Sosialisasi penggunaan SPADA UNG

13 March 2022 11:47:30 Dibaca : 143

Apakah itu SPADA UNG ?

SPADA UNG merupakan sebuah sarana e-Learning yang memfasilitasi penyampaian pembelajaran dalam jaringan yang dikenal dengan istilah LMS, dengan fungsi untuk menyajikan sumber belajar digital dan aktivitas belajar digital.

Mengapa perkuliahan perlu berbasis LMS ?

  1. Transformasi digital pendidikan: e-Learning dan pembelajaran campuran
  2. Media dan fasilitas teknologi belajar yang digunakan mahasiswa
  3. Pandemi Covid-19
  4. Bentuk interaksi dalam pembelajaran
  5. Sarana yang efektif untuk evaluasi ketercapaian CPL, CPMK, dan Sub-CPMK
  6. Akreditasi prodi

Simak penjelasan lengkapnya pada tautan di bawah ini.

TAUTAN UNTUK MENONTON

Dunia pendidikan dalam era revolusi industri 4.0

18 March 2019 11:16:52 Dibaca : 3419

Saat ini dunia dalam perubahan kekacauan. Saya bingung dan resah tentang hal itu membuat saya semakin penasaran untuk mengetahuinya. Saya mencoba menulusuri dengan kemampuan literasi untuk mencari dan menerjemahkan melalui beberapa tulisan yang benar-benar dapat menerangkan apakah perubahan kekacauan di dunia saat ini. Namun sebelum lebih jauh mengulas hal ini, saya coba menjelaskan apa makna perubahan kekacauan yang saya resahkan.

Saat ini telah terjadi perubahan kekacauan yang tak terelakan lagi. Kekacauan yang saya maksudkan bukan suatu kriminalisasi atau konflik berat namun sebuah era disrupsi atau era terjadinya perubahan yang begitu cepat tanpa diduga-duga sebelumnya. Perubahan tersebut adalah migrasi teknologi mesin dan komputer bukan lagi konsumsi utama melainkan hadirnya penyedia jasa ekosistem komputer yang sudah berubah menjadi digitalisasi, perubahan ini dikenal Revolusi Industri 4.0. Contoh perubahan yang terjadi saat ini yaitu banyak vendor yang berinvestasi secara online sebut saja Bukalapak, Tokopedia, Transfortasi oline dan masih banyak lagi investasi online lainnya. Kemampuan yang dibutuhkan dalam era ini adalah kemampuan melek tiga literasi; literasi data, literasi teknologi dan literasi manusia. Ketiga literasi tersebut sangat penting dalam segala jenis aktivitas atau pekerjaan dalam era Revolusi Industri 4.0 sehingga dalam dunia pendidikan harus turut mengikuti perubahan ini. Kenapa demikian? Perlu kita ketahui generasi milenial saat ini merupakan generasi digital, kelompok yang selalu bersanding sehari-hari dengan online atau generasi 4.0.

Nah selanjutnya bagaimana dengan dunia pendidikan kita? Tentunya kita semua tak tinggal diam akan hal tersebut harus mampu melahirkan inovasi tren baru pembelajaran 4.0, hal ini tak terlepas dari peran Guru dan Dosen sebagai penyedia SDM di bangsa ini. Jika tidak segera berubah atau berinovasi khawatirnya peserta didik generasi 4.0 belajar di kelas 2.0 dididik guru dan dosen 3.0.

Tulisan ini dimaksudkan untuk merumuskan tantangan dunia pendidikan dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dan memberikan jalan keluar yang dapat diselaraskan di era tersebut. Secara detail tulisan ini memfokuskan pada penerapan sistem pendidikan dalam jaringan atau e-learning untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan yang bermutu melalui penerapan TIK yang tepat sebagai wahana pengembangan profesi berkelanjutan dan belajar sepanjang hayat bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Dalam tulisan: Dr. H. A. Zaki Mubarak, beliau merupakan ahli dan praktisi pendidikan di Indonesia menuliskan dengan kutipannya sebagai berikut;“Ada beberapa tantangan yang membuat dunia pendidikan kita sulit beradaptasi dengan dunia revolusi industri 4.0. Pertama SDM guru dan dosen yang kurang melek dalam literasi teknologi. Mereka disebut “Digital Immigrant” yaitu sebutan sebagai warga pendatang bagi dunia digital. Yang mereka hadapi adalah anak muda yang sudah sangat dekat dunia digital yang kita sebut dengan “Native Digital”. Yaitu, istilah penduduk aseli di dunia digital. Para pendidik merasa kehabisan energy untuk mengejar literasi data dan teknologi karena energy mereka tidak terlalu cukup untuk mengadaptasi dua literasi ini. Akhirnya, pendidik menyerah dan menutupi ketidak mampuan dengan menggunakan “dalil-dalil” konservatif yang dipaksa harus diterima oleh native digital. Kedua, literasi teknologi dan data adalah literasi yang sangat luas dan sangat cepat berubah. Data yang deras dan berhamburan di dunia digital membutuhkan energy yang sangat melelahkan untuk dianalisis. Membedakan the truth dan hoax, menelusuri mana yang referenced dan unreferenced, menyimpulkan kebenaran yang single atau yang multiple adalah beberapa kesulitan dalam literasi data. Hal inilah yang membuat pendidik kesulitan untuk move up. Teknologi yang dahulu hanya computer applied sederhana, sekarang sudah menjadi ribuan teknologi yang tidak terkejar oleh pendidik. Android sebagi market leader dalam perangkat lunak telah memberdayakan semua orang untuk berperan serta dalam membangun teknologi perangkat lunak. Hingga produknya sangat banyak dan bervariasi. Begitupun, teknologi hardware yang sangat cepat dan kadang kita tidak bisa berpikir untuk menghentikannya”.Dr. H. A. Zaki Mubarak menjelaskan lagi bahwa dua tantangan di atas merupakan hal urgen pendidik dalam mengikuti trend revolusi industri 4.0. Kadang pendidik zaman Old telah melemparkan handuk untuk tidak berpartisipasi di dalamnya dan mempercayakan segala “kemajuan” ini kepada mereka yang muda. Tidak jarang pendidik tua tidak ambisius dalam mengimplementasikan model-model pembelajaran zaman Now, mereka bahkan tidak sedikit yang menyinyiri kemajuan ini. Namun, bagi mereka yang open minded pasti lebih memfasilitasi generasi mudah yang native digital citizen untuk mempelajari lebih dalam dan mereka mengikuti dari belakang.

Tantangan di atas bukanlah suatu langkah untuk membawa kita semua dalam ketertinggalan atas hadirnya era revolusi industri 4.0, akan tetapi suatu pendorong untuk kita semua sebagai pelaku pendidik agar mampu merancang dan memanfaatkan atas jasa ekosistem komputer dalam membuat konten pembelajaran digital untuk menyediakan SDM anak-anak bangsa ini yang mampu bersaing secara global.

Apa yang harus dilakukan dalam konteks ini? Pertanyaan yang menarik perlu konsep dan implementasinya.

Konsep pembelajaran yang dibangun dalam dunia pendidikan di era revolusi ini tentunya meningkatkan kemampuan pola literasi baru; Literasi data, teknologi dan manusia yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran berbasis dalam jaringan atau dikenal dengan istilah Blended Learning yaitu pembelajaran yang memadukan face to face learning atau tatap muka dengan sistem online. Face to face yang menjadi model pembelajaran klasik, online bisa dijadikan model yang memperkuat pembelajaran peserta didik. Konsep implementasi Blended Learning dirancang mulai dari penyiapan konten, cara menyampaikan konten dan cara interaktivitas konten. Fisk (2017) menjelaskan bahwa pembelajaran untuk peserta didik tidak hanya keterampilan dan pengetahuan tetapi untuk mengidentifikasi sumber untuk mempelajari keterampilan dan pengetahuan. Untuk itu terdapat 4 fase tujuan Learning Online Material yang terjadi pada konsep implementasi Blended Learning yaitu;

  1. Untuk pemahaman; menyediakan konten pembelajaran digital (PDF, Doc, PPT, html, swf, flv, dll)
  2. Untuk memperoleh pemahaman: beraktivitas pada Discussion forum, chatting, video conference, audio.
  3. Untuk demonstrasi pemahaman: Assignment
  4. Untuk menilai pemahaman: Quiz & Test online

Konsep pembelajaran daring memiliki beragam aktivitas baik bentuk sinkron maupun asinkron yang dapat disajikan kepada peserta didik.

Blended learning membekali peserta didik mencapai ketrampilan abad 21. Mengapa demikian? Konsep Blended learning mampu mengintegrasikan penggunaan teknologi dalam pembelajaran yang memungkinkan pembelajaran yang sesuai bagi masing-masing siswa dalam kelas memungkinkan terjadinya refleksi terhadap pembelajaran. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof. Dr. Sutrisna Wibawa mengatakan, ketrampilan abad 21 yang dimaksud adalah ketrampilan peserta didik untuk bisa berfikir kritis dan memecahkan masalah, kreatif dan inovatif serta ketrampilan komunikasi dan kolaborasi. Selain itu ketrampilan mencari, mengelola dan menyampaikan informasi serta trampil menggunakan informasi dan teknologi. Dengan demikian konsep belajar ini, benar-benar dapat terintegrasi kepada lapisan pengguna belajar.

Yang diperlukan agar terwujudnya konsep pembelajaran 4.0 adalah komitmen pendidik untuk menjalankan jasa online sebagai ruang maya pembelajaran. Pemerintah telah mendukung untuk mewujudkan konsep pembelajaran ini melalui beberapa kebijakan PJJ antara lain:

Demikian ulasan saya mengenai Era Revolusi Industri 4.0 dan Dunia Pendidikan Saat Ini semoga informasi ini dapat bermanfaat baik untuk kita semua. Selamat berinovasi dalam perubahan dunia pendidikan di zaman now untuk belajar sepanjang hayat.

Gorontalo, 16 Maret 2019

Nurrijal

Referensi:

  1. Dr. H. A. Zaki Mubarak. 2018. Blended Learning: Solusi Pembelajaran di Era Revolusi Industri 4.0.
  2. Gatot F. Hertono, Ph.D, dkk. 2019. Sosialisasi Pengembangan dan Penyelenggaraan Sistem Pembelajaran Daring (SPADA) Indonesia 2019 Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
  3. Prof. Dr. Sutrisna Wibawa. 2018. Kuliah Umum Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0 Bekali Peserta Didik Ketrampilan Abad 21. Yogyakarta. https://krjogja.com/web/.

Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang dihasilkan dari sebuah proses pendidikan dan pembelajaran bermutu yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga pendidikan guru atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang hebat dan bermutu. Tuntutan terhadap lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin dirasakan mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga pendidikan akan semakin berat.Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat dan tantangan yang semakin besar serta kompleks, tiada jalan lain bagi LPTK untuk mengupayakan cara-cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, antara lain dicapai melalui revitalisasi LPTK. LPTK adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan. LPTK berperan sebagai lembaga pendidikan prajabatan dan dalam jabatan. Sebagai lembaga pendidikan prajabatan, LPTK berperan: (1) menghasilkan guru yang berkualitas (kualifikasi, kompetensi, berkarakter kuat dan berjiwa pendidik); (2) menghasilkan calon guru dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang memenuhi standar di setiap satuan pendidikan untuk berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Selain itu, LPTK berperan dalam pembinaan guru dalam jabatan, antara lain: (1) melaksanakan sertifikasi guru dalam jabatan, (2) membantu kemendikbud dalam pembinaan guru berkelanjutan, (3) melaksanakan penilaian kompetensi dan kinerja guru secara terus menerus, serta (4) menghasilkan berbagai inovasi pendidikan dan pembelajaran di sekolah untuk peningkatan mutu pendidikan.

Namun kenyataannya kehadiran lebih dari 400 LPTK di Indonesia, belum mampu menyelesaikan permasalahan guru Indonesia yang sangat kompleks, antara lain; (1) kekurangan guru, terutama guru pada daerah-daerah khusus; (2)distribusi tidak proporsional; (3) ketidakcocokan (mismatched) antara latar belakang pendidikan dan tugas yang diampu; (4) kualifikasi akademik dan kompetensi guru sebagian berada di bawah standar; (5) disparitas kualitas atau kompetensi; (6) kesejahteraan guru belum merata; (7) tata kelola dan sistem insentif yang tidak adil dan tidak disesuaikan dengan prestasi kerja; dan (8) kinerja dan prestasi guru rendah, karena insentif tidak efektif meningkatkan kinerja guru. Pada saat ini LPTK mengalami berbagai masalah, antara lain: (1) belum semua LPTK memenuhi standar; (2) disparitas kualitas akibat kurangnya pengendalian jumlah dan kualitas LPTK; (3) over supply lulusan pendidikan akademik sarjana, sehingga banyak LPTK menghasilkan penggangguran terdidik; dan (4) diperlukan perhatian pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah terhadap LPTK yang masih kurang itu.Memperhatikan berbagai permasalahan tersebut, maka LPTK di Indonesia perlu direvitalisasi. Pada tahun 2016 dan 2017 Universitas Negeri Gorontalo beroleh program revitalisasi LPTK pada 4 Prodi di Fakultas MIPA. Melalui program tersebut telah menghasilkan beberapa dokumen diantaranya pedoman pengelolaan akademik, kurikulum yang berstandar Nasional Dikti yang berorientasi pada KKNI selain itu dihasilkan pula RPS dan perangkat pengembangan pembelajaran. Hasil revitalisasi tersebut merupakan salah satu penguatan lembaga yang memiliki peran signifikan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun masyarakat yang sejahtera. Dalam mewujudkan visi Universitas Negeri Gorontalo menjadi “Leading University dalam pengembangan kebudayaan dan inovasi berbasis potensi regional di kawasan Asia Tenggara”, UNG bertekad turut membangun negeri dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas, baik pendidik, tenaga kependidikan, tenaga profesional, maupun tenaga lainnya. Untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas, maka kurikulum yang merupakan salah satu instrument penting dalam proses pendidikan.Di dalam Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Standar proses pembelajaran merupakan kriteria minimal tentang pelaksanaan pembelajaran pada program studi untuk memperoleh capaian pembelajaran lulusan. Dengan demikian, tercapai tidaknya tujuan pendidikan akan sangat tergantung dari pelaksanaan pembelajaran yang diterapkan. Salah satunya adalah penyesuaian perangkat pembelajaran dengan kebutuhan pengguna lulusan, dalam hal ini adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi.Pengembangan perangkat pembelajaran merupakan wujud implementasi dari KKNI sebagai kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor (Perpres nomor 8 tahun 2012). KKNI yang terdiri atas sembilan jenjang memiliki implikasi terhadap kurikulum perguruan tinggi. Setiap lulusan perguruan tinggi, termasuk UNG harus mencapai jenjang tertentu dari KKNI. Lulusan program studi jenjang S-1 harus mencapai KKNI level 6.

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi Pasal 4 menyebutkan bahwa Standar Nasional Pendidikan terdiri atas, (a) standar kompetensi lulusan, (b) standar isi pembelajaran, (c) standar proses pembelajaran, (d) standar penilaian pembelajaran, (e) standar dosen dan tenaga kependidikan, (f) standar sarana dan prasarana pembelajaran, (g) standar pengelolaan pembelajaran, dan (h) standar pembiayaan pembelajaran. Dengan diterbitkannya Permen Ristek Dikti Nomor 44 tahun 2015 tersebut maka diperlukan penyesuaian beberapa rujukan akademik termasuk didalamnya penyesuaian kurikulum. Khusus dalam standar pengelolaan pembelajaran perguruan tinggi hendaknya; (1) menyusun kebijakan, rencana strategis, dan operasional terkait dengan pembelajaran yang dapat diakses oleh sivitas akademika dan pemangku kepentingan, serta dapat dijadikan pedoman bagi program studi dalam melaksanakanprogram pembelajaran, (2) menyelenggarakan pembelajaran sesuai dengan jenis dan program pendidikan yang selaras dengan capaian pembelajaran lulusan, (3) menjaga dan meningkatkan mutu pengelolaan program studi dalam melaksanakan program pembelajaran secara berkelanjutan dengan sasaran yang sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi, (4) melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap kegiatan program studi dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, (5) memiliki panduan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pengawasan, penjaminan mutu, dan pengembangan kegiatan pembelajaran dan dosen, dan (6) menyampaikan laporan kinerja program studi dalam menyelenggarakan program pembelajaran paling sedikit melalui pangkalan data pendidikan tinggi.

Uraian di atas telah menggambarkan penting pengelolaan mutu lulusan yang sebagai calon guru yang mampu berdaya saing di pasar kerja. Oleh karena itu, perlunya terobosan dalam mengelola calon guru yang berpengalaman dalam bidang pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan pengalaman para calon guru di sekolah yaitu dosen LPTK juga harus menjadi model bagi mahasiswa calon guru. Hal ini sebagaimana yang dituangkan dalam Permenristekdikti No. 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru: (S1) Sarjana Pendidikan dan Pendidikan Profesi Guru. Capaian pembelajaran lulusan program sarjana pendidikan harus memiliki; 1) Kompetensi pemahaman peserta didik; 2) Kompetensi pembelajaran yang mendidik; 3) Kompetensi penguasaan bidang keilmuan dan atau keahlian; dan 4) Kompetensi sikap dan kepribadian. Untuk mencapai hal tersebut dalam prosesnya harus memiliki; 1) Karakteristik proses pembelajaran; 2) Perencanaan proses pembelajaran; 3) Pelaksanaan proses pembelajaran; dan 4) Beban belajar mahasiswa. Sehingga tercapainya proses pembelajaran tersebut Program Sarjana Pendidikan mampu menerapkan prinsip dosen sebagai model yang dimaknai sebagai panutan bagi mahasiswa calon pendidik; dan sebagai pengalaman otentik dimaknai bahwa mahasiswa calon pendidik memperoleh pengalaman pembelajaran langsung sedini mungkin dalam situasi nyata di satuan pendidikan. Oleh karenanya, dosen harus mampu memberikan contoh baik bagi mahasiswa calon guru, dalam melaksanakan tugas keprofesiannya, termasuk bagaimana melaksanakan pembelajaran di kelas. Agar dosen LPTK pada saat melaksanakan tugas pembelajaran mampu menghadirkan pengalaman nyata bagaimana melaksanakan pembelajaran yang baik, yang relevan dengan tuntutan mutu proses pembelajaran di sekolah, maka dosen harus mengalami langsung bagaimana menjadi “guru” melalui suatu program diployment atau penugasan dosen di sekolah (PDS). PDS merupakan kegiatan yang memberikan dampak positif baik bagi LPTK maupun bagi Sekolah Laboratorium dan atau Sekolah mitra. Program PDS membutuhkan komitmen dosen untuk mengalami dan menjadi guru di Sekolah Laboratorium dan atau Sekolah mitra.

Melalui penguatan kemitraan antara LPTK dengan sekolah laboratorium atau sekolah mitra merupakan wujud dari tujuan revitalisasi yang telah dilaksanakan, Fakultas MIPA dalam hal ini prodi-prodi yang telah terlibat dalam program revitalisasi sangat berpotensi untuk membangun dan mengembangkan penguatan kemitraan dengan pihak-pihak mitra baik sekolah laboratorium maupun sekolah mitra yang sudah terjalin kerjasama melalui MOU. Dalam program kemitraan ini, dosen LPTK akan ditugas ke sekolah laboratorium atau sekolah mitra untuk bekerjasama dalam memperbaiki bentuk-bentuk pengutan pada mutu pembelajaran. Bentuk penguatan kemitraan dijalankan pada beberapa program yang bersinegris baik pihak LPTK maupun mitradengan indikator keberhasilan; 1) Terlaksanannya PDS melalui penyusunan perangkat pembelajaran kolaboratif antara dosen dan guru mitra, pembelajaran kolaboratif yang dibuktikan dengan rekaman audio visual proses pembelajaran kolaboratif, dan diperolehnya pengalaman baik dan terlaporkan menjadi tulisan pengalaman baikprogram PDS. 2) Terlaksananya pendampingan pencapaian kualitas pembelajaran melalui PDS dengan iklim pembelajaran yang semakin baik, dihasilkannya perangkat pembelajaran yang semakin berkualitas, dan meningkatnya prestasi belajar peserta didik. 3) Terciptanya kemitraan sejati antara dosen LPTK dan guru Sekolah Laboratorium dan/atau Sekolah Mitra, yang ditandai dengan program-program tindak lanjut dalam peningkatan kualitas pembelajaran dalam berbagai bentuk dan berkelanjutan, serta menguatkan kemitraan dalam pelaksanaan PLP dan PPL.

Terkait dengan hal tersebut maka dipandang perlu adanya program PDS melalui penguatan kemitraan dengan sekolah laboratorium maupun sekolah mitra. Melalui program ini, Universitas Negeri Gorontalo memprioritaskan 5 (lima) Prodi yang akan diikutkan dalam program dimaksud. Kelima prodi dimaksud adalah; (1) Prodi Pendidikan Biologi, (2) Prodi Pendidikan Kimia, (4) Prodi Pendidikan Fisika, dan (4) Prodi Pendidikan Geografi serta (5) Prodi Pendidikan Matematika.

Harapan dari program tersebut adalah untuk mewujudkan Indonesia yang Unggul dalam penyelenggaraan dan pembangunan pendidikan nasional yang harus dikelola oleh tenaga pendidik yang unggul, dalam mengahasilkan guru yang unggul tentunya peran LPTK dalam mengelola dan meluluskan alumninya sebagai calon guru yang memiliki daya saing. Untuk mewujudkan hal tersebut akan terimplementasi melalui program Penugasan Dosen di Sekolah (PDS) pada awal semester Ganjil Tahun Ajaran Baru melalui kemitraan dengan Sekolah mitra. Tujuan Penugasan Dosen di Sekolah adalah untuk membangun kemitraan yang sejati secara kolaboratif antara dosen dan guru yang memiliki manfaat bersama dalam mendesain pembelajaran, penelitian dan publikasi, penyusunan buku ajar dan media serta sebagai wadah terselenggaranya program PLP dan PPL. Dari bentuk kemitraan ini akan memberikan pengaruh positif kepada sekolah dalam hal pencapaian kualitas pembelajaran seperti terciptanya iklim pembelajaran yang semakin baik, dihasilkannya perangkat pembelajaran yang semakin berkualitas, dan meningkatnya prestasi belajar peserta didik.

Kembangkan Sistem Pembelajaran Daring (SPADA)

21 April 2018 13:30:45 Dibaca : 439

Dalam rangka mewujudkan visi pendidikan tinggi yang bermutu serta kemampuan IPTEK dan inovasi untuk mendukung daya saing bangsa, sejak tahun 2014 s/d 2015 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Direktorat Pembelajaran melakukan rintisan penerapan pembelajaran online melalui program Pembelajaran Daring Indonesia Terbuka dan Terpadu (PDITT). Seiring dengan perkembangannya, dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2018, Pembelajaran Daring Indonesia Terbuka dan Terpadu (PDITT) mengganti namanya menjadi Sistem Pembelajaran Daring Indonesia atau yang dikenal dengan SPADA Indonesia. Pada tahun ini, SPADA Indonesia akan menambah jumlah mata kuliah daring sebanyak 127 paket.

Menanggapi tantangan ke depan, FMIPA UNG selalu berusaha untuk mempersiapkan tenaga pendidik yang berkualifikasi dan memiliki komitmen terhadap perkembangan dunia pendidikan dengan mengedepankan pengembangan inovasi pembelajaran demi peningkatan kualitas dan output Program Studi di lingkunganFakultas MIPA UNG.Terwujudnya inovasi di atas tentunya harus didukung dengan peningkatan mutu pengelolaan pendidikanyang dilakukan dengan berbagai upaya melalui sistem informasi dan teknologi yang mutakhir.

Tahun ini, Jurusan-jurusan yang ada di lingkungan Fakultas MIPA akan mengembangkan sistem pembelajaran daring (SPADA) dengan diawali proses pendampingan pengelolaan SPADA. Pada tahun 2017 program ini telah dikembangkan pada Jurusan Biologi sebanyak 11 matakuliah. Kedepannya diharapkan dapat terus mewabah pada semua Jurusan yang ada di Universitas Negeri Gorontalo.

Berhubungan dengan mutu pendidikan, tentunya sudah seharusnya ada upaya dalam perbaikan pembelajaran guna mewujudkna Visi dan Misi Universitas Negeri Gorontalo yang menjadi Leading di Asia Tenggara. Upaya perbaikan pembelajaran yang dimaksudkan adalah perluasan akses belajar mahasiswa, di mana saja, dan kapan saja terhadap mata kuliah bermutu dari dosen bermutu, serta dalam menjawab tantangan di era globalisasi dan revolusi industri 4.0 untuk menyediakan layanan yang menggunakan teknologi digital atau online dalam pembelajaran sebagaimana menjadi program Direktorat Pembelajaran Ristekdikti. Untuk itu pada kesempatan ini, kami mengajukan program pendampingan pengelolaan pembelajaran Daring yang dapat ikut serta dalam program hibah Pengelolaan Sistem Pembelajaran Daring (Spada).

Sekolah Sebagai Organisasi Pembelajaran Yang Literat

06 April 2018 00:24:27 Dibaca : 1583

Menciptakan Sekolah Sebagai Organisasi Pembelajaran Yang Literat Melalui Penilaian Portofolio Dalam Konteks Pembelajaran IPA di SMP Negeri 3 Wonosari Desa Sukamulya Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo

Menulis merupakan cara yang dapat digunakan masyarakat untuk menjawab persoalan global saat ini. Kemampuan tersebut akan menjadi adaptasi diri dengan berbagai perkembangan IPTEK oleh karena itu kemampuan tersebut penting untuk mendorong kehidupan masyarakat yang lebih demokratis berdasarkan hukum, sosial dan religius. Dalam konteks ini, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dapat memberikan perannya dalam menjawab tantangan tersebut.
Pada tahun 2015 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memberikan rekomendasi kepada setiap sekolah di seluruh Indonesia untuk dapat melaksanakan dan mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah. Lebih lanjut kanjian pemerintah bahwa dasar pelaksanaan program tersebut dianggap penting karena mengingat pada; 1) Faktanya bahwa hasil survei internasional (PIRLS 2011, PISA 2009 & 2012) yang mengukur keterampilan membaca peserta didik, Indonesia menduduki peringkat bawah, 2) Tuntutan keterampilan membaca pada abad 21 adalah kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan re¬ektif, 3) Pembelajaran di sekolah belum mampu mengajarkan kompetensi abad 21, 4) Kegiatan membaca di sekolah perlu dikuatkan dengan pembiasaan membaca di keluarga dan masyarakat.
Gerakan literasi sekolah atau disingkat GLS merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang melibatkan seluruh warganya berbudaya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. Konteks pembelajaran yang literat dengan pelibatan publik merupakan kondisi yang membuat warga sekolahnya menyenangkan dan ramah anak dimana semua warganya memiliki kepedulian, rasa ingin tahu dan mampu berkomunikasi atau berinteraksi sosial pada semua warga sekolah baik guru, peserta didik maupun orang tua.
Literasi adalah kemampuan membaca dan menulis dalam konteks mampu dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas. Dalam pengertian luas, literasi meliputi juga kemampuan berbicara, menyimak, dan berpikir sebagai elemen di dalamnya (Cooper, 1993). Seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan dan kemampuan yang benar untuk digunakan dalam setiap kegiatan yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat; dan keliteratan yang diperolehnya melalui membaca, menulis, dan aritmetika itu memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakatnya (Baynham, 1995).
Dalam kegiatan pembelajaran ada beberapa faktor yang berperan dalam pembelajaran yaitu faktor guru, siswa, buku ajar, dan evaluasi hasil belajar. Pertama faktor guru, kempetensi guru pada dasarnya sudah memadai tetapi dalam melaksanakan pembelajaran dan evaluasi untuk peningkatan prestasi belajar masih perlu ditingkatkan. Kedua faktor siswa, kemampuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas berdampak negatif pada proses pembelajaran, antara lain siswa lebih cenderung menemukan informasi secara instan seperti melalui internet yang tidak selektif. Ketiga faktor fasilitas ruang baca dan buku bacaan, ketersediaan fasiltas dan buku bacaan tidak terpenuhi untuk kebutuhan belajar siswa mengakibatkan proses pembelajaran di kelas kurang kreatif dan siswa tidak memiliki peluang yang cukup untuk belajar mandiri. Keempat budaya membaca dan menulis peserta didik sangat rendah. Kelima faktor evaluasi hasil belajar, kecenderungan penilaian guru masih mengacu pada evaluasi belajar lewat tes.
Pada hasil orientasi awal tempat pelaksanaan kegiatan di SMP Negeri 3 Wonosari didapat permasalahan dalam pengelolaan proses pembelajaran sebagaimana yang diuraikan di atas, yaitu bagaimana meningkatkan profesionalisme guru melalui perbaikan proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Salah satu permasalahan yang lebih cenderung mempengaruhi hasil belajar siswa yaitu minat membaca dan menulis atau buadaya literasi bagi peserta didik yang sangat rendah. Hal ini dipengaruhi oleh pengelolaan pembelajaran di SMP Negeri 3 Wonosari belum mengimplementasikan dan mengembangkan strategi Gerakan Litersi Sekolah (GLS) dalam konteks pembelajaran. Pelaksanaan program ini perlu adanya komitmen seluruh warga sekolah serta pemahaman tentang konsep dan kegiatan dalam Gerakan Literasi Sekolah. Sekolah memiliki peran yang amat penting dalam menanamkan budaya literat pada anak didik. Untuk itu, setiap sekolah tanpa terkecuali harus memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan literasi. Budaya literasi yang tinggi di sekolah, peserta didik akan cenderung lebih berhasil dan guru lebih bersemangat mengajar.
Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan budaya literat, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah anatara lain:

  1. Mengondisikan lingkungan fisik ramah literasi. Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran. Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya peserta didik dipajang di seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru. Selain itu, karya-karya peserta didik diganti secara rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik.
  2. Mengupayakan lingkungan sosial yang afektif sebagai model komunikasi maupun interaksi yang literat. Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik.
  3. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang literat. Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung.

Permasalahan tersebut di atas, sangatlah perlu membutuhkan pembinaan untuk membangun pembelajaran yang lebih inovatif serta bersinergis di dalam lingkungan sekolah. Sinergis dimaksudkan agar memberikan kesempatan kepada warga sekolah antara guru dan peserta didik dapat mengaktualisasikan perannya masing-masing, sehingga tantangan tersebut dapat beroleh efek positif dalam pembelajaran. Apabila dikaji lebih jauh langkah awal yang perlu diatasi adalah bagaimana meningkatkan minat membaca dan menulis secara dini kepada peserta didik dengan memahami informasi secara analitis, kritis, dan kreaktif. Terkait pembiasaan dini untuk membaca, pemerintah telah menginstrusikan penumbuhan minat baca melalui kegiatan 15 menit membaca (Permendikbud No. 23 tahun 2015).