Apakah Kita Memiliki Social Intelligence?

18 March 2024 12:13:28 Dibaca : 32

Apakah Kita Memiliki Social Intelligence?

Oleh: Maryam Rahim

Hingga saat ini istilah Intelligence Quotient atau kecerdasan intelektual, Emotional Qoutient atau kecerdasan emosi, dan Spiritual Quotient atau kecerdasan spiritual lebih banyak dikenal dibandingkan dengan Social Intelligence (SI). Berbagai kecerdasan ini yakni IQ, EQ, SQ dan SI sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang senantiasa mengalami perubahan dan semakin kompleks. Kecerdasan sosial sangat membantu dalam membangun relasi yang harmonis dan produktif dengan orang lain, dengan tetangga, rekan kerja ataupun dengan atasan.

            Kecerdasan sosial merupakan kemampuan diri seseorang dalam berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kecerdasan sosial juga mencakup kemampuan memahami diri sendiri dalam kaitannya dengan orang lain, memahami serta mampu menyesuaikan dengan perasaan dan pikiran orang lain, serta mengatasi konflik yang timbul dalam interaksi sosial. Prabhavathi (2012) mengartikan kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk bergaul dengan baik dengan orang lain dan membuat orang lain mau bekerja sama dengan kita. Kecerdasan sosial kadang-kadang disebut keterampilan sosial, mencakup kesadaran akan situasi dan dinamika sosial, dan pengetahuan tentang gaya dan strategi interkasi yang dapat membantu seseorang mencapai tujuannya dalam berhubungan dengan orang lain. Kemampuan ini juga melibatkan wawasan diri dan kesadaran diri dari persepsi dan pola reaksi seseorang.

Daniel Goleman (2007: 443) mengidentifikasi delapan unsur kecerdasan sosial, yakni: (1) empati, yang berarti mampu memahami perasaan orang lain. Orang dengan kecerdasan sosial mempunyai kemampuan merasakan perasaan orang lain, serta mampu merasakan isyarat-isyarat emosi nonverbal seperti bersedih, kecewa, marah, kesal, dan lainnya; (2) penyelarasan, yakni bagaimana individu mampu untuk mendengarkan dengan terbuka dan memahami apa yang disampaikan orang lain. Seseorang dengan kecerdasan sosial mempunyai kemampuan untuk mendengarkan dengan efektif, artinya mampu menyelaraskan diri dengan perasaan orang lain; (3) ketepatan empatik, yakni kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain. Memahami pikiran dan perasaan orang lain menjadikan individu akan mampu untuk mengerti maksud dari orang lain; (4) kesadaran sosial, yakni pengetahuan tentang dunia sosial, bagaimana seluk beluknya serta bagaimana dunia sosial tersebut bekerja. Pengetahuan tersebut, akan memudahkan bagi individu dalam berinteraksi dengan orang lain, (5) sinkronisasi, yakni bagaimana individu bisa berinteraksi secara efektif dengan memahami bahasa nonverbal/bahasa tubuh seperti ekspresi wajah, pandangan mata, gerak tubuh dan sebagainya. Orang yang memiliki kecerdasan sosial mampu memahami bahasa tubuh dari orang yang berinteraksi dengannya. Melalui ekspresi wajah lawan bicaranya, dia bisa mengetahui apakah lawan bicaranya tersebut sedang marah, emosi, kesal atau kecewa; (6) presentasi diri, berkaitan dengan bagaimana individu menampilkan dirinya dengan efektif ketika berinteraksi dengan orang sekitarnya; (7) pengaruh, orang dengan kecerdasan sosial mampu memberikan pengaruh positif kepada orang-orang yang berinteraksi dengannya, mampu mempengaruhi orang lain untuk berbuat sesuatu; dan (8) kepedulian yang merupakan bentuk kecerdasan sosial yang paling tinggi. Unsur ini menekankan bagaimana individu peduli akan kebutuhan orang lain, yang ditunjukkan dengan melakukan tindakan yang sesuai dengan kebutuhan hal tersebut. Semakin individu bersimpati dengan seseorang dalam kesusahan dan merasa peduli, semakin besarlah dorongannya untuk menolong mereka.

Sebagai makhluk sosial, manusia harus berinteraksi dengan sesama. Interaksi itu  membutuhkan kemampuan setiap orang untuk menjadi mitra interaksi yang baik, sehingga tercipta interaksi yang harmonis, positif dan produktif. Interaksi yang harmonis, positif dan produktif akan terwujud jika setiap orang memiliki kecerdasan sosial.

Empati menjadi penting dalam kehidupan sosial, sebab adanya empati membuat kita mampu memahami perasaan (empati perasaan) dan pikiran orang lain (empati pikiran), mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan mampu memahami apa yang dipikirkan orang lain. Kondisi ini tentu saja akan menimbulkan rasa saling memahami baik perasaan maupun pikiran sehingga terwujud kenyamanan bagi kedua belah pihak.

Kepedulian ditunjukkan dengan perilaku peduli pada kebutuhan orang lain dan melakukan tindakan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Peduli pada kebutuhan orang lain menjadikan kita mampu memberikan sesuatu, baik berupa materi maupun perhatian yang dibutuhkan orang lain. Terpenuhinya kebutuhan akan menimbulkan perasaan tenang dan damai.

Adanya pengaruh dalam interaksi sosial sering tidak dapat dapat dielakkan. Pengaruh yang timbul dapat berupa pengaruh dalam aspek perasaan, pemikiran dan sikap, yang selanjutnya terwujud dalam bentuk perilaku ataupun tindakan. Interaksi yang positif ditandai dengan adanya pengaruh atau saling pengaruh yang bersifat positif dan bukan pengaruh bersifat negatif; adanya perubahan perasaan, pemikiran dan sikap yang negatif menjadi  perasaan, pemikiran dan sikap yang positif, dan bukan sebaliknya.

Penggunaan bahasa ataupun kata-kata yang efektif, mudah dipahami, dan disampaikan dengan cara yang sopan sangat dibutuhkan dalam sebuah interaksi sosial yang baik. Penggunaan bahasa akan menjadikan kita menjadi mitra interaksi yang menyenangkan dalam berbagai kalangan, baik dari segi usia, status akademik, maupun status sosial lainnya.

Menjadi pendengar yang baik dalam sebuah percakapan merupakan aspek penting diperhatikan dalam interasksi sosial. Pendengar yang baik ditandai dengan adanya perhatian tentang bahan percakapan, memberikan respon baik secara verbal (dengan kata-kata) maupun non verbal (dengan gerakan, misalnya: memandang lawan bicara, anggukan kepala, senyuman dan gerakan tubuh lainnya), serta tidak melakukan hal-hal yang mengganggu, misalnya sibuk dengan hand-phone, atau melakukan kegiatan lain.

Berbagai tindakan sosial, seperti menjadi pemicu terjadinya konflik antar individu dan kelompok, korupsi, memperkaya diri sendiri di tengah-tengah kesulitan ekonomi masyarakat, lebih mementingkan diri sendiri dari pada orang lain, kurang mampu menjadi pendengar yang baik, sulit berbagi dengan orang lain, kurang peka terhadap kebutuhan orang lain, kurang peduli terhadap orang lain, memberikan pengaruh negatif terhadap perasaan dan pikiran orang lain; merupakan bentuk-bentuk perilaku sebagai wujud kecerdasan sosial yang rendah. Pertanyaan yang perlu dijawab secara pribadi adalah “apakah kita telah memiliki kecerdasan sosial?”

 

Menjadi Guru Sepanjang Zaman

18 March 2024 12:10:15 Dibaca : 105

Menjadi Guru Sepanjang Zaman

Oleh: Maryam Rahim

Dosen BK FIP Universitas Negeri Gorontalo

 

            Posisi guru dalam pembelajaran tidak akan tergantikan oleh teknologi yang paling canggih sekalipun dan sampai kapanpun, artinya bahwa sosok guru dalam pendidikan akan dibutuhkan sepanjang masa, selama pendidikan masih dilaksanakan dalam kehidupan ini. Fenomena menunjukkan adanya kebutuhan terhadap kualitas guru tergantung pada masa atau zaman. Jika zaman mengalami perubahan maka kebutuhan terhadap kualitas guru juga berubah, sehingga dikenallah guru zaman A atau era A, guru zaman B atau era B, dan seterusnya. Kebutuhan terhadap kualitas guru di setiap perubahan zaman ini memberikan konsekuensi bahwa setiap guru seharusnya menjadi sosok yang mampu exis dari zaman ke zaman, sehingga dapat disebut guru sepanjang zaman, yakni guru yang selalu siap menghadapi dan survive di setiap perubahan zaman.

            Menjadi guru sepanjang zaman haruslah menjadi manusia pembelajar, dalam arti manusia yang selalu berkeinginan untuk belajar dalam rangka mengembangkan diri sebagai sosok guru yang siap beradaptasi dan beraktivitas sesuai dengan perubahan zaman. Davis & Davis (2000) menyebut manusia pembelajar sebagai pembelajar abadi (perpetual learner), yakni manusia yang mencintai hal-hal baru, pemikiran baru, dan keterampilan baru. Ia belajar bukan hanya untuk mengetahui, tetapi lebih dari itu untuk berpikir dan memecahkan masalah. Manusia pembelajar akan belajar dalam mengembangkan ilmu tak hanya dari bangku kuliah dan text book, tapi juga pengalaman dan dari realitas kehidupan sebenarnya.

Mengadaptasi pendapat Sinamo (2000), manusia pembelajar memiliki 2 hal, yakni: perkakas belajar (learning tools) dan kekuatan belajar (leraning spirit). Perkakas belajar (learning tools) yang dimiliki manusia pembelajar adalah: (1) kemampuan berpikir rasional-persepsional, kapasitas ini memungkinkan seseorang untuk mengerti realitas internal diri dan realitas dunia eksternal yang melingkupinya, serta memahami relasi keduanya dan hukum-hukum yang mengaturnya, (2) kemampuan berpikir kreatif-imajinatif, kapasitas ini memampukan seseorang untuk menggagas hal-hal baru dalam rangka mencari solusi-solusi cerdas bagi bernbagai masalah kehidupan, termasuk untuk menciptakan konteks belajar yang dikendaki, (3) kemampuan berpikir kritikal-argumentatitf, kapasitas ini memampukan sesorang untuk menilai secara kritis fakta-fakta kehidupan, mengambil sikap serta membuat keputusan-keputusan yang dianggapnya baik, (4) kemampuan membedakan dan memilih alternatif yang ada, kapasitas ini memampukan seseorang untuk memilih antara yang baik dan buruk, berguna dan merugikan, benar dan salah, adil dan batil, bahkan antara yang baik dengan yang lebih baik, dan antara yang buruk dengan yang lebih buruk, (5) kemampuan berkehendak secara bebas, kapasitas ini memampukan seseorang untuk mengerahkan energy bio-psiko-spiritualnya untuk merealisasikan keinginannya, (6) kemampuan merasakan, kapasitas ini memuat macam-macam emosi, emosi yang dibangkitkan secara cerdas (misalnya amarah, cinta, gembira, sedih, empati) merupakan bentuk energy psikis yang amat kuat dan dapat difokuskan untuk mencapai sasaran belajar yang dikehendaki, dan (7) kemampuan memberi tanggapan moral, kapasitas ini memampukan sesorang merasakan suasana moral di sekitarnya melalui ketajaman suara hati dan kesadaran moral yang tinggi, terutama mengenai kebenaran, keadilan, dan kebaikan, sehingga selalu membuatnya memberikan penilaia dan tanggapan moral yang efektif. Manusia pembelajar memiliki learning spirit, sebagai berikut: (1) cinta belajar, cinta ilmu, dan cinta pengetahuan, hal ini penting sebab cinta adalah energy belajar tanpa batas (unlimited energy for learning), (2) menerima tanggung jawab bahwa dirinya menjadi penentu kemajuannya, dalam hal belajar seseorang harus dapat berkata: “I am the captain of my soul, I am the master of my fate”, (3) bersedia menunda kesenangan, tahan menderita, tidak mengumbar kesenangan dalam proses berburu pengetahuan, hal ini akan lebih mudah dilakukan bila seseorang memiliki cinta belajar, (4) bersedia untuk selalu tunduk pada kenyataan, tidak merasa paling tahu, tidak memutlakan apa yang diketahui, dan tidak bersikap dogmatis pada apa yang diyakininya. Memiliki perkakas belajar (learning tools) saja belumlah cukup, jika tidak memiliki kekuatan belajar (learning spirit). Seorang guru yang memiliki perkakas belajar (learning tools) saja dan tidak memiliki spirit belajar (learning spirit), dapat diibaratkan sebagai seorang tukang yang memiliki perlengkapan kerja yang lengkap dan dapat menggunakannya sesuai kebutuhan dan peruntukkannya pada zamannya, namun perlengkapan kerja itu tidak dapat membuatnya  untuk mampu berinovasi dan berkreasi ketika zaman telah berubah, sehingga tukang tersebut disebut ketinggalan zaman. Sebaliknya, seorang guru yang memiliki kekuatan belajar (learning spirit) namun tidak memiliki perkakas belajar (learning tools) ibarat seorang tukang yang memiliki peralatan kerja namun tidak memiliki tenaga/kekuatan/daya untuk menggunakan secara kreatif peralatannya itu, akhirnya tidak ada yang dapat dihasilkan oleh sang tukang, atau jika ada, maka hasil yang diperolehnya itu tidak maksimal.

Menjadi guru sepanjang zaman haruslah mampu menjadi guru sejati. Guru sejati adalah sosok guru yang benar-benar memiliki kompetensi sebagai guru, guru yang mendidik dengan tulus dan ikhlas, guru yang mendidik sepenuh jiwa, guru yang mendedikasikan jiwa dan raganya untuk kepentingan peserta didiknya. Guru sejati adalah guru yang: mengatakan apa yang dilakukannya dan bukan yang diketahuinya; melakukan apa yang dikatakannya dan bukan apa yang diinginkannya; dihormati, disegani, sekaligus dirindukan oleh peserta didiknya; menjadi model perilaku bagi peserta didiknya; menerima dan menghormati peserta didik apa adanya dan berupaya mendidiknya seoptimal mungkin dengan ikhlas; memiliki semangat yang diwarnai oleh kemauan menjunjung tinggi martabat peserta didiknya; takut membuat kesalahan yang akan berakibat kurang baik terhadap peserta didik; akan meminta maaf kepada peserta didiknya ketika terlanjur berbuat salah; melakukan tugasnya dengan sepenuh jiwa; menerima tugasnya sebagai amanah; memandang tugasnya sebagai ibadah; memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual; memiliki motivasi yang tinggi untuk mengembangkan diri; kreatif dan inovatif; memiliki rasa ingin tahu yang tinggi; memiliki kemauan belajar sepanjang hayat.

Menjadi guru sepanjang zaman haruslah menjadi pembelajar abadi (perpetual learner), memiliki perkakas belajar (learning tools) dan kekuatan belajar (learning spirit) secara terintegrasi, serta mampu menjadi guru sejati. Sebagai sosok yang akan tetap dibutuhkan sepanjang zaman, marilah kita para guru memposisikan diri sebagai guru sepanjang zaman, guru yang senantiasa mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan mampu survive di setiap zaman.