KATEGORI : Meteorologi

Prediksi Curah Hujan Menggunakan Metode Logika Fuzzy

22 April 2018 18:48:16 Dibaca : 5190

PENDAHULUAN

Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama. Diantaranya ada yang mempunyai pola munsonal, ekuatorial dan lokal. Pola hujan tersebut dapat diuraikan berdasarkan pola masing-masing. Distribusi hujan bulanan dengan pola monsun adalah adanya satu kali hujan minimum.

Perubahan frekuensi curah hujan oleh komponen termodinamika dan dinamis. Komponen termodinamika diinduksi oleh perubahan uap air di atmosfer, sedangkan komponen dinamis dikaitkan dengan perubahan gerak vertikal. Dalam kontribusi termodinamika, peningkatan uap air mengurangi besarnya gerak vertikal yang diperlukan untuk menghasilkan kekuatan yang relatif sama dengan curah hujan, sehingga frekuensi curah hujan meningkat. Peningkatan uap air juga mengintensifkan curah hujan akibat peningkatan ketersediaan uap air di atmosfer. Dalam kontribusi dinamis, kondisi lebih stabil dan cenderung mengurangi frekuensi dan intensitas curah hujan Chou et al (2012).

Kecenderungan pola curah hujan yang fluktuatif, kadang membuat aktivitas kita terganggu sebagai akibat dari kurang tepat dalam memprediksi apakah pada saat ini akan terjadi hujan atau tidak. Dalam dinamika ilmi pengetahuan saat ini, para saintis telah banyak menemukan model untuk memprediksi cuaca. Memprediksi curah hujan akan digunanakan Teori logika fuzzy dikatakan sebagai logika baru yang lama, sebab ilmu tentang logika fuzzy modern dan metodis baru ditemukan beberapa tahun yang lalu, padahal sebenarnya konsep tentang logika fuzzy itu sendiri sudah ada pada diri kita sejak lama.

METODOLOGI

Perancangan FIS (Fuzzy Inference System)

Perancangan FIS (Fuzzy Inference System) menggunakan fitur fuzzy logic toolbox MATLab 2008. Perancangan FIS untuk cuaca di gunakan variable input yaitu suhu (T) dan variabel output cuaca (Gambar 1).

Gambar 1. Fungsi keanggotaan variabel input dan output

Untuk variabel input suhu dibagi dalam 3 fungsi keanggotaan yaitu rendah (Lo), sedang (Mod), dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 20 sampai 24. Fungsi keanggotaan variabel input suhu rendah (Lo) dengan rentang (range) 20 sampai 26, sedang (Mod) dengan rentang (range) 26 sampai 31, dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 31 sampai 34 (Gambar 2).

Gambar 2. Fungsi keanggotaan variabel input suhu

Variabel kelembaban (RH) dibagi dalam tiga fungsi keanggotaan yaitu rendah (Lo), sedang (Mod), dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 50 sampai 99. Fungsi keanggotaan variabel input Kelembaban rendah (Lo) dengan rentang (range) 50 sampai 70, sedang (Mod) dengan rentang (range) 70 sampai 80, dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 80 sampai 99 (Gambar 3).

Gambar 3. Fungsi keanggotaan variabel input kelembaban

Variabel input kecepatan angin (V) dibagi dalam tiga fungsi keanggotaan yaitu rendah (Lo), sedang (Mod), dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 1 sampai 70. Fungsi keanggotaan variabel input kecepatan angin rendah (Lo) dengan rentang (range) 1 sampai 10, sedang (Mod) dengan rentang (range) 10 sampai 20, dan tinggi (Hi) dengan rentang (range) 20 sampai 70 (Gambar 4).

Gambar 4. Fungsi keanggotaan variabel input kecepatan

Variabel output cuaca dibagi dalam 4 fungsi keanggotaan yaitu cerah berawan (CRB) dengan range 0 sampai 5, hujan ringan (HR) dengan range 5 sampai 20, hujan sedang (HS) dengan range 20 sampai 50, dan hujan lebat (HL) dengan range 50 sampai 100 (Gambar 5). Penentuan range ini didasrakan pada tetapan dari BMKG 2012.

 

 Gambar 5. Fungsi Keanggotaan Variabel Output (cuaca)

Perancangan Rule

Perancangan rule didasarkan pada keterangan pakar tentang hubungan antara suhu, kelembaban, dan kecepatan angin sehingga terjadi kondisi cuaca yang berbeda-beda (cerah berawan, hujan ringan, hujan sedang, dan hujan lebat). Berikut ini adalah rule yang telah di rancang:

  1. Jika suhu (Lo), Kelembaban (Lo), Kecepatan angin (Lo), maka cuaca adalah (CRB).
  2. Jika suhu (Lo), Kelembaban (Hi), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HL).
  3. Jika suhu (Lo), Kelembaban (Mod), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HS).
  4. Jika suhu (Lo), Kelembaban (Mod, Kecepatan angin (Mod), maka cuaca adalah (HR).
  5. Jika suhu (Hi), Kelembaban (Mod), Kecepatan angin (Lo), maka cuaca adalah (CRB).
  6. Jika suhu (Hi), Kelembaban (Lo), Kecepatan angin (Mod), maka cuaca adalah (CRB).
  7. Jika suhu (Mod), Kelembaban (Hi), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HS).
  8. Jika suhu (Mod), Kelembaban (Mod), Kecepatan angin (Mod), maka cuaca adalah (HR).
  9. Jika suhu (Mod), Kelembaban (Hi), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HS).
  10. Jika suhu (Lo), Kelembaban (Mod), Kecepatan angin (Hi), maka cuaca adalah (HL).

Validasi dan Analisa FIS (Fuzzy Inference System)

Proses validasi FIS dilakukan dengan mengambil data cuaca berdasarkan prediksi BMKG pada tanggal 21 Juni 2012 dari sebelas kota di Indonesia yaitu Banda Aceh, Semarang, Pekanbaru, Bandung, Palembang, Lampung, Palu, Kendari, Ternate, Jayapura, dan Manokwari. Sementara untuk data kecepatan angin, suhu, dan kelembaban diperoleh dari websate Automatic Weather Station BMG (http://aws-online.bmg.go.id/bmg/aws/index.php) waktunya disesuaikan dengan data suhu, kelembaban dan keterangan cuaca yang diperoleh. Data cuaca disajikan pada Tabel 1.

Validasi dan analisis dilakukan dengan cara menginput data observasi yang di peroleh dari BMKG ke dalam sistem perangkat Fuzzy yang telah di rancang. Kemudian nilai output cuaca yang dihasilkan dari sistem perangkat Fuzzy disesuikan dengan rentang atau range cuaca (cerah berawan, hujan ringan, hujan sedang, dan hujan lebat) yang telah di tetapkan oleh BMKG.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan running terhadap hasil observasi dari suhu, kelembaban, dan kecepatan angin, maka didaptkan hasil simulasi dari masing-masing variabel seperti pada Tabel 2 berikut:

Agar lebih mempermudah dan memperjelas dalam memvalidasi antara hasil observasi dan simulasi maka hasil observasi di buat dalam bentuk skoring dengan mengacu pada skala likert, dimana skala pengukuran ini merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval. Dengan menggunakan skala likert variable yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, kemudian indikator teresebut dijadikan sebagai titik tolak. Skoring untuk variabel tersebut seperti pada Tabel 3.

Dengan mengacu pada hasil skoring tabel di atas maka validasi antara kesesuaian hasil observasi dan hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6. Validasi Hasil Observasi dan Simulasi

Gambar 6 di atas menunjukan bahwa ketidaksesuaian antara hasil observasi dan hasil simulasi dengan koefisien korelasi sebesar 0.024. Artinya penyusunan perancangan FIS (Fuzzy Inference System) yang telah dilakukan dapat dikatakan belum akurat sehingga tidak dapat digunakan dalam melakukan prediksi curah hujan untuk seluruh wilayah di Indonesia.

KESIMPULAN

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

  1. Perancangan FIS (Fuzzy Inference System) untuk prediksi cuaca di berbagai wilayah di Indonesia belum memilki kesesuaian antara observasi dan simulasi.
  2. Dalam Perancangan FIS (Fuzzy Inference System) perlu dipahami aturan dalam penentuan range ketika akan melakukan input variabel.
  3. Kemungkinan kesalahan dalam perancangan FIS (Fuzzy Inference System) dalam kasus ini adalah kurang tepat dalam menentukan range setiap variabel ketika akan melakukan input dan penentuan rule yang digunakan. Karena keterbatasan pakar dan referensi yang mendukung kajian ini.

SARAN

Perlu dilakukan pengkajian untuk seluruh wilayah di Indonesia dengan variabel input seluruh unsur cuaca.

REFERENSI

Asmoro I.B. 2011. Perancangan Perangkat Lunak Prediktor Cuaca Berbasis Logika Fuzzy. [skripsi]. Surabaya. Istitut Teknologi Surabaya

[BMKG]. 2012. Prospek Cuaca Satu Minggu Kedepan

http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Meteorologi/Prospek_Cuaca_Mingguan.bmkg\

Chou C, Chen CA, Ting Chen K, Tan PH. 2012. Mechanisms for Global Warming Impacts on Precipitation Frequency and Intensity. Jouranal Of Climate 25: 3291-3306.

Syukur A.R. 2007. Cuaca dan Iklim. http://mbojo.wordpress.com/2007/04/15/cuaca-dan-iklim/

[AWS BMG]. 2012. Badan Meteorologi dan Geofisika. http://aws-online.bmg.go.id/bmg/aws/index.php

Ma'rifatullah: Jenis-Jenis Awan

07 May 2017 12:46:21 Dibaca : 11594

Luke Howard, seorang naturalis berkebangsaan Inggris membagi awan berdasarkan ketinggian dan bentuknya. Awan Cirrus, Cirrocumulus, dan Cirrostratus merupakan awan pada ketinggian 6000 meter), terdiri dari Kristal es. Meski tidak dapat menimbulkan hujan, ketinggiannya dapat menimbulkan daerah daerah bertekanan rendah (depresi) ketika ketebalnnya bertambah. Awan Altrostatus dan Altocomulus, adalah awan dengan ketinggian sedang (2000-6000 meter) terdiri dari campuran butir hujan dan kristal es. Sedangkan awan pada ketinggian rendah terdiri dari awan Nimbostratus, Stratocumulus, dan staratus ketinggian tidak lebih dari 2000 meter dan terbentuk dari butir hujan.


Sebelum ada penelitian-penelitian tentang fenomena ini, Allah SWT telah berfirman dalam Al- Quran Surah An-Nur [24]: 43;

 

 

 

 

 

 

 

"Tidaklah kamu melihat bahwa allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagiannya), kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-nya dan dipalingkan-nya dari siapa yang dikehendaki-nya. kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan."

Iman Ath-Thabari menafsirkan ayat ini: Allah berfirman kepada Rasulullah “Wahai Muhammad, tidaklah kamu melihat, bahwa Allah mengarak awan sesuai keinginan-Nya…” Sementara kata yuzji pada ayat ini memiliki makna yasuqu (menggiring, mengarahkan, mengendalikan). Imam Ath-Thabari juga menjelaskan makna kata sahaban (awan) adalah bentuk jamak. Artinya, tidak hanya ada satu awan. Ibnu Katsir menjelaskan kata Yaj’aluhu rukaman (menjadikan bertumpuk-tumpuk), tersusun sehingga membentuk suatu tumpukan awan. Setelah ada penjelasan tentang rukaman, baru datang setelahnya kalimat fatara al-wadqa (maka kelihatan olehmu hujan).

Berdasarkan penelitian tentang perilaku awan yang menyebabkan terjadinya hujan, khususnya pada awan Cumulonimbus dan Cumulus. Hujan akan terjadi hanya jika pembentukan vertikalnya sangat tinggi. Kedua awan ini dapat membentang sampai beberapa kilometer dalam ketinggian, dalam posisi saling bertumpuk. Awan Cumulonimbus berada diatas dan awan cumulus berada dibawah. Hal ini terbentuk oleh hembusan angin yang bergerak ke atas.

Allah menciptakan alam semesta dan memberi isyarat tentang berbagai rahasia kesempurnaan sistem-Nya, tetapi hanya sedikit yang mampu diungkap oleh manusia.

Sumber:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Review: Biotic Pump

03 May 2017 12:16:07 Dibaca : 486

Biotic pump merupakan suatu hipotesis dan paradigma baru dalam dunia sains khususnya masalah yang tekait dengan iklim, hidrologi, dan biodiversitas. Jika kita mencermati lebih dalam masalah yang terjadi dimuka bumi tidak telepas dari persoalan iklim, hidrologi, dll. Melalui hipotesis baru yang di ungkapkan oleh Makarieva dan Gorshkov menganai Biotic Pump, bukan merupakan suatu hal yang mustahil masalah yang telah disebutkan dapat teratasi melalui penerapan Biotic Pump.

Oleh Douglas Sheil dan Daniel Murdiyarso hipotesis ini dapat diyakini oleh banyak orang khusus ilmuan, jika Biotic Pump di dudukung oleh peran hutan dalam menjaga stabilitas yang terjadi, baik di permukaan maupun di atmosfer khususnya proses hidrologi. Seperti yang kita ketahui bahwa peran hutan tidak terlepas dari mengatasi masalah perubahan iklim yang menyebabkan kondisi iklim itu sendiri cenderung fluktuatif.

Jika dilihat secara cermat bahwa hubungan antara Biotic Pump dan hutan memiliki banyak aspek yang dapat di jadikan objek kajian yang menarik bagi setiap peneliti. Dari sekian aspek yang terlibat dalam Biotic Pump dan hutan, salah satu yang menarik untuk di kaji yaitu dari aspek iklim. Dimana komponen biotik seperti tumbuhan dan organisme lain yang hidup didalamnya sangat mempengaruhi komponen abiotik seperti suhu, kelembaban, air dll yang notabene nya merupakan beberapa unsur iklim, dimana pada proses interaksi komponen biotik dan abiotik melibatkan peran fisika dapat terjadi pada interkasi tersebut seperti; terjadinya perpindahan energi, dan transfer momentum.

Peristiwa perpindahan energi dan transfer momentum yang terjadi dalam ekosistem tersebut, ketika tanaman atau hewan yang terkena radiasi, energi yang diserap oleh tanaman dan hewan dapat digunakan dalam tiga cara: untuk pemanasan, untuk penguapan, dan reaksi fotokimia (Monteith dan Unsworth, 1990). Neraca energi permukaan pada hutan berbeda dengan daerah sekitarnya karena pebedaan tutupan lahan dan karakteristik permukaan.

Peran hutan dapat mengubah struktur angin vertikal dan horizontal dalam beberapa cara yaitu mengubah gaya dan tekanan yang menimbulkan agin. Variasi ketinggian tanaman dapat memperbesar turbulen sehingga memperkuat konveksi. Ketika angin berhembus kuat, tanaman-tanaman yang terdapat di lingkungan tersebut akan menjadi alasan terhadap variasi dari kecepatan angin tersebut. Tanaman dengan berbagai ketinggian akan memperlambat kecepatan agin sehingga menciptakan variasi angin.

Peran hutan juga dapat melibatkan peristiwa evaporasi dan transpirasi. Evaporasi menjadi proses penting dalam siklus hidrologi, karena melalui proses evaporasi air di permukaan bumi dapat dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk uap air. Kemudian uap air ini akan terkondensasi di atmosfer dan turun kembali sebagai hujan. Jika kita mengamati persoalan yang muncul di Indonesia yang beriklim tropis lebih banyak terjadi di perkoataan maka perlu menerapkan urban forest yang merupakan strategi mengurangi Uraban Heat Island.