Pendidikan Dengan Ilmu Pendidikan (PENDIP) versus Pendidikan Tanpa Ilmu Pendidikan (PENTIP)

23 March 2024 14:48:05 Dibaca : 112

Pendidikan Dengan Ilmu Pendidikan (PENDIP) versus Pendidikan Tanpa Ilmu Pendidikan (PENTIP)

Oleh: Maryam Rahim

Dosen Jurusan BK FIP UNG

        Pendidikan bertugas mengembangkan berbagai potensi peserta didik agar dapat memiliki kepribadian yang mantap, kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masayarakat, bangsa dan negara. Peserta didik yang menjadi subyek pendidikan merupakan individu yang unik, masing-masing memiliki kekhasan yang membedakannya dengan individu lain. Tidak ada peserta didik yang betul-betul sama, sebagaimana anak kembar yang tetap memiliki perbedaan. Menghadapi peserta didik yang berbeda itulah maka upaya pendidikan bukanlah aktivitas yang mudah. Pendidikan harus didasari oleh ilmu tentang perkembangan peserta didik, teori-teori pendidikan, teori belajar dan pembelajaran, strategi/metode pembelajaran, serta ilmu pendidikan (pedagogy). Dengan kata lain pendidikan harus dilaksanakan dengan ilmu pendidikan, pendidikan harus dilaksanakan berdasarkan pemahaman yang komprehensif tentang ilmu pendidikan.

                Seorang pendidik harus memahami keberagaman peserta didik dengan berbagai dimensi perkembangannya. Dimensi tersebut terdiri dari dimensi fisik dan dimensi psikis (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian). Dapat dibayangkan, jika dalam sebuah kelas ada 20 orang peserta didik, maka akan terdapat 20 karakteristik kondisi fisik dan psikis peserta didik. Dari segi fisik, ada peserta didik yang sehat fisiknya secara menyeluruh, sementara lainnya memiliki kelemahan fisik, mengidap penyakit tertentu atau kondisi kesehatan yang sering terganggu. Dari segi psikis (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian) masing-masing akan ada 20 karakteristik aspek-aspek tersebut (bayangkan jika seorang guru menghadapi kelas terdiri dari 30 atau lebih peserta didik). Dari aspek bakat misalnya, bukan hanya ada 20 bakat, sebab ada peserta didik yang memiliki lebih dari satu bakat yang menonjol, demikian halnya dengan minat. Dari segi emosi, setiap hari peserta didik dengan kondisi emosi yang tidak sama, bisa saja di hari tertentu ia dilanda emosi positif seperti gembira, bahagia, namun di hari yang lain mengalami emosi negatif, seperti marah, sedih, ataupun takut. Dari aspek sosial, terdapat peserta didik yang luwes dalam bergaul, mudah menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi (well-adjustive), dan yang lainnya memiliki kemampuan interkasi sosial yang rendah bahkan sulit menyesuiakan diri (mal-adjustive). Ada yang memiliki kepribadian introvert dan ada pula yang ekstrovert. Demikian pula halnya aspek sikap, gaya belajar, kemampuan berbahasa, perkembangan moral, dan jenis perhatian. Seluruh karakteristik ini harus disesuaikan dengan teori belajar dan pembelajaran, dan strategi/metode pembelajaran. Tidak hanya itu, di sisi lain pendidikan juga dituntut harus mampu mengembangkan berbagai aspek perkembangan peserta didik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian). Pendidikan harus mampu mengembangkan bakat dan minat peserta didik; menjadikannya sebagai individu yang memiliki kecerdasan emosional (emotional intelligence), kecerdasan sosial (social intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) yang tinggi di samping kecerdasan intelektual; memiliki sikap-sikap yang positif (positive attitude) terhadap hal-hal yang positif; memiliki sifat-sifat yang baik; memiliki moral dan karakter terpuji, memiliki keterampilan berbahasa yang baik; dapat belajar sesuai dengan gaya belajarnya; memiliki kemampuan berkonsentrasi yang tinggi. Dengan kata lain pendidikan harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, serta mampu mengembangkan berbagai aspek perkembangan peserta didik tersebut. Pekerjaan lain lagi, guru harus melayani peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar dengan berbagai kondisi, ada yang lambat belajar (slow learner), ada yang sulit memahami materi, dan kesulitan belajar lainnya. Guru dituntut untuk melaksanakan pengajaran remedial (remedial teaching, remedial yang sesungguhnya, bukan ulangan atau ujian ulang yang biasa dilakukan pada saat akan pengisian raport), melaksanakan program pengayaan (enrichment program) bagi peserta didik yang memiliki kecepatan belajar yang tinggi (bukan pengayaan saat menghadapi ujian sekolah). Pekerjaan ini tentulah bukan pekerjaan yang mudah bagi seorang pendidik/guru. Hal ini menggambarkan betapa tidak mudahnya pendidikan yang berdasarkan pada ilmu pendidikan, atau pendidikan dengan ilmu pendidikan (PENDIP). Ketidakmudahan dalam melaksanakan pendidikan dengan ilmu pendidikan (PENDIP) ini dikhawatirkan akan menjebak guru dalam praktek pendidikan tanpa ilmu pendidikan (PENTIP).

                Kelas-kelas (terutama pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama) seharusnya dibina oleh minimal 2 (dua) orang guru, masing-masing bisa berbagi tugas, ada yang fokus pada upaya membantu siswa menguasai materi mata pelajaran, dan guru yang satunya memberikan perhatian pada perkembangan psikis peserta didik (bukan guru Bimbingan dan Konseling/Konselor). Pasti akan muncul pemikiran tentang biaya yang dibutuhkan jika setiap kelas dibina oleh 2 orang guru. Namun itulah resiko yang harus terjadi jika menginginkan pendidikan yang dapat membantu perkembangan peserta didik secara utuh.

                Tidak cukup seorang pendidik/guru memiliki keterampilan dalam menggunakan strategi dan metode pembelajaran yang diperoleh melalui berbagai pelatihan yang melelahkan dan menguras energy bahkan menghabiskan anggaran biaya yang tidak sedikit, jika ia tidak mampu mengaplikasikannya sesuai dengan karakteristik peserta didik. Akibatnya keterampilan itu tidak dapat membantu perkembangan peserta didik secara optimal sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan. Undang-Undang Guru dan Dosen telah menetapkan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah kompetensi pedagogik, yakni kompetensi yang sangat terkait dengan penguasaan guru tentang karakteristik peserta didik dan ilmu pendidikan secara utuh serta penerapannya dalam aktivitas pembelajaran yang menjadi tanggungjawabnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah setiap guru memiliki kompetensi pedagogik yang mumpuni? Pertanyaan ini semakin menguat dengan adanya kebijakan tentang penyiapan guru yang berlatar belakang non kependidikan. Cukupkah waktu setahun untuk memberikan bekal kompetensi pedagogik bagi para guru tersebut? jawabannya sudah jelas “tidak cukup”. Bandingkan dengan para calon guru yang dibekali dengan keilmuan di bidang pendidikan selama 4 (empat) tahun, yang bisa saja kompetensi pedagogiknya tidak terbentuk secara mantap. Kondisi ini tentu saja akan semakin memperlebar ruang terjadinya pendidikan tanpa ilmu pendidikan (PENTIP).