Kajian Peta Konflik Kawasan Konservasi terhadap Penambangan Tanpa Izin (PETI) di Suaka Margasatwa Nantu Boliyohuto Kabupaten Gorontalo Utara (Studi Kasus di Wilayah Pertambangan desa Buladu Kecamatan Sumalata), Tahun 2010

20 February 2024 19:23:31 Dibaca : 108 Kategori : Project 2010

Executive Summary

Amir Halid1, Asda Rauf1, Sukirman Rahim1, Dessy Rachmawatie2, Rajak Umar3, Nurdin1

1Universitas Negeri Gorontalo

2Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

3IAIN Gorontalo

Bergulirnya otonomi daerah telah mendorong setiap daerah melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam terutama sektor pertambangan dalam rangka pembangunan melalui objek pendapatan asli daerah (PAD). Meskipun disadari bahwa pengelolaan pertambangan selama ini melahirkan berbagai persoalan berupa kerusakan lingkungan, matinya tatanan kelembagaan lokal, dan berlangsungnya konflik sosial. Akar pokok permasalahannya dapat dijelaskan sebagai akibat dari perbedaan dan pertentangan kepentingan atas sumberdaya tersebut. Pandangan ini mengindikasikan adanya karakteristik obyek dan hubungan relasional yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kepentingan, nilai, dan orientasi kelompok sehingga dapat membawa pada suatu relasi persaingan maupun kooperatif antarkelompok dalam masyarakat. Adalah kawasan konservasi Suaka Margasatwa Nantu Boliyohuto Gorontalo, kawasan yang terletak di 3 (tiga) Kabupaten, yaitu Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo Utara saat ini menghadapi permasalahan konflik pengelolaan Pertambangan khususnya di Desa Buladu Kecamatan Sumalata Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara. Sejumlah permasalahan mendasar ditemukan misalnya tingkat pencemaran air sungai yang mengkwatirkan, degradasi hutan dan lahan serta rendahnya kesadaran masyarakat. Atas dasar inilah kajian peta konflik ini dilakukan  dalam rangka untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang berkepentingan (konflik) serta berupaya memberikan alternatif solusi penyelesainnya. Output  kegiatan ini akan digunakan sebagai bahan komunikasi dengan para pihak untuk secara bersama-sama memahami dan menyusun tindakan nyata penyelesaian konflik kawasan  pertambangan di Suaka Margasatwa Nantu Boliyohuto sebagai alternatif upaya pemantapan kawasan dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam di Kabupaten- Kabuapten yang berada dalam kawasan SM Nantu. Kajian ini menggunakan metode Rapid Aprraisal Land Tenure (RaTa) sebagai model analisis sengketa penguasaan hak-hak atas penggunaan tanah. Data yang diperoleh diolah menggunakan soft program HumaWin. Kajian dilaksanakan mulai bulan April – Juli 2010 di Desa Buladu Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara.

Gambar 1. Papan Petunjuk Kawasan Pengelolaan Tambang PT. Makale Toraja Mining di Lokasi Kajia

Desa Buladu merupakan satu dari sepuluh desa di kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara, berada di wilayah Utara  mempunyai luas wilayah 31 Ha atau 7 persen dari luas wilayah kecamatan Sumalata. (Kecamatan Sumalata dalam angka 2009). Untuk sampai ke desa Buladu dapat ditempuh selama 30 menit dari pusat kecamatan Sumalata karena hanya berjarak 14 km sedangkan  untuk menuju Dusun Pasolo dapat ditempuh hanya 15 menit. Desa Buladu bependuduk 1.574 jiwa dengan 367 KK Mata pencaharian masyarakat Buladu sebagian besar adalah panambang emas tradisional hal ini disebabkan karena 50 % tempat penambangan emas di kecamatan Sumalata terletak di desa Buladu (85 buah), desa Bulolila (65 buah) dan Wubudu (12 buah). Tingkat kesejahteraan masyarakat di desa Buladu belum sebanding dengan kilaunya kandungan di daerah ini, sebagian besar (45 %) masyarakat masih berada dibawah garis kemiskinan penduduk sebagian besar tidak tamat SD/ tidak sekolah 65 %. Kondisi sarana prasarana pendidikan dan kesehatan tahun 2009 sangat terbatas. Rasio jumlah murid dengan guru diatas rasio kecamatan yakni 1 : 26 , fasilitas kesehatan pustu dan polindes satu buah dan posandu 3 buah.

 

 

Gambar 2. Kawasan Pengelolaan Tambang Masyarakat (Wilayah Pertambangan Rakyat) di Lokasi Kajian

Kegiatan penambangan emas di desa Buladu telah dilakukan sejak zaman Belanda (tahun 1800-an) terdapat beberapa peralatan pertambangan ditemukan dilokasi seperti Belanga dan terowongan. Situs situs peninggalan adanya aktifitas penambangan emas ini kemudian diikuti oleh warga di desa Buladu pada tahun 1980-an mulai melakukan penggalian emas hingga puncaknya pada akhir tahun 2000. Potensi emas yang terkandung didesa Buladu pernah di jajaki pula oleh PT Aneka Tambang pada tahun 2005 namun tidak berlanjut, untuk memaksimalkan potensi pertambangan maka pada tahun 2006 dilakukan studi kelayakan oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Gorontalo dan menemukan bahwa kondisi pertambangan rakyat telah mencapai titik jenuh oleh karenanya dibutuhkan investasi besar untuk skala penambangan yang lebih besar. Atas dasar ini maka melalui pemerintah desa Buladu mengajukan kepada pemerintah daerah agar pertambangan dikelola oleh perusahaan tambang agar menghasilkan Pendapatan untuk pembangunan daerah. Pada akhir tahun 2007 pemerintah daerah Gorontalo Utara mengeluarkan izin eksplorasi seluas 20.235 kepada PT Makale Toraja Mining (PT MTM) di desa Buladu. Pada tahun ini pula pemerintah daerah melalui Distamben Propinsi Gorontalo menetapkan Dusun Pasolo Desa Buladu menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang diikuti oleh pembentukan koperasi Pasolo Indah. Penetapan WPR tidak diikuti oleh batas-batas pengelolaan yang jelas sehingga hal inilah yang menjadi pemicuh terjadinya konflik wilayah pengelolaan pertambangan antara PT MTM dan Penambang Tradisional (PETI). Sepanjang tahun PTM MTM menyiapkan berbagai perizinan pertambangan pada tahun ini dilakukan Kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)  dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) oleh perusahaan, keluarnya rekomendasi DPRD Gorontalo Utara, keluarnya Izin kuasa pertambangan Ekplorasi (seluas 300 ha ) dan izin Eksploitasi, sedangkan aktifitas penambangan rakyat terus berlangsung tanpa kejalasan tapal batas.

Gambar 3. Sisa Peralatan dan Fasilitas Pertambangan pada Zaman Belanda

Puncak konflik  terjadi pada awal tahun 2009 saat PT MTM melakukan operasi produksi (izin No. 77a tahun 2009). Sejumlah warga penambang lokal (sekitar 40 orang) melakukan penghadangan terhadap masuknya peralatan PT MTM ke lokasi tambang yang juga di garap oleh para penambang, ketegangan tak dapat dihindari sehingga ‘memaksa’ camat Sumalata (Thamrin Yusuf) memediasi pertemuan warga dengan pihak perusahaan. Pertemuan menghasilkan kesepakatan bahwa (1) pihak PT. MTM akan menyambungkan Pipa Air bersih (PAB) ke lokasi pemukiman masyarakat di desa Buladu, Wubudu dan Deme II. (2) wilayah perkebunan rakyat tidak akan diganggu/di terobos oleh PT. MTM serta (3) menjamin tidak terjadinya pencemaran lingkungan. Kesepakatan bersama ini turut disaksikan oleh pejabat Muspida Gorontalo Utara. Hingga tahun 2010 kesepakatan ini tidak laksanakan oleh pihak perusahaan aktifitas produksi PT MTM terus berlangsung hingga memasuki kawasan yang diklaim sebagai areal pertambangan emas dan perkebunan rakyat. Sejumlah warga Buladu bersama tokoh masyarakat (bapak Rahman Gobel) mengajukan hal ini ke DPRD dan pemerintah Gorut serta ke LSM (LP2M) dan Mahasiswa untuk mengupayakan solusi penyelesainnya. Upaya penyelesain yang dilakukan oleh pemda Gorut dinilai sangat merugikan warga, karena faktanya aktifitas penambangan PT MTM terus memasuki area penambangan rakyat. Atas hal ini maka pada tanggal 27 April 2010 warga melakukan aksi pembakaran Kamp PT MTM (3X4 m) oleh tiga orang pelaku masing-masing Ishak Isini (34 tahun) Ismail Labajo (30 th) dan Husain Djana (28 th) ketiga pelaku ditahan di polsek Sumalata. Kejadian ini menambah gejolak konflik.

Gambar 4. Base Camp dan Peralatan Tambang Perusahaan

Pemerintah daerah melalui Badan Lingkungan Hidup kemudian melakukan investigasi terhadap kondisi kualitas sungai yang tercemar sebanyak dua kali masing-masing pada Bulan Maret dan Juli 2010 hasilnya menunjukan bahwa sumber pencemaran berasal dari aktifitas penambangan tanpa Izin (PETI) oleh warga di desa Buladu. Status pencemaran berada pada cemar berat khususnya pada lokasi PETI (Lokasi sampel A2) dan di Sungai Wubudu (Lokasi sampel A5). Hasil analisis sampel air permukaan di lokasi sampling Sungai Wubudu Desa Buladu Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara menunjukkan bahwa kisaran Kadar Merkuri (Hg) dalam air permukaan adalah 0,00425 mg/L nilai ini sudah berada di atas Nilai Ambang Batas (NAB) yang dipersyaratkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air dan PERMENKES RI Nomor 907 Tahun 2002 Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Air Minum dimana Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Logam Mercuri adalah  : 0,001 mg/L atau 0,01 ppm. Tim investigasi merekomendasikan diantarnya ; (1) Penaatan Hukum, Penertiban Lokasi PETI, (2) Penyediaan Sarana Air Bersih Bagi Kebutuhan Hidup Masyarakat (CSR  Investor), (3) Membuat Saluran/Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL)  Pada Proses Pengolahan Emas (Bak Koagulasi), (4) Mengalihkan para penambang dari profesinya dari penambang dengan profesi yang lain (pertanian, peternakan, budidaya rumput serta (5) Alih Teknologi yaitu dengan menggunakan mikroba Pada Proses Malgamasi dengan Alat sederhana Bioteknologi (BPPT, IPB Bogor).

Gambar 5. Cara Pengolahan Bahan Galian secara Tradisional tanpa Peralatan dan Perlengkapan Keselamatan Kerja

Upaya penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan beberapa opsi, diantaranya ; Pertama, Tetap Mempertahankan Kawasan Konservasi ; Kelangkaan kapasitas dan konsistensi aplikasi kewenangan dalam menegakkan atura atas penggunaan lahan dalam kawasan di wilayah tersebut. Pada aspek kelembagaan ditemukan kelangkaan kapasitas organisasi dalam mengelolah konflik baik lembaga internal kawasan maupun lebaga lainnya. Hal lain yang dapat dilakukan dengan sinergi dalam pengembangan perekonomian masyarakat secara melembaga diluar kawsan berdasar klaster dan potensi sumberdaya yang tersedia. Kedua, Mempertimbangkan wilayah pertambangan rakyat melalui kelembagaan wilayah pertambangan rakyat (WPR). Pilihan dihadapkan pada kelangkaan Modal dan teknologi pertambangan rakyat dalam menerapkan (Good Mining Practice) serta Legalisasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan dalam usulan perubahan melalui RTRWP. Ketiga Mempertimbangkan Izin Usaha Pertambangan. Pola ini berpotensi konflik dengan wilayah pertambangan rakyat (PETI) dan resisten terhadap rantai ekonomi. Selain itu adanya legalisasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan dalam usulan perubahan melalui RTRWP dan keempat kombinasi izin usaha pertambangan dan pertambangan rakyat. Kelangkaan modal dan teknologi pertambangan rakyat dalam menerapkan (good mining practice). Legalisasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan dalam usulan perubahan melalui RTRWP.

Kata kunci: Peta konflik, kawasan konservasi, penambangan tanpa izin (PETI).

Funding: ICRAF Bogor, Tahun 2010