Urgensi Penguatan Resiliensi bagi Siswa
Urgensi Penguatan Resiliensi bagi Siswa
Oleh: Maryam Rahim
Berbagai peristiwa pelecehan bahkan kekerasan seksual, perundungan dan peristiwa criminal, yang dilakukan oleh siswa maupun guru, menjadi isyarat kuat agar pendidikan terus menerus melakukan dan meningkatkan berbagai upaya, baik dalam bentuk penyelesaian masalah (kuratif) yang telah terjadi maupun dalam bentuk pencegahan (preventif). Selama ini berbagai upaya itu telah dilakukan, namun belum dapat mengurangi berbagai peristiwa yang merugikan tersebut, bahkan data menunjukkan adanya peningkatan perilaku perundungan dan kekerasan sexual pada siswa di Indonesia.
Pada tahun 2024, kekerasan terhadap anak di Indonesia, terutama di lingkungan sekolah, terus meningkat. Data menunjukkan bahwa 35% dari 114 kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terjadi di satuan pendidikan. Kekerasan ini mencakup perundungan (bullying), kekerasan fisik, dan kekerasan psikologis. Ada kasus serius seperti anak yang mengakhiri hidup akibat tekanan mental yang dihadapi, dan sekitar 48% kasus tersebut terjadi di sekolah atau melibatkan anak yang masih mengenakan seragam (Metro Tempo) (KPAI). Selain itu, kekerasan seksual juga menjadi isu besar. Pada semester pertama tahun 2024, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak, dengan kekerasan seksual mendominasi. Platform digital turut menjadi medium baru dalam eksploitasi seksual anak (Women & Child Protection).
Kondisi yang terjadi ini tentu saja tidak akan melemahkan berbagai upaya yang dilakukan, bahkan dunia pendidikan harus semakin gencar menemukan berbagai upaya lain. Pengembangan dan penguatan resiliensi bagi siswa menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan saat ini dan mendatang.
Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya (Reivich. K dan Shatte. A, 2002). Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikososial seseorang. Sehingga resiliensi bisa menjadi salah satu penentu karakter seseorang (Desmita, 2013). Sejumlah ahli tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena: (1) perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam konteks “beresiko tinggi” (high risk), seperti anak yang hidup dalam kemiskinan kronis atau perlakuan kasar orang tua, (2) kompetensi yang dimungkinkan muncul di bawah tekanan yang berkepanjangan, seperti persistiwa-peristiwa di sekitar perceraian orag tua mereka, dan (3) kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang saudara (Wenner, E; 2003).
Untuk dapat berkembang secara positif atau sembuh dari kondisi-kondisi stress, trauma dan berbagai situasi yang penuh resiko, maka setiap orang membutuhkan keterampilan resiliensi, yang meliputi: (1) kecakapan untuk membentuk interaksi sosial yang positif (kompetensi sosial), (2) keterampilan memecahkan masalah (metakognitif), (3) keterampilan mengembangkan sense of identity (otonomi), dan (4) perencanaan dan pengharapan yakni pemahaman tentang tujuan hidup dan masa depan. Resiliensi perlu dimiliki oleh setiap siswa dan dibutuhkan upaya pengembangannya secara terus menerus. Resiliensi membuat setiap siswa akan mampu mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya, termasuk mengatasi pengaruh lingkungan sosial baik di dunia nyata maupun dunia maya yang tidak akan pernah berhenti bahkan akan terus berlanjut. Resiliensi akan membuat siswa mampu memilih dan memilah kegiatan positif dan kegiatan negatif, resiliensi akan membuat siswa memiliki kemampuan menjaga dirinya bahkan memuliakan dirinya, sehingga mampu bertahan dari berbagai pengaruh di sekelilingnya.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong