ARSIP BULANAN : October 2024

Tindakan Preventif Orientasi Sexual Menyimpang Sejak Usia Dini

Oleh: Maryam Rahim

            Saat ini perilaku orientasi sexual yang menyimpang yang dikenal dengan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) semakin marak di Indonesia. Kelompok ini tidak hanya diam, mereka mulai melakukan upaya penyebarluasan anggota melalui media sosial, yang tentu saja sangat berbahaya khususnya bagi generasi muda. Kondisi ini jika dibiarkan berlarut tanpa upaya yang maksimal, maka bahaya itu akan semakin besar. Telah banyak dilakukan upaya pencegahan dan juga penyelesaian masalah berupa pembinaan bagi yang telah terpapar, namun belum memberikan hasil yang diharapkan. Atas dasar kondisi itulah dianggap perlu melakukan tindakan preventif sejak usia dini.

            Orientasi seksual menyimpang mengacu pada perilaku seksual atau preferensi seksual yang tidak sejalan dengan norma atau standar moral, sosial, atau agama tertentu, terutama dalam konteks agama Islam. Beberapa bentuk orientasi seksual yang populer dikenal adalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Dalam Islam, orientasi seksual yang dianggap menyimpang adalah setiap bentuk perilaku seksual yang melanggar ketentuan syariat, terutama yang menyimpang dari hubungan heteroseksual yang sah (yaitu antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan). Islam mengajarkan bahwa hubungan sexual hanya boleh dilakukan dalam pernikahan antara laki-laki dan perempuan, dan setiap bentuk hubungan seksual di luar itu dianggap melanggar hukum agama dan moralitas.

            Tindakan preventif untuk mengatasi orientasi sexual yang menyimpang sejak usia dini membutuhkan pendekatan yang holistik, melibatkan peran keluarga, sekolah dan masyarakat  dalam bentuk penguatan spiritual dan moral. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah orientasi sexual menyimpang sejak usia dini, antara lain adalah:

1. Pendidikan sexual yang tepata. Memberikan pengajaran yang sesuai dengan usia anak. Sejak dini, anak-anak harus diberikan pendidikan tentang sexualitas yang sesuai dengan usia mereka, dengan fokus pada pemahaman tentang tubuh, identitas gender, dan perbedaan antara jenis kelamin. Pendidikan ini perlu disampaikan dengan cara yang positif dan informatif.

b. Penanaman nilai moral dan agama. Pendidikan sexual yang diintegrasikan dengan nilai-nilai moral dan agama dapat memberikan kerangka berpikir yang lebih kuat bagi anak tentang makna sexualitas dalam konteks agama dan etika.2. Lingkungan keluarga yang sehata.  Pendidikan dari orang tua. Orang tua memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai tentang sexualitas yang benar. Memberikan pengetahuan dasar tentang identitas gender dan peran jenis kelamin sejak dini akan membantu anak memahami batasan dan nilai yang baik.

b. Menyediakan komunikasi terbuka. Anak harus merasa nyaman berbicara dengan orang tua tentang berbagai hal, termasuk tentang perubahan fisik dan emosional. Komunikasi terbuka ini akan mencegah anak mendapatkan informasi yang salah dari lingkungan luar.3. Lingkungan sosial yang positifa. Penguatan peran lingkungan sekolah dan teman sebaya. Sekolah dan komunitasnya juga memainkan peran penting. Anak harus berada dalam lingkungan yang sehat secara moral dan mendukung perkembangan psikologis yang sehat.

b. Melakukan pemantauan terhadap konten media yang dikonsumsi anak. Media memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak, oleh sebab itu orang tua dan pendidik/guru dan orang dewasa lainnya harus mengontrol konten media yang dikonsumsi anak, terutama yang berkaitan dengan isu-isu gender dan sexualitas.4. Pemahaman dan pembinaan agamaa. Penanaman nilai agama. Ajaran agama, dapat memberikan pemahaman yang mendalam tentang peran gender, hubungan antara laki-laki dan perempuan, serta etika dalam kehidupan sexual. Pengajaran tentang nilai-nilai ini sejak dini dapat menjadi landasan yang kuat untuk membentengi berkembangnya orientasi sexual yang menyimpang.

b. Contoh dari tokoh agama: Anak-anak dapat diarahkan untuk meneladani tokoh-tokoh agama yang memiliki integritas moral dan mengikuti ajaran agama dalam aspek kehidupan termasuk sexualitas.5. Penguatan identitas diria. Pembinaan karakter. Mengembangkan rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri adalah aspek penting dalam mencegah perilaku menyimpang. Anak yang memiliki pemahaman yang kuat tentang identitasnya cenderung memiliki kemampuan untuk menolak pengaruh negatif.

b. Penanganan emosi yang tepat. Anak dibimbing untuk mengelola emosi dengan baik, seperti bingung dengan identitas atau perubahan tubuh, dapat membantu anak memahami dan mengatasi rasa tidak nyaman tanpa mengambil keputusan yang salah.6. Konsultasi dan bimbingan psikologisa. Intervensi dini. Jika ada tanda-tanda kebingungan sexual atau identitas pada anak, segera berkonsultasi dengan psikolog atau ahli terkait yang memiliki keahlian dalam perkembangan anak dan gender.

b. Pendekatan non-judgmental. Bimbingan harus dilakukan dengan pendekatan yang penuh empati dan pengertian, tanpa menghakimi, agar anak merasa aman untuk membuka diri dan berbicara tentang perasaannya.7. Penerapan peraturan dan pengawasanPerlindungan hukum. Orang tua dan masyarakat juga perlu mendukung peraturan yang melindungi anak-anak dari paparan konten yang tidak pantas dan lingkungan yang bisa mempengaruhi perkembangan identitas sexual mereka.

            Dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut sejak usia dini, diharapkan anak-anak dapat tumbuh dengan pemahaman yang benar tentang sexualitas dan menghindari penyimpangan orientasi sexual sejak dini.

Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Budi Pekerti dan Pengembangannya

Oleh: Maryam Rahim

                Tahun 1992 Ki Hajar Dewantara mulai mewujudkan berbagai pemikirannya tentang pendidikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat pribumi Indonesia yang tidak mendapatkan kesempatan bersekolah pada masa penjajahan Belanda. Tahun 1992 Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa sebagi tempat belajar bagi para pribumi saat itu.

                Pemikiran penting lainnya dari Ki Hajar Dewantara adalah tentang Budi Pekerti.  Menurut Ki Hajar Dewantara, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara cipta (kognitif), karsa (afektif) sehingga menciptakan karya (psikomotor).  Budi Pekerti merupakan keselarasan (keseimbangan) hidup antara cipta, rasa, karsa dan karya. Keselarasan hidup anak dilatih melalui pemahaman kesadaran diri yang baik tentang kekuatan dirinya, kemudian dilatih mengelola diri agar mampu memiliki kesadaran sosial bahwa ia tidak hidup sendiri dalam relasi sosialnya, sehingga ketika membuat sebuah keputusan yang bertanggungjawab dalam kemerdekaan dirinya dan kemerdekaan orang lain. Budi Pekerti melatih anak untuk memiliki kesadaran diri yang utuh untuk menjadi dirinya (kemerdekaan diri) dan kemerdekaan orang lain.

                Menurut Ki Hajar Dewantara, keluarga menjadi tempat yang utama dan paling baik untuk melatih keterampilan sosial dan karakter baik bagi seorang anak. Keluarga merupakan tempat bersemainya pendidikan yang sempurna bagi anak untuk melatih kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual). Keluarga juga merupakan sebuah ekosistem kecil untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat dibanding dengan institusi pendidikan lainnya.

                Alam keluarga menjadi ruang bagi anak untuk mendapatkan teladan, tuntunan, pengajaran dari orang tua. Keluarga menjadi tempat untuk berinteraksi sosial antara kakak dan adik dan sesama anggota keluarga, sehingga kemandirian dapat tercipta karena anak-anak dan anggota keluarga saling belajar antara satu dengan yang lain dalam menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, peran orang tua sebagai guru, penuntun, dan teladan menjadi sangat penting dalam pertumbuhan budi pekerti yang baik bagi anak.

Referensi:

Rafael, Simon Petrus. 2022. Filosofi Pendidikan Nasional. Direktorat Pendidikan Profesi Guru      Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset  dan Teknologi 

Urgensi Penguatan Resiliensi bagi Siswa

03 October 2024 18:34:33 Dibaca : 51

Urgensi Penguatan Resiliensi bagi Siswa

Oleh: Maryam Rahim

            Berbagai peristiwa pelecehan bahkan kekerasan seksual, perundungan dan peristiwa criminal, yang dilakukan oleh siswa maupun guru, menjadi isyarat kuat agar pendidikan terus menerus melakukan dan meningkatkan berbagai upaya, baik dalam bentuk penyelesaian masalah (kuratif) yang telah terjadi maupun dalam bentuk pencegahan (preventif).  Selama ini berbagai upaya itu telah dilakukan, namun belum dapat mengurangi berbagai peristiwa yang merugikan tersebut, bahkan data menunjukkan adanya peningkatan perilaku perundungan dan kekerasan sexual pada siswa di Indonesia.

            Pada tahun 2024, kekerasan terhadap anak di Indonesia, terutama di lingkungan sekolah, terus meningkat. Data menunjukkan bahwa 35% dari 114 kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terjadi di satuan pendidikan. Kekerasan ini mencakup perundungan (bullying), kekerasan fisik, dan kekerasan psikologis. Ada kasus serius seperti anak yang mengakhiri hidup akibat tekanan mental yang dihadapi, dan sekitar 48% kasus tersebut terjadi di sekolah atau melibatkan anak yang masih mengenakan seragam (Metro Tempo) (KPAI). Selain itu, kekerasan seksual juga menjadi isu besar. Pada semester pertama tahun 2024, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak, dengan kekerasan seksual mendominasi. Platform digital turut menjadi medium baru dalam eksploitasi seksual anak (Women & Child Protection).

            Kondisi yang terjadi ini tentu saja tidak akan melemahkan berbagai upaya yang dilakukan, bahkan dunia pendidikan harus semakin gencar menemukan berbagai upaya lain. Pengembangan dan penguatan resiliensi bagi siswa menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan saat ini dan mendatang.

            Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya (Reivich. K dan Shatte. A, 2002). Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikososial seseorang. Sehingga resiliensi bisa menjadi salah satu penentu karakter seseorang (Desmita, 2013). Sejumlah ahli tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena: (1) perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam konteks “beresiko tinggi” (high risk), seperti anak yang hidup dalam kemiskinan kronis atau perlakuan kasar orang tua, (2) kompetensi yang dimungkinkan muncul di bawah tekanan yang berkepanjangan, seperti persistiwa-peristiwa di sekitar perceraian orag tua mereka, dan (3) kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang saudara (Wenner, E; 2003).

Untuk dapat berkembang secara positif atau sembuh dari kondisi-kondisi stress, trauma dan berbagai situasi yang penuh resiko, maka setiap orang membutuhkan keterampilan resiliensi, yang meliputi: (1) kecakapan untuk membentuk interaksi sosial yang positif (kompetensi sosial), (2) keterampilan memecahkan masalah (metakognitif), (3) keterampilan mengembangkan sense of identity (otonomi), dan (4) perencanaan dan pengharapan yakni pemahaman tentang tujuan hidup dan masa depan. Resiliensi perlu dimiliki oleh setiap siswa dan dibutuhkan upaya pengembangannya secara terus menerus. Resiliensi membuat setiap siswa akan mampu mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya, termasuk mengatasi pengaruh lingkungan sosial baik di dunia nyata maupun dunia maya yang tidak akan pernah berhenti bahkan akan terus berlanjut. Resiliensi akan membuat siswa mampu memilih dan memilah kegiatan positif dan kegiatan negatif, resiliensi akan membuat siswa memiliki kemampuan menjaga dirinya bahkan memuliakan dirinya, sehingga mampu bertahan dari berbagai pengaruh di sekelilingnya.