ARSIP BULANAN : May 2025

Pergeseran Istilah Visual, Auditori, dan Kinestetik dari Media Komunikasi ke Teori Pendidikan

Oleh: Maryam Rahim

            Istilah visual, auditori, dan kinestetik mengalami pergeseran dari teori komunikasi sebagai konsep kanal sensorik menjadi klasifikasi preferensi belajar dalam pendidikan. Tokoh-tokoh seperti Edgar Dale, Howard Gardner, Neil Fleming, dan Barbara De Porter–Mike Hernacki masing-masing memberikan kontribusi dalam evolusi konsep ini.

            Istilah visual, auditori, dan kinestetik awalnya berkembang dalam konteks media komunikasi sebagai bentuk saluran sensorik dalam penyampaian pesan. Namun, dalam perkembangannya, istilah ini mengalami pergeseran makna dan fungsi ketika diadopsi ke dalam teori pendidikan, khususnya dalam konteks gaya belajar. Teori gaya belajar sering menjadi acuan dalam dunia pendidikan untuk memahami perbedaan cara siswa menerima dan mengolah informasi. Salah satu model paling populer adalah model Visual, Auditory, Kinesthetic (VAK) yang kemudian dikembangkan menjadi VARK oleh Neil Fleming. Namun, sebelum digunakan sebagai klasifikasi gaya belajar, istilah visual, auditori, dan kinestetik terlebih dahulu dikenal dalam dunia komunikasi dan media. Selain itu, tokoh seperti Barbara De Porter dan Mike Hernacki memiliki kontribusi besar dalam menyebarluaskan konsep ini ke dunia pendidikan populer melalui pendekatan Quantum Learning.

 Asal-usul dalam Media Komunikasi

            Pada awalnya, istilah visual, auditori, dan kinestetik digunakan untuk menjelaskan saluran sensorik dalam teori komunikasi dan desain pembelajaran. Edgar Dale (1946) melalui Cone of Experience-nya menggambarkan berbagai jenis media pembelajaran berdasarkan tingkat keterlibatan indera, dari simbolik (verbal) ke konkret (pengalaman langsung). Dalam teori komunikasi klasik, Shannon dan Weaver (1949) juga membahas media sebagai kanal penyampai pesan yang bekerja melalui berbagai saluran sensorik.

Transisi ke Psikologi dan Pendidikan

            Pada era 1970–1980-an, pendekatan kognitif dalam psikologi mulai memberi ruang pada variasi dalam cara individu belajar. David Kolb (1984) mengembangkan model pembelajaran pengalaman (experiential learning) yang menekankan pentingnya keterlibatan langsung (kinestetik) dalam proses belajar. Howard Gardner (1983) memperkenalkan teori Multiple Intelligences yang mencakup kecerdasan visual-spasial dan bodily-kinesthetic, memperkuat dasar untuk pendekatan individual dalam pendidikan.

Populerisasi oleh Neil Fleming

            Neil Fleming (1992) mengembangkan model VARK, sebuah alat untuk mengidentifikasi preferensi belajar individu berdasarkan empat kategori: Visual, Auditory, Reading/Writing, dan Kinesthetic. Model ini dengan cepat menjadi populer di kalangan pendidik karena sifatnya yang praktis dan mudah diterapkan. Ia mengadaptasi istilah dari dunia media ke dalam kerangka teori pembelajaran untuk menjawab kebutuhan akan pendekatan diferensial dalam pengajaran.

Peran De Porter dan Hernacki dalam Pendidikan Populer

            Barbara De Porter dan Mike Hernacki turut berperan besar dalam menyebarluaskan model gaya belajar VAK melalui pendekatan Quantum Learning yang mereka kembangkan. Dalam bukunya Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan (1999), mereka menguraikan tipe gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik secara praktis dan aplikatif, serta memberikan strategi pembelajaran untuk masing-masing tipe tersebut. Buku ini menjadi sangat berpengaruh, terutama di Indonesia, karena memadukan teori gaya belajar dengan pendekatan pembelajaran aktif dan menyenangkan. Meskipun mereka tidak menciptakan model VAK, De Porter dan Hernacki berjasa dalam mempopulerkan istilah tersebut dalam dunia pendidikan global dan Indonesia, menjadikan konsep gaya belajar bagian dari pelatihan guru, modul siswa, dan pengembangan kurikulum berbasis kebutuhan peserta didik.

Kritik terhadap Validitas Gaya Belajar

Meskipun model VAK dan VARK banyak digunakan, sejumlah penelitian meragukan validitasnya. Pashler et al. (2008) dalam kajiannya menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti empiris yang mendukung gagasan bahwa mengajar sesuai gaya belajar meningkatkan hasil akademik. Hal ini menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam menerapkan konsep gaya belajar secara absolut dalam pendidikan.

Daftar Pustaka

Dale, E. (1946). Audio-Visual Methods in Teaching. New York: Dryden Press.

De Porter, B., & Hernacki, M. (1999). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

Fleming, N. D., & Mills, C. (1992). Not Another Inventory, Rather a Catalyst for Reflection. To Improve the Academy, 11(1), 137–155.

Gardner, H. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York: Basic Books.

Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Pashler, H., McDaniel, M., Rohrer, D., & Bjork, R. (2008). Learning Styles: Concepts and Evidence. Psychological Science in the Public Interest, 9(3), 105–119. https://doi.org/10.1111/j.1539-6053.2009.01038.x

Shannon, C. E., & Weaver, W. (1949). The Mathematical Theory of Communication. Urbana: University of Illinois Press.

Gaya Visual, Auditori, dan Kinestetik (VAK) dalam Layanan Bimbingan dan Konseling

Oleh: Maryam Rahim

            Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menerima dan memproses informasi. Perbedaan ini dikenal sebagai gaya belajar atau gaya menerima pesan, yang umumnya dikategorikan menjadi tiga: visual, auditori, dan kinestetik. Selama ini gaya Visual, Auditori, dan Kinestetik (VAK) ini lebih banyak digunakan dalam konteks pendidikan, yang dikenal degan gaya belajar. Pemahaman terhadap gaya belajar ini menjadi sesuatu yang penting dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Namun pada hakekatnya, gaya VAK ini penting juga dalam konteks pelayanan bimbingan dan koneling. Dalam konteks bimbingan dan konseling, pemahaman terhadap gaya menerima dan merespon pesan ini sangat penting untuk menciptakan hubungan komunikasi yang efektif, menyampaikan informasi secara tepat, meningkatkan motivasi konseli dalam mengikuti layanan, dan meningkatkan keberhasilan intervensi bimbingan dan konseling itu sendiri. Secara umum dapat dideskripsikan implikasi dari masing-masing gaya VAK ini dalam pelayanan bimbingan dan konseling sebagai berikut:

1. Gaya visual.

Konseli dengan gaya visual cenderung lebih mudah memahami informasi yang disampaikan melalui gambar, warna, grafik, atau tulisan. Mereka biasanya mengingat lebih baik apa yang mereka lihat daripada apa yang mereka dengar. Dalam praktik konseling, konselor dapat memanfaatkan media layanan visual seperti diagram alur, peta konsep, kartu emosi, atau jurnal visual untuk membantu konseli memahami situasi atau merancang solusi. Selain itu, penggunaan ekspresi wajah, gerakan tangan, dan bahasa tubuh juga sangat berpengaruh dalam menjalin komunikasi dengan konseli visual. Ruang konseling yang tertata dengan baik secara visual juga dapat menambah rasa nyaman dan keterbukaan pada diri konseli. Di samping penggunaan media layanan, gaya visual ini dapat dioptimalkan lewat penggunaan metode layanan yang melibatkan indera penglihatan, seperti metode cinema therapy.

2. Gaya auditori.

Konseli dengan gaya auditori lebih responsif terhadap informasi yang disampaikan secara lisan. Mereka cenderung belajar dan memahami melalui percakapan, diskusi, dan penjelasan verbal. Dalam konseling, konselor perlu menggunakan suara yang tenang, jelas, dan berintonasi untuk menciptakan suasana yang mendukung. Teknik seperti refleksi, parafrase, dan pertanyaan terbuka sangat membantu untuk menggali perasaan dan pikiran konseli. Konselor juga dapat mendorong konseli untuk mengungkapkan diri melalui berbicara, baik dalam bentuk cerita, curahan hati, atau latihan afirmasi verbal. Penggunaan media audio dalam layanan  juga dapat membantu mengoptimalkan pemahaman konseli terhadap pesan/materi layanan. Media audio dimaksud seperti rekaman suara yang menjelaskan sebuah peristiwa atau suatu prosedur kegiatan, atau rekaman lagu-lagu yang berisi konten layanan juga akan menarik perhatian dan memotivasi konseli dalam proses layanan.

3. Gaya kinestetik.

Konseli kinestetik lebih mudah memahami informasi melalui aktivitas fisik, pengalaman langsung, atau gerakan tubuh. Mereka mungkin merasa tidak nyaman jika hanya duduk diam dan berbicara dalam waktu yang lama. Dalam layanan konseling, pendekatan aktif seperti role playing, simulasi, atau teknik menulis ekspresif dapat meningkatkan efektivitas komunikasi. Di samping metode/teknik layanan lainnya, seperti latihan, karyawisata, career day, serta berbagai game untuk pengembangan aspek sosial-emosional, dan aspek-aspek karakter, akan meningkatkan minat konseli dalam mengikuti layanan, dan tentu saja akan memudahkan mereka memahami materi layanan. Konselor juga perlu memperhatikan bahasa tubuh konseli kinestetik karena mereka cenderung mengekspresikan perasaan melalui gerakan, posisi duduk, atau ekspresi fisik lainnya.

            Pemahaman terhadap gaya visual, auditori, dan kinestetik memberikan manfaat besar dalam menyesuaikan pendekatan layanan bimbingan dan konseling. Dengan memperhatikan cara konseli menerima dan memproses pesan, konselor dapat membangun hubungan yang lebih empatik dan responsif, serta menyampaikan intervensi yang lebih tepat sasaran. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas layanan konseling dan mendukung perkembangan pribadi konseli secara optimal. Namun yang perlu diperhatikan bahwa pemahaman gaya penerimaan konseli bukan berarti konselor harus menyesuaikan metode/teknik dan media layanan yang digunakan dengan gaya penerimaan pesan oleh konseli secara kaku, akan tetapi yang perlu dilakukan oleh konselor adalah penggunaan metode/teknik dan media layanan yang bervariasi sehingga dapat memberikan kesempatan kepada semua konseli untuk dapat menerima dan memproses pesan atau topik layanan.secara maksimal.

Pendidikan Sepanjang Hayat (Life-long Education): Filosofi Pendidikan Indonesia

Oleh: Maryam Rahim

            Belajar tidak harus berhenti ketika sesorang lulus sekolah atau kuliah. Bahkan setelah bekerja, menikah, atau pensiun pun, kita tetap bisa, dan seharusnya terus belajar. Inilah yang disebut sebagai pendidikan sepanjang hayat, sebuah gagasan penting yang menjadi dasar filosofi pendidikan di Indonesia.

Apa Itu Pendidikan Sepanjang Hayat?

            Pendidikan sepanjang hayat (life-long education) adalah pandangan bahwa proses belajar berlangsung terus-menerus sepanjang hidup manusia. Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas atau hanya untuk anak-anak dan remaja. Sebaliknya, setiap fase kehidupan adalah peluang untuk belajar, baik secara formal, seperti melalui sekolah, secara non formal, seperti melalui kursus dan pelatihan, maupun secara informal, seperti dalam lingkungan keluarga, pengalaman hidup, dan lingkungan sosial.

            Konsep ini bukan hal baru. UNESCO telah mengusungnya sejak tahun 1972 dalam laporan "Learning to Be" yang diketuai oleh Edgar Faure. Dalam laporan tersebut ditegaskan bahwa: "Every individual must be in a position to keep learning throughout life." (Edgar Faure, UNESCO, 1972). Pandangan ini kemudian berkembang luas dan menjadi dasar pemikiran banyak negara, termasuk Indonesia.   

Apa yang menjadi akar filosofis dan nilai kebangsaan pendidikan sepanjang hayat?

            Secara filosofis, pendidikan sepanjang hayat bersumber dari pandangan bahwa: (1) manusia bersifat dinamis dan berkembang, sehingga membutuhkan proses belajar yang berkelanjutan, (2) pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan ruang-ruang kehidupan lainnya, (3) belajar adalah hak setiap warga negara dan merupakan bagian dari pembentukan karakter serta jati diri bangsa.

            Dalam konteks Indonesia, pendidikan sepanjang hayat sejalan dengan semangat Pancasila dan cita-cita dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila menekankan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, dan pendidikan adalah salah satu jalan utama untuk mencapainya.

            Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya… dan berlangsung sepanjang hayat.” (Pasal 1 Ayat 1)

Apakah pendidikan sepanjang hayat berarti “Belajar oleh siapapun, di mana saja, dan kapan saja?”

            Pendidikan sepanjang hayat mendorong kita melihat bahwa proses belajar tidak dibatasi oleh status sosial, oleh usia, oleh waktu, atau tempat.Pendidikan sepanjang hayat mengandung makna bahwa siapapun harus belajar, di manapun sesorang harus belajar, dan kapanpun belajar harus terjadi. Pendidikan berlangsung melalui tiga jalur utama, yakni: jalur formal: seperti sekolah dan universitas. Jalur nonformal: seperti kursus, pelatihan kerja, dan program kesetaraan (Paket A, B, C), dan jalur informal: melalui keluarga, pengalaman hidup, komunitas, dan lingkungan sekitar.

            Tokoh pendidikan Indonesia sekaligus sebagai Menteri Pendidikan Indonesia (waktu itu disebut Menteri Pengajaran) yang pertama, Ki Hadjar Dewantara, pernah menegaskan: "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah."  Ungkapan ini mengandung makna mendalam bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama dan dapat terjadi di mana saja.

Apa pentingnya belajar sepanjang hayat?

            Di tengah dunia yang cepat berubah karena digitalisasi dan globalisasi, kemampuan untuk terus belajar menjadi kunci bertahan dan maju. Menurut laporan World Economic Forum (2020), 50% pekerja perlu reskilling dalam lima tahun ke depan karena perubahan teknologi. Pendidikan sepanjang hayat menjawab tantangan ini. Belajar sepanjang hayat akan membekali masyarakat dengan: kemampuan adaptif, keterampilan baru, dan daya saing yang relevan di pasar kerja dan kehidupan sosial.

Apa saja tantangan dan peluang belajar sepanjang hayat

            Meskipun filosofi pendidikan ini sangat kuat, namun implementasi pendidikan sepanjang hayat di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, seperti: rendahnya akses pendidikan untuk kelompok marginal, terbatasnya fasilitas pembelajaran nonformal, dan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya belajar sepanjang usia. Namun, peluang juga terbuka lebar. Pemerintah saat ini telah mendorong pendidikan vokasional, pengembangan SDM unggul, serta perluasan akses pelatihan berbasis teknologi.

            Pendidikan sepanjang hayat bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga pendidikan. Ini adalah panggilan bagi kita semua - sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang besar, bangsa yang memiliki masa depan yang gemilang, - siapapun, di manapun, dan kapanpun, untuk terus belajar, bertumbuh, dan memberi makna dalam hidup. Karena sejatinya, belajar bukan sekedar proses akademik, melainkan cara manusia memaknai hidup dan memperbaiki masa depan.

MARI MENJADI PEMBELAJAR SEPANJANG HAYAT!

Referensi:

-          UNESCO. (1972). Learning to Be: The World of Education Today and Tomorrow (Laporan Faure).

-          Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

-          World Economic Forum. (2020). The Future of Jobs Report.

-          Pernyataan Ki Hadjar Dewantara (dari berbagai sumber pendidikan nasional).

Gemar Belajar pada Anak Usia Dini dan Belajar Sepanjang Hayat

Oleh: Maryam Rahim

            Indonesia memiliki filosofi “pendidikan sepanjang hayat (lifelong education)”, sebagaimana telah dimuat dalam penjelasan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penjelasan tersebut memuat bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan. Pernyataan ini menegaskan bahwa pendidikan di Indonesia tidak terbatas hanya pada usia sekolah, melainkan harus berlangsung sepanjang kehidupan manusia Indonesia. Filosofi pendidikan sepanjang hayat tentu saja memuat atau memiliki makna belajar sepanjang hayat.

            Belajar sepanjang hayat tentu saja membutuhkan semangat belajar yang tinggi pada setiap warga negara Indonesia. Oleh sebab itu diperlukan upaya yang berkelanjutan untuk mengembangkan perilaku gemar belajar yang dimulai dari usia dini. Gemar belajar merupakan salah satu dari 7 (tujuh) kebiasaan anak Indonesia hebat.

            Belajar nerupakan salah satu aktivitas yang sangat urgen dalam kehidupan manusia. Dikatakan demikian, sebab melalui belajar seseorang akan memperoleh informasi yang bermanfaat baik untuk pengembangan diri sendiri maupun untuk pengembangan kehidupan dalam masyarakat. Perkembangan yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tentu saja merupakan hasil dari aktivitas belajar. Mengingat besarnya manfaat yang diperoleh melalui belajar, maka sudah sepatutnya perilaku gemar belajar dikembangkan sejak usia dini.

            Seseorang melakukan aktivitas belajar biasanya didasari oleh adanya rasa ingin tahu (quriosity). Oleh sebab itu mengembangkan kebiasaan gemar belajar pada anak usia dini perlu dimulai dengan pengembangan rasa ingin tahu mereka. Rasa ingin tahu (quriosity) adalah dorongan internal dalam diri seseorang untuk mengetahui, memahami, dan mengeksplorasi sesuatu yang belum diketahuinya. Pada anak usia dini, rasa ingin tahu merupakan bagian penting dari perkembangan kognitif dan emosional, karena menjadi pendorong utama mereka untuk belajar dari lingkungan sekitarnya. Rasa ingin tahu membantu anak mengeksplorasi, bertanya, dan mencoba hal-hal baru untuk membangun pemahaman tentang dunia.

                Sehubungan dengan upaya menumbuhkan rasa ingin tahu anak usia dini, terlebih dahulu perlu dipahami ciri-ciri anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi yakni:

1. Banyak bertanya; anak sering mengajukan pertanyaan terbuka, bahkan yang sederhana seperti “kenapa?”, “apa ini?”, atau “bagaimana caranya?”.

2. Suka mengeksplorasi; anak senang menjelajahi lingkungan sekitarnya, baik melalui permainan, menyentuh benda, maupun mencoba hal-hal baru.

3. Memperhatikan hal-hal detail; anak menunjukkan perhatian khusus pada benda atau kejadian kecil di sekitarnya dan mencoba memahaminya.

4. Senang bereksperimen; anak mencoba mencampur warna, membongkar mainan, atau menciptakan sesuatu dengan berbagai bahan yang ditemukannya.

5. Aktif dan enerjik; anak yang rasa ingin tahunya tinggi biasanya sangat aktif secara fisik karena terdorong untuk terus bergerak dan mencari tahu.

6. Suka membaca atau melihat buku bergambar; anak menunjukkan minat pada buku dan gambar, dan sering ingin tahu cerita di baliknya.

7. Tidak mudah puas dengan jawaban singkat; anak cenderung terus menggali informasi sampai merasa puas, sering kali menggiring pada rangkaian pertanyaan lanjutan.

8. Menunjukkan antusiasme saat belajar; anak terlihat senang dan tertarik ketika belajar hal-hal baru, baik di rumah maupun di sekolah.

Setelah diketahui ciri-ciri anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, maka potensi ini perlu dikembangkan, sehingga akan menumbuhkan perilaku gemar belajar pada anak usia dini. Upaya-upaya tersebut antara lain:

1. Ciptakan lingkungan yang merangsang; sediakan mainan edukatif yang beragam dan aman; siapkan buku cerita bergambar dengan topik yang menarik, buat area bermain yang penuh warna dan kaya tekstur.

2. Berikan kebebasan untuk mengeksplorasi; biarkan anak mencoba hal baru, seperti bermain air, pasir, atau menggambar bebas; jangan terlalu cepat melarang atau mengoreksi ketika anak mencoba sesuatu, selama itu tidak berbahaya.

3. Jawab pertanyaan anak dengan sabar; tanggapi pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana” dengan antusias; jika tidak tahu jawabannya, ajak anak mencari bersama lewat buku atau tontonan edukatif.

4. Gunakan pendekatan bermain sambil belajar; ajak anak bereksperimen sederhana, seperti mencampur warna atau menanam biji; bermain peran (role play), seperti bermain dokter-dokteran atau pasar-pasaran.

5. Beri contoh dan jadilah model; tunjukkan rasa ingin tahu Anda sendiri: misalnya dengan membaca buku, mencoba resep kue, atau mengamati binatang bersama anak, sebab anak cenderung meniru sikap orang dewasa di sekitarnya.

6. Dorong anak untuk bertanya dan berpendapat; ajukan pertanyaan terbuka seperti “Menurutmu kenapa itu bisa terjadi?”; hargai pendapat mereka meskipun masih polos atau belum logis.

7. Berikan apresiasi atas usaha anak; beri pujian saat anak mencoba sesuatu yang baru atau bertanya dengan kritis; hindari menghukum atau mengejek ketika anak melakukan kesalahan saat bereksplorasi.

            Jika anak usia dini telah memiliki dasar-dasar perilaku gemar belajar, tentu saja perilaku ini akan berkembang seirama dengan perkembangan anak, hingga pada akhirnya anak dapat menjadikan belajar sebagai bagian dari kehidupannya. Belajar tidak sekedar memenuhi kewajiban sebagai siswa, namun belajar baginya menjadi sebuah kebutuhan. Seseorang akan merasa ada sesuatu yang kurang jika dia belum atau tidak belajar, sama halnya dengan seseorang yang belum makan tentu saja akan merasa lapar, dan ia butuh makan. Inilah hakikat dari belajar sepanjang hayat.

Pendidikan dan Pembentukan Moralitas Bangsa

(Refleksi di Hari Pendidikan Nasional)

Oleh: Maryam Rahim

            Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia telah merdeka. Penyelenggaraan pendidikan  di Indonesia telah melalui berbagai dinamika, mulai dari perubahan kurikulum, perubahan metode pembelajaran, perubahan sistem evaluasi, termasuk perubahan pengelolaan sistem pendidikan, yang selama ini menimbulkan kesan pada masyarakat bahwa pergantian menteri pendidikan akan berakibat pada perubahan kurikulum. Namun seirama dengan perubahan itu, impelemnetasi pendidikan belum sepenuhnya menampakkan hasil yang diharapkan sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam pasal 3, yaitu: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".

            Timbul pertanyaan, bagaimana keberlanjutan bangsa kita di masa depan apabila kondisi sebagian anggota masyarakat memperlihatkan perilaku yang cenderung kurang/tidak bermoral? Di mana-mana korupsi merajalela yang dilakukan oleh para pejabat, terjadinya kaus suap bahkan di kalangan pejabat penegak hukum, dan mereka yang memegang kekuasaan, perilaku jujur diabaikan, melakukan kecurangan untuk diterima sebagai mahasiswa dan tenaga kerja, lebih mendahulukan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan rakyat, memperkaya diri dan keluarga, hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah, tanggungjawab pribadi sebagai sosok pemimpin terlihat sebagai pencitraan, segelintir orang hidup bermewah-mewah di tengah masyarakat yang terhimpit dengan kehidupan ekonomi, perbuatan asusila terjadi di berbagai kalangan bahkan lebih memprihatinkan perbuatan itu terjadi di kalangan siswa di tingkat dasar sekalipun, predator sex di mana-mana, dan juga perbuatan krimininalitas lainnya.

            Lantas, apakah kita biarkan kondisi ini berlarut-larut? Tentu saja tidak. Pendidikan haruslah terus melakukan berbagai upaya untuk menghasilkan generasi yang bermoral baik. Kita semua, terutama pendidik dalam hal ini guru, dan orang tua bersama-sama masyarakat dan pemerintah, memiliki tanggungjawab bersama untuk keberlanjutan bangsa Indonesia, bangsa yang menjunjung tinggi moralitas, sebagai bangsa besar yang memiliki ideologi Pancasila di mana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berakar dari kepribadian bangsa Indonesia yang menjujung tinggi moralitas.

            Sudah saatnya pendidikan memberikan perhatian utama dan penuh pada persoalan pembentukan moralitas masyarakat Indonesia, melalui:

1. Pendidikan di sekolah lebih difokuskan pada aspek afektif atau aspek nilai, yang menjadi akar dari perilaku bermoral.

2. Penilaian aspek afektif diberikan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan aspek kognitif dan psikomotor. Perbandingan bobot penilaian adalah: 40% untuk aspek afektif, 30% untuk aspek kognitif, dan 30% untuk aspek psikomotor. Bahkan perlu diberikan penekanan bahwa siswa bisa naik kelas jika perilakunya menunjukkan perilaku bermoral (empati, altruis, jujur, sopan, tanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain, disiplin, lebih mendahulukan kepentingan orang banyak dibandingkan kepentingan pribadi, memiliki pemahaman diri yang baik, tolong menolong). Oleh sebab itu diperlukan instrumen penilaian perilaku bermoral yang benar-benar dapat mengungkap perilaku bermoral baik pada siswa.

3. Kegiatan pada lembaga pendidikan anak usia dini lebih ditekankan pada pembiasaaan perilaku bermoral pada anak-anak (empati, altruis, jujur, sopan, tanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain, disiplin, tolong menolong, saling menghormati, perilaku antri dan perilaku lainnya) melalui berbagai kegiatan kontekstual.

4. Kelas-kelas di tingkat dasar, khususnya sekolah dasar hendaknya dibina oleh 2 orang guru, di mana 1 orang guru fokus pada materi pemebelajaran (aspek kognitif dan psikomotor) dan 1 orang guru lainnya fokus pada aspek afektif atau moralitas.

5. Penerapan pendidikan berbasis budaya. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia adalah bangsa ini hidup di tengah-tengah budaya daerah masing-masing, dan menjadikan budaya sebagai pedoman dalam berperilaku. Di setiap budaya memiliki istilah-istilah dan pepatah yang terkait dengan perilaku bermoral, dan ini dapat digunakan sebagai media untuk menumbuhkan dan mengembangkan perilaku bermoral pada peserta didik. Contoh di daerah Gorontalo ada pepatah seperti berikut: "bo to hale-hale lo odutuwa lo tanggulo" yang berarti "keberadaan seseorang sangat ditentukan oleh perilakunya. Seseorang akan dihargai dan dipercaya jika perilakunya sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku".

Tentu saja budaya di daerah lain juga memiliki pepatah yang mengandung pendidikan perilaku bermoral

6. Pendidikan moral harus terintegrasi dalam semua mata pelajaran, dalam arti pendidikan moral menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran.

7. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah lebih dioptimalkan untuk pengembangan moral peserta didik

8. Pendidikan harus dapat membentuk pribadi peserta didiknya menjadi pribadi yang memiliki ketahanan diri/ketahanan mental agar mampu menghadapi berbagai pengaruh negatif dari perkembangan teknologi dan kehidupan sosial di masyarakat.

9. Pendidikan didukung oleh adanya model perilaku bermoral dari para guru, orang tua, para pemimpin, dan anggota masyarakat termasuk para pegiat media sosial.

            Jika pendidikan di sekolah benar-benar memberikan perhatian utama pada pendidikan moral, yang didukung oleh orang tua, para pemimpin, anggota masyarakat, dan para pegiat media sosial, maka akan terwujud generasi Indonesia yang memiliki moralitas yang tinggi.