Pendidikan Saat Ini dan Pendidikan di Masa Lalu: Tinjauan dari aspek Persepsi Orang Tua terhadap Guru dan Pendidikan
Pendidikan Saat Ini dan Pendidikan di Masa Lalu: Tinjauan dari aspek Persepsi Orang Tua terhadap Guru dan Pendidikan
Oleh: Maryam Rahim
Mencermati fenomena pendidikan saat ini, khususnya terkait dengan perilaku peserta didik, dan terutama menyangkut moral dan karakter mereka; serta respon orang tua peserta didik terhadap pendidikan, khususnya terhadap guru, telah menjadi alasan bagi masyarakat membandingkan antara pendidikan saat ini dengan pendidikan di masa lalu. Pada umumnya orang menganggap bahwa pendidikan di masa lalu lebih baik dibandingkan saat ini. Penilaian seperti ini tidak dapat dibantah, sebab sangat didukung oleh kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, di mana perilaku peserta didik ataupun orang-orang yang mengalami pendidikan di masa lalu dipandang lebih baik dari perilaku peserta didik ataupun mereka yang mengalami pendidikan saat ini. Demikian pula halnya dengan respon orang tua terhadap guru. Dahulu orang tua tidak keberatan jika anaknya dihukum guru karena nakal atau memperoleh hasil belajar rendah, namun saat ini, yang terjadi adalah adanya fenomena tindakan kriminalisasi terhadap guru yang melakukan kontak fisik ataupun menghukum peserta didik. Saat ini sepertinya guru tidak lagi memiliki otoritas dalam mendidik. Muncul pertanyaan, mengapa hal ini terjadi? Jawabannya dapat dikaji dari adanya pergeseran pandangan masyarakat tentang otoritas guru dan tentang fungsi pendidikan.
Pendidikan tidak pernah berada dalam ruang hampa, tetapi selalu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat dan perubahan zaman. Pada masa lalu, pendidikan bersifat sederhana dan fokus pada kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Saat ini, pendidikan berkembang menjadi sistem yang lebih luas dan kompleks. Menurut Durkheim (1956), pendidikan merupakan mekanisme sosial untuk mentransmisikan nilai-nilai sesuai kebutuhan masyarakat. Ketika masyarakat semakin kompleks, pendidikan pun ikut menjadi kompleks.
Kompleksitas pendidikan saat ini adalah berubahnya relasi antara orang tua, guru, dan sekolah. Telah terjadi perubahan pandangan masyarakat dalam hal ini orang tua terhadap guru. Dulu, guru dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar/sumber ilmu. Dulu guru dipandang sebagai pemegang otoritas moral dan intelektual, sehingga tindakan guru terhadap peserta didiknya dianggap sebagai upaya menjadikan peserta didiknya menjadi lebih baik. Posisi guru sebagai satu-satunya sumber ilmu bersifat mutlak karena terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi. Namun, seiring masuknya era digital, teknologi informasi, dan budaya global, dunia pendidikan mengalami transformasi drastis. Saat ini, peserta didik dapat mengakses informasi secara instan melalui internet, media sosial, dan platform digital lainnya. Kini orang tua lebih memandang guru sebagai pelayan dengan menghilangkan sebagian otoritas guru.
Pergeseran persepsi orang tua terhadap fungsi pendidikan juga telah terjadi. Saat ini, sebagian besar orang tua melihat pendidikan sebagai alat mobilitas sosial dan investasi ekonomi. Persepsi ini dikhawatirkan akan mengakibatkan melemahnya pandangan sebagian orang tua terhadap pentingnya pendidikan moral dan karakter peserta didik. Pendidikan dianggap berhasil ketika lulusannya langsung terterima di dunia kerja. Menurut Ball (2003), pendidikan yang bergerak menuju orientasi pasar menciptakan relasi transaksional antara sekolah dan orang tua. Ini menambah beban pada guru untuk memenuhi ekspektasi akademik dan layanan. Guru semakin dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik terhadap peserta didik khususnya, dan orang tua/masyarakat pada umumnya.
