Menjadi Guru Sepanjang Zaman
Menjadi Guru Sepanjang Zaman
Oleh: Maryam Rahim
Dosen BK FIP Universitas Negeri Gorontalo
Posisi guru dalam pembelajaran tidak akan tergantikan oleh teknologi yang paling canggih sekalipun dan sampai kapanpun, artinya bahwa sosok guru dalam pendidikan akan dibutuhkan sepanjang masa, selama pendidikan masih dilaksanakan dalam kehidupan ini. Fenomena menunjukkan adanya kebutuhan terhadap kualitas guru tergantung pada masa atau zaman. Jika zaman mengalami perubahan maka kebutuhan terhadap kualitas guru juga berubah, sehingga dikenallah guru zaman A atau era A, guru zaman B atau era B, dan seterusnya. Kebutuhan terhadap kualitas guru di setiap perubahan zaman ini memberikan konsekuensi bahwa setiap guru seharusnya menjadi sosok yang mampu exis dari zaman ke zaman, sehingga dapat disebut guru sepanjang zaman, yakni guru yang selalu siap menghadapi dan survive di setiap perubahan zaman.
Menjadi guru sepanjang zaman haruslah menjadi manusia pembelajar, dalam arti manusia yang selalu berkeinginan untuk belajar dalam rangka mengembangkan diri sebagai sosok guru yang siap beradaptasi dan beraktivitas sesuai dengan perubahan zaman. Davis & Davis (2000) menyebut manusia pembelajar sebagai pembelajar abadi (perpetual learner), yakni manusia yang mencintai hal-hal baru, pemikiran baru, dan keterampilan baru. Ia belajar bukan hanya untuk mengetahui, tetapi lebih dari itu untuk berpikir dan memecahkan masalah. Manusia pembelajar akan belajar dalam mengembangkan ilmu tak hanya dari bangku kuliah dan text book, tapi juga pengalaman dan dari realitas kehidupan sebenarnya.
Mengadaptasi pendapat Sinamo (2000), manusia pembelajar memiliki 2 hal, yakni: perkakas belajar (learning tools) dan kekuatan belajar (leraning spirit). Perkakas belajar (learning tools) yang dimiliki manusia pembelajar adalah: (1) kemampuan berpikir rasional-persepsional, kapasitas ini memungkinkan seseorang untuk mengerti realitas internal diri dan realitas dunia eksternal yang melingkupinya, serta memahami relasi keduanya dan hukum-hukum yang mengaturnya, (2) kemampuan berpikir kreatif-imajinatif, kapasitas ini memampukan seseorang untuk menggagas hal-hal baru dalam rangka mencari solusi-solusi cerdas bagi bernbagai masalah kehidupan, termasuk untuk menciptakan konteks belajar yang dikendaki, (3) kemampuan berpikir kritikal-argumentatitf, kapasitas ini memampukan sesorang untuk menilai secara kritis fakta-fakta kehidupan, mengambil sikap serta membuat keputusan-keputusan yang dianggapnya baik, (4) kemampuan membedakan dan memilih alternatif yang ada, kapasitas ini memampukan seseorang untuk memilih antara yang baik dan buruk, berguna dan merugikan, benar dan salah, adil dan batil, bahkan antara yang baik dengan yang lebih baik, dan antara yang buruk dengan yang lebih buruk, (5) kemampuan berkehendak secara bebas, kapasitas ini memampukan seseorang untuk mengerahkan energy bio-psiko-spiritualnya untuk merealisasikan keinginannya, (6) kemampuan merasakan, kapasitas ini memuat macam-macam emosi, emosi yang dibangkitkan secara cerdas (misalnya amarah, cinta, gembira, sedih, empati) merupakan bentuk energy psikis yang amat kuat dan dapat difokuskan untuk mencapai sasaran belajar yang dikehendaki, dan (7) kemampuan memberi tanggapan moral, kapasitas ini memampukan sesorang merasakan suasana moral di sekitarnya melalui ketajaman suara hati dan kesadaran moral yang tinggi, terutama mengenai kebenaran, keadilan, dan kebaikan, sehingga selalu membuatnya memberikan penilaia dan tanggapan moral yang efektif. Manusia pembelajar memiliki learning spirit, sebagai berikut: (1) cinta belajar, cinta ilmu, dan cinta pengetahuan, hal ini penting sebab cinta adalah energy belajar tanpa batas (unlimited energy for learning), (2) menerima tanggung jawab bahwa dirinya menjadi penentu kemajuannya, dalam hal belajar seseorang harus dapat berkata: “I am the captain of my soul, I am the master of my fate”, (3) bersedia menunda kesenangan, tahan menderita, tidak mengumbar kesenangan dalam proses berburu pengetahuan, hal ini akan lebih mudah dilakukan bila seseorang memiliki cinta belajar, (4) bersedia untuk selalu tunduk pada kenyataan, tidak merasa paling tahu, tidak memutlakan apa yang diketahui, dan tidak bersikap dogmatis pada apa yang diyakininya. Memiliki perkakas belajar (learning tools) saja belumlah cukup, jika tidak memiliki kekuatan belajar (learning spirit). Seorang guru yang memiliki perkakas belajar (learning tools) saja dan tidak memiliki spirit belajar (learning spirit), dapat diibaratkan sebagai seorang tukang yang memiliki perlengkapan kerja yang lengkap dan dapat menggunakannya sesuai kebutuhan dan peruntukkannya pada zamannya, namun perlengkapan kerja itu tidak dapat membuatnya untuk mampu berinovasi dan berkreasi ketika zaman telah berubah, sehingga tukang tersebut disebut ketinggalan zaman. Sebaliknya, seorang guru yang memiliki kekuatan belajar (learning spirit) namun tidak memiliki perkakas belajar (learning tools) ibarat seorang tukang yang memiliki peralatan kerja namun tidak memiliki tenaga/kekuatan/daya untuk menggunakan secara kreatif peralatannya itu, akhirnya tidak ada yang dapat dihasilkan oleh sang tukang, atau jika ada, maka hasil yang diperolehnya itu tidak maksimal.
Menjadi guru sepanjang zaman haruslah mampu menjadi guru sejati. Guru sejati adalah sosok guru yang benar-benar memiliki kompetensi sebagai guru, guru yang mendidik dengan tulus dan ikhlas, guru yang mendidik sepenuh jiwa, guru yang mendedikasikan jiwa dan raganya untuk kepentingan peserta didiknya. Guru sejati adalah guru yang: mengatakan apa yang dilakukannya dan bukan yang diketahuinya; melakukan apa yang dikatakannya dan bukan apa yang diinginkannya; dihormati, disegani, sekaligus dirindukan oleh peserta didiknya; menjadi model perilaku bagi peserta didiknya; menerima dan menghormati peserta didik apa adanya dan berupaya mendidiknya seoptimal mungkin dengan ikhlas; memiliki semangat yang diwarnai oleh kemauan menjunjung tinggi martabat peserta didiknya; takut membuat kesalahan yang akan berakibat kurang baik terhadap peserta didik; akan meminta maaf kepada peserta didiknya ketika terlanjur berbuat salah; melakukan tugasnya dengan sepenuh jiwa; menerima tugasnya sebagai amanah; memandang tugasnya sebagai ibadah; memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual; memiliki motivasi yang tinggi untuk mengembangkan diri; kreatif dan inovatif; memiliki rasa ingin tahu yang tinggi; memiliki kemauan belajar sepanjang hayat.
Menjadi guru sepanjang zaman haruslah menjadi pembelajar abadi (perpetual learner), memiliki perkakas belajar (learning tools) dan kekuatan belajar (learning spirit) secara terintegrasi, serta mampu menjadi guru sejati. Sebagai sosok yang akan tetap dibutuhkan sepanjang zaman, marilah kita para guru memposisikan diri sebagai guru sepanjang zaman, guru yang senantiasa mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan mampu survive di setiap zaman.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong