Pseudo-Education

23 March 2024 17:07:32 Dibaca : 255

Pseudo-Education

Oleh

Maryam Rahim

Universitas Negeri Gorontalo

                Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar untuk membantu perkembangan manusia ke arah perkembangan yang optimal, yakni perkembangan yang sesuai dengan kemampuan, minat dan bakat, serta berbagai potensi lainnya yang dimiliki oleh manusia. Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan. Pendidikan merupakan suatu proses membantu manusia mencapai kepribadian yang lebih baik.

Berbagai defenisi tentang pendidikan memuat subyek pendidikan yakni manusia. Oleh sebab itu, memahami makna pendidikan memerlukan pemahaman yang jelas tentang manusia. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang unik. Para ahli banyak melakukan pengkajian tentang manusia dari berbagai dimensi yang berbeda.

A. Dimensi Manusia

                Dimensi manusia atau dimensi kehidupan kemanusiaan merupakan bingkai penampilan tiap-tiap diri manusia dalam aktualisasi kehidupannya sehari-hari (Prayitno, 2015:5). Prayitno mengemukakan 5 (lima) unsur dimensi kemanusiaan, yakni:

1. Dimensi kefitrahan, dengan kata kunci kebenaran dan keluruhan.

2. Dimensi keindividualan, dengan kata kunci potensi dan perbedaan.

3. Dimensi kesosialann, dengan kata kunci komunikasi dan kebersamaan.

4. Dimensi kesusilaan, dengan kata kunci nilai dan moral.

5. Dimensi keberagamaan, dengan kata kunci iman dan takwa.

                Kesatuan kelima dimensi tersebut akan mewujudkan kualitas kemuliaan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari dengan orientasi hakikat kemanusiaan.

                Sinolungan (1992) memandang manusia dari dimensi:

1. Manusia sebagai makhluk individu, artinya sebagai pribadi, sebagai orang perorang, yang berbeda satu dengan lainnya.

2. Manusia sebagai makhluk sosial, artinya sebagai bagian dari manusia lain, tidak dapat hidup tanpa orang lain, membutuhkan interaksi dengan sesame manusia lainnya.

3. Manusia sebagai makhluk religious, artinya sebagai makhluk Tuhan, yang mempercayai adanya kekuasaan di atas segala kekuasaan di dunia ini.

                Pendidikan hendaknya didasarkan pada dimensi manusia ini, serta berupaya mengembangkan dimensi-dimensi tersebut agar manusia dapat mencapai kedudukannya sebagai manusia dengan hakikat kemanusiaannya.

 

B. Potensi Manusia

                Sebagai makhluk yang sempurna di antara makhluk-makhluk Tuhan lainnya, manusia telah dibekali dengan berbagai potensi. Manusia terlahir dengan berbagai potensi, di mana potensi itu akan berkembang secara optimal dalam interaksinya dengan lingkungan, dalam arti jika dikembangkan melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, berbagai potensi itu tidak akan berkembang (teori kovergensi oleh William Stern).Prayitno (2015, 4) mengemukakan perangkat dasar potensi kemanusiaan yang disebutnya sebagai “panca daya”, yang terdiri dari: (1) daya takwa, (2) daya cipta, (3) daya rasa, (4) daya karsa, dan (5) daya karya.

                Para pakar psikologi perkembangan memandang potensi manusia, dalam bentuk potensi fisik an potensi psikis. Potensi fisik, berupa tubuh, badan, raga, yang menentukan keberadaan manusia. Potensi psikis, berupa berbagai potensi kejiwaan, seperti bakat, minat, emosi, kemampuan kognitif, nilai, moral, kemampuan berbahasa, keterampilan sosial. Potensi itu ada yang dibawa sejak lahir, dan ada pula yang diperoleh melalui proses belajar. Para ahli teori humanistic melihat potensi manusia, sebagai berikut: (1) manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri, (2) manusia memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, dan (3) manusia adalah makhluk rasional dan sadar (Yusuf dan Nurihsan, 2011).

                Berbagai potensi tersebut perlu dikembangkan secara optimal agar manusia memperoleh kehidupan yang berkualitas dalam berbagai dimensi kemanusiaannya. Pendidikan merupakan upaya mengembangkan berbagai potensi manusia.

                C. Pandangan tentang Pendidikan

                Seiring dengan perkembangan pendidikan, lahirlah berbagai pandangan tentang pendidikan, seperti:

1. Pendidikan sebagai transformasi pengetahuan

                Pendidikan sebagai trasformasi pengetahuan merupakan konsep awal yang dikembangkan dalam dunia pendidikan. Pendidikan dipandang sebagai upaya mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik agar dapat menggunakan pengetahuannya itu dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat survive dalam kehidupannya.

2. Pendidikan sebagai transformasi nilai

                Pendidikan pada hakekatnya merupakan aktivitas mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih. Aktivitas tersebut dilaksanakan sebagai upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai kehidupan, yang mencakup nilai-nilai religi, nilai-nilai kebudayaan, nilai-nilai sains dan teknologi, nilai-nilai seni, nilai-nilai susila, nilai-nilai hukum. Transformasi nilai tersebut dilakukan dalam rangka melestarikan, mengembangkan bahkan mengubah kehidupan manusia ke arah yang lebih baik.

                Berbagai gejala perilaku negative yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia disebabkan oleh dangkalnya kepemilikan nilai-nilai kehidupan. Oleh sebab itu pendidikan sudah seharusnya memberikan penekanan pada penanaman nilai-nilai kehidupan kepada peserta didik.

3. Pendidikan pencerahan dan kemandirian

                Esensi dari pemikiran ini bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan peradaban manusia. Oleh sebab itu pendidikan harus dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sebab hanya dengan pendidikan seperti itu maka kehidupan yang akan diwujudkan sesuai denga hakekat kemanusiaan.

                Pendidikan yang berpihak pada rakyat pada dasarnya merupakan upaya untuk melepaskan manusia dari belenggu keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, ketergantungan (Nyerere, 1978), penindasan dan memberdayakan manusia (Freire, 19970; Shore, 1992).

4. Pendidikan multicultural

James Bank dikenal sebagainperintis pendidikan multicultural. Menurutnya pendidiikan harus membuat siswa mampu mengajarkan memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa juga harus disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang diterima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing, siswa harus dibiasakan menerima perbedaan.

Menurut Bank (1993) pendidikan multicultural adalah ide, gerakan, pembahruan pendidikan dan proses pendidikan ang tujuan utamanya untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang menjadi anggota kelompok ras, etnis, kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah. Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multicultural memberikan kompetensi multicultural.

5. Pendidikan sepanjang hayat

                Konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education) merupakan jawaban terhadap kritik-kritik yang dilontarkan pada sekolah. Sistem sekolah tradisonal mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat yang berlangsung dengan sangat cepat. Pendidikan berlangsung sejak anak lahir (bahkan sejal dalam kandungan ibu) dan akan berlangsung terus sampai manusia meninggal dunia, sepanjang manusia mampu menerima pengaruh-pengaruh dari lingkungannya. Oleh sebab itu pendidikan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat (Sadulloh, 2007).

 

5. Pendidikan untuk semua

                Pendidikan untuk semua (education for all) merupakan konsep yang dikembangkan oleh UNESCO. Menurut konsep ini secara makro pendidikan haruslah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dari masyarakat lapisan atas hingga masyarakat lapisan bawah. Jadi pendidikan buka monopoli kalangan tertentu saja. Secara mikro, pendidikan untuk semua bermakna pendidikan harus mampu mengakomodasi segenap peserta didik dengan berbagai karakteristiknya.

 

D. Pendidikan dan Pengembangan Jati Diri Manusia

                Berbicara tentang pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan jati diri manusia tidak lepas dari pemahaman tentang hakikat manusia. Terdapat berbagai pendapat ahli tentang manusia, seperti:

1.       Menurut Sigmund Freud:

a.       Manusia pada dasarnya bersifat pesimistik, deterministic, mekanistik, dan reduksionistik.

b.      Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil.

c.       Dinamika kepribadian berlangsung melalui pembagian energi psikis kepada Id, Ego dan Superego yang bersifat saling mendominasi.

d.      Manusia memiliki naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif ; naluri kehidupan (eros) dan kematian (tanatos).

e.      Manusia bertingkah laku dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit (pleasure principle).

2.    Menurut Passons (Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchel, 1986 : 121) mengemukakan delapan asumsi tentang hakikat manusia menurut kerangka kerja teori konseling Gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Perls (1884-1970) sebagai berikut :

a.       Individu memiliki kepribadian yang utuh, menyeluruh, bukan terdiri dari bagian-bagian badan, emosi, pikiran, sensasi, dan persepsi. Individu dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagian-bagian tersebut.

b.      Individu merupakan bagian dari lingkungannya. Oleh karena itu individu baru dapat dipahami apabila memperhatikan konteks lingkungannya.

c.       Individu memilih bagaimana dia merespon rangsangan internal maupun eksternal. Individu adalah aktor bukan reactor.

d.      Individu memiliki kemampuan potensial untuk menyadari secara penuh semua sensasi, pikiran, emosi, dan persepsinya.

e.      Individu memiliki kemampuan untuk melakukan  pilihan, sebab dia menyadarinya.

f.        Individu memiliki kapasitas untuk membangun kehidupannya secara efektif.

g.       Individu tidak dapat mengalami masa lalu dan masa yang akan datang, tetapi dia hanya dapat mengalami masa sekarang.

h.      Individu pada dasarnya tidak dapat dikatakan baik atau buruk.

3.       Menurut Beck (Blocher, 1974) mengemukakan beberapa asumsi eksistensialis tentang hakikat manusia, yaitu sebagai berikut :

a.       Manusai bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri, dia mempunyai pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.

b.      Manusia harus memandang atau memperhatikan orang lain sebagai bagian dari dirinya, dan perhatiannya ini direfkeksikan dalan pergaulan dengan warga masyarakat yang lebih luas.

c.       Manusia eksis di dunia nyata, dan hubungan dengan dunianya di satu sisi merupakan ancaman yang dalam banyak hal tidak dapat merubahnya.

d.      Hidup yang bermakna harus menghilangkan ancaman yang dihadapi, baik fisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk membebaskan manusia dari ancaman, sehingga dapat mencapai perkembangan yang optimum.

e.      Setiap manusia memiliki pembawaan dan pengalaman yang unik, sehingga memungkinkan berperilaku yang berbeda satu sama lainnya.

f.        Manusia berperilaku sesuai dengan pandangan subjektifnya tentang realitas.

g.       Secara alami manusia tidak dapat dikatakan “baik” atau “buruk” (jahat).

h.      Manusia mereaksi situasi secara menyeluruh tidak bersifat serpihan (seperti hanya intelektual atau emosional).

 

4. Prayitno, dkk (2015) menjelaskan hakikat manusia:

     a. Beriman dan kertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

     b. Diciptakan paling sempurna

     c. Berderajat paling tinggi

    d. Berstatus sebagai khalifah di bumi

    e. Menyandang hak azasi manusia

 

5. Pandangan lain tentang manusia:

    a. Manusia sebagai zoon politican (Aristoteles, 384-322 SM): manusia adalah makhluk    yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan manusia, sebagai makhluk yang bermasyarakat.

   b. Manusia sebagai hewan yang berpikir

   c. Manusia sebagai homo educandum ata homo educable: manusia adalah makhluk yang dapat dididik atau makhluk terdidik.

   d. Manusia sebagai animal educandum: manusia adalah hewan yang dapat dididik.

                Tugas pendidikan adalah membantu atau memfasilitasi manusia untuk mengembangkan jati dirinya.

 

E. Outcome Pendidikan

                Outcome pendidikan adalah insan paripurna, sebagai insan kamil, yakni manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari dimensi-dimensi kemanusiaan. Istilah lain yang digunakan dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah manusia Indonesia seutuhnya.

                Pendidikan yang ideal merupakan proses pengembangan keseluruhan potensi manusiawi untuk mewujudkan manusia seutunya. Pendidikan bukan sekedar menciptakan manusia yang siap kerja (jangka menengah) dan hanya untuk kepentingan diri semata. Lebih dari itu, pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan utama (jangka panjang) untuk membentuk dan mengembangkan manusia paripurna, manusia berbudaya (berbudi dan berbudaya) yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya sehingga dapat menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Pendidikan untuk menuju manusia seutuhnya itu secara implisit namun tegas dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 3 yang mengamanatkan Pemenrintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

 

Daftar Pustaka

Banks, James A. 1993. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn 7 Bacon.

Wibowo, Udik Budi. 2013. Pendidikan Menuju Manusia Seutuhnya: Inkonsistensi dan Paradoks Inter/Antar-Kebijakan sampai Praksis Pendidikan. Fakultas Ilmu             Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Ash-Shaaf.

Hanum, Farida. 2013. Ilmu Pendidikan dan Pendidikan Multikultural. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Ash-Shaff.

Prayitno, dkk. 2015. Pembelajaran Melalui Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Satuan Pendidikan. Pengembangan Manusia Seutuhnya. Panduan Teknis-  Praktis- Operasional untuk Para Pelaksana Pelayanan BK di Satuan Pendidikan (Terutama Guru BK/Konselor). Paramitra Publishing.

Saduloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta.

Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. 2010. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.