Review: Biotic Pump

03 May 2017 12:16:07 Dibaca : 465

Biotic pump merupakan suatu hipotesis dan paradigma baru dalam dunia sains khususnya masalah yang tekait dengan iklim, hidrologi, dan biodiversitas. Jika kita mencermati lebih dalam masalah yang terjadi dimuka bumi tidak telepas dari persoalan iklim, hidrologi, dll. Melalui hipotesis baru yang di ungkapkan oleh Makarieva dan Gorshkov menganai Biotic Pump, bukan merupakan suatu hal yang mustahil masalah yang telah disebutkan dapat teratasi melalui penerapan Biotic Pump.

Oleh Douglas Sheil dan Daniel Murdiyarso hipotesis ini dapat diyakini oleh banyak orang khusus ilmuan, jika Biotic Pump di dudukung oleh peran hutan dalam menjaga stabilitas yang terjadi, baik di permukaan maupun di atmosfer khususnya proses hidrologi. Seperti yang kita ketahui bahwa peran hutan tidak terlepas dari mengatasi masalah perubahan iklim yang menyebabkan kondisi iklim itu sendiri cenderung fluktuatif.

Jika dilihat secara cermat bahwa hubungan antara Biotic Pump dan hutan memiliki banyak aspek yang dapat di jadikan objek kajian yang menarik bagi setiap peneliti. Dari sekian aspek yang terlibat dalam Biotic Pump dan hutan, salah satu yang menarik untuk di kaji yaitu dari aspek iklim. Dimana komponen biotik seperti tumbuhan dan organisme lain yang hidup didalamnya sangat mempengaruhi komponen abiotik seperti suhu, kelembaban, air dll yang notabene nya merupakan beberapa unsur iklim, dimana pada proses interaksi komponen biotik dan abiotik melibatkan peran fisika dapat terjadi pada interkasi tersebut seperti; terjadinya perpindahan energi, dan transfer momentum.

Peristiwa perpindahan energi dan transfer momentum yang terjadi dalam ekosistem tersebut, ketika tanaman atau hewan yang terkena radiasi, energi yang diserap oleh tanaman dan hewan dapat digunakan dalam tiga cara: untuk pemanasan, untuk penguapan, dan reaksi fotokimia (Monteith dan Unsworth, 1990). Neraca energi permukaan pada hutan berbeda dengan daerah sekitarnya karena pebedaan tutupan lahan dan karakteristik permukaan.

Peran hutan dapat mengubah struktur angin vertikal dan horizontal dalam beberapa cara yaitu mengubah gaya dan tekanan yang menimbulkan agin. Variasi ketinggian tanaman dapat memperbesar turbulen sehingga memperkuat konveksi. Ketika angin berhembus kuat, tanaman-tanaman yang terdapat di lingkungan tersebut akan menjadi alasan terhadap variasi dari kecepatan angin tersebut. Tanaman dengan berbagai ketinggian akan memperlambat kecepatan agin sehingga menciptakan variasi angin.

Peran hutan juga dapat melibatkan peristiwa evaporasi dan transpirasi. Evaporasi menjadi proses penting dalam siklus hidrologi, karena melalui proses evaporasi air di permukaan bumi dapat dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk uap air. Kemudian uap air ini akan terkondensasi di atmosfer dan turun kembali sebagai hujan. Jika kita mengamati persoalan yang muncul di Indonesia yang beriklim tropis lebih banyak terjadi di perkoataan maka perlu menerapkan urban forest yang merupakan strategi mengurangi Uraban Heat Island.

 

 

Review: Pola Curah Hujan Indonesia

03 May 2017 12:04:54 Dibaca : 795

Banyak penelitian telah menunjukan hubungan erat antara variabilitas curah hujan di wilayah yang sering terkena kejadian El Nino and Southern Oscillation (ENSO). Wilayah yang ada di yang termasuk pada wilyah yang sering terjadi kejadian ENSO berada pada wilayah pasifik tropis seperti Indonesia dan Australia yang selalu konsisten dengan kejadian ENSO. Kejadian El Nino lebih identik dengan kemarau atau musim kering yang ditandai dengan penurunan intensitas curah hujan di wilayah equatorial. Sedangkan kejadian La Nina yang lebih identik dengan musim hujan yang ditandai dengan tingginya intensitas curah hujan, sehingga sangat rentan terhadap kejadian banjir. Sebagian besar peneliti mengatakan variabilitas curah hujan tidak hanya berkaitan dengan kejadian ENSO yang erar kaitannya dengan SST, tetapi juga ada kaitannya dengan fase dari Southern Oscillation index (SOI).

Musim curah hujan di Australia Timur terkait erat dengan SST di Pasifik tengah dan Hindia, serta perairan disekitar Indonesia (Murphy dan Ribbe 2003). Southern Oscillation index (SOI) dan curah hujan di timur laut Australia sangat berhubungan sejak abad ke-20, kecuali selama periode 1930-1945 ketika itu hubungannya terbalik. Selama periode ini suhu rata-rata global permukaan lebih hangat dari pada periode lainnya dan hubungan ENSO dengan curah hujan jauh lebih lemah. Anomali SST di garis lintang bagian tengah samudra Pasifik lebih kuat. Susanti (2009) mengatakan bahwa hubungan yang paling dekat antara indikator iklim global dan curah hujan di Indonesia adalah SST di zona Nino 3.4 dan peralihan (Agustus-November). Korelasi negatif antara SST dan curah hujan menunjukan peningkatan anomali SST yang menyebabkan penurunana curah hujan pada periode Agustus-November.

Terkait dengan penelitian yang dilakukan oleh Aldrian dan Susanto 2003 yang pada intinya membagi wilayah Indonesia menjadi tiga wilayah curah hujan yang dominan yang dan hubungannya dengan SST, penelitian yang dilakukan Aldrian dan Susanto 2003 dari segi metode yang digunakan sudah tepat dengan menggunakan data curah hujan periode 1961-1990, akan tetapi untuk melihat tiga wilayah curah hujan di Indonesia lebih lengkap jika di hubungkan dengan SOI, karena SOI oleh sebagian besar peneliti berpengaruh terhadap pola curah hujan. Sehingga hasil yang diperoleh dalam mengidentifikasi tiga wilayah curah hujan di Indonesia yaitu wilayah yang sudah sering terjadi kejadian ENSO, wilayah tersebut diantara pulau Jawa dan wilayah-wilayah lain yang jarang terkena kejadian ENSO pola curah hujan yang dihasilkan pun tidak signifikan. Tipe hujan monsun sangat dipengaruhi oleh sirkulasi monsun dengan puncak curah hujan berada pada bulan Desember, Januari, dan Februari dan curah hujan terendah terjadi pada Juni, Juli, dan Agustus.

Sedangakan pada daerah yang memilki pola wilayah anti monsun berpola kebalikan dengan tipe hujan monsun dalam arti waktu terjadinya periode curah hujan maksimum dan minimun di daerah Sulawesi Tengah bagian timur, Maluku, dan bagian utara Papua. Jika di cermati wilayah-wilayah di daerah anti monsun kurang dipengatuhi oleh SST. Untuk wilyah yang memiliki tipa hujan equatorial memiliki Pola hujan tipe dua puncak terdapat disekitar ekuator dari pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dalam berbagai literatur lebih dominan di pengaruhi oleh DMI (Dipole Mode Index) yang tidak memiliki keterkaitan dengan ENSO dan SOI. Dalam penelitian ini juga tidak diketahui zona nino yang digunakan dalam pewilayahahan curah hujan di Indonesia.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan, dalam membagi wilayah Indonesia menjadi tiga tipe tidak hanya dihubungkan dengan SST, tetapi juga perlu di hubungkan dengan SOI dan DMI, agar dapat diketahui dengan pasti wilayah Indonesia sangat di pengaruhi oleh SST, SOI, atu DMI.