Executive Summary

Amir Halid1, Asda Rauf1, Sukirman Rahim1, Dessy Rachmawatie2, Rajak Umar3, Nurdin1

1Universitas Negeri Gorontalo

2Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

3IAIN Gorontalo

Bergulirnya otonomi daerah telah mendorong setiap daerah melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam terutama sektor pertambangan dalam rangka pembangunan melalui objek pendapatan asli daerah (PAD). Meskipun disadari bahwa pengelolaan pertambangan selama ini melahirkan berbagai persoalan berupa kerusakan lingkungan, matinya tatanan kelembagaan lokal, dan berlangsungnya konflik sosial. Akar pokok permasalahannya dapat dijelaskan sebagai akibat dari perbedaan dan pertentangan kepentingan atas sumberdaya tersebut. Pandangan ini mengindikasikan adanya karakteristik obyek dan hubungan relasional yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kepentingan, nilai, dan orientasi kelompok sehingga dapat membawa pada suatu relasi persaingan maupun kooperatif antarkelompok dalam masyarakat. Adalah kawasan konservasi Suaka Margasatwa Nantu Boliyohuto Gorontalo, kawasan yang terletak di 3 (tiga) Kabupaten, yaitu Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo dan Kabupaten Gorontalo Utara saat ini menghadapi permasalahan konflik pengelolaan Pertambangan khususnya di Desa Buladu Kecamatan Sumalata Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara. Sejumlah permasalahan mendasar ditemukan misalnya tingkat pencemaran air sungai yang mengkwatirkan, degradasi hutan dan lahan serta rendahnya kesadaran masyarakat. Atas dasar inilah kajian peta konflik ini dilakukan  dalam rangka untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang berkepentingan (konflik) serta berupaya memberikan alternatif solusi penyelesainnya. Output  kegiatan ini akan digunakan sebagai bahan komunikasi dengan para pihak untuk secara bersama-sama memahami dan menyusun tindakan nyata penyelesaian konflik kawasan  pertambangan di Suaka Margasatwa Nantu Boliyohuto sebagai alternatif upaya pemantapan kawasan dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam di Kabupaten- Kabuapten yang berada dalam kawasan SM Nantu. Kajian ini menggunakan metode Rapid Aprraisal Land Tenure (RaTa) sebagai model analisis sengketa penguasaan hak-hak atas penggunaan tanah. Data yang diperoleh diolah menggunakan soft program HumaWin. Kajian dilaksanakan mulai bulan April – Juli 2010 di Desa Buladu Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara.

Gambar 1. Papan Petunjuk Kawasan Pengelolaan Tambang PT. Makale Toraja Mining di Lokasi Kajia

Desa Buladu merupakan satu dari sepuluh desa di kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara, berada di wilayah Utara  mempunyai luas wilayah 31 Ha atau 7 persen dari luas wilayah kecamatan Sumalata. (Kecamatan Sumalata dalam angka 2009). Untuk sampai ke desa Buladu dapat ditempuh selama 30 menit dari pusat kecamatan Sumalata karena hanya berjarak 14 km sedangkan  untuk menuju Dusun Pasolo dapat ditempuh hanya 15 menit. Desa Buladu bependuduk 1.574 jiwa dengan 367 KK Mata pencaharian masyarakat Buladu sebagian besar adalah panambang emas tradisional hal ini disebabkan karena 50 % tempat penambangan emas di kecamatan Sumalata terletak di desa Buladu (85 buah), desa Bulolila (65 buah) dan Wubudu (12 buah). Tingkat kesejahteraan masyarakat di desa Buladu belum sebanding dengan kilaunya kandungan di daerah ini, sebagian besar (45 %) masyarakat masih berada dibawah garis kemiskinan penduduk sebagian besar tidak tamat SD/ tidak sekolah 65 %. Kondisi sarana prasarana pendidikan dan kesehatan tahun 2009 sangat terbatas. Rasio jumlah murid dengan guru diatas rasio kecamatan yakni 1 : 26 , fasilitas kesehatan pustu dan polindes satu buah dan posandu 3 buah.

