAT dapat meniru kondisi sesungguhnya dari variabel sedimen yanf diukur.
Gambar 5 Simulasi dan observasi dua mingguan total fosfor yang dibawa oleh sungai di outlet DAS. Kalibrasi total fosfor (1991-1995) atas, dan validasi fosfor total (1996-2000) bawah. Abbaspour et al., (2007)
Gambar 5 di atas menunjukan bahwa variabel fosfor yang diukur setelah di validasi menunjukan nili d-faktor lebih kecil dari pada nilai kalibrasi, sedangkan untuk data pengukuran oleh 95PPU mengalami penurunan sebesar 6%. Tetapi pada simulasi fosfor yang terdapat pada DAS bisa dikatakan baik.
Gambar 6 Simulasi dan observasi dua mingguan total nitrat yang dibawa oleh sungai di outlet DAS. Kalibrasi total nitrat (1991-1995) atas, dan validasi nitrat total (1996-2000) bawah. Abbaspour et al. (2007)
Sedangkan pada gambar 6 di atas menunjukan nilai data pengukuran oleh 95PPU mengalami kenaikan dari kalibrasi sebesar 82% menjadi 84% pada saat di validasi artinya simulasi kandungan nitrat di DAS memberikan hasil yang baik. Secara keseluruhan penggunaaan model SWAT dalam mensimulasikan kondisi DAS untuk melihat kualias air, menunjukan ada hubungan antara jumlah sedimentasi dengan jumlah kandungan fosfor dan nitrat di DAS. Semakin tinggi sedimentasi maka jumlah kandungan fosfor dan nitrat juga semakin tinggi, karena peningkatan jumlah sedimentasi disebabkan tingginya jumlah debit air yang membawa fosfor dan nitrat yang terdapat didalam tanah.
KESIMPULAN
Berdasrakan hasil pembahasan dan studi literatur dapat disimpulkan bahwa, penggunaan model SWAT dalam mensimulasi sedimentasi dan kualitas air memberikan hasil yang baik pada dua karakter DAS yang berbeda. Sehingga hasil ini dapat membantah terori yang di ungkapakan oleh Ibbitt dan O’Donnel (t.t) bahwa masalah utama yang terkait dengan penggunaan model konseptual yang di bangun hanya cocok untuk suatu DAS tertentu. Karena model SWAT merupakan model konseptual maka pendapat dari Ibbitt dan O’Donnel (t.t) tidak berlaku untuk model SWAT . Fitur-fitur dari model SWAT sangat komperhensif maka dapat digunakan pada kondisi DAS dimanapun.
REFERENSI
Abbaspour KC et al. 2007. Modelling Hydrology and Water Quality In The Pre-Alpine/Alpine Thur Watershed Using SWAT. Journal of Hydrology. 333: 413– 430.
Ibbitt RP, O’Donnel T. tanpa tahun. Designing Conceptual Catchment Models For Automatic Fitting Methods: hlm 461-475.
Manley RE. tanpa tahun. A Hydrological Model With Physically Realistic Parameters: hlm 154-161.
Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, Williams JR. 2002. Soil and Water Assessment Tool User’s Manual Version 2000. Texas Water Resources Institute. College Station: Texas.
Setegn SG, Dargahi B, Srinivasan R, Melesse AM. 2010. Modeling Of Sediment Yield From Anjeni-Gauged Watershed, Ethiopia Using SWAT Model. Journal Of The American Water Resources Association. Vol 46. No 3: 514-526.
Karakteristik Model HBV
Model konseptual berdasarkan konsep Model HBV disajikan untuk tujuan hidrologi Model HBV dipilih terutama karena pendekatan konseptual di mana proses hidrologi yang disederhanakan untuk algebraic fungsi dan dengan demikian, perhitungan yang diperlukan dapat dengan mudah dilakukan di Excel spreadsheet. Model HBV pada awalnya dikembangkan oleh bagian water balance dari Swedish Meteorological and Hydrological Institute (SMHI) untuk memprediksi aliran air yang masuk pada tahun 1970. Model HBV tersedia sebagai suatu model dalam berbagai versi yang bervariasi. HBV dapat digunakan sebagai suatu distribusi atau model semi-distribusi dengan membagi DAS ke sub-DAS. Dalam model HBV, diasumsikan bahwa daerah kajian (DAS) adalah satu unit tunggal (zona) dan parameter tidak berubah secara spasial di seluruh DAS. Model HBV terdiri dari empat parameter utama: 1) akumulasi curah hujan, 2) kelembaban tanah dan presipitasi efektif, 3) evapotranspirasi, 4) runoff.