Flexing dan Empati
Flexing dan Empati
Oleh: Maryam Rahim
Istilah flexing berasal dari bahasa Inggris “to flex” yang berarti memamerkan atau menunjukkan sesuatu yang dianggap bernilai. Fenomena ini seringkali dikaitkan dengan kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial, validasi, maupun meningkatkan citra diri. Namun di balik itu, flexing dapat berimplikasi pada menurunnya sensitivitas sosial. Maraknya media sosial di era digital ini, telah berdampak munculnya fenomena flexing atau pamer kekayaan, pamer prestasi, serta pamer gaya hidup mewah di kalangan masyarakat. Kondisi ini perlu diimbangi dengan empati. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan kondisi emosional orang lain. Kehadiran empati sangat penting dalam menjaga hubungan sosial yang sehat, mengurangi konflik, serta memperkuat solidaritas.
Fenomena flexing dapat dipahami melalui teori presentasi diri yang dikemukakan oleh Goffman (1959) yang menjelaskan bahwa manusia cenderung menampilkan citra tertentu di hadapan orang lain layaknya seorang aktor di panggung sosial. Media sosial menjadi “panggung” baru yang memungkinkan individu menampilkan sisi terbaik kehidupannya. Namun, jika flexing dilakukan secara berlebihan, dikhawatirkan akan dapat menciptakan kesenjangan sosial-psikologis. Studi dari Kuss & Griffiths (2017) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berorientasi pada citra diri sering menimbulkan perasaan iri, rendah diri, bahkan depresi pada orang lain. Dengan demikian, flexing tidak hanya berdampak pada individu yang memamerkan, tetapi juga pada audiens yang mengonsumsinya.
Empati merupakan kemampuan kognitif dan afektif untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Menurut Davis (1994), empati mencakup aspek perspective-taking (melihat dari sudut pandang orang lain) dan empathic concern (kepedulian emosional). Dalam masyarakat yang kompleks, empati berperan penting sebagai penyeimbang agar interaksi sosial tidak sekadar didominasi oleh kompetisi dan pamer diri. Dalam perspektif pendidikan moral, empati juga menjadi fondasi karakter pro-sosial. Eisenberg & Miller (1987) menekankan bahwa empati mendorong perilaku menolong (helping behavior) serta memperkuat ikatan sosial. Jika empati melemah, maka solidaritas sosial juga ikut menurun.
Flexing dan empati berada pada dua kutub yang berbeda. Flexing menonjolkan kepentingan diri, sementara empati mengedepankan kepentingan orang lain. Ketika seseorang terlalu sibuk dengan citra diri melalui flexing, maka ruang untuk memahami penderitaan atau keterbatasan orang lain menjadi berkurang. Namun demikian flexing tidak selalu bersifat negatif. Jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan disertai empati, flexing dapat menjadi inspirasi. Misalnya, berbagi kisah sukses yang disertai motivasi, atau menunjukkan pencapaian dengan menekankan usaha dan perjuangan, bukan sekadar hasil akhir. Dengan demikian, flexing tidak hanya menjadi ajang pamer, tetapi juga sarana berbagi semangat dan optimisme.
Jika dicermati, perilaku flexing dan empati berimplikasi pada beberapa hal:
1. Pendidikan karakter; perlu ada penguatan pendidikan empati sejak dini agar generasi muda mampu menyeimbangkan ekspresi diri dengan kepedulian sosial.
2. Etika bermedia sosial; pengguna media sosial perlu membangun kesadaran etis dalam membagikan konten, agar tidak menimbulkan luka sosial.
3. Budaya apresiasi; masyarakat diharapkan lebih mengutamakan apresiasi terhadap usaha dan nilai kebersamaan dibandingkan materi semata.
Fenomena flexing merupakan realitas sosial yang tidak bisa dihindari di era digital. Namun, tanpa adanya keseimbangan dengan empati, flexing dapat menimbulkan dampak negatif seperti kecemburuan sosial, hilangnya solidaritas, dan meningkatnya individualisme. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk mengembangkan empati dalam setiap bentuk ekspresi diri. Flexing yang dibarengi dengan empati dapat berubah dari sekadar pamer menjadi inspirasi yang menebarkan kebaikan sosial.
Referens:
- Davis, M. H. (1994). Empathy: A Social Psychological Approach. Boulder: Westview Press.
- Eisenberg, N., & Miller, P. A. (1987). The relation of empathy to prosocial and related behaviors. Psychological Bulletin, 101(1), 91–119.
- Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Anchor Books.
- Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2017). Social Networking Sites and Addiction: Ten Lessons Learned. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(3), 311.
