Review Simulasi Hidrologi Dengan Menggunakan Model SWAT Dalam Beberapa Penelitian
PENDAHULUAN
SWAT adalah model komprehensif yang memerlukan keragaman informasi dalam menjalankan. Pengguna pemula mungkin merasa sedikit kewalahan oleh keragaman dan jumlah input ketika pertama kali mulai menggunakan model. Namun, ada beberapa dari input yang digunakan untuk mensimulasikan khusus untuk beberapa daerah aliran sungai (DAS) dan tidak digunakan pada daerah aliran sungai (DAS) yang lain Neitsch et al (2002). Sehingga model SWAT dapat dikatakan sebagai model konseptual, hal ini sesuai pendapat yang diungkapkan oleh Ibbitt dan O’Donnel (t.t) bahwa masalah utama yang terkait dengan penggunaan model konseptual yang di bangun hanya cocok untuk suatu DAS tertentu, model konseptual bertolak balakang dengan model matematika, dimana model matematika dapat mensimulasikan respon dari catchment hingga curah hujan dan kejadian meteorologi lainnya memiliki beberapa tingkat realisme fisik Manley (t.t), hal ini berlaku untuk model yang mencakup satu atau lebih dari daerah aliran sungai (DAS).
Model SWAT mensimulasikan suluruh daerah aliran sungai (DAS) tidak menjadi masalah, karena model ini mrupakan model komperhensif sehingga memuat fitur-fitur khusus untuk daerah aliran sungai (DAS) dimanapun, tergantung pengguna yang menggunakan model ini dapat menyesuaikan dengan karakter daerah aliran sungai (DAS) yang akan disimulsikan. Menurut Arnold et al (1998) diacu dalam Setegn (2010) bahwa model SWAT digunakan untuk skala daerah aliran sungai (DAS) secara terus menurus dan jangka panjang, model ini dirancang untuk memprediksi dampak dari pengolahan lahan terhadap respon hidrologi, sedimentasi dalam suatu daerah aliran sungai (DAS), dan pencemaran pada daerah aliran sungai (DAS) dari aktifitas pertanian.
METODOLOGI KAJIAN
Kajian pustaka dilakukan untuk menelusuri perkembangan model SWAT yang digunakan dalam simulasi hidrologi daerah aliran sungai (DAS) yang sesuai dengan kondisi dan permasalahan di daerah aliran sungai (DAS) tersebut, sehingga dapat menarik kesimpulan tentang model SWAT dari berbagai kondisi daerah aliran sungai (DAS) yang dikaji.
PEMBAHASAN
Setegn et al., (2010) melakukan penelitian dengan menguji model SWAT untuk memprediksi sedimen di DAS Anjenigauged, Ethiopia. Masalah yang ada di di sekitar das tersebut adalah erosi tanah dan degradasi lahan yang berasal dari dataran tinggi Ethiopia. Hasil yang diperoleh Setegn et al (2010) bahwa kinerja model SWAT untuk memprediksi hasil sedimen rata-rata tahunan adalah 24,6 ton/ha. Sedangkan hasil simulasi sedimen rata-rata tahunan di peroleh 27.8 dan 29.5 ton/ha. Penelitan Setegn et al (2010) menujukan bahwa kesesuaian antara nilai yang diamati dengan hasil sedimen yang disimulasi dengan Nash-Sutcliffe efisiensi (NSE)= 0.81, persen bias (PBIAS) = 28%, RMSE-pengamatan rasio standar deviasi (RSR) = 0.23, dan koefisien determinasi (R2) = 0.86 untuk kalibrasi nilai yang diperoleh NSE = 0.79, PBIAS = 30%, RSR = 0.29, dan R2 = 0.84 .
Gambar 1. Perbandingan Antara Stremflow Bulanan pengukuran dan Simulasi Kalibrasi (atas) dan Periode Validasi (bawah) Setegn et al., (2010).
Gambar 2. Perbandingan Antara hasil sedimentasi Bulanan pengukuran dan Simulasi Kalibrasi (atas) dan Periode Validasi (bawah) Setegn et al., (2010)
Secara umum hasil simulasi menunjukkan pola tahunan yang sesuai dengan data observasi. Debit puncak aliran pada data observasi dan simulasi baik kalibrasi dan validasi terjadi pada bulan ke 20 mencapai 0.12 m3/ha, hal ini mengindikasikan bahwa pada bulan tersebut merupakan puncak curah hujan sehingga berakibat pada menigkatnya debit aliran di DAS Anjenigauged, Ethiopia. Peningkatan debit ini akan disertai dengan meningkatnya hasil sedimentasi pada DAS Anjenigauged, Ethiopia. Terlihat pada gambar 2 bahwa puncak sedimentasi terjadi pada bulan ke 20 yang mencapai sekitar 33 ton/ha untuk kalibarasi dan untuk periode validasi mencapai 20 ton/ha.
Secara keseluruhan model SWAT yang digunakan dalam mensimulasikan hasil sedimentasi di DAS Anjenigauged, Ethiopia dapat dikatakan baik artinya model SWAT dapat meniru kejadian sebernarnya, hal ini juga di dukung oleh nilai NSE sebesar 0.81, maka model SWAT untuk DAS Anjenigauged, Ethiopia dapat dikatakan baik. Penelitian Setegn et al (2010) menujukan bahwa yang mempengaruhi hasil sedimentasi tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang berpengaruh pada peningkatan debit aliran di DAS Anjenigauged, Ethiopia, tetapi juga dipengaruhi oleh hasil sedimentasi sensitif terhadap kemiringan saluran, panjang lereng dan kerapatan drainase.
Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Abbaspour et al (2007) menggunakan model SWAT untuk mensimulasi proses yang tekait dengan kualitas air, sedimen, dan hara yang berada di daerah tangkapan. Untuk mengkalibrasi model SWAT Abbaspour et al (2007) menggunakan dua langkah untuk menilai keakuratan dari kalibrasi: (1) persentase ketidakpastian prediksi 95% dihitung dengan persentil 2.5 dan 97.5 dari distribusi komulatif variabel simulasi. (2) faktor yang merupakan rasio dari jarak rata-rata antara persentil dan standar deviasi dari variabel yang diukur menunjukan kesesuaian. Hal ini menggambarkan bahwa penyelesaian secara statistik sangat baik untuk debit dan nitrat dan hasil cukup baik untuk sedimen dan fospor. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa model SWAT dinilai menjadi model yang pantas digunakan untuk menilai kualitas air dan jumlah air di suatu DAS. Hal ini dapat dilihat pada gambar 4 di bawah.
Gambar 4 Simulasi dan observasi sedimen dua mingguan di outlet DAS. Kalibrasi sedimen (1991-1995) atas, dan validasi sedimen (1996-2000) bawah. Abbaspour et al., (2007).
Gambar 4 di atas memberikan informasi bahawa hasil simulasi dan observasi sedimen setelah validasi memberikan nilai persentasi yang bagus yaitu 85 % artinya adalah model SWAT yang digunakan menunjukan keakuratan dalam mensimulasikan sedimen dan mnghasilkan nilai d-faktor 0.73 artinya pada saat di validasi rasio dari jarak rata-rata antara persentil dan standar deviasi dari sedimen yang diukur sudah sesuai baik observasi maupun simulasi, maka dapat dikatakan model SWAT dapat meniru kondisi sesungguhnya dari variabel sedimen yanf diukur.
Gambar 5 Simulasi dan observasi dua mingguan total fosfor yang dibawa oleh sungai di outlet DAS. Kalibrasi total fosfor (1991-1995) atas, dan validasi fosfor total (1996-2000) bawah. Abbaspour et al., (2007)
Gambar 5 di atas menunjukan bahwa variabel fosfor yang diukur setelah di validasi menunjukan nili d-faktor lebih kecil dari pada nilai kalibrasi, sedangkan untuk data pengukuran oleh 95PPU mengalami penurunan sebesar 6%. Tetapi pada simulasi fosfor yang terdapat pada DAS bisa dikatakan baik.
Gambar 6 Simulasi dan observasi dua mingguan total nitrat yang dibawa oleh sungai di outlet DAS. Kalibrasi total nitrat (1991-1995) atas, dan validasi nitrat total (1996-2000) bawah. Abbaspour et al. (2007)
Sedangkan pada gambar 6 di atas menunjukan nilai data pengukuran oleh 95PPU mengalami kenaikan dari kalibrasi sebesar 82% menjadi 84% pada saat di validasi artinya simulasi kandungan nitrat di DAS memberikan hasil yang baik. Secara keseluruhan penggunaaan model SWAT dalam mensimulasikan kondisi DAS untuk melihat kualias air, menunjukan ada hubungan antara jumlah sedimentasi dengan jumlah kandungan fosfor dan nitrat di DAS. Semakin tinggi sedimentasi maka jumlah kandungan fosfor dan nitrat juga semakin tinggi, karena peningkatan jumlah sedimentasi disebabkan tingginya jumlah debit air yang membawa fosfor dan nitrat yang terdapat didalam tanah.
KESIMPULAN
Berdasrakan hasil pembahasan dan studi literatur dapat disimpulkan bahwa, penggunaan model SWAT dalam mensimulasi sedimentasi dan kualitas air memberikan hasil yang baik pada dua karakter DAS yang berbeda. Sehingga hasil ini dapat membantah terori yang di ungkapakan oleh Ibbitt dan O’Donnel (t.t) bahwa masalah utama yang terkait dengan penggunaan model konseptual yang di bangun hanya cocok untuk suatu DAS tertentu. Karena model SWAT merupakan model konseptual maka pendapat dari Ibbitt dan O’Donnel (t.t) tidak berlaku untuk model SWAT . Fitur-fitur dari model SWAT sangat komperhensif maka dapat digunakan pada kondisi DAS dimanapun.
REFERENSI
Abbaspour KC et al. 2007. Modelling Hydrology and Water Quality In The Pre-Alpine/Alpine Thur Watershed Using SWAT. Journal of Hydrology. 333: 413– 430.
Ibbitt RP, O’Donnel T. tanpa tahun. Designing Conceptual Catchment Models For Automatic Fitting Methods: hlm 461-475.
Manley RE. tanpa tahun. A Hydrological Model With Physically Realistic Parameters: hlm 154-161.
Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, Williams JR. 2002. Soil and Water Assessment Tool User’s Manual Version 2000. Texas Water Resources Institute. College Station: Texas.
Setegn SG, Dargahi B, Srinivasan R, Melesse AM. 2010. Modeling Of Sediment Yield From Anjeni-Gauged Watershed, Ethiopia Using SWAT Model. Journal Of The American Water Resources Association. Vol 46. No 3: 514-526.
Karakteristik Model HBV
Model konseptual berdasarkan konsep Model HBV disajikan untuk tujuan hidrologi Model HBV dipilih terutama karena pendekatan konseptual di mana proses hidrologi yang disederhanakan untuk algebraic fungsi dan dengan demikian, perhitungan yang diperlukan dapat dengan mudah dilakukan di Excel spreadsheet. Model HBV pada awalnya dikembangkan oleh bagian water balance dari Swedish Meteorological and Hydrological Institute (SMHI) untuk memprediksi aliran air yang masuk pada tahun 1970. Model HBV tersedia sebagai suatu model dalam berbagai versi yang bervariasi. HBV dapat digunakan sebagai suatu distribusi atau model semi-distribusi dengan membagi DAS ke sub-DAS. Dalam model HBV, diasumsikan bahwa daerah kajian (DAS) adalah satu unit tunggal (zona) dan parameter tidak berubah secara spasial di seluruh DAS. Model HBV terdiri dari empat parameter utama: 1) akumulasi curah hujan, 2) kelembaban tanah dan presipitasi efektif, 3) evapotranspirasi, 4) runoff.
Model ini memiliki sejumlah parameter, yang nilainya ditemukan oleh kalibrasi. Ada juga parameter yang menggambarkan karakteristik DAS dan iklimnya sejauh mungkin yang tidak tersentuh selama kalibrasi model. Penggunaan subDAS memungkinkan untuk memiliki sejumlah nilai parameter untuk seluruh DAS. Gambar 1 menggambarkan proses umum dari versi sederhana dari model HBV. Model ini dapat dijalankan pada waktu harian atau bulanan; input data yang dibutuhkan meliputi deret waktu pengamatan curah hujan dan suhu pada setiap waktu, dan perkiraan suhu jangka panjang bulanan rata-rata dan tingkat evapotranspirasi potensial.
Gambar 1. Struktur umum versi SMHI dari model HBV bila diterapkan pada salah satu DAS
Curah hujan kemudian diproses dalam kelembaban tanah di mana curah hujan efektif memberikan kontribusi terhadap limpasan permukaan. Bagian sisa curah hujan memberikan kontribusi untuk kelembaban tanah dengan sendirinya akan menguap selama ada kadar air yang cukup di bawah permukaan. Hasil utama dari model tersebut adalah debit limpasan pada outlet DAS yang memiliki tiga komponen: limpasan permukaan, interflow (kontribusi dari aliran permukaan) dan baseflow (kontribusi dari aliran air tanah). Model ini memiliki sejumlah parameter yang harus dikalibrasi berdasarkan pengamatan. Berikut ini uraian setiap parameter secara singkat.
1. Curah hujan dan akumulasi curah hujan
Curah hujan yang jatuh kepermukaan dan terakumulasi diasumsikan berbanding lurus dengan suhu. Parameter pertama adalah suhu ambang (Tt). Pengaturan suhu Tt awal untuk nol derajat Celcius (32 derajat Fahrenheit) adalah asumsi awal yang wajar. Pengaturan awal suhu (Tt) adalah nol derajat Celcius (32 derajat Fahrenheit) merupakan asumsi awal. Jika peristiwa presipitasi terjadi ketika suhu di bawah Tt kemudian curah hujan terakumulasi, jika input presipitasi diasumsikan sebagai curah hujan. Selama suhu tetap di bawah suhu ambang, input presipitasi tidak memberikan kontribusi terhadap limpasan. Namun, setelah suhu melebihi ambang batas, presipitasi mulai berkontribusi terhadap limpasan. Dalam model ini Persamaan 1 digunakan untuk memperkirakan tingkat curah hujan :
Sm = DD x (T - Tt)
Dimana: Sm = curah hujan (LT-1); DD = factor tingkatan hari (Lθ-1T-1); T = suhu udara harian (θ); Tt = ambang batas suhu (θ); Parameter empiris faktor tingkatan hari (DD) menunjukkan penurunan kandungan air dalam curah hujan yang disebabkan oleh 1 derajat di atas ambang titik beku dalam satu hari.
2. Kelembaban tanah dan presipitasi efektif
Air hujan jatuh di atas daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi dua komponen: pertama memberikan kontribusi untuk infiltrasi ke zona tanah, dan komponen kedua kontribusi untuk limpasan permukaan. Komponen kedua, biasanya dikenal sebagai presipitasi efektif, diperkirakan oleh HBV berdasarkan kadar air tanah pada saat curah hujan. Field capacity (FC) adalah parameter yang menggambarkan penyimpanan kelembaban tanah maksimum dalam zona bawah permukaan. Umumnya, semakin tinggi jumlah kadar air tanah pada saat presipitasi, semakin banyak kontribusi dari presipitasi menjadi limpasan. Ketika kadar air tanah mendekati Field capacity (FC), infiltrasi dapat mengurangi kontribusi curah hujan untuk peningkatan produksi limpasan. Persamaan menghitung presipitasi efektif sebagai fungsi dari kadar air tanah adalah sebagai berikut:
Dimana: Peff = presipitasi efektif (L); SM = kelembaban tanah actual (L); FC= kapasitas maksimum penyimpanan tanah (L); P = presipitasi harian (L); β = parameter model (koefisien bentuk) (-). Untuk defisit kelembaban tanah yang diberikan (diukur dengan rasio SM/FC), parameter β yang dikenal sebagai koefisien bentuk mengontrol jumlah air (P + Sm) yang memberikan kontribusi untuk limpasan.
Gambar 2. Hubungan antara kelembaban tanah, kapasitas lapangan, koefisien bentuk β dan koefisien limpasan
Gambar 2 plot hubungan antara kelembaban tanah, kapasitas lapangan, koefisien bentuk β dan koefisien limpasan yang didefinisikan sebagai rasio dari presipitasi efektif dengan kedalaman air total yang tersedia (Peff/(P + Sm)). Grafik menunjukkan bahwa untuk jumlah tertentu kelembaban tanah, β semakin tinggi, koefisien limpasan semakin rendah. Selain itu, kelembaban tanah (SM) mendekati kapasitas lapang (FC), koefisien limpasan mengalami peningkatan. Baik kapasitas lapangan (FC) dan koefisien bentuk (β) digunakan sebagai parameter kalibrasi. Perlu dicatat bahwa koefisien limpasan dan kelembaban tanah tidak konstan dan berubah secara dinamis selama simulasi.
3. Evapotranspirasi
Untuk menghitung evapotranspirasi aktual di DAS, perlu menyediakan model sebagai input jangka panjang evapotranspirasi potensial bulanan rata-rata (PEm, m = 1 - 12). Untuk setiap hari dalam jangka waktu simulasi, evapotranspirasi potensial dihitung dengan mengurangi nilai potensial berdasarkan selisih antara suhu rata-rata di siang hari dan suhu jangka panjang bulanan rata-rata:
PEa = (1 + C (T - Tm)). PEm
Dimana: PEa = evapotranspirasi potensial (L); T = suhu arian (θ); Tm = suhu bulanan rata-rata (θ); PEm= evapotranspirasi potensial bulanan (L); C = parameter model (1/θ).
Parameter model (C) yang digunakan untuk meningkatkan kinerja model ketika suhu harian rata-rata menyimpang dari jangka panjang artinya kelembaban tanah dan perhitungan evapotranspirasi aktual digabungkan melalui penggunaan Titik layu permanen (PWP). Persamaan di bawah ini menunjukkan hubungan antara kelembaban tanah dan evapotranspirasi aktual:
Dimana Ea : evapotranspirasi actual (L), PWP : titik layu permanen (L). Persamaan di atas menunjukkan bahwa ketika kelembaban tanah di atas PWP evapotranspirasi aktual terjadi pada tingkat yang sama dengan evapotranspirasi potensial. PWP adalah kelembaban tanah batas untuk evapotranspirasi, artinya bahwa ketika kelembaban tanah kurang dari PWP evapotranspirasi aktual lebih kecil. Dengan kata lain, Persamaan di atas mengurangi jumlah evapotranspirasi karena kurangnya ketersediaan kelembaban tanah di bawah PWP. Gambar 3 menggambarkan hubungan antara evapotranspirasi aktual dan PWP yang dijelaskan dalam Persamaan di atas.
Gambar 3. Hubungan antara evapotranspirasi actual dan PWP
Gambar di atas menunjukkan bahwa ketika PWP mendekati kapasitas lapangan, evapotranspirasi aktual akan lebih tinggi dan sebaliknya berdasarkan pengamatan parameter model C dan PWP dapat diperkirakan melalui kalibrasi model.
4. Runoff
Bagian ini memperkirakan limpasan di outlet DAS berdasarkan konsep reservoir. Sistem ini terdiri dari dua waduk, secara skematis digambarkan pada Gambar. 4. Waduk pertama memodelkan aliran permukaan, sedangkan waduk kedua digunakan untuk mensimulasikan aliran dasar (kontribusi air tanah).
Gambar. 4 Konseptual waduk digunakan untuk memperkirakan respon limpasan
Dari sudut pandang temporal, waduk pertama dan kedua mensimulasikan proses bawah permukaan. Waduk secara langsung terhubung satu sama lain melalui penggunaan tingkat perkolasi konstan (Qperc). Seperti ditunjukkan dalam gambar, ada dua outlet (Q0 dan Q1) satu di setiap waduk. Bila tingkat air di reservoir atas melebihi nilai ambang L, limpasan terjadi dengan cepat dari waduk atas (Q0).