Pendidikan Dengan Ilmu Pendidikan (PENDIP) versus Pendidikan Tanpa Ilmu Pendidikan (PENTIP)
Pendidikan Dengan Ilmu Pendidikan (PENDIP) versus Pendidikan Tanpa Ilmu Pendidikan (PENTIP)
Oleh: Maryam Rahim
Dosen Jurusan BK FIP UNG
Pendidikan bertugas mengembangkan berbagai potensi peserta didik agar dapat memiliki kepribadian yang mantap, kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masayarakat, bangsa dan negara. Peserta didik yang menjadi subyek pendidikan merupakan individu yang unik, masing-masing memiliki kekhasan yang membedakannya dengan individu lain. Tidak ada peserta didik yang betul-betul sama, sebagaimana anak kembar yang tetap memiliki perbedaan. Menghadapi peserta didik yang berbeda itulah maka upaya pendidikan bukanlah aktivitas yang mudah. Pendidikan harus didasari oleh ilmu tentang perkembangan peserta didik, teori-teori pendidikan, teori belajar dan pembelajaran, strategi/metode pembelajaran, serta ilmu pendidikan (pedagogy). Dengan kata lain pendidikan harus dilaksanakan dengan ilmu pendidikan, pendidikan harus dilaksanakan berdasarkan pemahaman yang komprehensif tentang ilmu pendidikan.
Seorang pendidik harus memahami keberagaman peserta didik dengan berbagai dimensi perkembangannya. Dimensi tersebut terdiri dari dimensi fisik dan dimensi psikis (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian). Dapat dibayangkan, jika dalam sebuah kelas ada 20 orang peserta didik, maka akan terdapat 20 karakteristik kondisi fisik dan psikis peserta didik. Dari segi fisik, ada peserta didik yang sehat fisiknya secara menyeluruh, sementara lainnya memiliki kelemahan fisik, mengidap penyakit tertentu atau kondisi kesehatan yang sering terganggu. Dari segi psikis (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian) masing-masing akan ada 20 karakteristik aspek-aspek tersebut (bayangkan jika seorang guru menghadapi kelas terdiri dari 30 atau lebih peserta didik). Dari aspek bakat misalnya, bukan hanya ada 20 bakat, sebab ada peserta didik yang memiliki lebih dari satu bakat yang menonjol, demikian halnya dengan minat. Dari segi emosi, setiap hari peserta didik dengan kondisi emosi yang tidak sama, bisa saja di hari tertentu ia dilanda emosi positif seperti gembira, bahagia, namun di hari yang lain mengalami emosi negatif, seperti marah, sedih, ataupun takut. Dari aspek sosial, terdapat peserta didik yang luwes dalam bergaul, mudah menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi (well-adjustive), dan yang lainnya memiliki kemampuan interkasi sosial yang rendah bahkan sulit menyesuiakan diri (mal-adjustive). Ada yang memiliki kepribadian introvert dan ada pula yang ekstrovert. Demikian pula halnya aspek sikap, gaya belajar, kemampuan berbahasa, perkembangan moral, dan jenis perhatian. Seluruh karakteristik ini harus disesuaikan dengan teori belajar dan pembelajaran, dan strategi/metode pembelajaran. Tidak hanya itu, di sisi lain pendidikan juga dituntut harus mampu mengembangkan berbagai aspek perkembangan peserta didik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian). Pendidikan harus mampu mengembangkan bakat dan minat peserta didik; menjadikannya sebagai individu yang memiliki kecerdasan emosional (emotional intelligence), kecerdasan sosial (social intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) yang tinggi di samping kecerdasan intelektual; memiliki sikap-sikap yang positif (positive attitude) terhadap hal-hal yang positif; memiliki sifat-sifat yang baik; memiliki moral dan karakter terpuji, memiliki keterampilan berbahasa yang baik; dapat belajar sesuai dengan gaya belajarnya; memiliki kemampuan berkonsentrasi yang tinggi. Dengan kata lain pendidikan harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, serta mampu mengembangkan berbagai aspek perkembangan peserta didik tersebut. Pekerjaan lain lagi, guru harus melayani peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar dengan berbagai kondisi, ada yang lambat belajar (slow learner), ada yang sulit memahami materi, dan kesulitan belajar lainnya. Guru dituntut untuk melaksanakan pengajaran remedial (remedial teaching, remedial yang sesungguhnya, bukan ulangan atau ujian ulang yang biasa dilakukan pada saat akan pengisian raport), melaksanakan program pengayaan (enrichment program) bagi peserta didik yang memiliki kecepatan belajar yang tinggi (bukan pengayaan saat menghadapi ujian sekolah). Pekerjaan ini tentulah bukan pekerjaan yang mudah bagi seorang pendidik/guru. Hal ini menggambarkan betapa tidak mudahnya pendidikan yang berdasarkan pada ilmu pendidikan, atau pendidikan dengan ilmu pendidikan (PENDIP). Ketidakmudahan dalam melaksanakan pendidikan dengan ilmu pendidikan (PENDIP) ini dikhawatirkan akan menjebak guru dalam praktek pendidikan tanpa ilmu pendidikan (PENTIP).
Kelas-kelas (terutama pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama) seharusnya dibina oleh minimal 2 (dua) orang guru, masing-masing bisa berbagi tugas, ada yang fokus pada upaya membantu siswa menguasai materi mata pelajaran, dan guru yang satunya memberikan perhatian pada perkembangan psikis peserta didik (bukan guru Bimbingan dan Konseling/Konselor). Pasti akan muncul pemikiran tentang biaya yang dibutuhkan jika setiap kelas dibina oleh 2 orang guru. Namun itulah resiko yang harus terjadi jika menginginkan pendidikan yang dapat membantu perkembangan peserta didik secara utuh.
Tidak cukup seorang pendidik/guru memiliki keterampilan dalam menggunakan strategi dan metode pembelajaran yang diperoleh melalui berbagai pelatihan yang melelahkan dan menguras energy bahkan menghabiskan anggaran biaya yang tidak sedikit, jika ia tidak mampu mengaplikasikannya sesuai dengan karakteristik peserta didik. Akibatnya keterampilan itu tidak dapat membantu perkembangan peserta didik secara optimal sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan. Undang-Undang Guru dan Dosen telah menetapkan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah kompetensi pedagogik, yakni kompetensi yang sangat terkait dengan penguasaan guru tentang karakteristik peserta didik dan ilmu pendidikan secara utuh serta penerapannya dalam aktivitas pembelajaran yang menjadi tanggungjawabnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah setiap guru memiliki kompetensi pedagogik yang mumpuni? Pertanyaan ini semakin menguat dengan adanya kebijakan tentang penyiapan guru yang berlatar belakang non kependidikan. Cukupkah waktu setahun untuk memberikan bekal kompetensi pedagogik bagi para guru tersebut? jawabannya sudah jelas “tidak cukup”. Bandingkan dengan para calon guru yang dibekali dengan keilmuan di bidang pendidikan selama 4 (empat) tahun, yang bisa saja kompetensi pedagogiknya tidak terbentuk secara mantap. Kondisi ini tentu saja akan semakin memperlebar ruang terjadinya pendidikan tanpa ilmu pendidikan (PENTIP).
Kajian Model-Model Bimbingan dan Konseling Karir Menurut Zunker (2006)
Kajian Model-Model Bimbingan dan Konseling Karir Menurut Zunker (2006)
OLEH: MARYAM RAHIM
Zunker (2006, 85-131) menjelaskan 5 (lima) model konseling karir, yakni: (1) Trait and Factor and Person Environment Fit Model, (2) Developmental Model, (3) A Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model, (4) Cognitive Information Processing (CIP) Model, dan (5) Multicultural Career Counseling Model for Ethnic Women. Di samping itu Zunker (2006,443-453) menjelaskan pula 3 (tiga) model konseling dan layanan karir di perguruan tinggi, yang terdiri dari: (1) Module Model of Curricular Career Information Service, (2) Metroplex Model for Career Counseling, dan (3) Work and Experience-Based Programs for College and University Students. Model-model tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Trait and Factor and Person Environment Fit (PEF) Model;
Model ini terdiri dari 7 (tujuh) tahap, yang digambarkan secara ringkas sebagai berikut:
Tahap 1, meliputi kegiatan: memulai wawancara antara konselor dan klien dalam rangka membangun relasi kerja yang harmonis, mempelajari informasi tentang latar belakang klien, yang meliputi riwayat hidup yang diperoleh melalui angket atau diskusi. Selama wawancara, konselor menilai status emosi klien dan memperjelas kognisi klien. Tipe kepribadian dan karakteristik kepribadian juga diobservasi;
Tahap 2, mengidentifikasi aspek-aspek perkembangan, merupakan elemen penting dalam konseling PEF, seperti persepsi klien tentang identitas diri, konsep diri, atau gambaran diri, persepsi tentang lingkungan, dalam hal ini rekrutmen, penguatan/penghasilan, dan permintaan.
Tahap 3, asesmen, termasuk penilaian yang komprehensif tentang kemampuan kognitif klien, nilai-nilai, dan minat, di samping informasi tentang lingkungan pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Tujuan informasi ini adalah agar klien dapat memprediksi kepuasan yang diperoleh dalam pekerjaan itu. Keterampilan memproses informasi sangat penting dalam model PEF ini. Di sini klien membutuhkan bantuan dalam mengembangkan keterampilan memproses informasi melalui konseling yang dilakukan secara berkesinambungan.
Tahap 4, identifikasi dan pemecahan masalah, melalui informasi yang diperoleh pada tahap tiga. Klien mengidentifikasi masalah emosional yang serius, atau tidak berfungsinya pikiran berdasarkan penilaian psikologis yang lengkap.
Tahap 5, analisis PEF secara umum, konselor dan klien mengembangkan skema kogtinif atau bentuk konseptual, kriteria sebagai dasar membuat pilihan dan prediksi yang optimal.
Tahap 6, melakukan konfirmasi, eksplorasi dan keputusan. Konselor dan klien melakukan konfirmasi tentang analisis PEF, klien melakukan eksplorasi tentang lingkungan kerja yang potensial, dan klien membuat sebuah keputusan.
Tahap 7, tindak lanjut, melakukan evaluasi kemajuan dan kembali ke tahap sebelumnya jika dibutuhkan.
2. Developmental Model
The developmental model has been built from the premise that career development is a lifelong process and the career counseling needs of individuals must be met all stage life (Healy,1982); Gelso and Fretz, 2001; Sharf, 2002). Model ini terdiri dari 4 (empat) tahap berikut:
Tahap 1, menetapkan tujuan, kendala yang dihadapi, asesmen untuk menemukan tujuan yang jelas, keyakinan tentang pemecahan masalah, kesiapan melakukan kegiatan, perasaan, gaya belajar, dan kendala dalam mencapai tujuan.
Tahap 2, mengidentifikasi dan memilih strategi.
Tahap 3, mengajar dan membantu implementasi. Tugas utama konselor di tahap ini adalah memberikan dorongan kepada klien dalam mengimplementasikan strategi yang telah dikembangkan, seperti strategi belajar melalui latihan asertif, diskusi dengan pakar pekerjaan, latihan mememukan pekerjaan dan jaringan pasar kerja.
Tahap 4, verifikasi hasil yang dicapai. Tahap ini tertuju pada review terhadap efektivitas strategi belajar, revisi strategi selama tahap ini. Konselor memberikan dorongan kepada klien dalam usahanya mencapai hasil yang dituju. Salah satu tujuan penting adalah meningkatkan kepercayaan klien untuk mengembangkan strategi belajar yang dapat membantunya di masa depan.
3. Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model
Model ini terdiri dari 7 (tujuh) tahap berikut:
Tahap 1, wawancara untuk membangun relasi antara konselor dengan klien. Klien diupayakan merasa membutuhkan waktu untuk konseling, memberikan penguatan penuh dan respon klien yang positif, fokus pada semua masalah karir, kehdupan keluarga, pengaruh lingkungan, ketidak seimbangan emosi, hambatan dan kepercayaan karir, minat, nilai dan kepribadian. Pada tahap ini juga konselor membantu klien merumuskan tujuan sementara.
Tahap 2, melaksanakan asesmen: tujuan asesmen adalah menyediakan jaringan untuk intervensi belajar, asesmen diusahakan menemukan sistem informasi yang akurat dan koheren dengan sistem informasi klien, identifikasi tujuan klien, tidak realistiknya strategi untuk mencapai tujuan.
Tahap 3, membangkitkan aktivitas: klien diarahkan pada kegiatan individual seperti melakukan asesmen lain, mereview materi audio visual, program komputer, atau studi literatur tentang pekerjaan, beberapa klien diarahkan ke program konseling individual untuk menemukan masalah personal.
Tahap 4, mengumpulkan informasi, pada tahap ini dilakukan review terhadap stategi intervensi, tujuan individual, termasuk perkembangan terbaru, yang dilakukan melalui diskusi, klien memiliki komitmen terhadap informasi yang dikumpulkan melalui kunjungan kerja atau penggunaan pengalaman kerja.
Tahap 5, berbagi informasi dan memperkirakan konsekuensi, di sini klien dan konselor mendiskusikan informasi yang terkumpul tentang pekerjaan dan perkiraan bersama tentang konsekuensi dalam setiap pilihan pekerjaan. Konselor mengevaluasi kesulitan klien dalam memproses informasi dan kesalahan strategi dalam proses pengambilan keputusan, konselor mengembangkan intervesi remedial, klien diarahkan untuk mengumpulkan banyak informasi atau kembali ke konseling sebelumnya, sebelum lanjut ke tahap berikut.
Tahap 6, melakukan re-evaluasi, membuat keputusan tentatif atau kembali ke tahap berikut: Klien dan konselor mendiskusikan kemungkinan sukses dalam pilihan pekerjaan yang spesifik, konselor menyediakan rangsangan untuk pengambilan keputusan yang sesungguhnya untuk eksplorasi karir, atau merobah arah dan kembali ke tahap sebelumnya dalam membuat keputusan.
Tahap 7, strategi mencari pekerjaan: Strategi intervensi klien dapat meliputi penggunaan materi pelajaran, belajar menulis resume, menjadi anggota sebuah club pekerjaan, bermain peran, atau latihan membuat keputusan hidup, klien dan konselor mengenal kembali konsep perencanaan karir, terutama bagaimana prosedur belajar untuk membuat sebuah keputusan karir.
4. Cognitive Information Processing (CIP) Model;
Model CIP terdiri dari 7 (tujuh) tahap berikut:
Tahap 1, wawancara awal, tujuan utama tahap ini adalah konselor memperoleh informasi tentang masalah karir yang dihadapi klien serta membangun relasi yang benar. Lebih khusus lagi konselor menemukan faktor emosi dan kognisi dari masalah klien.
Tahap 2, asesmen kesiapan, menetapkan kesiapan klien dalam menyelesaikan dan membuat keputusan tentang masalahnya, antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan the Career Thoughts Inventory (Sampson et al, 1996a).
Tahap 3, mendefenisikan masalah dan membuat analisis kasus. Di tahap ini, konselor dan klien menyepakati pemahaman tentang masalah klien.
Tahap 4, merumuskan tujuan, yang dilakukan sebagai usaha kerjasama antara konselor dan klien. Tujuan tersebut dimasukkan secara tertulis dalam ILP.
Tahap 5, mengembangkan Individual Learning Plan (ILP) atau rencana belajar individual, atas kerjasama antara konselor dan klien, dengan menggunakan berbagai sumber dan aktivitas sehingga klien menemukan rumusan tujuan yang jelas. Individual Learning Plan juga dalam bentuk kontrak antara konselor dan klien.
Tahap 6, mewujudkan Individual Learning Plan. Pada tahap ini klien melakukan inisiatif dalam mewujudkan rancana yang telah disepakati. Konselor dalam posisi mengarahkan lebih lanjut dan memberikan informasi, klarifikasi atau penguatan atas kemajuan klien.
Tahap 7, review akhir dan perumusan kesimpulan. Apakah kemajuan dalam menyelesaikan masalah dapat menimbulkan motivasi pada klien untuk melihat hasil dari pelaksanaan konseling, juga menilai efektivitas kemajuan dalam Individual Learning Plan, lebih khusus lagi menilai status keputusan karir yang dilakukan oleh klien. Terakhir melihat apakah keenam tahap yang dilakukan dapat memberikan keterampilan kepada siswa untuk memecahkan masalah pribadi dan karir di masa yang akan datang.
5. Multicultural Career Counseling Model for Ethnic Women
Model ini terdiri dari 6 (enam) tahap berikut:
Tahap 1, membangun rapport dan relasi budaya yang tepat. Relasi antara klien dan konselor sangat penting dalam semua konseling karir, terutama pada model ini. Ketika klien merasa bebas dalam mengekspresikan dirinya dalam relasi konseling, dia akan menjadi guru yang baik sebagai informan budaya, dan sangat membantu konselor dalam menciptakan diskusi yang lancar tentang informasi etnis/ras. Kepercayaan dan kerjasama menjadi faktor kunci dalam relasi konseling, khususnya ketika klien dan konselor berasal dari latar belakang kelompok etnis yang berbeda.
Tahap 2, mengidentifikasi isu karir, pada tahap ini, konselor harus memiliki pemahaman tentang isu-isu pandangan hidup klien, dalam rangka memfasilitasi klien membuat keputusan karir. Tujuan utama tahap ini adalah membantu klien mengidentifikasi pengalamannya tentang keterbatasan dalam memilih karir, seperti pemilihan karir dipengaruhi oleh gender.
Tahap 3, asesmen tentang akibat faktor budaya. Pada tahap ini konselor mengidentifikasi aspek-aspek budaya yang sangat mempengaruhi keterbatasan dalam memilih karir. Proses ini membutuhkan waktu yang panjang ketika klien mengingat kembali tentang pemahaman penting bagaimana lingkungan keluarganya, agama, dan asal-usul budaya.
Tahap 4, menetapkan tujuan konseling. Penetapan tujuan dilakukan atas kerjasama antara klien dan konselor. Kerjasama dan relasi konseling sangat penting untuk konseli minoritas etnis.
Tahap 5, membuat intervensi budaya yang tepat. Dibutuhkan intervensi yang tepat untuk kelompok dengan anggota yang berasal dari budaya yang bervariasi. Intervensi kelompok juga sangat produktif untuk kelompok dengan beberapa budaya.
Tahap 6, membuat keputusan. Membuat keputusan sangat disarankan pada tahap ini termasuk monitoring yang kontinu terhadap proses pengambilan keputusan, terutama klien bebas dari segala gangguan dalam mencapai tujuan.
Tahap 7, implementasi dan tindak lanjut. Dalam hal ini, klien dapat mengambil referensi dari sumber-sumber informasi, kontak dengan individu lain atau pihak lain untuk membantunya.
6. Module Model of Curricular Career Information Service
Merupakan model konseling karir yang menggunakan pendekatan pembelajaran dan berbasis multimedia serta beorientasi self-help. Model ini dikembangkan oleh Curricular Career Information Service (CCIS), Florida State University. Modul berisi rumusan tujuan behavioral tertentu yang dicapai melalui kegiatan-kegiatan terstruktur. Model ini terdiri dari 12 modul, dengan isi sebagai berikut:
(1) modul 1, berisi penjelasan tentang tujuan CCIS, yang diawali dengan presentasi slide selama 10 menit tentang garis-garis besar tujuan CCIS;
(2) modul 2, dilengkapi dengan slide dan materi pilihan, berisi tinjauan umum tentang variabel-variabel yang dipandang penting dalam perencanaan karir;
(3) modul 3, berisi self-assessment, yang dilakukan sendiri dan hasilnya juga ditafsirkan sendiri, tentang inventarisasi minat dengan menggunakan instrument Self-Directed Search dari Holland;
(4) modul 4, terdiri dari presetasi slide tentang sumber-sumber informasi karir;
(5) modul 5, dimaksudkan untuk membantu mahasiswa mengenal karir-karir yang terkait dengan kajian akademik utama yang ditempuhnya;
(6) modul 6 sampai modul 12, mencakup harapan kerja, perencanaan waktu senggang, pernecanaan karir untuk orang kulit hitam, pembuatan keputusan karir untuk perempuan dewasa dan penyandang cacat, dan eksplorasi minat karir melalui keterampilan kerja dan okupasional.
7. Metroplex Model for Career Counseling
Model metroplex diterapkan di universitas yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan alumni dalam jumlah yang besar, di samping harus melayani sejumlah besar mahasiswanya yang berasal dari berbagai macam program studi. Kegiatan difokuskan pada unit yang biasa disebut pusat konseling karir. Program-program yang dikembangkan di pusat konseling karir seperti ini diperuntukkan untuk membantu berbagai kalangan seperti: (1) orang dewasa muda dan separuh baya yang mengantisipasi perubahan arah karir, (2) individu yang menghendaki relokasi dalam bidang karirnya, (3) individu yang menginginkan mobilitas dalam bidang karirnya melalui pendidikan lanjut, (4) individu yang mencari informasi mengenai tren pasar kerja dalam bidang tertentu, (5) individu yang ingin membuat perencanaan untuk melanjutkan kembali studinya, dan (6) individu yang mencari karir kedua setelah pensiun dini dari karir pertama.
Secara operasional, pusat ini terbagi ke dalam beberapa unit yaitu: (1) unit pengembangan karir, (2) unit informasi kerja bagi mahasiswa, (3) program wawancara kampus, dan (4) tiga unit khusus yang mengurus kebutuhan mahasiswa dalam bidang pendidikan, manajemen, dan teknik. Ketiga unit khusus ini menawarkan program tambahan untuk mengakomodasi prosedur penempatan dalam masing-masing bidang tersebut.
8. Work and Experience-Based Programs for College and University Students
Model ini dirancang untuk memberikan pengalaman kerja nyata kepada para mahasiswa. Dalam program ini, mahasiswa ditempatkan di perusahaan atau lembaga selama waktu tertentu, misalnya selama satu minggu. Tujuan program ini adalah memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk mengamati kegiatan di tempat kerja yang terkait dengan bidang keilmuannya dan berinteraksi dengan para pegawai di tempat kerja tersebut. Penyelengaraan program ini disponsori bersama oleh ikatan alumni universitas, pusat kegiatan mahasiswa, kantor penempatan, dan pusat layanan konseling mahasiswa.
Setiap model yang telah diuraikan sebelumnya memiliki karakteristik masing-masing. Berikut karakteristik 5 (lima) model, yakni: (1) Trait and Factor and Person Environment Fit Model, (2) Developmental Model, (3) A Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model, (4) Cognitive Information Processing (CIP) Model, dan (5) Multicultural carerr counseling model for ethnic women.
Trait and factor and Person Environment Fit (PEF) memiliki karakteristik berikut: (a) langkah-langkah konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) sasaran konseling adalah klien yang bermasalah, dalam arti konseli yang dilayani adalah individu yang sedang mengalami masalah atau kesulitan dalam merencanakan karir, kesulitan dalam membuat keputusan karir, atau kesulitan dalam menjalani karir/pekerjaan, dalam arti terbatas pada fungsi pengentasan, sehingga fungsi bimbingan dan konseling lainnya yakni fungsi pemahaman, fungsi pencegahan, fungsi pengembangan tidak terwujud dalam model ini, (c) terdapat usaha memahami karakteristik klien dan dunia kerja, namun pemahaman terhadap dunia kerja terfokus pada persepsi siswa/klien terhadap rekrutmen dan penghasilan yang diperoleh dalam pekerjaan-pekerjaan itu, (d) konseling dilaksanakan untuk membantu klien membuat keputusan karir.
Developmental Model memiliki karakteristik berikut: (a) tidak tergambar sebagai model konseling, sebab tidak mengikuti tahap-tahap konseling, yakni tahap awal, tahap kegiatan, dan tahap akhir, (b) fokus pada membantu klien memiliki kemampuan memilih karir, (c) proses bantuan dilakukan melalui strategi belajar, seperti latihan asertif, diskusi dengan pakar pekerjaan atau seseorang yang telah berhasil dalam pekerjaan, mengikuti jaringan pasar kerja, (d) tahapan konseling ini tidak relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir.
Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model memiliki karakteristik berikut: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) proses konseling ditujukan untuk membantu klien membuat keputusan karir, (c) konseling dilakukan tidak sebatas mengambil keputusan karir, namun sampai pada tahap mencari pekerjaan.
Cognitive Information Processing (CIP) Model memiliki karakteristik berikuT (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) proses konseling berbasis belajar, (c) konseling ditujukan untuk membantu klien membuat keputusan karir dan keterampilan klien dalam memecahkab masalah pribadi dan karir di masa yang akan datang.
Multicultural career counseling, memiliki karaktersitik berikut: (a) model ini merupakan konseling berbasis multicultural dan dikhususkan pada etnis perempuan, (b) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir.
Khusus untuk 3 (tiga) model lainnya, yakni: (1) Module Model of Curricular Career Information Service, (2) Metroplex Model for Career Counseling, dan (3) Work and Experience-Based Programs for College and University Students, jika dicermati ketiga model tersebut memiliki karakteristik berikut: (1) dirancang untuk diterapkan di perguruan tinggi, (2) dirancang untuk mahasiswa yang telah memiliki kemandirian dalam membuat perencanaan karir, sehingga tampaknya peranan konselor sangat terbatas, (3) berorientasi pada perencanaan dan pemilihan lapangan kerja mengingat mahasiswa telah berada pada fase memilih lapangan kerja, (4) tidak menggunakan tahapan konseling, namun lebih berbentuk program kegiatan. Memperhatikan karakteristik tersebut maka dapat disimpulkan model-model ini kurang tepat digunakan untuk siswa pendidikan menengah atas.
Mencermati karakteristik dari setiap model, maka dapat ditemukan keunggulan dan juga kritikan terhadap model-model tersebut, sebagai berikut:
Trait and factor and Person Environment Fit (PEF): model ini memiliki keunggulan berikut: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) memenuhi tahapan konseling, yakni: tahap awal, tahap kegiatan, dan tahap akhir. Di samping keunggulan, kritikan terhadap model ini adalah: (a) sasaran konseling adalah klien yang bermasalah, (b) terdapat tahap pemahaman karakteristik siswa dan dunia kerja, namun pemahaman terhadap dunia kerja terfokus pada persepsi klien terhadap rekrutmen dan penghasilan yang diperoleh dalam pekerjaan-pekerjaan itu. Dalam bimbingan dan konseling karir, pemahaman dunia kerja yang dimaksud meliputi pemahaman terhadap berbagai jenis pekerjaan dengan berbagai karakteristiknya, (c) konseling dilaksanakan untuk membantu klien sampai pada membuat keputusan karir.
Developmental Model, model ini memiliki keunggulan yakni proses bantuan dilakukan melalui strategi belajar, seperti latihan asertif, diskusi dengan pakar pekerjaan atau seseorang yang telah berhasil dalam pekerjaan, mengikuti jaringan pasar kerja. Namun demikian terdapat kritikan terhadap model ini, yakni: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) tidak tergambar sebagai model konseling, sebab tidak mengikuti tahap-tahap konseling, yakni tahap awal, tahap kegiatan, dan tahap akhir, (c) fokus pada membantu klien memiliki kemampuan memilih karir, dan (d) tahapan konseling ini tidak relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir.
Learning Theory of Career Counseling (LTCC) Model, model ini memiliki keunggulan berikut: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) proses konseling ditujukan untuk membantu klien membuat keputusan karir, (c) konseling dilakukan tidak sebatas membantu klien mengambil keputusan karir, namun sampai pada tahap mencari pekerjaan. Di samping keunggulannya, sasaran model konseling ini adalah klien yang mengalami masalah karir, hal ini tidak sejalan dengan prinsip bimbingan dan konseling yakni layanan bimbingan dan konseling diberikan kepada semua siswa, baik yang mengalami masalah maupun yang tidak mengalami masalah.
Cognitive Information Processing (CIP) Model, model ini memiliki keunggulan berikut: (a) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir, (b) proses konseling berbasis belajar. Di samping keunggulan tersebut, satu hal yang dipandang menjadi kritikan terhadap model ini adalah konseling lebih ditujukan untuk membantu klien membuat keputusan karir.
Multicultural Career Counseling Model for Ethnic Women, memiliki keunggulan berikut: (a) model ini merupakan konseling berbasis multicultural dan dikhususkan pada kaum wanita, (b) tahapan konseling ini relevan dengan konsep bimbingan dan konseling karir. Kritikan terhadap model ini adalah tidak tepat digunakan untuk klien berjenis kelamin laki-laki, mengingat karir laki-laki memiliki ciri khas yang berbeda dengan karir wanita.
Untuk 3 (tiga) model lainnya, yakni: (1) Module Model of Curricular Career Information Service, (2) Metroplex Model for Career Counseling, dan (3) Work and Experience-Based Programs for College and University Students, khusus dirancang digunakan bagi mahasiswa di perguruan tinggi, yang memiliki perbedaan karakteristik perkembangan dengan siswa pendidikan menengah atas. Di samping itu, model ini tidak menggunakan tahapan konseling, namun lebih berbentuk program kegiatan.
Sumber Rujukan: Zunker, Vernon G. 2006. Career Counseling. A Holistic Approach. Thomson Brooks/Cole.
Problematika Pelaksanaan Supervisi Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Problematika Pelaksanaan Supervisi Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Oleh: Maryam Rahim
Supervisi terhadap penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah merupakan kegiatan yang urgen. Urgensi supervisi dimaksud tidak lepas dari suprevisi sebagai upaya mendorong dan membimbing para guru bimbingan dan konseling (guru BK/konselor) agar senantiasa melaksanakan tugasnya secara profesional dan senantiasa meningkatkan profesionalismenya secara berkelanjutan.
Aktivitas guru BK/konselor berbeda dengan aktivitas guru mata pelajaran. Aktivitas guru BK adalah dalam bentuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling dalam upaya memandirikan siswa dan mengoptimalkan perkembangan siswa di bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir. Aktivitas tersebut bersifat: (1) pencegahan, artinya mencegah agar siswa terhindar dari berbagai masalah yang akan berpengaruh pada perkembangan mereka, (2) pengembangan, artinya membantu siswa mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya, baik potensi sebagai pribadi, potensi sebagai makhluk sosial, potensi belajar maupun potensi karir, (3) penyesuaian, artinya membantu siswa agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat, (4) penyaluran, artinya membantu siswa menyalurkan bakat/minatnya, memilih program belajar dan sekolah lanjutan, (5) penyembuhan atau pengentasan, artinya membantu siswa menemukan solusi dari masalah yang dihadapinya. Aktivitas-aktivitas ini menunjukkan bahwa tugas guru BK bukan hanya menangani siswa yang bermasalah sebagaimana anggapan sebagian orang, namun juga melakukan upaya-upaya pencegahan, pengembangan, penyesuaian, dan penyaluran.
Strategi layanan dapat berbentuk lintas kelas, klasikal, kelompok, dan individual; dengan metode/teknik yang bervariasi, seperti: ceramah dari nara sumber, cinema therapy, bibliocounseling, fantasy, career day, diskusi kelompok, brainstorming, home-room, written, dilemma moral, sosiodrama/psikodrama, karyawisata, modul, modeling, dan simbolik.
Mencermati aktivitas guru BK/konselor yang berbeda dengan aktivitas guru bidang studi, maka seharusnya supervisi terhadap pelaksanaan BK di sekolah dilakukan secara profesional oleh supervisor yang berlatar belakang keilmuan BK. Namun kenyataannya, supervisi terhadap penyelenggaraan BK di sekolah hingga saat ini masih menjadi problem. Penyelenggaraan supervisi BK dilaksanakan oleh tenaga supervisor yang tidak berlatar belakang keilmuan BK. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahim; Hulukati; dan Siregar (2022) tentang penyelenggaraan supervisi BK di provinsi Gorontalo menunjukkan: (1) 95% guru-guru BK menyatakan disupervisi oleh supervisor yang tidak memiliki latar belakang keilmuan BK, (2) supervisi lebih menekankan pada aspek administrasi layanan, (3) supervisi lebih banyak menggunakan metode tanya jawab, (3) supervisor cenderung tidak mengamati langsung penampilan guru BK pada saat melaksanakan bimbingan klasikal dan bimbingan kelompok, (4) supervisor cenderung kurang memberikan informasi tentang kemutakhiran perkembangan pelayanan, (5) sebagian besar supervisor tidak memberikan contoh-contoh teknik layanan BK yang dapat mengaktifkan siswa (konseli) pada saat layanan, dan (6) supervisor cenderung tidak melaksanakan supervisi klinis.
Kondisi ini tentu saja akan sangat berpengaruh pada pelaksanaan supervisi itu sendiri, dan yang paling dikhawatirkan akan berimbas pada manfaat dari supervisi tersebut terhadap peningkatan profesionalisme guru BK. Bagaimanapun juga guru-guru BK yang sedang bertugas di sekolah saat ini dan di masa-masa yang akan datang membutuhkan supervisi yang benar-benar akan memacu mereka untuk meningkatkan profesionalismenya dan kualitas kerjanya secara berkelanjutan.
Kompetensi supervisor/pengawas pendidikan di Indonesia telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. Permen tersebut menegaskan tentang kualifikasi dan 6 kompetensi pengawas, yakni kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi supervisi akademik, evaluasi pendidikan, penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial. Pada sub kompetensi supervisi akademik disebutkan bahwa supervisor/pengawas “memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan tiap mata pelajaran yang relevan”, dan “memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik dan kecenderungan perkembangan proses pembelajaran/ pembimbingan tiap mata pelajaran yang relevan”. Mengacu pada standar ini, maka sewajarnya jika supervisor/pengawas penyelenggaraan BK harus: “memahami konsep, prinsip, teori dasar, karakteristik, dan kecenderungan perkembangan dalam penyelenggaraan layanan BK”, dan “memahami konsep, prinsip, teori/teknologi, karakteristik dan kecenderungan perkembangan dalam penyelenggaraan layanan BK”. Pada sub kompetensi supervisi akademik, jika dikaitkan dengan pelayanan BK dapat diinterpretasikan bahwa “supervisor membimbing guru menyusun program BK, memilih dan menggunakan strategi/metode/teknik pelayanan BK, menyusun RPLBK, mengelola/ merawat/mengembangkan dan menggunakan media layanan BK, memotivasi guru untuk memanfaatkan teknologi informasi untuk pelayanan BK”. Aspek-aspek tersebut tentu saja hanya dapat dilaksanakan secara profesional oleh supervisor/pengawas yang memiliki latar belakang pendidikan bidang BK. Sebagai akibat dari supervisor/pengawas tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni tentang aspek-aspek yang disupervisi tersebut, maka yang terjadi adalah supervisi hanya tertuju pada ketersediaan adiministrasi pelayanan BK, dan mengabaikan supervisi terhadap kompetensi guru dalam melaksanakan layanan.
“Menguasai metode, teknik dan prinsip-prinsip supervisi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah; serta membina kepala sekolah dan guru dalam melaksanakan bimbingan dan konseling”, merupakan sub kompetensi supervisor/pengawas yang tercantum dalam Permendiknas tersebut. Jika dicermati, penguasaan metode, dan teknik supervisi akan sangat terkait dengan aspek-aspek yang diobservasi. Akan sulit bagi supervisor yang tidak berlatarbelakang keilmuan bimbingan dan konseling ketika harus melakukan observasi langsung tentang kompetensi guru BK pada saat melaksanakan layanan, di mana pada saat itu supervisor akan menilai materi layanan, strategi/metode/teknik layanan, media layanan maupun pelaksanaan evaluasi layanan. Bagaimana supervisor akan mengamati apabila supervisor itu sendiri tidak memiliki keterampilan bahkan pemahaman tentang perumusan materi layanan, penggunaan strategi/metode/teknik layanan, media layanan maupun pelaksanaan evaluasi layanan BK. Oleh sebab itu, realita yang terjadi adalah perhatian supervisor cenderung tertuju pada aspek administrasi, yang kadang-kadang juga tidak terlalu dipahami oleh supervisor itu sendiri.
Hasil-hasil supervisi memerlukan tindak lanjut, sebagai umpan balik terhadap guru BK/konselor setelah disupervisi. Pentingnya tindak lanjut atau umpan balik hasil supervisi ini dapat disimpulkan dari defenisi supervisi, yakni sebagai aliansi kerja antara supervisor dan konselor di mana konselor dapat memperlihatkan rekaman dokumen pekerjaan mereka, mereflesikannya, menerima umpan bailk, dan bimbingan (European Association for Counseling, 2014, dalam Wutsqo, dkk, 2021. Tindak lanjut dari hasil supervisi dimaksudkan sebagai penggunaan hasil-hasil supervisi untuk kepentingan keberlanjutan penyelenggaraan pelayanan BK di sekolah, terutama terkait dengan peningkatan kompetensi guru BK /konselor. Hal ini akan sulit diwujudkan jika supervisi yang dilaksanakan tidak menyentuh aspek-aspek esensial dalam pelayanan BK. Dengan kata lain pelaksanaan supervisi tersebut tidak memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pelayanan BK di sekolah.
Oleh sebab itu, sangat diharapkan perhatian dari para pengambil kebijakan kiranya dapat menugaskan pengawas pelaksanaan BK di sekolah adalah tenaga yang berlatarbelakang keilmuan BK, di samping tentu saja yang memiliki kompetensi sebagai pengawas BK. Apalah artinya berbagai teori dan praktik yang telah dipelajari oleh guru-guru BK kurang lebih 4 tahun di bangku kuliah, pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh melalui seminar/ workshop/pelatihan selama mereka bertugas, ketika mereka tidak diberi ruang untuk dievaluasi secara profesional oleh supervisor yang profesional dalam konteks yang sesungguhnya, yakni di sekolah tempat mereka mengabdikan ilmunya. Guru-guru BK juga ingin disupervisi ketika sedang melaksanakan layanan, sehingga mereka akan diberitahu kekurangan mereka dalam menggunakan metode/teknik tertentu, diberitahu tentang ketercapaian tujuan layanan, dan informasi lain sebagaimana diperoleh oleh guru mata pelajaran yang disupervisi oleh supervisor mata pelajaran.
Resiliensi dalam Menghadapi Dinamika Kehidupan
Resiliensi dalam Menghadapi Dinamika Kehidupan
Oleh: Maryam Rahim
Dosen Jurusan Bimbingan dan Konseling
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo
Dinamika kehidupan manusia sebagai akibat pesatnya perkembangan teknologi meminta kita untuk senantiasa mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Perubahan besar di bidang pekerjaan yang ditandai dengan hilangnya banyak pekerjaan disebabkan perubahan cara kerja menjadi otomatisasi (Wolter, dalam Yahya, dan Vaidya et al, 2018) mengakibatkan semakin tingginya skill yang dipersyaratkan untuk melakoni sebuah pekerjaan. Diperkirakan sebanyak 24 juta pekerjaan di Indonesia akan digantikan oleh otomatisasi, sejalan dengan meningkatnya adopsi otomatisasi dan kecerdasan buatan. Persaingan dalam gaya hidup yang semakin menunjukkan keglamoran dari sekelompok orang dengan status ekonomi kelas atas tanpa peduli dengan orang-orang di sekitar dengan status ekonomi menengah ke bawah, bisa saja akan memicu munculnya berbagai keinginan yang tak terpuaskan bagi mereka yang berstatus ekonomi rendah. Pinjaman online yang ditawarkan oleh oknum-oknum yang hanya ingin memperkaya diri sendiri telah menjebak banyak orang untuk terlibat dalam lingkaran hutang yang tak terselesaikan, peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, kasus perceraian yang semakin marak, semuanya menjadi fenomena yang mengerikan bagi masa depan bangsa. Banyak orang yang jatuh bangun dalam melakoni kehidupannya, dan sebagian di antaranya gagal, dan mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang tragis. Perkembangan teknologi telah semakin memperkaya dinamika kehidupan manusia, perubahan status ekonomi maupun status sosial dari status tinggi ke status eknonomi dan sosial rendah kadang-kadang berakibat negatif bagi kehidupan orang yang mengalaminya.
