Resiliensi dalam Menghadapi Dinamika Kehidupan

18 March 2024 12:18:45 Dibaca : 37

Resiliensi dalam Menghadapi Dinamika Kehidupan

Oleh: Maryam Rahim

Dosen Jurusan Bimbingan dan Konseling

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo

Dinamika kehidupan manusia sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi meminta kita untuk senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Perubahan besar di bidang pekerjaan yang ditandai dengan hilangnya banyak pekerjaan disebabkan perubahan cara kerja menjadi otomatisasi (Wolter, dalam Yahya, dan Vaidya et al, 2018) mengakibatkan semakin tingginya skill yang dipersyaratkan untuk melakoni sebuah pekerjaan. Diperkirakan sebanyak 24 juta pekerjaan di Indonesia akan digantikan oleh otomatisasi, sejalan dengan meningkatnya adopsi otomatisasi dan kecerdasan buatan. Persaingan dalam gaya hidup yang semakin menunjukkan keglamoran dari sekelompok orang dengan status ekonomi kelas atas tanpa peduli dengan orang-orang di sekitar dengan status ekonomi menengah ke bawah, bisa saja akan memicu munculnya berbagai keinginan yang tak terpuaskan bagi mereka yang berstatus ekonomi rendah. Pinjaman online yang ditawarkan oleh oknum-oknum yang hanya ingin memperkaya diri sendiri telah menjebak banyak orang untuk terlibat dalam lingkaran hutang yang tak terselesaikan, peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, kasus perceraian yang semakin marak, semuanya menjadi fenomena yang mengerikan bagi masa depan bangsa. Banyak orang yang jatuh bangun dalam melakoni kehidupannya, dan sebagian di antaranya gagal, dan mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang tragis. Perkembangan teknologi telah semakin memperkaya dinamika kehidupan manusia, perubahan status ekonomi maupun status sosial dari status tinggi ke status eknonomi dan sosial rendah kadang-kadang berakibat negatif bagi kehidupan orang yang mengalaminya.

Untuk dapat berkembang secara positif atau sembuh dari kondisi-kondis stress, trauma dan berbagai situasi yang penuh resiko, maka setiap orang membutuhkan keterampilan resiliensi, yang meliputi: (1) kecakapan untuk membentuk interaksi sosial yang positif (kompetensi sosial), (2) keterampilan memecahkan masalah (metakognitif), (3) keterampilan mengembangkan sense of identity (otonomi), dan (4) perencanaan dan pengharapan yakni pemahaman tentang tujuan hidup dan masa depan. Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya (Reivich. K dan Shatte. A, 2002). Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikososial seseorang. Sehingga resiliensi bisa menjadi salah satu penentu karakter seseorang (Desmita, 2013). Sejumlah ahli tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena: (1) perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam konteks “beresiko tinggi” (high risk), seperti anak yang hidup dalam kemiskinan kronis atau perlakuan kasar orang tua, (2) kompetensi yang dimungkinkan muncul di bawah tekanan yang berkepanjangan, seperti persistiwa-peristiwa di sekitar perceraian orag tua mereka, dan (3) kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang saudara (Wenner, E; 2003). Resiliensi perlu dimiliki oleh setiap orang dan dibutuhkan upaya pengembangannya secara terus menerus. Resiliensi membuat setiap orang mampu mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya.