ARSIP BULANAN : June 2025

Oleh : Neva Lionitha Ibrahim

Dosen Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Negeri Gorontalo

Beberapa tahun terakhir, usaha kuliner di Gorontalo tumbuh dengan sangat pesat. Di berbagai sudut kota, bermunculan food court dengan konsep modern, kafe tematik, dan aneka UMKM kuliner yang menawarkan menu kreatif. Sayangnya, semangat ini tidak berlangsung lama. Kini, gerai tersebut mulai meredup. Banyak tempat makan tutup permanen, food court sepi pengunjung, bahkan fasilitas kuliner yang dibangun pemerintah pun tidak lagi beroperasi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis yakni apa yang sebenarnya sedang terjadi di sektor kuliner Gorontalo?

Gejala Penurunan Potret Sepi dari Lapangan. Berdasarkan observasi lapangan dan diskusi informal dengan pelaku usaha, ditemukan beberapa gejala mencolok yang menunjukkan kemunduran di sektor ini. Beberapa food court besar di Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango tampak kosong atau bahkan tutup total. Banyak UMKM kuliner melaporkan penurunan omzet drastis—bahkan lebih dari 50% sejak 2024. Masa hidup usaha baru juga makin pendek; rata-rata hanya bertahan 6 hingga 12 bulan. 

Apa yang Salah? Fenomena tutupnya food court dan bangkrutnya UMKM kuliner tidak dapat dijelaskan oleh satu penyebab tunggal. Sebaliknya, kondisi ini merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor yang saling berkaitan dan mempercepat kemunduran sektor tersebut. Salah satu penyebab utama adalah pembangunan food court yang tidak didasarkan pada riset pasar yang memadai. Hal ini mengakibatkan overkapasitas, banyaknya tenant dengan produk serupa, serta pemilihan lokasi yang kurang strategis. Akibatnya, terjadi persaingan tidak sehat antarpenyewa yang justru merugikan keseluruhan ekosistem usaha.

Selain itu, perubahan pola konsumsi masyarakat pasca pandemi turut memengaruhi daya tarik food court. Konsumen kini cenderung lebih hemat dan memilih opsi pesan antar atau makanan siap saji ketimbang makan di tempat. Sayangnya, banyak pelaku usaha kuliner gagal membaca perubahan tren ini dan tetap bergantung pada kunjungan fisik pelanggan. Kurangnya adaptasi terhadap dinamika pasar ini membuat daya saing mereka terus menurun.

Stagnasi inovasi juga menjadi faktor krusial. Menu yang monoton, pelayanan standar, serta kurangnya kreativitas dalam kemasan dan penyajian menyebabkan konsumen cepat merasa bosan. UMKM kuliner yang tidak mampu menawarkan pengalaman baru atau nilai tambah pun semakin tersisih di tengah persaingan yang ketat. Strategi pemasaran yang lemah, terutama dalam aspek 4P (Product, Price, Place, Promotion), memperburuk keadaan. Banyak pelaku usaha tidak memperhatikan penyesuaian produk dengan preferensi konsumen, menentukan harga yang sesuai daya beli, memilih lokasi yang strategis, atau menjalankan promosi yang efektif.

Lebih lanjut, harga makanan di beberapa food court yang mengusung konsep UMKM justru dinilai terlalu mahal oleh pengunjung. Hal ini bertolak belakang dengan harapan bahwa segmen pasar UMKM mestinya menyasar kalangan menengah ke bawah. Ketidaksesuaian antara harga dan target pasar ini mempersempit basis pelanggan. Tak hanya itu, permasalahan manajerial turut mencuat. Dinas Pemuda dan Olahraga (Disporapar) Kabupaten Gorontalo bahkan pernah menyegel beberapa lapak food court akibat tunggakan biaya sewa atau operasional yang tidak terbayarkan oleh para penyewa.

Persaingan dengan brand nasional juga memberi tekanan besar. UMKM lokal harus menghadapi pemain besar yang memiliki kekuatan modal, branding, dan jaringan distribusi yang mapan. Sayangnya, banyak pelaku UMKM belum siap bersaing di level ini, terutama karena kurangnya pendampingan usaha, minim literasi digital, dan lemahnya strategi bisnis.

Menuju Kajian Ilmiah, Peluang Riset untuk Mahasiswa dan Akademisi. Fenomena ini membuka ruang luas untuk dijadikan objek riset mikroekonomi terapan. Beberapa tema yang layak dieksplorasi antara lain: analisis kegagalan usaha kuliner di Gorontalo menggunakan pendekatan SWOT dan Business Model Canvas, studi tentang kepuasan dan perilaku konsumen terhadap food court lokal atau menguji pengaruh inovasi produk terhadap keberlangsungan usaha kuliner. Riset-riset ini dapat menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif—misalnya survei kepada konsumen dan wawancara dengan pelaku usaha atau pengelola kawasan kuliner.

Saran Strategis dan Harus Berbuat Apa? Untuk pemerintah daerah, penting untuk meninjau ulang rencana pendirian food court. Pembangunan perlu didasarkan pada studi kelayakan dan analisis pasar yang matang. Selain itu, program pendampingan UMKM harus lebih sistematis, dengan pelatihan seputar branding, digitalisasi keuangan, dan manajemen usaha. Pemerintah juga bisa mendorong kolaborasi antara UMKM lokal dan platform digital agar lebih kompetitif.

Bagi pelaku UMKM, saatnya berhenti meniru usaha sebelah dan mulai membangun differentiation strategy. Produk harus punya keunikan dari sisi rasa, kemasan, atau pengalaman pelanggan. Pemanfaatan media sosial secara profesional, serta penggunaan e-wallet atau sistem kasir digital, dapat menjadi keunggulan kompetitif.

Dari sisi akademisi dan kampus, penting untuk turun tangan melalui program inkubasi bisnis, pengabdian masyarakat, dan tugas akhir berbasis studi kasus lokal. Kampus bisa menjadi penghubung antara pelaku usaha, pemerintah, dan mahasiswa untuk bersama-sama membangun ekosistem kuliner yang sehat dan berdaya saing.

Penutup. Tingginya angka penutupan food court dan matinya UMKM kuliner di Gorontalo bukan semata akibat produk yang kurang laku. Masalahnya jauh lebih dalam yaitu minim inovasi, tidak membaca pasar, dan kurangnya adaptasi dengan perubahan zaman. Ke depan, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan lingkungan bisnis yang lebih adaptif dan inovatif.

Bagi pelaku UMKM, bisa masak enak saja tidak cukup. Di era persaingan modern, bertahan hidup berarti harus mampu membaca tren, beradaptasi cepat, dan berpikir strategis. Dunia usaha hari ini bukan tentang siapa yang besar, tapi siapa yang paling siap berubah.

 

   

UMKM bukan sekadar sektor penopang, melainkan denyut nadi perekonomian Indonesia. Data terbaru dari Kementerian Koperasi dan UKM (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 65 juta unit UMKM aktif beroperasi di berbagai sektor, menyumbang sekitar 61% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan menyerap 97% tenaga kerja nasional. Namun, di balik angka yang impresif ini, terdapat tantangan besar yang masih harus dihadapi yaitu lemahnya kemampuan manajerial dan minimnya penggunaan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan usaha.

Sebagai dosen yang aktif di bidang ekonomi dan manajemen, saya melihat bahwa penerapan ekonomi manajerial merupakan kebutuhan mendesak bagi UMKM, bukan lagi sekadar pilihan. Ekonomi manajerial mengajarkan bagaimana konsep-konsep ekonomi, seperti elastisitas permintaan, efisiensi biaya, analisis risiko, dan optimasi keuntungan, dapat diterapkan dalam praktik manajemen usaha sehari-hari. Ini bukan teori belaka namun perlu dijadikan panduan praktis yang dapat menyelamatkan banyak UMKM dari keputusan keliru.

Pentingnya Ekonomi Manajerial untuk UMKM

Pertama, ekonomi manajerial membantu pelaku usaha memahami bagaimana pasar bekerja. Dalam banyak kasus, pemilik UMKM menetapkan harga produk hanya berdasarkan biaya produksi dan ‘tebakan’ keuntungan, tanpa mempertimbangkan elastisitas permintaan atau harga pesaing. Padahal, dengan sedikit pelatihan dan pendekatan analisis, mereka bisa menetapkan harga yang lebih strategis dan kompetitif.

Kedua, konsep biaya marginal dan analisis break-even dapat digunakan untuk menentukan titik balik keuntungan usaha. Banyak pelaku UMKM belum memahami bahwa penambahan produksi tidak selalu membawa keuntungan jika tidak dihitung dengan cermat. Dengan penerapan analisis manajerial, pelaku usaha dapat mengetahui kapasitas produksi optimal dan meminimalisasi pemborosan.

Ketiga, dalam konteks yang lebih luas, ekonomi manajerial memberikan alat untuk perencanaan jangka panjang. Melalui teknik forecasting dan evaluasi investasi (NPV dan IRR), UMKM dapat merancang ekspansi usaha, diversifikasi produk, atau masuk ke pasar digital dengan pertimbangan yang matang dan berbasis data.

Tantangan Literasi Manajerial

Namun, tantangan terbesar dalam penerapan ekonomi manajerial di sektor UMKM adalah rendahnya literasi ekonomi dan manajemen. Survei LPEM FEB UI (2021) menyebutkan bahwa hanya 25% UMKM yang memiliki pencatatan keuangan yang layak, apalagi menggunakan proyeksi atau perencanaan bisnis formal. Banyak pelaku usaha yang masih mengandalkan pengalaman dan intuisi tanpa didukung data yang memadai.

Di sinilah peran kita sebagai akademisi dan pendidik sangat penting. Melalui pengabdian masyarakat, pelatihan, kuliah kewirausahaan, hingga kerjasama riset terapan, kita dapat menjembatani kesenjangan ini. Mahasiswa pun dapat dilibatkan dalam kegiatan magang, pendampingan digitalisasi UMKM, atau proyek konsultasi sederhana sebagai bagian dari implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Refleksi dan Harapan

Penerapan ekonomi manajerial bukan hanya membantu UMKM bertahan, tetapi juga tumbuh dan berdaya saing dalam pasar yang semakin kompleks. Dunia usaha saat ini bergerak cepat, ditandai oleh transformasi digital, perubahan preferensi konsumen, dan tuntutan efisiensi tinggi. Tanpa pendekatan ilmiah dan rasional dalam pengelolaan usaha, UMKM akan sulit berkembang secara berkelanjutan.

Sebagai dosen, saya percaya bahwa tugas kita tidak hanya mencetak sarjana, tetapi juga menciptakan dampak nyata di masyarakat. Menyebarluaskan pemahaman ekonomi manajerial kepada pelaku UMKM, baik secara langsung maupun melalui kurikulum yang aplikatif, adalah salah satu bentuk kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi nasional.

Mari kita dorong lebih banyak kolaborasi antara dunia kampus dan UMKM. Bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang tumbuh bersama dalam menjawab tantangan zaman.

Model CIPP / Model Integrasi Konteks, Input, Proses, Produk ialah cara evaluasi yang dibuat oleh Daniel L. Stufflebeam, dipakai agar menilai suatu program secara luas, dari kebutuhan dasar hingga hasil akhir. Cara ini sering dipakai di dunia pendidikan karena memberi landasan kuat untuk menilai suksesnya program tertentu. Evaluasi CIPP tak hanya lihat hasil akhir, tapi juga latar belakang kegiatan, kesiapan modal, jalannya kegiatan, dan apa yang dihasilkan. Cara ini penting untuk para dosen, peneliti, dan pengelola program pendidikan yang ingin evaluasi terstruktur serta didukung data.

Saat dipakai, model CIPP sangat berguna untuk menilai beragam program di kampus. Contohnya terlihat pada mata kuliah "Pengantar Ilmu Ekonomi" oleh tim dosen universitas, agar mutu belajar meningkat. Evaluasi dimulai dari konteks, yaitu mengenali kebutuhan siswa dan hubungan mata kuliah dengan tujuan belajar program studi. Survei awal dan obrolan dengan lulusan mengarah bahwa siswa butuh dasar ekonomi yang bisa dipakai agar menganalisis kejadian ekonomi sehari-hari. Jadi, kurikulum mata kuliah tak hanya teori klasik, tapi juga masalah seperti inflasi, pengangguran, dan kebijakan fiskal di Indonesia. Menilai konteks penting sebab bisa mencakup hubungan kurikulum dengan kebutuhan siswa dan pasar kerja, juga tantangan sosial serta budaya yang pengaruhi belajar.

Lalu, evaluasi masukan atau Input dipakai agar nilai rencana serta kesiapan modal dalam jalankan program studi. Tim pengampu nilai Rencana Belajar Semester (RPS), materi ajar digital, kemampuan dosen, serta alat belajar yang dipakai. Hasilnya, meski materi cukup baik, media interaktif masih kurang. Maka, dosen tambah video belajar dan latihan interaktif lewat platform e-learning universitas. Nilai masukan penting agar program punya dasar yang kuat terkait cara belajar, kesiapan pengajar, fasilitas, dan pengaturan dana.

Tahap selanjutnya yaitu evaluasi proses, yaitu nilai jalannya program yang sebenarnya. Dalam kuliah ini, evaluasi lewat pengamatan di kelas dan kuesioner kepuasan siswa. Saat belajar, dosen gabungkan diskusi kasus dan kuis online agar siswa lebih aktif. Hasil pengamatan tunjukkan siswa lebih aktif dibanding semester lalu. Tapi, ada masalah teknis, seperti koneksi internet yang kurang stabil pada siswa di daerah. Evaluasi proses berguna agar nilai apakah jalannya program sesuai rencana dan kenali kendala yang dihadapi.

Tahap akhir ialah penilaian produk, yang ukur seberapa jauh tujuan belajar tercapai. Dalam penilaian ini, info didapat dari nilai akhir siswa, tanggapan lewat kuesioner, serta hasil ujian reflektif di akhir semester. Didapati bahwa sekitar 85% siswa capai standar belajar minimum (CPMK) dengan paham konsep ekonomi yang baik. Selain itu, siswa bisa buat analisis sederhana tentang masalah ekonomi lokal sebagai tugas akhir mata kuliah. Tapi, evaluasi juga ungkap pentingnya tingkatkan kemampuan literasi data dalam belajar. Maka, tim dosen usul tambah materi statistik ekonomi dasar pada semester depan. Dalam evaluasi CIPP, produk dinilai tak hanya dari hasil kognitif, tapi juga perubahan sikap, keterampilan, serta dampak panjangnya pada siswa. Dengan CIPP ini, evaluasi tak hanya aktivitas administratif, tapi juga bagian penting dari usaha perbaiki serta tingkatkan mutu belajar. Dosen bisa kenali kelebihan dan kekurangan mata kuliah, serta buat cara perbaikan yang lebih fokus. Dengan pakai model CIPP dalam kegiatan akademik, dosen ikut bangun budaya mutu yang terus ada di dunia pendidikan tinggi.

 

Blogroll

  • Masih Kosong