ARSIP BULANAN : April 2025

Fungsi Sekolah dan Tantangannya

19 April 2025 08:18:03 Dibaca : 13

Fungsi Sekolah dan Tantangannya

Oleh: Maryam Rahim

       Sekolah dipandang sebagai lembaga pendidikan yang dipersiapkan guna menghasilkan sumber daya manusia yang mampu melanjutkan pembangunan bangsa. Pendidikan di sekolah ditujukan untuk mengubah tingkah laku peserta didik menjadi lebih baik, serta mampu memberikan perubahan pada masyarakat. Sekolah dipandang sebagai agen perubahan (changes agent). Fungsi sekolah adalah mempertahankan, mengembangkan dan meneruskan kebudayaan suatu masyarakat, melalui aktivitas mendidik yang dilakukan pada peserta didik sebagai bagian dari masyarakat. Sekolah dipandang juga sebagai lembaga yang berfungsi mempersiapkan generasi yang kelak mampu mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat dan bangsa yang memiliki karakteristik budaya dan kepribadian yang berbeda dengan kelompok masyarakat dan bangsa lain.

         Sekolah berkewajiban mempersiapkan siswa peserta didik menjadi warga negara yang mengetahui dan mampu menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Khusus bagi bangsa dan negara Indonesia fungsi tersebut diwujudkan dalam bentuk meneruskan nilai-nilai luhur pandangan hidup bangsa yakni pancasila dalam pembentukan sikap mental peserta didik (http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2180686-peranan-sekolah-sebagai-lembaga-pendidikan/#ixzz2CGyEtBN7). Penjelasan ini menunjukkan betapa pentingnya peranan sekolah dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa, dan bernegara.

        Sekolah berfungsi mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri.Sekolah adalah ruang aktualisasi diri untuk menumbuhkan semangat hidup, mengembangkan bakat dan kreativitas anak. Sekolah bertanggungjawab menanamkan pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformative dalam membangun bangsa yang maju dan berkualitas. Peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan (Yamin (2013, 203-204).

       Kasmadi (1994, 153) menjelaskan pandangannya tentang sekolah sebagai berikut: (1) Sekolah sebagai lingkungan belajar, di mana terjalinnya proses belajar dan mengajar, serta terjalinnya hubungan antar manusia di dalamnya dengan baik. Sekolah merupakan lingkungan belajar yang mampu memanusiakan peserta didik sehingga mereka mampu mandiri dan bertanggungjawab terhadap kehdupannya, serta lingkungan, bangsa, dan negaranya, (2) Sekolah sebagai lingkungan budaya, dalam arti sekolah tidak lepas dari nilai-nilai internasionalisasi budaya. Pendidikan melalui sistem persekolahan memegang peranan yang sangat penting dalam memberikan dukungan terhadap perkembangan budaya, ekonomi, dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Pertemuan yang lain adalah berdialognya budaya dan kebiasaan tradisional dengan budaya dan kebiasaan modern melalui transformasi dan informasi IPTEK melalui transformasi pendidikan, (3) Sekolah mampu menerima segala perubahan, terutama  yang berhubungan dengan metode mengajar dengan memperhatikan perbedaan individu anak.

         Sebagai konsekwensi logis dari berbagai pandangan ini, maka sistem pendidikan di sekolah harus menyediakan tenaga pendidik dan kependidikan yang mampu memberikan pelayanan yang optimal terhadap peserta didik dalam berbagai dimensi kehidupannya, di samping menyediakan berbagai fasilitas yang memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk dapat berkembang secara optimal.

      Sekolah merupakan sebuah sistem terbuka yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai sistem terbuka, sekolah mengambil energi (masukan) dari lingkungan. Peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan sebagai sumber daya manusia berasal dari lingkungan masyarakat. Demikian pula sumber daya lainnya berupa sarana dan parasarana, alat-alat perlengkapan dan dana berasal dari masyarakat. Selanjutnya sekolah mentransformasikan energi yang tersedia, misalnya dengan transformasi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan kepada peserta didik sebagai bagian dari masyarakat. Luaran sekolah akan diberikan kepada masyarakat berupa tenaga kerja untuk berbagai lapangan kehidupan di masyarakat. Ini berarti sekolah memberikan hasil kepada lingkungan (masyarakat).Sekolah juga merupakan rangkaian kejadian atau peristiwa yang terus berlangsung. Sekolah terus bergerak melawan proses entropi (kehancuran), berusaha agar bergerak menuju pada peran-peran yang lebih berdiferensiasi dengan berbagai upaya mengembangkan kemampuan-kemampuan professional tenaga kependidikan (Depdiknas, 2002).

         Dalam melaksanakan fungsinya sebagai agen perubahan dan sebagai sistem yang terbuka, sekolah diperhadapkan dengan berbagai tantangan yang saling terkait. Ebert dan Culyer (2011,2) mengidentifikasi beberapa masalah kontekstual yang paling menonjol yang dihadapi sekolah saat ini, termasuk: (1) kemajuan teknologi dan dinamika perubahan tenaga kerja, (2) peningkatan heterogenitas dari populasi siswa dan meningkatkan jumlah, kualitas, dan kompleksitas kebutuhan siswa, dan (3) dorongan untuk praktik berbasis fakta dan akuntabilitas yang meningkat meskipun sumber daya berkurang.

          Selain itu tantangan yang dihadapi sekolah saat ini: (1) kesenjangan akses dan kualitas pendidikan, masih terdapat kesenjangan antara sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan, termasuk dalam hal fasilitas, tenaga pendidik, dan akses terhadap teknologi, (2) integrasi teknologi dalam pembelajaran, meskipun teknologi berkembang pesat, guru dan siswa masih menghadapi tantangan dalam penggunaannya secara efektif, seperti kurangnya pelatihan guru, atau infrastruktur yang belum memadai, (3) kompetensi guru, efektivitas guru sangat mempengaruhi hasil belajar, tantangannya adalah meningkatkan kompetensi pedagogik, manajerial, dan adaptasi terhadap kurikulum baru, (4) Perubahan kurikulum yang cepat, kurikulum yang terus diperbarui tanpa kesiapan sekolah dan guru bisa menimbulkan kebingungan dalam implementasi, (5) kesehatan mental dan beban belajar siswa, tekanan akademik, bullying, dan kecanduan gawai membuat kesehatan mental siswa menjadi isu penting yang sering terabaikan di sekolah, (6) kurangnya pendidikan karakter, fokus pada capaian akademik kadang mengabaikan pembentukan karakter seperti empati, tanggung jawab, dan integritas, (7) minimnya keterlibatan orang tua, rendahnya partisipasi orang tua dalam pendidikan anak membuat dukungan di rumah kurang maksimal.

            Besarnya tantangan terhadap implementasi fungsi sekolah harus senantiasa dicarikan solusinya agar sekolah benar-benar dapat mewujudkan fungsinya secara optimal.

Referensi:

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Memahami Sekolah Sebagai Sistem. Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Sekolah. Jakarta. Dirjen Dikdsmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

 Ebert, Edwart S, dan Culyer, Richard C. 2011. School An Introduction to Education. Second Edtion.Wadsworth Cengage Learning.

 Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. 1994. Kurikulum untuk Abad Ke – 21. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung. Rajawali Perss.

 Yamin, Moh. 2012. Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan. Panduan lengkap Tata Kelola Kurikulum Efektif.Jogyakarta.DIVA Press.

Kemampuan Mendengarkan dengan Efektif

17 April 2025 11:55:15 Dibaca : 18

Kemampuan Mendengarkan dengan Efektif

Oleh: Maryam Rahim

 

         Kemampuan mendengarkan dengan efektif dan memahami apa yang disampaikan oleh lawan bicara sangat penting dalam komunikasi. Hal ini berkaitan erat dengan seni mendengarkan. Kemampuan mendengarkan dengan efektif merupakan salah satu ciri seorang yang memiliki kecerdasan  sosial. Goleman (2007) menggunakan istilah “penyelarasan” untuk menyebut kemampuan mendengarkan dengan efektif. Kemampuan tersebut diharapkan mampu menyelaraskan diri dengan perasaan orang lain (Goleman, 2007).

