Sekolah Sebagai Organisasi Pembelajaran Yang Literat
Menciptakan Sekolah Sebagai Organisasi Pembelajaran Yang Literat Melalui Penilaian Portofolio Dalam Konteks Pembelajaran IPA di SMP Negeri 3 Wonosari Desa Sukamulya Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo
Menulis merupakan cara yang dapat digunakan masyarakat untuk menjawab persoalan global saat ini. Kemampuan tersebut akan menjadi adaptasi diri dengan berbagai perkembangan IPTEK oleh karena itu kemampuan tersebut penting untuk mendorong kehidupan masyarakat yang lebih demokratis berdasarkan hukum, sosial dan religius. Dalam konteks ini, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dapat memberikan perannya dalam menjawab tantangan tersebut.
Pada tahun 2015 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memberikan rekomendasi kepada setiap sekolah di seluruh Indonesia untuk dapat melaksanakan dan mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah. Lebih lanjut kanjian pemerintah bahwa dasar pelaksanaan program tersebut dianggap penting karena mengingat pada; 1) Faktanya bahwa hasil survei internasional (PIRLS 2011, PISA 2009 & 2012) yang mengukur keterampilan membaca peserta didik, Indonesia menduduki peringkat bawah, 2) Tuntutan keterampilan membaca pada abad 21 adalah kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan re¬ektif, 3) Pembelajaran di sekolah belum mampu mengajarkan kompetensi abad 21, 4) Kegiatan membaca di sekolah perlu dikuatkan dengan pembiasaan membaca di keluarga dan masyarakat.
Gerakan literasi sekolah atau disingkat GLS merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang melibatkan seluruh warganya berbudaya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. Konteks pembelajaran yang literat dengan pelibatan publik merupakan kondisi yang membuat warga sekolahnya menyenangkan dan ramah anak dimana semua warganya memiliki kepedulian, rasa ingin tahu dan mampu berkomunikasi atau berinteraksi sosial pada semua warga sekolah baik guru, peserta didik maupun orang tua.
Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis dalam konteks mampu dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas. Dalam pengertian luas, literasi meliputi juga kemampuan berbicara, menyimak, dan berpikir sebagai elemen di dalamnya (Cooper, 1993). Seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan dan kemampuan yang benar untuk digunakan dalam setiap kegiatan yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat; dan keliteratan yang diperolehnya melalui membaca, menulis, dan aritmetika itu memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakatnya (Baynham, 1995).
Dalam kegiatan pembelajaran ada beberapa faktor yang berperan dalam pembelajaran yaitu faktor guru, siswa, buku ajar, dan evaluasi hasil belajar. Pertama faktor guru, kempetensi guru pada dasarnya sudah memadai tetapi dalam melaksanakan pembelajaran dan evaluasi untuk peningkatan prestasi belajar masih perlu ditingkatkan. Kedua faktor siswa, kemampuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas berdampak negatif pada proses pembelajaran, antara lain siswa lebih cenderung menemukan informasi secara instan seperti melalui internet yang tidak selektif. Ketiga faktor fasilitas ruang baca dan buku bacaan, ketersediaan fasiltas dan buku bacaan tidak terpenuhi untuk kebutuhan belajar siswa mengakibatkan proses pembelajaran di kelas kurang kreatif dan siswa tidak memiliki peluang yang cukup untuk belajar mandiri. Keempat budaya membaca dan menulis peserta didik sangat rendah. Kelima faktor evaluasi hasil belajar, kecenderungan penilaian guru masih mengacu pada evaluasi belajar lewat tes.
Pada hasil orientasi awal tempat pelaksanaan kegiatan di SMP Negeri 3 Wonosari didapat permasalahan dalam pengelolaan proses pembelajaran sebagaimana yang diuraikan di atas, yaitu bagaimana meningkatkan profesionalisme guru melalui perbaikan proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Salah satu permasalahan yang lebih cenderung mempengaruhi hasil belajar siswa yaitu minat membaca dan menulis atau buadaya literasi bagi peserta didik yang sangat rendah. Hal ini dipengaruhi oleh pengelolaan pembelajaran di SMP Negeri 3 Wonosari belum mengimplementasikan dan mengembangkan strategi Gerakan Litersi Sekolah (GLS) dalam konteks pembelajaran. Pelaksanaan program ini perlu adanya komitmen seluruh warga sekolah serta pemahaman tentang konsep dan kegiatan dalam Gerakan Literasi Sekolah. Sekolah memiliki peran yang amat penting dalam menanamkan budaya literat pada anak didik. Untuk itu, setiap sekolah tanpa terkecuali harus memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan literasi. Budaya literasi yang tinggi di sekolah, peserta didik akan cenderung lebih berhasil dan guru lebih bersemangat mengajar.
Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literat, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah anatara lain:
- Mengondisikan lingkungan fisik ramah literasi. Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karya-karya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik.
- Mengupayakan lingkungan sosial yang afektif sebagai model komunikasi maupun interaksi yang literat. Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik.
- Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat. Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung.
Permasalahan tersebut di atas, sangatlah perlu membutuhkan pembinaan untuk membangun pembelajaran yang lebih inovatif serta bersinergis di dalam lingkungan sekolah. Sinergis dimaksudkan agar memberikan kesempatan kepada warga sekolah antara guru dan peserta didik dapat mengaktualisasikan perannya masing-masing, sehingga tantangan tersebut dapat beroleh efek positif dalam pembelajaran. Apabila dikaji lebih jauh langkah awal yang perlu diatasi adalah bagaimana meningkatkan minat membaca dan menulis secara dini kepada peserta didik dengan memahami informasi secara analitis, kritis, dan kreaktif. Terkait pembiasaan dini untuk membaca, pemerintah telah menginstrusikan penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca (Permendikbud No. 23 tahun 2015).