 

 

Gambar 2. Kawasan Pengelolaan Tambang Masyarakat (Wilayah Pertambangan Rakyat) di Lokasi Kajian

Kegiatan penambangan emas di desa Buladu telah dilakukan sejak zaman Belanda (tahun 1800-an) terdapat beberapa peralatan pertambangan ditemukan dilokasi seperti Belanga dan terowongan. Situs situs peninggalan adanya aktifitas penambangan emas ini kemudian diikuti oleh warga di desa Buladu pada tahun 1980-an mulai melakukan penggalian emas hingga puncaknya pada akhir tahun 2000. Potensi emas yang terkandung didesa Buladu pernah di jajaki pula oleh PT Aneka Tambang pada tahun 2005 namun tidak berlanjut, untuk memaksimalkan potensi pertambangan maka pada tahun 2006 dilakukan studi kelayakan oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Gorontalo dan menemukan bahwa kondisi pertambangan rakyat telah mencapai titik jenuh oleh karenanya dibutuhkan investasi besar untuk skala penambangan yang lebih besar. Atas dasar ini maka melalui pemerintah desa Buladu mengajukan kepada pemerintah daerah agar pertambangan dikelola oleh perusahaan tambang agar menghasilkan Pendapatan untuk pembangunan daerah. Pada akhir tahun 2007 pemerintah daerah Gorontalo Utara mengeluarkan izin eksplorasi seluas 20.235 kepada PT Makale Toraja Mining (PT MTM) di desa Buladu. Pada tahun ini pula pemerintah daerah melalui Distamben Propinsi Gorontalo menetapkan Dusun Pasolo Desa Buladu menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang diikuti oleh pembentukan koperasi Pasolo Indah. Penetapan WPR tidak diikuti oleh batas-batas pengelolaan yang jelas sehingga hal inilah yang menjadi pemicuh terjadinya konflik wilayah pengelolaan pertambangan antara PT MTM dan Penambang Tradisional (PETI). Sepanjang tahun PTM MTM menyiapkan berbagai perizinan pertambangan pada tahun ini dilakukan Kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)  dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) oleh perusahaan, keluarnya rekomendasi DPRD Gorontalo Utara, keluarnya Izin kuasa pertambangan Ekplorasi (seluas 300 ha ) dan izin Eksploitasi, sedangkan aktifitas penambangan rakyat terus berlangsung tanpa kejalasan tapal batas.

Gambar 3. Sisa Peralatan dan Fasilitas Pertambangan pada Zaman Belanda

Puncak konflik  terjadi pada awal tahun 2009 saat PT MTM melakukan operasi produksi (izin No. 77a tahun 2009). Sejumlah warga penambang lokal (sekitar 40 orang) melakukan penghadangan terhadap masuknya peralatan PT MTM ke lokasi tambang yang juga di garap oleh para penambang, ketegangan tak dapat dihindari sehingga ‘memaksa’ camat Sumalata (Thamrin Yusuf) memediasi pertemuan warga dengan pihak perusahaan. Pertemuan menghasilkan kesepakatan bahwa (1) pihak PT. MTM akan menyambungkan Pipa Air bersih (PAB) ke lokasi pemukiman masyarakat di desa Buladu, Wubudu dan Deme II. (2) wilayah perkebunan rakyat tidak akan diganggu/di terobos oleh PT. MTM serta (3) menjamin tidak terjadinya pencemaran lingkungan. Kesepakatan bersama ini turut disaksikan oleh pejabat Muspida Gorontalo Utara. Hingga tahun 2010 kesepakatan ini tidak laksanakan oleh pihak perusahaan aktifitas produksi PT MTM terus berlangsung hingga memasuki kawasan yang diklaim sebagai areal pertambangan emas dan perkebunan rakyat. Sejumlah warga Buladu bersama tokoh masyarakat (bapak Rahman Gobel) mengajukan hal ini ke DPRD dan pemerintah Gorut serta ke LSM (LP2M) dan Mahasiswa untuk mengupayakan solusi penyelesainnya. Upaya penyelesain yang dilakukan oleh pemda Gorut dinilai sangat merugikan warga, karena faktanya aktifitas penambangan PT MTM terus memasuki area penambangan rakyat. Atas hal ini maka pada tanggal 27 April 2010 warga melakukan aksi pembakaran Kamp PT MTM (3X4 m) oleh tiga orang pelaku masing-masing Ishak Isini (34 tahun) Ismail Labajo (30 th) dan Husain Djana (28 th) ketiga pelaku ditahan di polsek Sumalata. Kejadian ini menambah gejolak konflik.

Gambar 4. Base Camp dan Peralatan Tambang Perusahaan

Pemerintah daerah melalui Badan Lingkungan Hidup kemudian melakukan investigasi terhadap kondisi kualitas sungai yang tercemar sebanyak dua kali masing-masing pada Bulan Maret dan Juli 2010 hasilnya menunjukan bahwa sumber pencemaran berasal dari aktifitas penambangan tanpa Izin (PETI) oleh warga di desa Buladu. Status pencemaran berada pada cemar berat khususnya pada lokasi PETI (Lokasi sampel A2) dan di Sungai Wubudu (Lokasi sampel A5). Hasil analisis sampel air permukaan di lokasi sampling Sungai Wubudu Desa Buladu Kecamatan Sumalata Kabupaten Gorontalo Utara menunjukkan bahwa kisaran Kadar Merkuri (Hg) dalam air permukaan adalah 0,00425 mg/L nilai ini sudah berada di atas Nilai Ambang Batas (NAB) yang dipersyaratkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air dan PERMENKES RI Nomor 907 Tahun 2002 Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Air Minum dimana Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Logam Mercuri adalah  : 0,001 mg/L atau 0,01 ppm. Tim investigasi merekomendasikan diantarnya ; (1) Penaatan Hukum, Penertiban Lokasi PETI, (2) Penyediaan Sarana Air Bersih Bagi Kebutuhan Hidup Masyarakat (CSR  Investor), (3) Membuat Saluran/Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL)  Pada Proses Pengolahan Emas (Bak Koagulasi), (4) Mengalihkan para penambang dari profesinya dari penambang dengan profesi yang lain (pertanian, peternakan, budidaya rumput serta (5) Alih Teknologi yaitu dengan menggunakan mikroba Pada Proses Malgamasi dengan Alat sederhana Bioteknologi (BPPT, IPB Bogor).

Gambar 5. Cara Pengolahan Bahan Galian secara Tradisional tanpa Peralatan dan Perlengkapan Keselamatan Kerja

Upaya penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan beberapa opsi, diantaranya ; Pertama, Tetap Mempertahankan Kawasan Konservasi ; Kelangkaan kapasitas dan konsistensi aplikasi kewenangan dalam menegakkan atura atas penggunaan lahan dalam kawasan di wilayah tersebut. Pada aspek kelembagaan ditemukan kelangkaan kapasitas organisasi dalam mengelolah konflik baik lembaga internal kawasan maupun lebaga lainnya. Hal lain yang dapat dilakukan dengan sinergi dalam pengembangan perekonomian masyarakat secara melembaga diluar kawsan berdasar klaster dan potensi sumberdaya yang tersedia. Kedua, Mempertimbangkan wilayah pertambangan rakyat melalui kelembagaan wilayah pertambangan rakyat (WPR). Pilihan dihadapkan pada kelangkaan Modal dan teknologi pertambangan rakyat dalam menerapkan (Good Mining Practice) serta Legalisasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan dalam usulan perubahan melalui RTRWP. Ketiga Mempertimbangkan Izin Usaha Pertambangan. Pola ini berpotensi konflik dengan wilayah pertambangan rakyat (PETI) dan resisten terhadap rantai ekonomi. Selain itu adanya legalisasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan dalam usulan perubahan melalui RTRWP dan keempat kombinasi izin usaha pertambangan dan pertambangan rakyat. Kelangkaan modal dan teknologi pertambangan rakyat dalam menerapkan (good mining practice). Legalisasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan dalam usulan perubahan melalui RTRWP.

Kata kunci: Peta konflik, kawasan konservasi, penambangan tanpa izin (PETI).

Funding: ICRAF Bogor, Tahun 2010

SUMMARY EXECUTIVE

Nurdin1, Fitriah S. Jamin1, Rival Rahman1, Iin Veronika Bahi2

1Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo

2Laboratorium Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo

Swasembada pangan merupakan keniscayaan yang harus segera dicapai mengingat kebutuhan pangan terus meningkat dari tahun ke tahun (liner), sementara ketersediaan pangan cenderung fluktuatif (hiperbolik). Oleh karena itu, untuk mendukung program pencapaian swasembada pangan, terutama swasembada padi (beras) Nasional, maka dibutuhkan optimalisasi potensi daerah irigasi (D.I) bendungan di setiap daerah. Salah satu D.I yang potensial untuk dikembangkan adalah D.I Bendungan Bulango Ulu Provinsi Gorontalo seluas ± 1.035 ha di wilayah kerja BWS Sulawesi II. Guna mencapai target tersebut, maka mutlak dibutuhkan data potensi sumberdaya lahan (SDL) yang handal dan mutakhir, sebagai dasar perencanaan pertanian, seperti pengembangan D.I Bendungan Bulango Ulu. Namun, sampai saat ini belum tersedia data dan informasi potensi pengembanga D.I tersebut pada skala yang semi detail atau skala 1 detail. Upaya penyediaan data dan informasi potensi sumberdaya lahan salah satunya dapat ditempuh melalui kegiatan survei tanah pertanian. Tujuan survei tanah ini secara spesifik adalah: (a) melakukan survei tanah dan pemetaan satuan tanah (jenis tanah) skala 1:25.000., (b) menganalisis kelas kemampuan lahan pada skala 1:25.000., (c) menganalisis kelas kesesuaian lahan pada skala 1:25.000., (d) menganalisis kelas kesuburan tanah pada skala 1:25.000., (e) menganalisis tingkat prasarana pertanian pada skala 1:25.000., dan (f) menganalisis pola tanam.

Gambar 1. Koordinasi Tim Survei dengan PPK

Hasil yang diperoleh yaitu: (a) Jenis tanah yang dijumpai adalah Ultisol, Inceptisol dan Mollisol., (b) kelas kemampuan lahan seluruhnya adalah kelas II dengan faktor pembatas tekstur tanah dan permeabilitas tanah, sehingga daerah studi dapat dikembangkan untuk tanaman semusim, termasuk padi sawah irigasi., (c) kelas kesesuaian lahan aktual sebagian besar adalah kelas sesuai marjinal (S3) dengan faktor pembatas media perakaran (tekstur), retensi hara (C organik, KTK), hara tersedia (N total, P dan K tersedia), serta toksisitas (salinitas). Setelah dilakukan upaya perbaikan, maka kelas kesesuaian lahan potensial sebagian besar adalah sangat sesuai (S1)., (d) tingkat kesuburan tanah sebagian besar adalah rendah dan hanya sebagian kecil saja yang tingkat kesuburan tanahnya sedang., (e) pola tanam eksisting (saat ini) yang dapat diterapkan adalah Padi-Bera karena ketersediaan air yang minim dan lebih banyak bulan defisit. Pembangunan irigasi akan meningkatkan pola tanam menjadi Padi-Padi-Bera atau bahkan Padi-Padi-Padi., dan (f) ketersediaan sarana dan prasarana pertanian belum terdistribusi merata di daerah studi dan lebih banyak tersedia di Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo, sehingga menempatkan kecamatan ini dalam hirarki 1 pengembangan padi sawah irigasi. Sementara kecamatan lainnya relatif masih kurang tersedia dan belum memadai.

Gambar 2. Kelengkapan Alat dan Bahan Survei

Rekomendasi yang diajukan yaitu: (a) dijumpainya lapisan padas (kontak litik) pada kedalaman 20 – 50 cm di beberapa titik pengamatan (jenis tanah lithic haplustults-Ultisols) perlu mendapat perhatian dan penanganan khusus karena akan menghambat pertumbuhan akar tanaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan pengolahan tanah maksimum sampai pada kedalaman 40 cm atau melakukan reklamasi lahan sebelum dilakukan pencetakan sawah agar akar tanaman dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik., (b) kandungan fraksi pasir yang dominan di daerah studi perlu juga mendapat perhatian dan penanganan khusus karena jika dibiarkan akan menyebabkan air irigasi akan lebih cepat terinfiltrasi ke dalam tanah karena sifat porous fraksi pasir yang tinggi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penambahan bahan organik dalam jumlah 10 ton/ha agar tanah lebih lembab dan bahan organik dapat berperan sebagai pengikat fraksi tanah (sementing agent). Pelumpuran (poodling) maksimal dapat juga dilakukan agar sifat permeabel tanah dapat dikurangi di lapangan., (c) rendahnya tingkat kesuburan tanah di daerah studi dapat diatasi dengan pemberian pupuk N-P-K baik tunggal maupun majemuk dengan dosis pupuk sebanyak 150 – 250 kg/ha. Selain itu, pH tanah yang bereaksi agak alkali (basa) dapat diatasi dengan pemberian sulfur (belerang) atau dikombinasikan dengan pemberian bahan organik dan pupuk yang mengandung sulfur, seperti pupuk NPK Phonska yang mengandung 10% sulfur (S)., dan (d) rendahnya ketersediaan sarana dan prasarana pertanian dapat diatasi dengan penyediaan sarana dan prasarana tersebut di daerah studi, baik oleh Kementrian Pertanian (Ditjend Prasarana dan Sarana Pertanian), Dinas Pertanian setempat, Kementrian Desa, Transmigrasi dan Tenaga Kerja maupun bantuan pemerintah (BP) melalui kelompok tani binaan Kementrian PU dalam hal ini BWS Sulawesi II.

Gambar 3. Kegiatan Deskripsi Profil Tanah

Funding: BWS II Sulawesi, 2020

Journal of Tropical Soils, Vol. 14, No. 1, 2009: 49-56.

Nurdin, Purnamaningsuh Maspeke, Zulzain Ilahude, Fauzan Zakaria

Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo

Abstract

The fertilizer availability as source of N, P, and K nutrient where plant responsif was difficult found by farmer. Thefore, It was needed information about nutrient availability in soil properties to know nutrient deficiency of its by maize as plant indicator. The objective of this research was to study the respons of N, P, and K fertilizers and the best combination of it on the growth and yield of Maize. The research conducted at Udic Pellusterts in North Isimu Tibawa District of Gorontalo Regency. The experi- mental design was following random block design that consist of 5 treatments with 3 replications. The result of this research showing that minus N, P, and K fertilizers have a significantly effect on plant age polination, the percentage of height stem of an ear of corn to plant height and dry straw weight but did not have significantly effect on plant height and the weigh of one hundred grain of Maize. To improve the growth and yield of Maize using fertilizing without P treatment were 250 kg Urea ha-1 and 75 kg KCl ha-1 or completely dosage were 250 kg Urea ha-1, 100 kg TSP ha-1 and 75 kg KCl ha-1 as the best fertilizers combination.

http://dx.doi.org/10.5400/jts.2009.v14i1.49-56

Terakreditasi Dikti: https://journal.unila.ac.id/index.php/tropicalsoil/article/view/16

Journal of Tropical Soils, Vol. 16, No. 3, 2011: 267-278.

Nurdin

Department of Agrotechnology, Agriculture Faculty of Gorontalo State University, Jend Sudirman St. No. 6, Gorontalo City 96212

Abstract

Rainfed paddy soils that are derived from lacustrine and include of E4 agroclimatic zone have many unique properties and potentially for paddy and corn plantations. This sreseach was aimed to: (1) study the soil development of rainfed paddy soils derived from lacustrine and (2) evaluate rainfed paddy soils potency for paddy and corn in Paguyaman. Soil samples were taken from three profiles according to toposequent, and they were analyzed in laboratory. Data were analyzed with descriptive-quantitative analysis. Furthermore, assessment on rainfed paddy soils potency was conducted with land suitability analysis using parametric approach. Results indicate that all pedon had evolved with B horizons structurization. However, pedon located on the summit slope was more developed and intensely weathered than those of the shoulder and foot slopes.The main pedogenesis in all pedons were through elluviation, illuviation, lessivage, pedoturbation, and gleization processes. The main factors of pedogenesis were climate, age (time) and topography factors. Therefore, P1 pedons are classified as Ustic Endoaquerts, fine, smectitic, isohypertermic; P2 as Vertic Endoaquepts, fine, smectitic, isohypertermic; and P3 as Vertic Epiaquepts, fine, smectitic, isohypertermic. Based on the potentials of the land, the highest of land suitability class (LSC) of land utilization type (LUT) local paddy was highly suitable (S1), while the lowest one was not suitable with nutrient availability as the limiting factor (Nna). The highest LCS of paddy-corn LUT was marginally suitable with water availability as the limiting factor (S3wa), while the lower LSC was not suitable with nutrient availabily as the limiting factor (Nna).

Keywords: Corn; lacustrine; land suitability; paddy; rainfed paddy soil.

https://journal.unila.ac.id/index.php/tropicalsoil/article/view/307

Terakreditasi Dikti: http://dx.doi.org/10.5400/jts.2011.v16i3.267-278

Jurnal Litbang Pertanian, 30(3), 2011: 98-107

Nurdin

Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman No. 6, Kota Gorontalo 96122

Abstrak

Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang berpotensi besar untuk USAha pertanian. Daerah aliransungai (DAS) Limboto mempunyai lahan kering yang sesuai untuk pengembangan pertanian seluas 37.049 ha,sedangkan lahan datar sampai bergelombang yang potensial untuk pertanian 33.144 ha. Untuk memanfaatkanlahan kering tersebut, dapat diterapkan beberapa strategi dan teknologi yang meliputi: 1) pengelolaan sistem budidaya, yang mencakup pengelompokan tanaman dalam suatu bentang lahan mengikuti kebutuhan air yang sama,penentuan pola tanam yang tepat, pemberian mulsa dan bahan organik, pembuatan pemecah angin, dan penerapansistem agroforestry, 2) pengembangan ekonomi, sosial, dan budaya melalui penyuluhan, penyediaan sarana danprasarana produksi serta permodalan petani, pemberdayaan kelembagaan petani dan penyuluh, serta penerapansistem agribisnis, dan 3) implementasi kebijakan yang berpihak kepada pertanian, yang meliputi pemberian subsidikepada petani di daerah hulu untuk melaksanakan konservasi lahan, pemberian subsidi pajak kepada petani didaerah hulu, penetapan peraturan daerah yang berkaitan dengan pengelolaan lahan berbasis konservasi, danpengelolaan lahan dengan sistem hak guna USAha (HGU). Hal lain yang terpenting dalam pemanfaatan lahan keringadalah sinkronisasi dan koordinasi antarinstitusi pemerintah dengan melibatkan petani untuk menghindari tumpangtindih kepentingan.

Kata kunci: Lahan kering, penggunaan lahan, pertanian berkelanjutan, daerah aliran sungai, Limboto, Gorontalo

Terakreditasi LIPI: https://s.id/21ZkX