LABEL : RisetKuliner

Oleh : Neva Lionitha Ibrahim

Dosen Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Negeri Gorontalo

Beberapa tahun terakhir, usaha kuliner di Gorontalo tumbuh dengan sangat pesat. Di berbagai sudut kota, bermunculan food court dengan konsep modern, kafe tematik, dan aneka UMKM kuliner yang menawarkan menu kreatif. Sayangnya, semangat ini tidak berlangsung lama. Kini, gerai tersebut mulai meredup. Banyak tempat makan tutup permanen, food court sepi pengunjung, bahkan fasilitas kuliner yang dibangun pemerintah pun tidak lagi beroperasi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis yakni apa yang sebenarnya sedang terjadi di sektor kuliner Gorontalo?

Gejala Penurunan Potret Sepi dari Lapangan. Berdasarkan observasi lapangan dan diskusi informal dengan pelaku usaha, ditemukan beberapa gejala mencolok yang menunjukkan kemunduran di sektor ini. Beberapa food court besar di Kota Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango tampak kosong atau bahkan tutup total. Banyak UMKM kuliner melaporkan penurunan omzet drastis—bahkan lebih dari 50% sejak 2024. Masa hidup usaha baru juga makin pendek; rata-rata hanya bertahan 6 hingga 12 bulan. 

Apa yang Salah? Fenomena tutupnya food court dan bangkrutnya UMKM kuliner tidak dapat dijelaskan oleh satu penyebab tunggal. Sebaliknya, kondisi ini merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor yang saling berkaitan dan mempercepat kemunduran sektor tersebut. Salah satu penyebab utama adalah pembangunan food court yang tidak didasarkan pada riset pasar yang memadai. Hal ini mengakibatkan overkapasitas, banyaknya tenant dengan produk serupa, serta pemilihan lokasi yang kurang strategis. Akibatnya, terjadi persaingan tidak sehat antarpenyewa yang justru merugikan keseluruhan ekosistem usaha.

Selain itu, perubahan pola konsumsi masyarakat pasca pandemi turut memengaruhi daya tarik food court. Konsumen kini cenderung lebih hemat dan memilih opsi pesan antar atau makanan siap saji ketimbang makan di tempat. Sayangnya, banyak pelaku usaha kuliner gagal membaca perubahan tren ini dan tetap bergantung pada kunjungan fisik pelanggan. Kurangnya adaptasi terhadap dinamika pasar ini membuat daya saing mereka terus menurun.

Stagnasi inovasi juga menjadi faktor krusial. Menu yang monoton, pelayanan standar, serta kurangnya kreativitas dalam kemasan dan penyajian menyebabkan konsumen cepat merasa bosan. UMKM kuliner yang tidak mampu menawarkan pengalaman baru atau nilai tambah pun semakin tersisih di tengah persaingan yang ketat. Strategi pemasaran yang lemah, terutama dalam aspek 4P (Product, Price, Place, Promotion), memperburuk keadaan. Banyak pelaku usaha tidak memperhatikan penyesuaian produk dengan preferensi konsumen, menentukan harga yang sesuai daya beli, memilih lokasi yang strategis, atau menjalankan promosi yang efektif.

Lebih lanjut, harga makanan di beberapa food court yang mengusung konsep UMKM justru dinilai terlalu mahal oleh pengunjung. Hal ini bertolak belakang dengan harapan bahwa segmen pasar UMKM mestinya menyasar kalangan menengah ke bawah. Ketidaksesuaian antara harga dan target pasar ini mempersempit basis pelanggan. Tak hanya itu, permasalahan manajerial turut mencuat. Dinas Pemuda dan Olahraga (Disporapar) Kabupaten Gorontalo bahkan pernah menyegel beberapa lapak food court akibat tunggakan biaya sewa atau operasional yang tidak terbayarkan oleh para penyewa.

Persaingan dengan brand nasional juga memberi tekanan besar. UMKM lokal harus menghadapi pemain besar yang memiliki kekuatan modal, branding, dan jaringan distribusi yang mapan. Sayangnya, banyak pelaku UMKM belum siap bersaing di level ini, terutama karena kurangnya pendampingan usaha, minim literasi digital, dan lemahnya strategi bisnis.

Menuju Kajian Ilmiah, Peluang Riset untuk Mahasiswa dan Akademisi. Fenomena ini membuka ruang luas untuk dijadikan objek riset mikroekonomi terapan. Beberapa tema yang layak dieksplorasi antara lain: analisis kegagalan usaha kuliner di Gorontalo menggunakan pendekatan SWOT dan Business Model Canvas, studi tentang kepuasan dan perilaku konsumen terhadap food court lokal atau menguji pengaruh inovasi produk terhadap keberlangsungan usaha kuliner. Riset-riset ini dapat menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif—misalnya survei kepada konsumen dan wawancara dengan pelaku usaha atau pengelola kawasan kuliner.

Saran Strategis dan Harus Berbuat Apa? Untuk pemerintah daerah, penting untuk meninjau ulang rencana pendirian food court. Pembangunan perlu didasarkan pada studi kelayakan dan analisis pasar yang matang. Selain itu, program pendampingan UMKM harus lebih sistematis, dengan pelatihan seputar branding, digitalisasi keuangan, dan manajemen usaha. Pemerintah juga bisa mendorong kolaborasi antara UMKM lokal dan platform digital agar lebih kompetitif.

Bagi pelaku UMKM, saatnya berhenti meniru usaha sebelah dan mulai membangun differentiation strategy. Produk harus punya keunikan dari sisi rasa, kemasan, atau pengalaman pelanggan. Pemanfaatan media sosial secara profesional, serta penggunaan e-wallet atau sistem kasir digital, dapat menjadi keunggulan kompetitif.

Dari sisi akademisi dan kampus, penting untuk turun tangan melalui program inkubasi bisnis, pengabdian masyarakat, dan tugas akhir berbasis studi kasus lokal. Kampus bisa menjadi penghubung antara pelaku usaha, pemerintah, dan mahasiswa untuk bersama-sama membangun ekosistem kuliner yang sehat dan berdaya saing.

Penutup. Tingginya angka penutupan food court dan matinya UMKM kuliner di Gorontalo bukan semata akibat produk yang kurang laku. Masalahnya jauh lebih dalam yaitu minim inovasi, tidak membaca pasar, dan kurangnya adaptasi dengan perubahan zaman. Ke depan, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan lingkungan bisnis yang lebih adaptif dan inovatif.

Bagi pelaku UMKM, bisa masak enak saja tidak cukup. Di era persaingan modern, bertahan hidup berarti harus mampu membaca tren, beradaptasi cepat, dan berpikir strategis. Dunia usaha hari ini bukan tentang siapa yang besar, tapi siapa yang paling siap berubah.

 

Blogroll

  • Masih Kosong