Model ini memiliki sejumlah parameter, yang nilainya ditemukan oleh kalibrasi. Ada juga parameter yang menggambarkan karakteristik DAS dan iklimnya sejauh mungkin yang tidak tersentuh selama kalibrasi model. Penggunaan subDAS memungkinkan untuk memiliki sejumlah nilai parameter untuk seluruh DAS. Gambar 1 menggambarkan proses umum dari versi sederhana dari model HBV. Model ini dapat dijalankan pada waktu harian atau bulanan; input data yang dibutuhkan meliputi deret waktu pengamatan curah hujan dan suhu pada setiap waktu, dan perkiraan suhu jangka panjang bulanan rata-rata dan tingkat evapotranspirasi potensial.
Gambar 1. Struktur umum versi SMHI dari model HBV bila diterapkan pada salah satu DAS
Curah hujan kemudian diproses dalam kelembaban tanah di mana curah hujan efektif memberikan kontribusi terhadap limpasan permukaan. Bagian sisa curah hujan memberikan kontribusi untuk kelembaban tanah dengan sendirinya akan menguap selama ada kadar air yang cukup di bawah permukaan. Hasil utama dari model tersebut adalah debit limpasan pada outlet DAS yang memiliki tiga komponen: limpasan permukaan, interflow (kontribusi dari aliran permukaan) dan baseflow (kontribusi dari aliran air tanah). Model ini memiliki sejumlah parameter yang harus dikalibrasi berdasarkan pengamatan. Berikut ini uraian setiap parameter secara singkat.
1. Curah hujan dan akumulasi curah hujan
Curah hujan yang jatuh kepermukaan dan terakumulasi diasumsikan berbanding lurus dengan suhu. Parameter pertama adalah suhu ambang (Tt). Pengaturan suhu Tt awal untuk nol derajat Celcius (32 derajat Fahrenheit) adalah asumsi awal yang wajar. Pengaturan awal suhu (Tt) adalah nol derajat Celcius (32 derajat Fahrenheit) merupakan asumsi awal. Jika peristiwa presipitasi terjadi ketika suhu di bawah Tt kemudian curah hujan terakumulasi, jika input presipitasi diasumsikan sebagai curah hujan. Selama suhu tetap di bawah suhu ambang, input presipitasi tidak memberikan kontribusi terhadap limpasan. Namun, setelah suhu melebihi ambang batas, presipitasi mulai berkontribusi terhadap limpasan. Dalam model ini Persamaan 1 digunakan untuk memperkirakan tingkat curah hujan :
Sm = DD x (T - Tt)
Dimana: Sm = curah hujan (LT-1); DD = factor tingkatan hari (Lθ-1T-1); T = suhu udara harian (θ); Tt = ambang batas suhu (θ); Parameter empiris faktor tingkatan hari (DD) menunjukkan penurunan kandungan air dalam curah hujan yang disebabkan oleh 1 derajat di atas ambang titik beku dalam satu hari.
2. Kelembaban tanah dan presipitasi efektif
Air hujan jatuh di atas daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi dua komponen: pertama memberikan kontribusi untuk infiltrasi ke zona tanah, dan komponen kedua kontribusi untuk limpasan permukaan. Komponen kedua, biasanya dikenal sebagai presipitasi efektif, diperkirakan oleh HBV berdasarkan kadar air tanah pada saat curah hujan. Field capacity (FC) adalah parameter yang menggambarkan penyimpanan kelembaban tanah maksimum dalam zona bawah permukaan. Umumnya, semakin tinggi jumlah kadar air tanah pada saat presipitasi, semakin banyak kontribusi dari presipitasi menjadi limpasan. Ketika kadar air tanah mendekati Field capacity (FC), infiltrasi dapat mengurangi kontribusi curah hujan untuk peningkatan produksi limpasan. Persamaan menghitung presipitasi efektif sebagai fungsi dari kadar air tanah adalah sebagai berikut:
Dimana: Peff = presipitasi efektif (L); SM = kelembaban tanah actual (L); FC= kapasitas maksimum penyimpanan tanah (L); P = presipitasi harian (L); β = parameter model (koefisien bentuk) (-). Untuk defisit kelembaban tanah yang diberikan (diukur dengan rasio SM/FC), parameter β yang dikenal sebagai koefisien bentuk mengontrol jumlah air (P + Sm) yang memberikan kontribusi untuk limpasan.
Gambar 2. Hubungan antara kelembaban tanah, kapasitas lapangan, koefisien bentuk β dan koefisien limpasan
Gambar 2 plot hubungan antara kelembaban tanah, kapasitas lapangan, koefisien bentuk β dan koefisien limpasan yang didefinisikan sebagai rasio dari presipitasi efektif dengan kedalaman air total yang tersedia (Peff/(P + Sm)). Grafik menunjukkan bahwa untuk jumlah tertentu kelembaban tanah, β semakin tinggi, koefisien limpasan semakin rendah. Selain itu, kelembaban tanah (SM) mendekati kapasitas lapang (FC), koefisien limpasan mengalami peningkatan. Baik kapasitas lapangan (FC) dan koefisien bentuk (β) digunakan sebagai parameter kalibrasi. Perlu dicatat bahwa koefisien limpasan dan kelembaban tanah tidak konstan dan berubah secara dinamis selama simulasi.
3. Evapotranspirasi
Untuk menghitung evapotranspirasi aktual di DAS, perlu menyediakan model sebagai input jangka panjang evapotranspirasi potensial bulanan rata-rata (PEm, m = 1 - 12). Untuk setiap hari dalam jangka waktu simulasi, evapotranspirasi potensial dihitung dengan mengurangi nilai potensial berdasarkan selisih antara suhu rata-rata di siang hari dan suhu jangka panjang bulanan rata-rata:
PEa = (1 + C (T - Tm)). PEm
Dimana: PEa = evapotranspirasi potensial (L); T = suhu arian (θ); Tm = suhu bulanan rata-rata (θ); PEm= evapotranspirasi potensial bulanan (L); C = parameter model (1/θ).
Parameter model (C) yang digunakan untuk meningkatkan kinerja model ketika suhu harian rata-rata menyimpang dari jangka panjang artinya kelembaban tanah dan perhitungan evapotranspirasi aktual digabungkan melalui penggunaan Titik layu permanen (PWP). Persamaan di bawah ini menunjukkan hubungan antara kelembaban tanah dan evapotranspirasi aktual:
Dimana Ea : evapotranspirasi actual (L), PWP : titik layu permanen (L). Persamaan di atas menunjukkan bahwa ketika kelembaban tanah di atas PWP evapotranspirasi aktual terjadi pada tingkat yang sama dengan evapotranspirasi potensial. PWP adalah kelembaban tanah batas untuk evapotranspirasi, artinya bahwa ketika kelembaban tanah kurang dari PWP evapotranspirasi aktual lebih kecil. Dengan kata lain, Persamaan di atas mengurangi jumlah evapotranspirasi karena kurangnya ketersediaan kelembaban tanah di bawah PWP. Gambar 3 menggambarkan hubungan antara evapotranspirasi aktual dan PWP yang dijelaskan dalam Persamaan di atas.
Gambar 3. Hubungan antara evapotranspirasi actual dan PWP
Gambar di atas menunjukkan bahwa ketika PWP mendekati kapasitas lapangan, evapotranspirasi aktual akan lebih tinggi dan sebaliknya berdasarkan pengamatan parameter model C dan PWP dapat diperkirakan melalui kalibrasi model.
4. Runoff
Bagian ini memperkirakan limpasan di outlet DAS berdasarkan konsep reservoir. Sistem ini terdiri dari dua waduk, secara skematis digambarkan pada Gambar. 4. Waduk pertama memodelkan aliran permukaan, sedangkan waduk kedua digunakan untuk mensimulasikan aliran dasar (kontribusi air tanah).
Gambar. 4 Konseptual waduk digunakan untuk memperkirakan respon limpasan
Dari sudut pandang temporal, waduk pertama dan kedua mensimulasikan proses bawah permukaan. Waduk secara langsung terhubung satu sama lain melalui penggunaan tingkat perkolasi konstan (Qperc). Seperti ditunjukkan dalam gambar, ada dua outlet (Q0 dan Q1) satu di setiap waduk. Bila tingkat air di reservoir atas melebihi nilai ambang L, limpasan terjadi dengan cepat dari waduk atas (Q0).
Ruang Terbuka Hijau Dan Aplikasi Konsep Blue-Green Network
ABSTRACT
Gorontalo city is located at latitude zero with a height of 0-500 meters above sea level, has a temperature between 23.2 °C - 33 °C and humidity between 61.6% - 93.8% when the city established the comfort index is included in the category of Gorontalo city is less comfortable. THI calculated for 5 years showed that the city of Gorontalo located on the index is quite comfortable. In 2007 and 2008, THI values reached 25.7 and 25.6 °C while in 2009, 2010, and 2011 the value of THI reaches 26.0, 26.2 and 26.0. These results illustrate that in the city of Gorontalo land cover changes with an increase in temperature from year to year but for the comfort index is still in the same range that is quite comfortable. Although the vast green space reaches 60% and 50% Gorontalo City is still in the fairly comfortable index. In its entirety with the addition of wide open green space in the city of Gorontalo to the 80% figure Gorontalo city remains on the index is quite comfortable. It is highly influenced by the Characteristics of the climate, location latitude and longitude. Blue-green network applications can impact the climatological conditions in the city of Gorontalo. Surface energy balance in an environment that implements the blue-green network in contrast to the surrounding area due to differences in land cover and surface characteristics describe the ecology or the environment can alter the structure of vertical and horizontal wind in several ways is changing the style and the pressure that causes the wind.
Key words: Green open space, Blue-green network, management of water resources, temperature
PENDAHULUAN
Provinsi Gorontalo merupakan salah satu provinsi pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara yang terletak di bagian utara pulau Sulawesi. Provinsi Gorontalo dideklarasikan pada tanggal 23 Januari tahun 2000. Saat ini, Provinsi Gorontalo berusia 12 tahun memiliki 5 Kabupaten dan 1 Kota. Pusat pemerintahan dan ibu kota Provinsi Gorontalo terletak di Kota Gorontalo. Sebagai ibukota Provinsi Gorontalo, Kota Gorontalo menjadi pusat aktifitas perekonomian bagi masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo (2011) jumlah penduduk kota gorontalo sebesar 119.745 jiwa tahun 1999, pada tahun 2000 jumlah penduduk Kota Gorontalo sebesar 134.931, sedangakan tahun 2010 jumlah penduduk Kota Gorontalo sebesar 180.127 jiwa. Jumlah ini, dapat mendorong pembangunan baik rumah sebagai tempat tinggal masyarakat, infrastuktur seperti jalan, pasar, dan gedung-gedung pemerintahan sehingga akan mendorong peningkatan pelyanan di bidang pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah.
Salain menjadi pusat perekonomian masyarakat, Kota Gorontalo sebagai pusat tujuan invetasi, baik investor dari luar maupun dari Gorontalo sendiri. Investasi di Kota Gorontalo dalam bentuk perumahan rakyat sehingga penggunaan lahan untuk perumahan semakin meningkat yang akan berdampak pada kodisi iklim di wilayah tersebut. Jika investasi yang dilakukan berorietasi pada perumahan rakyat maka perlu ada intervensi pemerintah dalam mengatur tata guna lahan di Kota Gorontalo yang berkelanjutan. Investasi di bidang perumahan rakyat ini dapat menopang perekonomian di Kota Gorontalo. Namun, hal ini harus sejalan dengan pengembangan di bidang pariwisata melalui pembenahan objek wisata seperti wisata alam, wisata budaya, dan tata ruang kota sehingga dapat menarik wisatawan lokal, nasional, maupun mancanegara seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah (PERDA) Prov. Gorontalo No.4 Thn 2011 tentang rencana tata ruang wilayah tahun 2010-2030 dan UU No. 26 Thn 2007 tentang penataan ruang.
Untuk mendukung terwujudnya PERDA dan UU maka perlu ada solusi yang tepat dalam mewujudkannya. Melihat kondisi Kota Gorontalo yang sering terjadi banjir setiap tahun dan terjadinya pendangkalan danau Limboto yang menjadi tempat pencaharian masyarakat dan sebagai tempat wisata. Di kota-kota besar, ruang terbuka hijau (RTH) telah menjadi trend untuk mengatasi masalah yang berhubugan dengan degradasi lingkungan, konsep ruang terbuka hijau (RTH) menjadi priyoritas utama dari segi lingkungan untuk menciptakan kenyamanan di Kota Gorontalo. Konsep RTH di Kota Gorontalo mendapat dorongan yang kuat dari pemerintah karena RTH merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung, taman kota, kawasan hijau rekreasi, kawasan hijau olahraga, terutama dalam hal manajemen sumber daya air.
Mengefisiensikan sumber daya air di Kota Gorontalo perlu menerapkan blue-green network yang memilki keterpaduan substansi dengan ruang terbuka hijau (RTH). Dalam annex report 2011 bahwa blue-green network merupakan pengembangan tata ruang kota dan perencanaan konsep kota tradisional yang bernuansa hijau di sekitar kota. Struktur spasial dari konsep ini di dasarkan pada mengefisiensikan jaringan sungai. Zona di sekitar daerah yang hijau dan di sekitar sungai memberikan kontribusi terhadap perlindungan dan pemeliharaan terhadap ekosistem dalam jaringan tersebut.
Pada kondisi yang dihadapi Kota Gorontalo saat ini, seperti banjir dan pendangkalan danau Limboto, perlu konsep yang dapat mengurangi ancaman-ancaman tersebut dan adaptasi terhadap perubahan iklim, maka ruang terbuka hijau melalui aplikasi blue-green network akan bekontribusi pada aspek sosial dan lingkungan, seperti; 1) meningkatkan jumlah tempat rekreasi, dengan akses yang lebih baik dari setiap bagian kota, memberikan promosi gaya hidup sehat, 2) untuk transportasi individu dan masyarakat dengan menyediakan ruang untuk rute sepeda, pejalan kaki dan trem, 3) menyediakan daerah untuk manajemen stormwater melalui langkah-langkah ecohydrological dan bioteknologi ekosistem, 4) meningkatkan kelembaban, kualitas udara dan iklim mikro di kota itu untuk berkontribusi pada lingkungan yang sehat dan untuk mengurangi jumlah kasus asma dan alergi, 5) perlindungan dan revitalisasi warisan, sejarah lingkungan dan budaya kota, memberikan kontribusi bagi peningkatan daya tarik, estetika dan kualitas hidup.
Tulisan ini bertujuan untuk mengenalkan paradigma baru tentang rancangan ruang terbuka hijau (RTH) melalui konsep blue-green network dalam mewujudkan Kota Gorontalo yang nyaman berdasarkan amanat undan-undang.
METODOLOGI KAJIAN
Penentuan Luas RTH
Kajian ini di fokuskan pada wilayah Kota Gorontalo untuk menganalisis aplikasi blue-green network untuk kenyamanan kota. Untuk menetukan luas RTH di Kota Gorontalo berdasarkan hubungan antara luas RTH dengan nilai suhu udara yang telah ditentukan oleh Syah (2011), seperti pada tabal di bawah:
Secara kuantitatif kenyamanan dinyatakan sebagai Temperature Humidity Index (THI), suatu indeks untuk menetapkan efek kondisi panas pada kenyamanan manusia, yang secara empiris dirumuskan oleh Nieuwolt (1975) dalam Effendy et al 2006:
Dengan THI, indeks kenyamanan (oC); Ta, suhu udara (oC) dan RH, kelembaban nisbi udara (relatif humidity) dalam %. Emmanuel (2005) dalam Effendy et al 2006, secara empiris menghubungkan nilai THI dan kenyamanan populasi: Nilai THI 21-24: nyaman, Nilai THI 25-27: cukup nyaman, Nilai THI > 27: tidak nyaman.
Sumber Data
Data Ta dan RH merupakan data rata-rata tahunan diperoleh dari stasiun cuaca Djalaludin dengan nomor stasiun 970.480 (WAMG) Lintang: 0.51, Bujur: 123.06, Ketinggian: 2 yang dilaporkan ke website (http://www.tutiempo.net). Pengolahan data Ta dan RH untuk menentukan nilai THI dilakukan menggunakan microsoft excel 2010.
Metode Analisis
Analisis dilakukan untuk menelusuri perkembangan ruang terbuka hijau (RTH) berdasarkan nilai THI dan data suhu udara yang diperoleh. Analisis RTH juga dilakukan untuk dapat merumuskan blue-green network sesuai dengan kondisi permasalahan sumber daya air di Kota Gorontalo.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Eksisting RTH di Kota Gorontalo
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rachman (2010) menggunakan hasil citra bahwa kodisi RTH dari segi luasan yaitu 1753,22 ha yang meliputi lahan bervegetasi pohon dari luas wilayah Kota Gorontalo 6479 ha atau sekitar 27%. Jika merujuk pada undang-undang RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 bahwa luas minimum RTH adalah 30% berarti perlu penambahan 3% luas RTH di Kota Gorontalo.
Pendugaan Luas RTH di Kota Gorontalo
Pendugaan luas ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Gorontalo di dasarkan pada tabel hubungan antara RTH dan suhu udara yang telah di ditentukan oleh Syah (2011). Sehingga di peroleh hasil seperti pada tabel di bawah ini:
Luas RTH di Kota Gorontalo jika di hubungkan dengan suhu udara seperti yang di kemukakan oleh Syah 2011 maka luas RTH sudah melewati target yang ditetapkan oleh undang-undang yaitu 30%. Secara teoritis hasil ini sudah sesuai, karena dengan adanya pengurang RTH dapat menaikan suhu udara. Namun jika di bandingkan dengan hasil penelitian Rachman 2010 menggunakan citra luas RTH baru mencapai 27%. Perbedaan hasil ini cukup jauh untuk mentukan luasan RTH yang sebenarnya. Berdasarkan tabel 2 di atas walaupun luas RTH mencapai 60% dan 50% Kota Gorotalo masih berada pada indeks cukup nyaman. Secara keseluruhan dengan penambahan luas RTH di Kota Gorontalo sampai pada angka 80 % Kota Gorontalo tetap berada pada indeks cukup nyaman. Hal ini sangat pingaruhi oleh karaktristik iklim, letak lintang, dan bujur.
Penentuan Nilai Temperature Humidity Indeks (THI)
Berdasarkan persamaan 1 penentuan nilai THI yang di peroleh dengan menggunakan data Ta dan RH tahunan selama lima tahun seperti pada tabel 2 di bawah ini:
Dari hasil perhitungan THI selama lima tahun menunjukan bahwa Kota Gorontalo berada pada indeks cukup nyaman. Pada tahun 2007 dan 2008 nilai THI mencapai 25,7 dan 25,6 oC sedangkan pada tahun 2009, 2010, dan 2011 nilai THI Mencapai 26, 26.2 dan 26. Hasil ini menggambarkan bahwa di Kota Gorontalo terjadi perubahan tutupan lahan dengan adanya peningkatan suhu dari tahun ketahun tetapi untuk indeks kenyamanan masih dalam kisaran yang sama yaitu cukup nyaman. Karena pada dasarnya RTH dan THI Pola hubungan terbalik di mana setiap laju pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya (Effendy et al., 2006). Indeks kenyamanan di Kota Gorontalo dapat dipangaruhi oleh lintang serta ketinggian wilayah sehingga nilai suhu dan kelembaban akan tetap berada pada rentang indeks cukup nyaman. Walaupun luas RTH belum di ketahui secara pasti namun dengan nilai THI yang diperoleh maka perlu ada tambahan luasan RTH untuk bisa menekan laju kenaikan suhu dengan mengefisiensikan manajemen sumber daya air DAS dan Danau Limboto.
Blue-Green Net Work Sebagai Manajemen Sumber Daya Air
Substansi dari blue-green net work menekan pada masalah manajemen sumber daya air melalui langkah-langkah ekohidrologi artinya jika dilihat secara cermat bahwa pengintegrasian dua variabel yaitu ekologi dan hidrologi, dalam ekohidrologi memiliki banyak aspek yang dapat di jadikan objek kajian yang menarik bagi setiap peneliti. Hal ini sangat tepat dilakukan untuk mengurangi jumlah sedimentasi yang terjadi di danau Limboto yang berakibat terjadinya pendangkalan danau tersebut serta dapat mengefisiensikan air yang berada di DAS yang satiap tahunnya menyebabkan banjir. Seperti yang di peroleh dari google earth bahwa Kota Gorontalo memilki satu DAS dan dua sub DAS yaang sangat berpotensi untuk diterapkan blue-green network serta danau Limboto.
Gambar 2 Kondisi Aliran Sungai Bone di Kota Gorontalo (Sumber Google Earth: 2012)
Gambar 3 Kondisi Danau Limboto (Sumber Google Earth: 2012)
Untuk memenuhi kekurangan RTH di Kota Gorontalo bahwa perlu menerapkan blue-green network di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Danau Limboto sehingga RTH di Kota Gorontalo dapat mencapai terget yang telah di tetapkan di dalam undang-undang.
Pengaruh Blue-Green Network Pada Aspek Klimatologi
Aplikasi blue-green network dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi klimatologi di Kota Gorontalo. Neraca energi permukaan pada lingkungan yang menerapkan blue-green network berbeda dengan daerah sekitarnya karena pebedaan tutupan lahan dan karakteristik permukaan yang dapat mengubah struktur angin vertikal dan horizontal dalam beberapa cara yaitu mengubah gaya dan tekanan yang menimbulkan agin. Variasi ketinggian tanaman dapat mengubah kekasapan permukaan memperbesar turbulen sehingga memperkuat konveksi. Ketika angin berhembus kuat, tanaman-tanaman yang terdapat di lingkungan tersebut akan menjadi alasan terhadap variasi dari kecepatan angin tersebut. Tanaman dengan berbagai ketinggian akan memperlambat kecepatan agin sehingga menciptakan variasi angin yang tidak diduga bagi orang yang ada di permukaan. Blue-green network dapat melibatkan peristiwa evaporasi dan transpirasi. Evaporasi menjadi proses penting dalam siklus hidrologi, karena melalui proses evaporasi air di permukaan bumi dapat dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk uap air. Kemudian uap air ini akan terkondensasi di atmosfer dan turun kembali sebagai hujan. Dengan mengacu pada definisi dari evaporasi maka blue-green network proses evaporasi cenderung tinggi karena dengan pengelolaan sember daya air yang baik, sehingga siklus hidrologi pada lingkungan tersebut terus terjadi dengan baik dan tentunya akan berdampak pula pada kelembaban udara sekitar menjadi lebih sejuk.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Luas RTH mencapai 60 % dan 50 % Kota Gorotalo masih berada pada indeks cukup nyaman. Secara keseluruhan dengan penambahan luas RTH di Kota Gorontalo sampai pada angka 80 % Kota Gorontalo tetap berada pada indeks cukup nyaman. Hal ini sangat pingaruhi oleh karaktristik iklim, letak lintang, dan bujur. Pada tahun 2007 dan 2008 nilai THI mencapai 25,7 dan 25,6 oC sedangkan pada tahun 2009, 2010, dan 2011 nilai THI Mencapai 26,0, 26,2 dan 26,0. Hasil ini menggambarkan bahwa di Kota Gorontalo terjadi perubahan tutupan lahan dengan adanya peningkatan suhu dari tahun ketahun tetapi untuk indeks kenyamanan masih dalam kisaran yang sama yaitu cukup nyaman. Karena pada dasarnya RTH dan THI Pola hubungan terbalik di mana setiap laju pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya.
Untuk memenuhi kekurangan RTH di Kota Gorontalo bahwa perlu menerapkan blue-green network di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Danau Limboto sehingga RTH di Kota Gorontalo dapat mencapai terget yang telah di tetapkan di dalam undang-undang. Aplikasi blue-green network sangat berpengaruh pada proses evaporasi cenderung tinggi karena dengan pengelolaan sember daya air yang baik, sehingga siklus hidrologi pada lingkungan tersebut terus terjadi dengan baik dan tentunya akan berdampak pula pada kelembaban udara sekitar menjadi lebih sejuk. Evaporasi menjadi proses penting dalam siklus hidrologi, karena melalui proses evaporasi air di permukaan bumi dapat dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk uap air.
Saran
Untuk dapat memperoleh luas ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Gorontalo perlu menggunakan pendekatan melalui perhitungan kebutuhan oksigen (O2) dan perhitungan berdasarkan kebutuhan air.
REFERENSI
Annex 4. 2011. Implementation of the Blue-Green Network Concept. SWITCH: Final Demonstration Activity Report, The City of ?ód?, 2006-20011, W.P. 5.3
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Gorontalo Dalam Angka 2011. Gorontalo: BPS Provinsi Gorontalo.
Effendy S. 2010. Peranan Ruang Terbuka Hijau Dalam Mengendalikan Suhu Udara Dan Urban Heat Island Wilayah Jabotabek. J. Agromet Indonesia 20 (1) : 23 – 33
[PERDA] Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No. 4. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo Tahun 2010-2030. Gubernur Gorontalo.
Rachman. 2010. Perencanaan Hutan Kota Untuk Meningkatkan Kenyamanan di Kota Gorontalo [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Syah D.S. 2011. Hubungan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Dengan Temperature Humidity Index (THI) Kota Depok [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tutiempo. 2012. World Weather Local Weather Forecast: www.tutiempo.net/en/