ARSIP BULANAN : May 2017

Ma'rifatullah: Jenis-Jenis Awan

07 May 2017 12:46:21 Dibaca : 9325

Luke Howard, seorang naturalis berkebangsaan Inggris membagi awan berdasarkan ketinggian dan bentuknya. Awan Cirrus, Cirrocumulus, dan Cirrostratus merupakan awan pada ketinggian 6000 meter), terdiri dari Kristal es. Meski tidak dapat menimbulkan hujan, ketinggiannya dapat menimbulkan daerah daerah bertekanan rendah (depresi) ketika ketebalnnya bertambah. Awan Altrostatus dan Altocomulus, adalah awan dengan ketinggian sedang (2000-6000 meter) terdiri dari campuran butir hujan dan kristal es. Sedangkan awan pada ketinggian rendah terdiri dari awan Nimbostratus, Stratocumulus, dan staratus ketinggian tidak lebih dari 2000 meter dan terbentuk dari butir hujan.


Sebelum ada penelitian-penelitian tentang fenomena ini, Allah SWT telah berfirman dalam Al- Quran Surah An-Nur [24]: 43;

 

 

 

 

 

 

 

"Tidaklah kamu melihat bahwa allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagiannya), kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-nya dan dipalingkan-nya dari siapa yang dikehendaki-nya. kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan."

Iman Ath-Thabari menafsirkan ayat ini: Allah berfirman kepada Rasulullah “Wahai Muhammad, tidaklah kamu melihat, bahwa Allah mengarak awan sesuai keinginan-Nya…” Sementara kata yuzji pada ayat ini memiliki makna yasuqu (menggiring, mengarahkan, mengendalikan). Imam Ath-Thabari juga menjelaskan makna kata sahaban (awan) adalah bentuk jamak. Artinya, tidak hanya ada satu awan. Ibnu Katsir menjelaskan kata Yaj’aluhu rukaman (menjadikan bertumpuk-tumpuk), tersusun sehingga membentuk suatu tumpukan awan. Setelah ada penjelasan tentang rukaman, baru datang setelahnya kalimat fatara al-wadqa (maka kelihatan olehmu hujan).

Berdasarkan penelitian tentang perilaku awan yang menyebabkan terjadinya hujan, khususnya pada awan Cumulonimbus dan Cumulus. Hujan akan terjadi hanya jika pembentukan vertikalnya sangat tinggi. Kedua awan ini dapat membentang sampai beberapa kilometer dalam ketinggian, dalam posisi saling bertumpuk. Awan Cumulonimbus berada diatas dan awan cumulus berada dibawah. Hal ini terbentuk oleh hembusan angin yang bergerak ke atas.

Allah menciptakan alam semesta dan memberi isyarat tentang berbagai rahasia kesempurnaan sistem-Nya, tetapi hanya sedikit yang mampu diungkap oleh manusia.

Sumber:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemanasan Global, Cuaca dan Iklim Ekstrim

03 May 2017 13:23:50 Dibaca : 1178

Kondisi cuaca ekstrim terjadi pada tingkat peningkatan yang dibuktikan dengan frekuensi yang lebih tinggi dari badai dan lebih ekstrim curah hujan dan anomali suhu. Kejadian iklim ekstrim yang juga disebut kejadian cuaca ekstrim atau peristiwa meteorologi ekstrim dalam literatur klimatologi dan meteorologi, jarang terjadi atau peluang kejadiannya 5% atau kurang dari waktu yang diukur dari distribusi yang diharapkan dari variabel iklim tersebut (e.g. http://www.emc.ncep.noaa.gov). Namun, sebagian besar ilmuan dan peneliti mengatakan bahwa curah hujan menjadi indikator kejadian cuaca dan iklim ekstrim. Menurut Li et al (2011) kondisi iklim saat ini menghasilkan karakteristik cukup heterogen terhadap respon curah hujan ekstrim dan perubahan iklim di masa depan. Mekanisme pemanasan global yang menyebabkan perubahan frekuensi dan intensitas curah hujan di daerah tropis. Dalam pemanasan global, curah hujan tropis cenderung lebih sering dan ekstrim.

Perubahan frekuensi curah hujan oleh komponen termodinamika dan dinamis. Komponen termodinamika diinduksi oleh perubahan uap air di atmosfer, sedangkan komponen dinamis dikaitkan dengan perubahan gerak vertikal. Dalam kontribusi termodinamika, peningkatan uap air mengurangi besarnya gerak vertikal yang diperlukan untuk menghasilkan kekuatan yang relatif sama dengan curah hujan, sehingga frekuensi curah hujan meningkat. Peningkatan uap air juga mengintensifkan curah hujan akibat peningkatan ketersediaan uap air di atmosfer. Dalam kontribusi dinamis, kondisi lebih stabil dan cenderung mengurangi frekuensi dan intensitas curah hujan Chou et al (2012).

Pemanasan global dan ENSO berdampak pada kondisi meteorologi di suatu wilayah yang dilaluinya. Giorgi et al (2011) mempublikasikan bahwa suatu ukuran dari intensitas hydroclimatic (HY-INT) yang mengintegrasikan antara pengukuran intensitas curah hujan dan musim kering, keduanya memperlihgatkan respon terhadap pemanasan global yang saling berhubungan. Dalam penelitian Giorgi et al (2011) ditemukan bahwa intensitas curah hujan meningkat karena kapasitas air di atmosfer miningkat. Namun, peningkatan curah hujan rata-rata terkait dengan tingkat kenaikan evaporasi lebih rendah daripada kelembaban atmosfer. Hal ini menyebabkan pengurangan jumlah hari basah dan peningkatan jangka waktu musing kering, analisis Giorgi et al (2011) peningkatan intensitas hydroclimatic (HY-INT) sebagai respon terintegrasi kuat dengan pemanasan global.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa curah hujan akan meningkat atau bahakan menjadi ekstrim pada kondisi pemanasan global karena atmosfer dapat menampung lebih banyak uap air sebagai akibat dari pemanasan di permukaan bumi. Dengan pernyataan tersebut terindikasi bahwa pemanasan global dan intensitas curah hujan berkaitan erat. Namun, sejauh mana pola curah hujan akan berubah di masa depan masih belum jelas, walaupun telah banyak metode yang digunakan untuk menskenariokan pola curah hujan di masa depan, hal ini belum menjamin bahwa skenario prediksi curah akan menceminkan pola curah hujan dan pemanasan global dimasa mendatang atau dengan durasi seratus tahun kedepan.

Kejadian pemanasan global dan curah hujan ekstrim haya bisa kita rasakan atau bisa di prediksi dengan pasti dalam jangka waktu kurang lebih 1-5 tahun kedepan. Sehingga penanggulangan risiko dari kejadian tersebut dapat segera dilakukan terutama pada saat terjadinya hujan dan banjir yang berdampak pada beberapa aspek seperti pertanian, transportasi, dll.

Referansi:

Chou C, Chen CA, Ting Chen K, Tan PH. 2012. Mechanisms for Global Warming Impacts on Precipitation Frequency and Intensity. Jouranal Of Climate 25: 3291-3306.

Giorgi F et al. 2011. Higher Hydroclimatic Intensity with Global Warming. Jouranal Of Climate 24: 5309-5324.

Li F, Collins WD, Wehner MF, Williamson DL, Olson JG. 2011. Response Of Precipitation Extremes To Idealized Global Warming In An Aqua-Planet Climate Model: Towards A Robust Projection Across Different Horizontal Resolutions. Dynamic Meteorology And Oceanography 63(A): 876–883.

 

Review: Biotic Pump

03 May 2017 12:16:07 Dibaca : 464

Biotic pump merupakan suatu hipotesis dan paradigma baru dalam dunia sains khususnya masalah yang tekait dengan iklim, hidrologi, dan biodiversitas. Jika kita mencermati lebih dalam masalah yang terjadi dimuka bumi tidak telepas dari persoalan iklim, hidrologi, dll. Melalui hipotesis baru yang di ungkapkan oleh Makarieva dan Gorshkov menganai Biotic Pump, bukan merupakan suatu hal yang mustahil masalah yang telah disebutkan dapat teratasi melalui penerapan Biotic Pump.

Oleh Douglas Sheil dan Daniel Murdiyarso hipotesis ini dapat diyakini oleh banyak orang khusus ilmuan, jika Biotic Pump di dudukung oleh peran hutan dalam menjaga stabilitas yang terjadi, baik di permukaan maupun di atmosfer khususnya proses hidrologi. Seperti yang kita ketahui bahwa peran hutan tidak terlepas dari mengatasi masalah perubahan iklim yang menyebabkan kondisi iklim itu sendiri cenderung fluktuatif.

Jika dilihat secara cermat bahwa hubungan antara Biotic Pump dan hutan memiliki banyak aspek yang dapat di jadikan objek kajian yang menarik bagi setiap peneliti. Dari sekian aspek yang terlibat dalam Biotic Pump dan hutan, salah satu yang menarik untuk di kaji yaitu dari aspek iklim. Dimana komponen biotik seperti tumbuhan dan organisme lain yang hidup didalamnya sangat mempengaruhi komponen abiotik seperti suhu, kelembaban, air dll yang notabene nya merupakan beberapa unsur iklim, dimana pada proses interaksi komponen biotik dan abiotik melibatkan peran fisika dapat terjadi pada interkasi tersebut seperti; terjadinya perpindahan energi, dan transfer momentum.

Peristiwa perpindahan energi dan transfer momentum yang terjadi dalam ekosistem tersebut, ketika tanaman atau hewan yang terkena radiasi, energi yang diserap oleh tanaman dan hewan dapat digunakan dalam tiga cara: untuk pemanasan, untuk penguapan, dan reaksi fotokimia (Monteith dan Unsworth, 1990). Neraca energi permukaan pada hutan berbeda dengan daerah sekitarnya karena pebedaan tutupan lahan dan karakteristik permukaan.

Peran hutan dapat mengubah struktur angin vertikal dan horizontal dalam beberapa cara yaitu mengubah gaya dan tekanan yang menimbulkan agin. Variasi ketinggian tanaman dapat memperbesar turbulen sehingga memperkuat konveksi. Ketika angin berhembus kuat, tanaman-tanaman yang terdapat di lingkungan tersebut akan menjadi alasan terhadap variasi dari kecepatan angin tersebut. Tanaman dengan berbagai ketinggian akan memperlambat kecepatan agin sehingga menciptakan variasi angin.

Peran hutan juga dapat melibatkan peristiwa evaporasi dan transpirasi. Evaporasi menjadi proses penting dalam siklus hidrologi, karena melalui proses evaporasi air di permukaan bumi dapat dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk uap air. Kemudian uap air ini akan terkondensasi di atmosfer dan turun kembali sebagai hujan. Jika kita mengamati persoalan yang muncul di Indonesia yang beriklim tropis lebih banyak terjadi di perkoataan maka perlu menerapkan urban forest yang merupakan strategi mengurangi Uraban Heat Island.

 

 

Review: Pola Curah Hujan Indonesia

03 May 2017 12:04:54 Dibaca : 794

Banyak penelitian telah menunjukan hubungan erat antara variabilitas curah hujan di wilayah yang sering terkena kejadian El Nino and Southern Oscillation (ENSO). Wilayah yang ada di yang termasuk pada wilyah yang sering terjadi kejadian ENSO berada pada wilayah pasifik tropis seperti Indonesia dan Australia yang selalu konsisten dengan kejadian ENSO. Kejadian El Nino lebih identik dengan kemarau atau musim kering yang ditandai dengan penurunan intensitas curah hujan di wilayah equatorial. Sedangkan kejadian La Nina yang lebih identik dengan musim hujan yang ditandai dengan tingginya intensitas curah hujan, sehingga sangat rentan terhadap kejadian banjir. Sebagian besar peneliti mengatakan variabilitas curah hujan tidak hanya berkaitan dengan kejadian ENSO yang erar kaitannya dengan SST, tetapi juga ada kaitannya dengan fase dari Southern Oscillation index (SOI).

Musim curah hujan di Australia Timur terkait erat dengan SST di Pasifik tengah dan Hindia, serta perairan disekitar Indonesia (Murphy dan Ribbe 2003). Southern Oscillation index (SOI) dan curah hujan di timur laut Australia sangat berhubungan sejak abad ke-20, kecuali selama periode 1930-1945 ketika itu hubungannya terbalik. Selama periode ini suhu rata-rata global permukaan lebih hangat dari pada periode lainnya dan hubungan ENSO dengan curah hujan jauh lebih lemah. Anomali SST di garis lintang bagian tengah samudra Pasifik lebih kuat. Susanti (2009) mengatakan bahwa hubungan yang paling dekat antara indikator iklim global dan curah hujan di Indonesia adalah SST di zona Nino 3.4 dan peralihan (Agustus-November). Korelasi negatif antara SST dan curah hujan menunjukan peningkatan anomali SST yang menyebabkan penurunana curah hujan pada periode Agustus-November.

Terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh Aldrian dan Susanto 2003 yang pada intinya membagi wilayah Indonesia menjadi tiga wilayah curah hujan yang dominan yang dan hubungannya dengan SST, penelitian yang dilakukan Aldrian dan Susanto 2003 dari segi metode yang digunakan sudah tepat dengan menggunakan data curah hujan periode 1961-1990, akan tetapi untuk melihat tiga wilayah curah hujan di Indonesia lebih lengkap jika di hubungkan dengan SOI, karena SOI oleh sebagian besar peneliti berpengaruh terhadap pola curah hujan. Sehingga hasil yang diperoleh dalam mengidentifikasi tiga wilayah curah hujan di Indonesia yaitu wilayah yang sudah sering terjadi kejadian ENSO, wilayah tersebut diantara pulau Jawa dan wilayah-wilayah lain yang jarang terkena kejadian ENSO pola curah hujan yang dihasilkan pun tidak signifikan. Tipe hujan monsun sangat dipengaruhi oleh sirkulasi monsun dengan puncak curah hujan berada pada bulan Desember, Januari, dan Februari dan curah hujan terendah terjadi pada Juni, Juli, dan Agustus.

Sedangakan pada daerah yang memilki pola wilayah anti monsun berpola kebalikan dengan tipe hujan monsun dalam arti waktu terjadinya periode curah hujan maksimum dan minimun di daerah Sulawesi Tengah bagian timur, Maluku, dan bagian utara Papua. Jika di cermati wilayah-wilayah di daerah anti monsun kurang dipengatuhi oleh SST. Untuk wilyah yang memiliki tipa hujan equatorial memiliki Pola hujan tipe dua puncak terdapat disekitar ekuator dari pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dalam berbagai literatur lebih dominan di pengaruhi oleh DMI (Dipole Mode Index) yang tidak memiliki keterkaitan dengan ENSO dan SOI. Dalam penelitian ini juga tidak diketahui zona nino yang digunakan dalam pewilayahahan curah hujan di Indonesia.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan, dalam membagi wilayah Indonesia menjadi tiga tipe tidak hanya dihubungkan dengan SST, tetapi juga perlu di hubungkan dengan SOI dan DMI, agar dapat diketahui dengan pasti wilayah Indonesia sangat di pengaruhi oleh SST, SOI, atu DMI.