        Kemampuan ini sering luput dari perhatian kita pada saat berkomunikasi, padahal aspek ini justru sangat penting untuk memperlancar dan membuat komunikasi menjadi berkualitas. Dalam berkomunikasi kita telah bersikap mendengarkan tetapi belum mendengarkan secara efektif. Menurut Devito (Martoredjo, 2014: 502) kemampuan mendengarkan merupakan kegiatan komunikasi yang paling penting di samping kemampuan membaca, berbicara atau menulis. Ironisnya, kebanyakan dari kita adalah pendengar yang buruk. Menurut Janasz (Martoredjo, 2014: 502) memang mendengarkan secara aktif bukannya sesuatu yang mudah, namun meningkatkan keterampilan ini akan sangat banyak manfaatnya karena peran pentingnya dalam komunikasi itu sendiri.

        Covey (Makmun, 2013: 424) berpendapat bahwa mendengar secara efektif adalah mendengar dengan maksud untuk mengerti, baik secara emosional maupun intelektual, bukan dengan maksud untuk menjawab, mengendalikan atau memanipulasi orang lain. Kita masuk ke dalam kerangka acuan orang lain, melihat dunia dengan cara mereka melihat dunia, mengerti paradigma mereka dan mengerti perasaan mereka. Kita memerlukan jauh lebih banyak energi dari sekedar merekam pembicaraan, merenungkan bahkan mengerti kata-kata yang mereka ucapkan. Para ahli komunikasi berpendapat bahwa dalam konteks komunikasi formal (presentasi di kelas/kantor): 60% diwakili oleh kata-kata (verbal), 20% oleh nada suara (vocal tone), dan 20% oleh bahasa tubuh (body language); dalam komunikasi santai: 40% diwakili oleh kata-kata, 30% oleh nada suara, dan 30% oleh bahasa tubuh; dalam komunikasi telepon bisnis: 50% diwakili oleh kata-kata, 50% oleh nada suara, dan 0% oleh bahasa tubuh; dalam konteks komunikasi emosional: 10-20% komunikasi diwakili dengan kata-kata, 40% diwakili oleh nada suara, dan 40-50% oleh bahasa tubuh Oleh karena itu, mendengar secara empatik tidak terbatas pada mendengar dengan telinga, namun mendengar dengan mata dan hati. Hati kita merasakan, memahami, menyelami, dan berintuisi. Mata kita mengamati pesan-pesan non-verbal pembicara. Dalam hal ini, kita tidak hanya menggunakan otak kanan, tetapi sekaligus juga mengasah kemampuan otak kiri.

         Menurut Covey (Makmun, 2013: 423), mendengar secara efektif merupakan deposito luar biasa dalam rekening bank emosi. Ia memberi terapi dan menyembuhkan karena memberi udara psikologis pada seseorang. Sama halnya dengan udara yang merupakan kebutuhan fisiologis bagi manusia, maka keinginan untuk dimengerti, diteguhkan, diakui, dan dihargai merupakan kebutuhan psikologis bagi manusia. Jika kebutuhan ini sudah terpenuhi, komunikasi dapat berjalan dengan mudah, lancar, dan efektif. Sebaliknya, jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, kegagalan komunikasi akan terjadi.

        Berbagai survey yang pernah dilakukan berhasil memberikan ilustrasi bagaimana kegiatan mendengarkan merupakan bagian yang sangat penting dalam komunikasi, seperti dalam artikel Harvard Businees Review (2016), survey dari International Listening Association (ILA), survey Linkedln (2020), dan tudi dari Zenger dan Folkman (Forbes, 2016). Beberapa survei dan penelitian ini menguatkan pentingnya kemampuan mendengarkan, dan kemampuan seseorang untuk mendengarkan jauh lebih penting dan berharga daripada kemampuan berbicara. Walaupun banyak survei menempatkan kemampuan untuk mendengarkan sebagai kemampuan yang wajib dimiliki, banyak orang yang tidak menyadarinya. Kalaupun mereka menyadari bahwa kemampuan mendengarkan merupakan kemampuan yang harus dimiliki, sangat jarang orang mau untuk meningkatkan kemampuan tersebut.

Referensi:

1.      Goleman, D.  2007. Social Intelligence.  (Alih bahasa). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

2.      Hardjana, A. 2013. Strategi Mendengarkan dalam Komunikasi Manajerial. Jurnal Interact, Vol. 2, No. 2: 1-17

3.      Makmun, S. 2013. Memahami Orang Lain Melalui Keterampilan Mendengar Secara Empatik. Jurnal Humaniora. 4 (1), 422 - 431.

4.       Martoredjo, N. T. 2014. Keterampilan Mendengarkan Secara Aktif dalam Komunikasi Interpersonal. Humaniora Vol 5 No. 1 April 2014.

Kebahagiaan dan Altruisme

08 April 2025 20:14:46 Dibaca : 32

Kebahagiaan dan Altruisme

Oleh: Maryam Rahim

            Setiap orang ingin bahagia, sehingga setiap orang berusaha untuk dapat meraih kebahagiaan tersebut. Pada dasarnya terdapat banyak kegiatan atau tindakan yang dapat membuat seseorang bahagia. Salah satunya adalah melalui tindakan altruisme. Altruisme merupakan sikap dan tindakan yang mengutamakan kepentingan orang lain tanpa mengharapkan balasan atau keuntungan pribadi. Tindakan altruistik dapat berupa bantuan materil kepada sesama, dukungan emosional, atau kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Altruisme sering dikaitkan dengan empati, rasa solidaritas, dan kepedulian sosial.

            Hubungan kebahagiaan dengan altruisme dapat dijelaskana sebagai berikut:

            Pertama, altruisme dapat meningkatkan kesejahteraan emosional: banyak penelitian psikologi yang menunjukkan bahwa membantu orang lain dapat meningkatkan perasaan bahagia dan kepuasan hidup. Artikel hasil penelitian yang ditulis oleh Dunn, dkk (2008) merupakan salah satu studi paling terkenal yang menunjukkan bahwa menghabiskan uang untuk orang lain dapat meningkatkan kebahagiaan seseorang. Penelitian ini mendemonstrasikan bahwa manfaat emosional yang diperoleh dari berbagi lebih konsisten dan dapat diandalkan dibandingkan dengan manfaat dari pengeluaran untuk kepentingan pribadi. Ketika seseorang melakukan tindakan altruistik, otak sering melepaskan endorfin serta zat kimia seperti oksitosin, yang secara fisiologis dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi stres. Studi yang dilakukan oleh Moll,J., dkk (2006) yang menggunakan teknik pemindaian otak yang disebut functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) untuk mengamati aktivitas otak saat para partisipan membuat keputusan untuk berdonasi. Hasilnya menunjukkan peningkatan aktivasi di area otak yang berkaitan dengan penghargaan dan perasaan senang, mendukung bukti bahwa tindakan altruistik tidak hanya bermanfaat bagi penerima tetapi juga berdampak positif bagi pemberi.

         Kedua, altruisme dapat membentuk hubungan sosial yang positif; altruisme membantu memperkuat hubungan antar individu. Dengan menunjukkan perhatian dan kepedulian kepada orang lain, seseorang dapat membangun jaringan sosial yang suportif. Hubungan sosial yang kuat merupakan salah satu indikator utama kebahagiaan jangka panjang karena menyediakan dukungan emosional dan rasa memiliki.

        Ketiga, altruisme dapat membantu seseorang menemukan makna dan kepuasan hidup; Melalui tindakan altruistik, banyak orang menemukan makna yang lebih dalam dalam hidup. Perasaan berkontribusi terhadap kebaikan bersama dan membantu sesama dapat mengubah perspektif seseorang mengenai kehidupannya secara keseluruhan. Hal ini membuat individu merasa hidupnya lebih bermakna dan menghasilkan kebahagiaan batin yang lebih tahan lama.

            Keempat, altruisme dapat mengurangi rasa kesepian; tindakan altruisme dapat membantu mengurangi perasaan isolasi dan kesepian. Keterlibatan dalam komunitas, relawan, atau kegiatan sosial lainnya membantu individu merasa terhubung dengan orang lain, yang secara tidak langsung meningkatkan kualitas hidup dan kebahagiaan.

          Beberapa bukti ilmiah dan temuan penelitian terkait hubungan kebahagiaan dengan altruisme:

a.  Studi psikologi positif; penelitian di bidang psikologi positif mengungkapkan bahwa mereka yang terlibat secara aktif dalam kegiatan altruistik cenderung melaporkan tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih tinggi. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa meskipun memberikan bantuan kepada orang lain mungkin menimbulkan biaya emosional sesaat, secara keseluruhan, dampaknya adalah peningkatan kebahagiaan.

b. Teori 'helper’s high'; konsep 'helper’s high' menjelaskan keadaan perasaan euforia atau kepuasan yang muncul setelah melakukan tindakan kebaikan. Kondisi ini dihasilkan oleh pelepasan hormon-hormon seperti endorfin. Fenomena ini mendukung hipotesis bahwa tindakan altruistik tidak hanya bermanfaat bagi penerima, tetapi juga bagi pemberi.

c. Penelitian neurosains; studi menggunakan teknologi pemindaian otak menunjukkan bahwa aktivitas di bagian otak yang berkaitan dengan kesenangan dan penghargaan meningkat ketika seseorang melakukan tindakan yang membantu orang lain. Hasil ini memberi bukti biologis bahwa altruisme terkait erat dengan perasaan bahagia.          

           Kebahagiaan dan altruisme saling memperkaya. Ketika altruisme membantu memperkuat hubungan sosial, memberikan makna dalam kehidupan, dan meningkatkan kesejahteraan emosional, maka kebahagiaan yang diperoleh juga mendorong individu untuk lebih banyak beramal dan membantu orang lain. Keseimbangan antara dua konsep ini menciptakan siklus positif, di mana kebaikan yang diberikan kepada sesama akan membawa kebaikan kembali kepada diri sendiri. Dengan memahami dan menerapkan nilai-nilai altruisme dalam kehidupan sehari-hari, individu tidak hanya meningkatkan kualitas hidup mereka tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih harmonis dan bahagia.

Referensi:           

Dunn, A. G., Aknin, L. B., & Norton, M. I. (2008). Spending money on others promotes happiness. Science, 319(5870), 1687–1688.

Moll, J., Krueger, F., Zahn, R., Pardini, M., de Oliveira-Souza, R., & Grafman, J. (2006). Human fronto–mesolimbic networks guide decisions about charitable donation. Proceedings of the National Academy of Sciences, 103 (42), 15623–15628.

Kebahagiaan dan Penggunaan Media Sosial

07 April 2025 08:28:14 Dibaca : 35

Kebahagiaan dan Penggunaan Media Sosial

Oleh: Maryam Rahim

            Saat ini, penggunaan media sosial sepertinya telah menjadi sebuah kebutuhan, dalam hal ini penggunaan media sosial menjadi sarana untuk memnuhi kebutuhan sosial manusia, seperti kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang, diterima dan menjadi bagian dari komunitas. Terpenuhinya kebutuhan ini tentu saja akan menumbuhkan perasaan bahagia. Oleh sebab itu dapat diasumsikan adanya korelasi antara kebahagiaan dengan penggunaan media sosial, seperti FaceBook, What’sApp, Instagram, Tiktok, dan lainnya. Mencermati beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa korelasi antara penggunaan media sosial dan kebahagiaan bisa bervariasi, tergantung pada bagaimana dan seberapa sering seseorang menggunakan media sosial, serta bagaimana perasaan atau efek yang dirasakan dari interaksi tersebut. Korelasi tersebut dapat bersifat positif dan juga bersifat negatif.