Filosofi Hidup Sederhana
Filosofi Hidup Sederhana
Oleh: Maryam Rahim
Di era modern saat ini yang penuh dengan gaya hidup konsumtif, hidup sederhana sering kali dipandang sebelah mata. Padahal, kesederhanaan bukanlah keterbatasan, melainkan sebuah filosofi hidup yang berorientasi pada kebahagiaan, keseimbangan, dan keikhlasan. Hidup sederhana bukan berarti menolak kemajuan atau hidup dalam kekurangan, melainkan kemampuan untuk mengelola diri agar tidak terjebak pada keserakahan dan materialisme.
Hidup sederhana dapat dimaknai sebagai pola hidup yang menekankan pada kecukupan, kesyukuran, dan keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan. Menurut Rahardjo (2010), kesederhanaan merupakan kemampuan untuk mengendalikan keinginan dan hanya mengambil apa yang benar-benar dibutuhkan. Dengan demikian, kesederhanaan lebih bersifat filosofis dan etis, bukan sekadar tampilan fisik. Dalam tradisi budaya Timur, kesederhanaan sering dikaitkan dengan ketenangan batin dan kedekatan spiritual. Konfusius menekankan pentingnya hidup sederhana sebagai jalan menuju kebajikan dan keharmonisan. Sementara dalam Islam, Nabi Muhammad SAW adalah teladan utama hidup sederhana meski memiliki kedudukan yang tinggi.
Hidup sederhana dapat memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan seseorang. Manfaat tersebut antara lain:
1. Menumbuhkan rasa syukur. Dengan hidup sederhana, seseorang belajar untuk mensyukuri nikmat yang ada tanpa terus-menerus merasa kurang. Hidup sederhana membuat seseorang merasa cukup dengan apa yang dimiliki.
2. Meningkatkan kesehatan mental. Menurut Kasser (2002), gaya hidup sederhana dapat mengurangi kecemasan akibat tekanan sosial dan kompetisi materialistik. Hidup sederhana membuat seseorang menjadi tenang tanpa harus merasa bersaing dengan orang lain.
3. Menjaga lingkungan. Hidup sederhana membantu mengurangi konsumsi berlebihan sehingga berdampak positif pada keberlanjutan lingkungan.
4. Membangun hubungan sosial yang sehat. Kesederhanaan menumbuhkan sikap empati, solidaritas, dan kepedulian terhadap orang lain. Hidup sederhana menjauhkan terjadinya kecemburuan sosial, menciptakan kedamaian dalam kehidupan bermasayarakat.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan agar manusia tidak berlebihan dalam hidup: “Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (QS. Al-Isra: 26. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra: 27). Kesederhanaan dalam Islam tidak hanya soal konsumsi, tetapi juga mencakup cara bersikap, dan bertindak. Hidup sederhana berarti mengutamakan kebermanfaatan, menjauhi kesombongan, dan selalu mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
Di tengah budaya hedonisme dan konsumerisme saat ini, filosofi hidup sederhana menjadi solusi untuk menjaga keseimbangan hidup. Kesederhanaan mengajarkan manusia untuk hidup dengan penuh kesadaran (mindfulness), mengendalikan keinginan, serta fokus pada kualitas hidup, bukan sekadar kuantitas materi. Hidup sederhana juga relevan dengan isu global saat ini, seperti krisis lingkungan, kesenjangan sosial, dan kesehatan mental. Dengan kesederhanaan, manusia dapat berkontribusi pada keberlanjutan bumi sekaligus menemukan kedamaian batin.
Hidup dalam ketidaksederhanaan akan memberikan dampak negatif, seperti:
1. Stres dan tekanan mental. Gaya hidup konsumtif seringkali menimbulkan tekanan psikologis karena individu merasa harus selalu mengikuti tren dan standar sosial yang tinggi.
2. Masalah keuangan. Ketidaksederhanaan mendorong perilaku boros, sehingga banyak orang terjebak dalam utang dan kesulitan finansial. Bahkan tidak jarang terjebak dalam tindakan korupsi sebagaimana terjadi saat ini. Hampir setiap hari kita disuguhkan oleh berita tentang korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang hidupnya bergelimang harta.
3. Kerusakan lingkungan. Konsumsi berlebihan menghasilkan limbah dan mempercepat kerusakan alam akibat eksploitasi sumber daya yang tidak terkendali.
4. Kesenjangan sosial. Ketidakmampuan sebagian orang untuk mengikuti gaya hidup berlebihan dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan memperlebar jurang antara kaya dan miskin.
5. Menurunnya nilai moral. Hidup yang penuh kemewahan dapat menumbuhkan sifat sombong, hedonis, dan kurangnya empati terhadap sesama.
Filosofi hidup sederhana merupakan jalan menuju kebahagiaan sejati. Sederhana bukanlah tanda kelemahan atau keterbatasan, melainkan bentuk kearifan dalam mengelola diri dan dunia. Kederhanaan membuat hati merasa cukup dan itulah kekayaan yang sesungguhnya. Kekayaan sejati bukanlah harta, melainkan kesederhanaan yang menghadirkan damai. Dengan kesederhanaan, manusia dapat hidup lebih tenang, sehat, peduli terhadap sesama, dan dekat dengan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Referensi
1. Kasser, T. (2002). The High Price of Materialism. Cambridge: MIT Press.
2. Rahardjo, M. (2010). Membangun Budaya Kesederhanaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Layanan Bimbingan dan Konseling dengan Metode Question and Answer Game (Q&AG) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Layanan Bimbingan dan Konseling dengan Metode Question and Answer Game (Q&AG) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Oleh: Maryam Rahim
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peran penting dalam mengembangkan kompetensi siswa/konseli dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara menyeluruh dan optimal. Salah satu kompetensi penting yang perlu dikembangkan dalam layanan bimbingan dan konseling adalah kemampuan berpikir kritis, yaitu kemampuan siswa/konseli untuk menganalisis masalah, menilai informasi secara objektif, serta membuat keputusan yang tepat dan bertanggung jawab.
Untuk mengembangkan kemampuan tersebut, guru bimbingan dan konseling/konselor perlu menggunakan metode atau teknik layanan yang aktif dan kreatif. Salah satu metode/teknik tersebut adalah metode Question and Answer Game (Q&AG). Metode ini merupakan perpaduan antara strategi tanya-jawab dengan teknik permainan yang menyenangkan dan menantang. Perpaduan tersebut yang membuat metode ini akan mampu mendorong siswa/konseli berpikir secara reflektif, logis, dan terbuka terhadap berbagai sudut pandang.
Berpikir kritis dalam layanan bimbingan dan konseling bukan hanya keterampilan intelektual, tetapi juga bagian dari pembentukan kepribadian yang sehat pada diri siswa/konseli. Dalam proses bimbingan dan konseling, baik bimbingan klasikal, bimbingan kelompok, konseling kelompok, maupun konseling individual, kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan untuk: (a) mengidentifikasi permasalahan diri dan lingkungannya, (b) memahami sebab dan dampak dari suatu perilaku, (c) menganalisis alternatif solusi, dan (d) mengambil keputusan secara sadar dan bertanggung jawab.
Menurut Ennis (1996), berpikir kritis adalah proses berpikir secara masuk akal dan reflektif yang terfokus pada apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Dalam layanan bimbingan dan konseling, kemampuan berpikir kritis akan mendorong siswa untuk tidak serta-merta mengikuti tekanan sosial atau emosi sesaat, melainkan melakukan refleksi mendalam terhadap nilai, pilihan, dan konsekuensi dari tindakan ataupun perilakunya sebagai respon terhadap tekanan sosial yang dihadapinya, ataupun emosi yang menguasainya.
Metode Question and Answer Game (Q&AG) adalah strategi layanan yang menggabungkan metode tanya jawab dengan unsur permainan edukatif. Siswa/konseli diajak aktif bertanya, menjawab, dan mendiskusikan permasalahan tertentu melalui media atau format permainan tertentu (seperti kartu pertanyaan, dadu, papan permainan, kuis berkelompok, dan lainnya).
Metode Q&AG sebagai metode layanan bimbingan dan konseling sangat relevan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis karena:
1. Meningkatkan kesadaran diri; siswa/konseli diajak merefleksi pengalaman dan perasaannya melalui pertanyaan-pertanyaan pemantik.
2. Melatih kemampuan analisis dan evaluasi; siswa/konseli diminta membuat pertimbangan terhadap pilihan-pilihan dan kemungkinan konsekuensi dari sebuah tindakan atau perilaku.
3. Mendorong diskusi terbuka; antara siswa/konseli terjadi pertukaran pandangan yang mengasah empati, toleransi, dan rasionalitas.
4. Membangun argumentasi sehat; jawaban harus disertai alasan logis, bukan hanya pendapat pribadi.
5. Mengaktifkan keterlibatan emosional dan kognitif; permainan akan menciptakan suasana layanan yang menyenangkan namun tetap reflektif.
Metode QA&G dalam layanan bimbingan dan konseling dapat digunakan dalam layanan bimbingan klasikal atau kelompok. Tahapan yang dilakukan adalah:
1. Identifikasi topik layanan; contoh: Pengambilan Keputusan, Tanggung Jawab Sosial, Mengelola Emosi.
2. Perumusan pertanyaan bertingkat; buatlah pertanyaan dari level sederhana hingga kompleks. Misalnya: “Apa yang kamu lakukan jika diminta membuat keputusan”?, Mengapa keputusan impulsif bisa merugikanmu?, Bagaimana kamu mengevaluasi keputusanmu selama ini?, “Mengapa kamu memilih keptusan A dan bukan keputusan B?”.
3. Desain format permainan: gunakan media seperti kartu pertanyaan, papan kuis, atau roda putar. Permainan bisa individu, berpasangan, atau berkelompok.
4. Pelaksanaan permainan:
a) Fasilitator/guru membagi siswa dalam kelompok (kelompok bertanya, kelompok menjawab, dan kelompok pengamat).
b) Siswa/konseli bergiliran memberikan pertanyaan dan memberikan jawaban (kelompok bertanya dan kelompok menjawab bertukar peran).
c) Kelompok pengamat dapat menanggapi atau memberi penilaian.
d) Fasilitator/guru memberikan reward atau penghargaan simbolik kepada setiap kelompok.
5. Refleksi dan evaluasi; setelah permainan, lakukan diskusi reflektif:
a) Apa yang kalian dipelajari?
b) Bagaimana kalian merespons pertanyaan sulit?
c) Apa yang akan kalian ubah dari cara berpikirmu?
Penerapan Q&AG dapat dikembangkan dalam bentuk Lembar Kerja Siswa yng digunakan sebagai tugas individual dan juga kelompok.
Metode Question and Answer Game (Q&AG) merupakan pendekatan inovatif dalam layanan bimbingan dan konseling yang dapat secara efektif meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa/konseli. Dengan perpaduan antara dialog, refleksi, dan permainan edukatif, siswa/konseli terlibat secara aktif dalam memahami dirinya dan lingkungannya, serta dilatih untuk berpikir logis dan mengambil keputusan secara bijaksana.
Melalui metode ini siswa/konseli senantiasa dilatih berpikir kritis sehingga pada akhirnya siswa/konseli menjadi individu-individu yang memiliki kemampuan berpikir kritis, sebagai salah satu keterampilan abad 21. Kemampuan berpikir kritis juga sangat dibutuhkan siswa dalam pembelajaran deep learning sebagai pendekatan pembelajaran yang sedang diterapkan dalam praktek pendidikan di Indonesia saat ini.
Referensi:
Ennis, Robert Hugh. 1996. Critical Thinking. Prentice Hall.
Metode Question and Answer Game (Q&AG)
Metode Question and Answer Game (Q&AG)
Oleh: Maryam Rahim
Upaya untuk mengoptimalkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran dapat dilakukan melalui penggunaan metode yang menarik dan menyenangkan. Salah satu metode yang banyak digunakan selama ini adalah metode tanya jawab. Meskipun telah menjadi metode yang dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, namun kadang-kadang penggunaannya tidak terlalu menarik bagi siswa, bahkan cenderung menimbulkan kecemasan dan juga ketakutan pada siswa yang tidak bisa mamberikan jawaban yang diharapkan. Padahal di sisi lain metode ini penting juga digunakan untuk mengetahui ketercapaian kompetensi belajar oleh siswa. Agar menjadi menarik dan menyenangkan bagi siswa maka metode ini didesain menjadi metode Question and Answer Game (Q&AG). Metode Question and Answer Game (Q&AG) atau permainan tanya jawab adalah suatu strategi pembelajaran interaktif yang memadukan teknik bertanya-jawab dengan pendekatan permainan (game-based learning) yang menyenangkan dan menantang. Metode ini bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran melalui aktivitas yang merangsang kognisi, emosi, dan sosial. Dalam praktiknya, metode ini menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam mencari, memahami, dan mengelola informasi melalui pertanyaan-pertanyaan yang dirancang dalam bentuk permainan, seperti kuis, dan kartu tanya jawab.
Beberapa teori yang mendasari metode Q&AG)
a.Teori konstruktivisme (Piaget & Vygotsky): metode ini mendukung prinsip bahwa pengetahuan dibangun secara aktif oleh peserta didik melalui interaksi sosial dan pengalaman langsung.
b. Teori belajar aktif (Active Learning): Q&AG mendorong siswa untuk berpikir, menjawab, dan berdiskusi secara aktif, bukan hanya menerima informasi secara pasif
c. Gamifikasi dalam pendidikan: menggunakan unsur-unsur permainan (game elements) seperti tantangan, skor, penghargaan, dan kompetisi sehat untuk meningkatkan motivasi intrinsik.
Metode ini sangat bermanfaat bagi siswa. Beberapa manfaat penggunaan metode Q&AG):
a. Meningkatkan keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan “mengapa”, “bagaimana”, “berikan alasan atas pendapatmu”.
b. Melatih keberanian menyampaikan pendapat dan menjawab pertanyaan. Aktivitas bertanya dan menjawab yang dilakukan melalui permainan akan meminimalisir bahkan menghilangkan perasaan cemas dan takut, sebaliknya akan menumbuhkan keberanian siswa dalam berpendapat atau menjawab pertanyaan.
c. Membangun suasana belajar yang menyenangkan, kompetitif, dan kolaboratif. Situasi bermain tentu saja akan menyenangkan siswa, di samping ada kompetisi antar siswa baik secara individual maupun kelompok. Kolaborasi antars siswa akan terjadi jika kegiatan dirancang berkelompok.
d. Meningkatkan pemahaman konsep melalui pertanyaan-pertanyaan yang bervariasi tingkat kognisinya, mulai dari pertanyaan pemahaman, penerapan, sintesis, evaluasi hingga kreasi.
Implementasi metode Q&AG perlu didesain sedemikian rupa agar benar-benar dapat memberikan manfaat terutama bagi siswa. Hal ini dapat dilakukan melalui tahapan berikut:
a. Menyiapkan pertanyaan; guru menyiapkan pertanyaan sesuai tujuan pembelajaran, dengan memperhatikan level kognitif, mulai dari pertanyaan pemahaman, penerapan, sintesis, evaluasi hingga kreasi.
b. Menyiapkan media permainan; media yang digunakan disesuaikan dengan format permainan yang dipilih, misalnya menggunakan media kartu pertanyaan
c. Pelaksanaan permainan; siswa dibagi menjadi kelompok yakni kelompok bertanya dan kelompok menjawab, selanjutnya bermain bertanya dan menjawab pertanyaan secara bergiliran, dan bergantian antara kelompok bertanya dan kelompok menjawab. Kegiatan ini dapat dibuat dalam bentuk kompetisi, disertai dengan pemberian reward, baik bagi kelompok yang berhasil memberikan jawaban yang diharapkan maupun yang belum berhasil.
d. Refleksi dan diskusi; guru memfasilitasi diskusi untuk menguatkan pemahaman dan memberikan umpan balik tentang proses maupun hasil dari pada kegiatan.
e. Evaluasi; evaluasi proses dilakukan melalui observasi keterlibatan siswa dalam kegiatan, dan evaluasi hasil melalui jawaban-jawaban yang diberikan siswa.
Metode ini jika dilakukan melalui rancangan yang baik maka akan berdampak pada peningkatan motivasi dan antusiasme siswa dalam belajar, mendorong kolaborasi dan komunikasi antar siswa, melatih berpikir cepat dan responsive, serta membantu guru mengevaluasi pemahaman siswa dengan cara yang lebih variatif. Metode Q&AG sangat relevan dalam mendukung pengembangan 4C (Critical Thinking, Creativity, Communication, Collaboration), yang merupakan pilar keterampilan abad 21. Melalui permainan tanya jawab, siswa dilatih untuk berpikir logis, bekerja sama, serta berani menyampaikan dan mempertahankan pendapat dengan cara yang santun.
Metode ini membutuhkan persiapan bahan dan waktu yang cukup, menimbulkan resiko ketidakseimbangan partisipasi jika tidak dikelola dengan baik, serta dapat emnimbulkan kompetisi yang kurang sehat jika tidak dikelola dengan baik.
Referensi:
Slavin, R. E. 2018. Educational Psychology: Theory and Practice. Pearson.
Sudjana, N. 200). Strategi Pembelajaran Interaktif. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Deterding, S., et al. 2011. Gamification: Toward a Definition. Coference: CHI 2011.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong