Flexing dan Empati

14 September 2025 11:27:36 Dibaca : 3

Flexing dan Empati

Oleh: Maryam Rahim           

            Istilah flexing berasal dari bahasa Inggris “to flex” yang berarti memamerkan atau menunjukkan sesuatu yang dianggap bernilai. Fenomena ini seringkali dikaitkan dengan kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial, validasi, maupun meningkatkan citra diri. Namun di balik itu, flexing dapat berimplikasi pada menurunnya sensitivitas sosial. Maraknya media sosial di era digital ini, telah berdampak munculnya fenomena flexing atau pamer kekayaan, pamer prestasi, serta pamer gaya hidup mewah di kalangan masyarakat. Kondisi ini perlu diimbangi dengan empati. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan kondisi emosional orang lain. Kehadiran empati sangat penting dalam menjaga hubungan sosial yang sehat, mengurangi konflik, serta memperkuat solidaritas.

           Fenomena flexing dapat dipahami melalui teori presentasi diri yang dikemukakan oleh Goffman (1959) yang menjelaskan bahwa manusia cenderung menampilkan citra tertentu di hadapan orang lain layaknya seorang aktor di panggung sosial. Media sosial menjadi “panggung” baru yang memungkinkan individu menampilkan sisi terbaik kehidupannya. Namun, jika flexing dilakukan secara berlebihan, dikhawatirkan akan dapat menciptakan kesenjangan sosial-psikologis. Studi dari Kuss & Griffiths (2017) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berorientasi pada citra diri sering menimbulkan perasaan iri, rendah diri, bahkan depresi pada orang lain. Dengan demikian, flexing tidak hanya berdampak pada individu yang memamerkan, tetapi juga pada audiens yang mengonsumsinya.  

           Empati merupakan kemampuan kognitif dan afektif untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Menurut Davis (1994), empati mencakup aspek perspective-taking (melihat dari sudut pandang orang lain) dan empathic concern (kepedulian emosional). Dalam masyarakat yang kompleks, empati berperan penting sebagai penyeimbang agar interaksi sosial tidak sekadar didominasi oleh kompetisi dan pamer diri. Dalam perspektif pendidikan moral, empati juga menjadi fondasi karakter pro-sosial. Eisenberg & Miller (1987) menekankan bahwa empati mendorong perilaku menolong (helping behavior) serta memperkuat ikatan sosial. Jika empati melemah, maka solidaritas sosial juga ikut menurun.

           Flexing dan empati berada pada dua kutub yang berbeda. Flexing menonjolkan kepentingan diri, sementara empati mengedepankan kepentingan orang lain. Ketika seseorang terlalu sibuk dengan citra diri melalui flexing, maka ruang untuk memahami penderitaan atau keterbatasan orang lain menjadi berkurang. Namun demikian flexing tidak selalu bersifat negatif. Jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan disertai empati, flexing dapat menjadi inspirasi. Misalnya, berbagi kisah sukses yang disertai motivasi, atau menunjukkan pencapaian dengan menekankan usaha dan perjuangan, bukan sekadar hasil akhir. Dengan demikian, flexing tidak hanya menjadi ajang pamer, tetapi juga sarana berbagi semangat dan optimisme.  

           Jika dicermati, perilaku flexing dan empati berimplikasi pada beberapa hal:

1. Pendidikan karakter; perlu ada penguatan pendidikan empati sejak dini agar generasi muda mampu menyeimbangkan ekspresi diri dengan kepedulian sosial.

2. Etika bermedia sosial; pengguna media sosial perlu membangun kesadaran etis dalam membagikan konten, agar tidak menimbulkan luka sosial.

3. Budaya apresiasi; masyarakat diharapkan lebih mengutamakan apresiasi terhadap usaha dan nilai kebersamaan dibandingkan materi semata.

            Fenomena flexing merupakan realitas sosial yang tidak bisa dihindari di era digital. Namun, tanpa adanya keseimbangan dengan empati, flexing dapat menimbulkan dampak negatif seperti kecemburuan sosial, hilangnya solidaritas, dan meningkatnya individualisme. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk mengembangkan empati dalam setiap bentuk ekspresi diri. Flexing yang dibarengi dengan empati dapat berubah dari sekadar pamer menjadi inspirasi yang menebarkan kebaikan sosial.

Referens: 

- Davis, M. H. (1994). Empathy: A Social Psychological Approach. Boulder: Westview Press.

- Eisenberg, N., & Miller, P. A. (1987). The relation of empathy to prosocial and related behaviors. Psychological Bulletin, 101(1), 91–119.

- Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Anchor Books.

- Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2017). Social Networking Sites and Addiction: Ten Lessons Learned. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(3), 311.