1. Korelasi positif:

Penggunaan media sosial memberikan efek positif terhadap kebahagiaan:

a. Terjadinya koneksi sosial; media sosial memungkinkan orang untuk tetap terhubung dengan teman, keluarga, dan orang-orang dengan minat yang sama, yang dapat meningkatkan rasa kebahagiaan karena terciptanya hubungan sosial dan dukungan emosional.

b. Pencapaian dan pengakuan; media sosial dapat memberikan platform bagi individu untuk berbagi pencapaian mereka, mendapatkan pengakuan, atau bahkan memberi mereka perasaan prestasi dan kebanggaan melalui respon like, komentar, atau pengikut.

c. Informasi dan hiburan; media sosial menyediakan akses cepat ke informasi dan hiburan yang bisa meningkatkan mood dan memberikan kesenangan.Salah satu penelitian yang dilakukan pada remaja pengguna aplikasi TikTok menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas penggunaan TikTok, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan yang dirasakan, dengan kontribusi sebesar 45,6% dari variasi kebahagiaan yang diamati (Sinurat, Intan Astraphia, Br; 2024).

2. Korelasi negatif:

Penggunaan media sosial memberikan efek negative terhadap kebahagiaan:

a. Perbandingan sosial;  media sosial seringkali menunjukkan gambaran yang tidak realistis tentang kehidupan orang lain, yang dapat menyebabkan perasaan tidak puas, kecemburuan, atau rasa rendah diri. Ini dikenal dengan fenomena "perbandingan sosial" yang dapat menurunkan kebahagiaan. Hasil penelitian (Rahmad, SA dan Kirana, Aulia, 2023) yang mengindikasikan bahwa perilaku perbandingan sosial yang dilakukan di media sosial dapat menurunkan tingkat kepuasan hidup. Studi pada pengguna media sosial usia dewasa awal menunjukkan bahwa semakin tinggi perilaku perbandingan sosial, semakin rendah tingkat kepuasan hidup yang dirasakan

b. Ketergantungan dan kecanduan; penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan ketergantungan yang disebut FOMO (Fear of Missing Out), yang mengarah pada stres, kecemasan, dan berkurangnya kualitas tidur, yang semuanya bisa berdampak buruk pada kebahagiaan.c. Cyberbullying dan konflik; media sosial juga bisa menjadi tempat terjadinya perilaku negatif, seperti perundungan siber (cyberbullying) atau perdebatan yang bisa menyebabkan stres dan perasaan tidak bahagia.            Pengaruh media sosial terhadap kebahagiaan sangat bergantung juga pada cara penggunaannya. Jika digunakan dengan bijak, media sosial bisa meningkatkan kebahagiaan melalui koneksi sosial dan hiburan. Namun, jika digunakan secara berlebihan atau dengan tujuan yang tidak sehat, media sosial dapat menurunkan kebahagiaan.

Referensi:

Sinurat, Intan Astraphia, Br. 2024. Pengaruh Intensitas Pengguna Aplikasi Tiktok terhadap Kebahagiaan Remaja. https://repository.usu.ac.id

Rahmad, SA dan Kirana, Aulia. 2023. Social Comparison dan Life Satisfaction pada Dewasa Awal Pengguna Media Sosial. Merpsy Journal Vol. 15 No. 2 November 2023.

Membanguan Resiliensi Remaja Menghadapi Dampak Negatif Pergaulan

Oleh: Maryam Rahim

            Masa remaja merupakan periode transisi yang penuh dengan perubahan fisik, emosional, dan sosial. Pada tahap ini, remaja cenderung mencari identitas diri dan kemandirian sosial, sering kali dengan mencoba berbagai bentuk pergaulan. Namun, tidak semua pengaruh dalam pergaulan membawa dampak positif. Tekanan dari teman sebaya, paparan terhadap gaya hidup yang tidak sehat, serta pengaruh media sosial yang tidak terkontrol dapat menjadi tantangan serius bagi perkembangan remaja. Pergaulan bebas di kalangan remaja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang signifikan. Beberapa dampak tersebut seperti: (a) penurunan prestasi akademis: keterlibatan dalam pergaulan bebas sering kali mengalihkan fokus remaja dari pendidikan, yang berujung pada menurunnya prestasi belajar, bolos sekolah, hingga putus sekolah; (b) masalah kesehatan kisik: perilaku berisiko seperti seks bebas dapat menyebabkan penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan. Selain itu, penggunaan narkoba dan alkohol meningkatkan risiko kecelakaan dan masalah kesehatan jangka panjang; (c) gangguan kesehatan mental: tekanan untuk mengikuti perilaku negatif dalam pergaulan dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi pada remaja; (d) perubahan karakter dan perilaku menyimpang: pergaulan bebas dapat mengubah karakter remaja menjadi negatif, seperti terlibat dalam kenakalan remaja, bullying, dan perilaku menyimpang lainnya; (e) hubungan sosial yang buruk: remaja yang terlibat dalam pergaulan bebas cenderung memiliki hubungan yang buruk dengan keluarga dan teman-teman yang positif, yang dapat menyebabkan isolasi sosial.

            Untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut, resiliensi menjadi aspek penting yang harus diperkuat dalam diri remaja. Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan beradaptasi dalam menghadapi tekanan atau situasi sulit. Dengan memiliki resiliensi yang baik, remaja dapat lebih bijak dalam memilih lingkungan pergaulan serta mampu menghadapi pengaruh negatif tanpa terjerumus dalam perilaku yang merugikan. Dengan memahami dan menerapkan langkah-langkah yang tepat, diharapkan remaja dapat tumbuh menjadi individu yang kuat, mandiri, dan mampu membuat keputusan yang positif bagi masa depan mereka.

            Pentingnya resiliensi dalam menghadapi tantangan hidup, termasuk tantangan dalam pergaulan di kalangan remaja dianggap layak, didasarkan pada beberapa kajian dan hasil penelitian. Hasil kajian Johanna, dkk (2023) menyimpulkan ketika individu, keluarga, komunitas dan masyarakat serta bangsa memiliki resiliensi dan memiliki kualitas hidup yang sehat, maka bangsa pun kembali pulih dan menjadi kuat kembali. Hasil penelitian Santoso dan Huwae (2023) bahwa resiliensi berhubungan positif signifikan dengan kebermaknaan hidup remaja broken home. Resiliensi memberi sumbangsi sebesar 9,2% terhadap kebermaknaan hidup. Demikian pula hasil penelitian Mangestuti, dkk (2020) bahwa resiliensi berpengaruh secara langsung dan tidak langsung melalui optimisme terhadap kesehatan mental mahasiswa. Penerapan resiliensi yang baik dapat membantu meningkatkan kebermaknaan hidup yang yang dijalani oleh remaja broken home. Kajian ini memperkuat pandangan kepemilikan resiliensi dibutuhkan oleh setiap orang termasuk remaja untuk menghadapi tekanan masalah ataupun tekanan hidup. Resiliensi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, sebagaimana kajian yang dilakukan oleh Hertinjung, dkk; (2022) bahwa resiliensi memiliki korelasi dengan faktor-faktor eksternal seperti regulasi emosi, optimisme, dan dukungan keluarga. Hasil penelitian Kusuma Putri dan Priyatama (2024) menyimpulkan bahwa mindset dan resiliensi memiliki hubungan positif yang signifikan, semakin siswa memiliki growth mindset, semakin tinggi resiliensinya.

            Tulisan ini menyimpulkan, semakin tinggi resiliensi remaja maka semakin kuat ketahanan mentalnya dalam menghadapi pengaruh negatif dari pergaulan dengan teman sebayanya dan dengan anggota masyarakat pada umumnya. Bahkan remaja akan mampu bangkit kembali ketika mengalami keterpurukan akibat pergaulan di lingkungan sosialnya.