Untuk dapat berkembang secara positif atau sembuh dari kondisi-kondis stress, trauma dan berbagai situasi yang penuh resiko, maka setiap orang membutuhkan keterampilan resiliensi, yang meliputi: (1) kecakapan untuk membentuk interaksi sosial yang positif (kompetensi sosial), (2) keterampilan memecahkan masalah (metakognitif), (3) keterampilan mengembangkan sense of identity (otonomi), dan (4) perencanaan dan pengharapan yakni pemahaman tentang tujuan hidup dan masa depan. Resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya (Reivich. K dan Shatte. A, 2002). Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikososial seseorang. Sehingga resiliensi bisa menjadi salah satu penentu karakter seseorang (Desmita, 2013). Sejumlah ahli tingkah laku menggunakan istilah resiliensi untuk menggambarkan tiga fenomena: (1) perkembangan positif yang dihasilkan oleh anak yang hidup dalam konteks “beresiko tinggi” (high risk), seperti anak yang hidup dalam kemiskinan kronis atau perlakuan kasar orang tua, (2) kompetensi yang dimungkinkan muncul di bawah tekanan yang berkepanjangan, seperti persistiwa-peristiwa di sekitar perceraian orag tua mereka, dan (3) kesembuhan dari trauma, seperti ketakutan dari peristiwa perang saudara (Wenner, E; 2003). Resiliensi perlu dimiliki oleh setiap orang dan dibutuhkan upaya pengembangannya secara terus menerus. Resiliensi membuat setiap orang mampu mengatasi dan beradaptasi bila terjadi sesuatu yang merugikan dalam hidupnya.
Setiap Orang Butuh Tempat Curhat
Setiap Orang Butuh Tempat Curhat
OLEH: MARYAM RAHIM
Mencegah terjadinya sebuah perbuatan harus dimulai dengan menganalisis penyebab terjadinya perbuatan tersebut. Bunuh diri tentu saja ada penyebabnya. Ditinjau dari karakteristik perkembangan individu, maka penyebab bunuh diri akan berbeda pada setiap usia. Bunuh diri pada remaja bisa saja disebabkan oleh persoalan yang terkait dengan kelompok sosial, mengingat pengaruh kelompok dalam hal ini teman sebaya sangat tinggi di usia remaja. Dibully oleh teman, atau diisolasi dari pertemanan bisa menjadi penyebab timbulnya masalah pada usia remaja, yang bagi remaja tertentu berakhir dengan bunuh diri. Di samping itu, remaja butuh perhatian dan kasih sayang terutama dari orang tua dan orang dewasa lainnya seperti guru. Kurangnya perhatian dan kasih sayang ini, apalagi jika terjadi konflik berkepanjangan dengan orang tua dan tidak menemukan penyelesaian, maka bunuh diri bisa-bisa menjadi solusi yang dipilih oleh remaja tersebut. Bagi orang dewasa lain lagi penyebab terjadinya bunuh diri. Masalah rumah tangga, masalah ekonomi, dan kurangnya pemahaman tentang ajaran agama pada umumnya menjadi penyebabnya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka upaya pencegahan bunuh diri pada remaja berbeda dengan orang dewasa. Pemenuhan kebutuhan mereka, seperti perhatian dan kasih sayang orang tua, terpenuhinya kebutuhan financial, pengawasan dari orang tua dan guru/orang dewasa lainnya, menciptakan suasana keluarga yang harmonis yang diwarnai dengan pola asuh demokratis yang membuka ruang-ruang komunikasi terbuka antara sesama anggota keluarga. Guru-guru di sekolah perlu menyediakan kondisi fisik dan psikologis sekolah yang membuat nyaman dan menyenangkan bagi semua siswa, guru dan teman-teman menjadi tempat berbagi rasa (curhat), bebas dari perilaku bullying, termasuk akses keperawatan psikologis di mana siswa terbebas dari berbagai beban psikologis disebabkan oleh proses pembelajaran. Peran guru bimbingan dan konseling menjadi sangat penting dalam mencegah terjadi kasus bunuh diri di kalangan siswa/remaja, siswa-siswa perlu dibekali dengan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang positif dan tepat.
Pada orang dewasa, pencegahan perlu dimulai dari adanya persiapan yang matang dalam memasuki kehidupan berkeluarga, baik kesiapan fisik, emosional, maupun kesiapan ekonomi. Media sosial diharapkan tidak mengumbar kehidupan glamor para selebriti yang mengstimulasi keinginan-keinginan pada orang lain untuk bisa merasakan hal yang sama, peran ulama dalam memantapkan pemahaman ajaran agama terutama terkait dengan bunuh diri, perlu dikumandangkan terus menerus, peran pemerintah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat perlu dilakukan secara kontinu dan tepat, dan tidak kalah pentingnya setiap orang dewasa memiliki kekuatan iman sehingga tidak melakukan perilaku-perilaku yang terlarang dari norma agama, norma sosial dan norma hukum.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong