Supervisi Teman Sejawat (Peer Supervision) dalam Supervisi Bimbingan dan Konseling

Oleh: Maryam Rahim

Pendahuluan

            Supervisi merupakan komponen penting dalam peningkatan profesionalitas guru bimbingan dan konseling/konselor. Melalui supervisi, konselor sekolah memperoleh umpan balik, bimbingan, serta penguatan kompetensi dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling yang efektif dan berdampak. Namun, realita di lapangan, pelaksanaan supervisi bimbingan dan konseling di sekolah masih menghadapi berbagai kendala, seperti keterbatasan jumlah pengawas yang berlatar belakang keilmuan bimbingan dan konseling, supervisi yang bersifat administratif (Rahim dan Hulukati, 2022), serta hubungan supervisi yang cenderung hierarkis. Kondisi ini menuntut adanya pendekatan supervisi alternatif yang lebih kolaboratif dan humanis, salah satunya adalah supervisi teman sejawat (peer supervision).

          Supervisi teman sejawat menempatkan guru bimbingan dan konseling/konselor sebagai subjek yang saling belajar, berbagi pengalaman, dan merefleksikan praktik profesional secara bersama-sama. Pendekatan ini sejalan dengan paradigma supervisi modern yang menekankan pengembangan profesional berkelanjutan melalui kolaborasi dan refleksi kritis. Supervisi teman sejawat adalah bentuk supervisi profesional yang dilakukan oleh rekan kerja dengan posisi setara, di mana masing-masing individu berperan sebagai supervisor sekaligus supervisee. Menurut Glickman, Gordon, dan Ross-Gordon (2018), supervisi sejawat merupakan pendekatan pengembangan profesional yang berfokus pada dialog reflektif, saling percaya, dan peningkatan kualitas praktik kerja secara bersama.

           Dalam konteks bimbingan dan konseling, supervisi teman sejawat memungkinkan guru bimbingan dan konseling/konselor untuk mendiskusikan kasus, strategi dan metode/teknik layanan, penggunaan media, evaluasi layanan, hingga permasalahan etika, yang dilaksanakan secara terbuka tanpa tekanan struktural. Bernard dan Goodyear (2019) menegaskan bahwa supervisi sejawat efektif dalam meningkatkan kesadaran diri (self-awareness) dan kompetensi profesional karena berlangsung dalam suasana egaliter.

          Supervisi bimbingan dan konseling memiliki karakteristik khusus karena berkaitan langsung dengan perkembangan pribadi, sosial, belajar, dan karier siswa. Oleh karena itu, model supervisi yang diterapkan perlu memperhatikan aspek empati, kerahasiaan, serta refleksi profesional. Supervisi teman sejawat dalam bimbingan dan konseling dapat diterapkan melalui berbagai kegiatan, antara lain:

1. Diskusi kasus (case conference). Guru BK mendiskusikan kasus konseli dengan tetap menjaga prinsip kerahasiaan. Rekan sejawat memberikan sudut pandang alternatif dan masukan profesional

.2. Observasi layanan BK. Teman sejawat melakukan observasi terhadap pelaksanaan layanan (misalnya konseling individu atau klasikal), kemudian memberikan umpan balik konstruktif.

3. Refleksi Bersama. Guru bimbingan dan konseling/konselor merefleksikan kekuatan, kelemahan, dan tantangan layanan BK secara kolektif untuk menemukan solusi perbaikan.

           Penerapan supervisi teman sejawat dalam BK memberikan berbagai manfaat, antara lain:

1. Meningkatkan profesionalitas guru bimbingan dan konseling/konselor. Melalui berbagi praktik baik (best practices), guru bimbingan dan konseling/konselor dapat meningkatkan keterampilan konseling dan pengelolaan layanan

.2. Membangun budaya reflektif dan kolaboratif. Supervisi sejawat mendorong guru bimbingan dan konseling/konselor untuk terbuka terhadap kritik dan saran secara konstruktif.

3. Mengurangi kecemasan terhadap kegiatan supervisi. Berbeda dengan supervisi formal, supervisi teman sejawat berlangsung dalam suasana non-hierarkis sehingga lebih nyaman dan suportif

.4. Mendukung pengembangan moral dan etika profesi. Diskusi sejawat membantu guru bimbingan dan konseling/konselor menjaga standar etika profesi melalui kontrol kolektif dan refleksi nilai.

            Meskipun memiliki banyak keunggulan, supervisi teman sejawat juga menghadapi tantangan, seperti kurangnya keterampilan supervisi, potensi subjektivitas, serta rendahnya komitmen. Oleh karena itu, diperlukan beberapa strategi implementasi, antara lain:

1. Penyusunan pedoman supervisi teman sejawat yang jelas

2. Pelatihan dasar supervisi bagi guru bimbingan dan konseling/konselor

3. Penjadwalan supervisi secara terstruktur dan berkelanjutan

4. Dukungan kebijakan dari kepala sekolah dan pengawas bimbingan dan konseling           

            Supervisi teman sejawat merupakan alternatif strategis dalam supervisi bimbingan dan konseling yang berorientasi pada pengembangan profesional berkelanjutan. Supervisi teman sejawat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan supervisi bimbingan dan konseing, antara lain supervisor bimbingan dan konseling tidak berlatar belakang keilmuan bimbingan dan konseling.

           Menurut Langeveld, manusia adalah animal educandum, makhluk yang dapat dan perlu dibimbing. Dalam konteks ini, guru bimbingan dan konseling/konselor sebagai pendidik profesional juga merupakan subjek yang terus berkembang dan memerlukan bimbingan melalui supervisi yang mendidik, bukan menghakimi.  Melalui pendekatan kolaboratif, reflektif, dan humanis, supervisi sejawat mampu meningkatkan kualitas layanan bimbingan dan konseling sekaligus memperkuat identitas profesional guru bimbingan dan konseling/konselor. Dengan dukungan sistem sekolah yang kondusif, supervisi teman sejawat dapat menjadi kegiatan supervisi yang efektif dan bermakna dalam menjawab tantangan pendidikan masa kini.

 

Daftar Pustaka

Bernard, J. M., & Goodyear, R. K. (2019). Fundamentals of Clinical Supervision. Pearson Education.

Glickman, C. D., Gordon, S. P., & Ross-Gordon, J. M. (2018). SuperVision and Instructional Leadership. Pearson.

Rahim, M., Hulukati, W., Puluhulawa, M., dan Idris, I. 2023. Evaluasi dan Supervisi Bimbingan dan Konseling. Koto Baru Provinsi Sumatra Barat. Yayasan PendidikanCendekia Muslim.

Rahim, M dan Hulukati, W. 2022. Pelaksanaan Supervisi Bimbingan dan Konseling di Provinsi Gorontalo. Indonesian Journal of Guidance and Counseling: Theory and Application, 11, 62-74.

Sergiovanni, T. J. (2009). The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Pearson.

Metode Storytelling dalam Bimbingan Karir

18 December 2025 12:49:49 Dibaca : 31

Metode Storytelling dalam Bimbingan Karir

Oleh: Maryam Rahim

            Metode storytelling (bercerita) dalam bimbingan dan konseling karir dilaksanakan melalui penggunaan kisah atau cerita, baik cerita aktual maupun cerita fiksi sebagai sarana untuk menyampaikan nilai, pengalaman, dan inspirasi yang berkaitan dengan pengembangan karir siswa. Dalam konteks bimbingan dan konseling karir, storytelling dapat membantu siswa memahami berbagai pilihan karir, nilai-nilai kerja, proses pencapaian cita-cita, dan cara menghadapi tantangan dalam dunia kerja melalui contoh nyata tokoh atau cerita-cerita yang relevan.            

           Storytelling memiliki kekuatan dibandingkan dengan metode/teknik lain. Kekuatannya terletak pada kemampuan cerita dalam menyentuh aspek emosional dan kognitif siswa sehingga lebih efektif dalam membangun motivasi dan menggerakkan perubahan perilaku. Dalam perspektif konseling, storytelling mendukung self-reflection dan self-understanding, yang menjadi inti dalam proses konseling karir.  

           Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan storytelling sebagai metode/teknik layanan bimbingan dan konseling karir. Manfaat dimaksud antara lain adalah: (a) meningkatkan pemahaman diri siswa terhadap potensi, minat, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan dunia kerja, (b) menumbuhkan motivasi berprestasi dan semangat berjuang dalam meraih cita-cita karir, (c) memberikan wawasan karir melalui kisah nyata tokoh yang berhasil di bidang tertentu, (d) mengembangkan kemampuan refleksi diri terhadap pilihan dan proses karir, dan (e) menanamkan nilai-nilai kerja positif, seperti disiplin, tanggung jawab, kreativtas, kejujuran, integritas, dan etos kerja.            

          Guna mendapatkan hasil yang maksimal, penggunaan metode/tekni storytelling perlu dilakukan secara sistematis melalui langkah-langkah berikut:

a. Perencanaan cerita, hal-hal yang perlu dilakukan:    

    1) Tentukan tujuan dan topik layanan.    

    2) Pilih cerita yang relevan dengan tujuan dan topik layanan

    3) Pilih cerita yang sesuai dengan karakkteristik dan tingkat perkembangan siswa. Cerita untuk siswa sekolah dasar berbeda dengan cerita untuk siswa sekolah      menengah pertama, maupun sekolah menengah atas. Biografi orang-orang sukses dalam karirnya, dimulai dari bawah hingga meraih kesuksesan, menjadi informasi yang menarik dan berkesan bagi siswa.

   4) Pilih media yang dapat digunakan, seperti cart, gambar, foto, video, film.

b. Penyampaian cerita    

   1) Guru menyampaikan cerita secara menarik, hal ini dapat dilakukan dengan bantuan   gambar, foto ataupun video/film.   

   2) Gunakan bahasa yang inspiratif dan komunikatif jika cerita disampaikan langsung oleh guru.

c. Diskusi dan refleksi     

    1) Siswa diminta mendiskusikan pesan yang mereka peroleh dari cerita yang disampaikan guru, tentang nilai apa yang dapat dipelajari, bagaimana tokoh menghadapi  tantangan, dan lainnya.

    2) Siswa diminta untuk merefleksikan perasaan ataupun pendapatnya terkait dengan karirnya setelah mengikuti cerita, ataupun refleksi tentang masa depan karirnya.

d. Evaluasi dan tindak Lanjut    

    Evaluasi dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang tercapainya tujuan layanan, seperti perubahan pemahaman tentang pengembangan karir, perubahan sikap terhadap dunia kerja, motivasi mengembangkan karir, dan pemahaman siswa tentang perkembangan karirnya.   

          Metode storytelling dalam bimbingan dan konseling karir merupakan cara yang  kreatif dan humanis yang memfasilitasi siswa untuk belajar tentang dunia kerja, nilai-nilai karir, serta motivasi berprestasi dalam belajar dan karir melalui kisah inspiratif orang-orang sukses.

"Jurnal Emosi" sebagai Teknik Mengelola Emosi Sendiri

18 December 2025 08:25:33 Dibaca : 30

"Jurnal Emosi" sebagai Teknik Mengelola Emosi Sendiri

Pendahuluan

            Emosi merupakan salah satu aspek psikis yang turut memengaruhi seseorang dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Dalam konteks pendidikan, bimbingan dan konseling, maupun kehidupan sehari-hari, kemampuan memahami dan mengelola emosi menjadi kompetensi penting yang mendukung kesehatan mental serta perkembangan kepribadian yang seimbang. Daniel Goleman menyebut kemampuan seseorang memahami dan mengelola emosi dengan istilah kecerdasan emosional (Emotional Intelligence). Realita dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua orang mampu mengenali apa yang sebenarnya ia rasakan, atau tidak mengenal dengan pasti jenis emosi yang sedang dialaminya. Emosi-emosi negatif yang terpendam dan tidak disadari, sering berpotensi menimbulkan stres, kecemasan, atau konflik interpersonal.

         Salah satu teknik sederhana namun efektif untuk membantu individu memahami emosinya adalah melalui jurnal emosi. Jurnal emosi merupakan media reflektif yang memungkinkan seseorang menuliskan pengalaman emosionalnya (baik emosi positif maupun emosi negatif) secara jujur dan terstruktur, sehingga emosi yang semula samar menjadi lebih jelas dan dapat dipahami. Termasuk juga memperjelas situasi ataupun peristiwa yang memicu timbulnya emosi tersebut.

Jurnal emosi dapat didefinisikan sebagai aktivitas menulis secara rutin tentang emosi, dan reaksi emosional terhadap peristiwa tertentu. Penulisan ini tidak hanya berfokus pada apa yang dirasakan atau apa yang terjadi, tetapi juga pada peristiwa apa dan bagaimana peristiwa tersebut dirasakan secara emosional. Menurut perspektif psikologi, kegiatan menulis ekspresif (expressive writing) membantu individu mengorganisasi pengalaman emosional dan memberikan makna terhadap apa yang dialami. Dengan demikian, jurnal emosi bukan sekadar catatan harian, melainkan sarana refleksi diri yang mendalam.

Penggunaan jurnal emosi memiliki manfaat, antara lain:

1. Mengenali emosi secara lebih sadar. Melalui jurnal, individu belajar memberi nama pada emosi yang dirasakan, seperti marah, sedih, kecewa, cemas, atau bahagia. Kesadaran ini merupakan langkah awal dari kecerdasan emosional.

2. Meningkatkan regulasi emosi, Dengan memahami pemicu dan pola emosi, individu lebih mudah mengendalikan respons emosionalnya secara sehat.

3. Mengurangi tekanan psikologis. Menuliskan emosi dapat berfungsi sebagai katarsis, yaitu pelepasan emosi negatif yang terpendam.

4. Mendorong refleksi dan pertumbuhan diri. Jurnal emosi membantu individu melihat pengalaman hidup sebagai proses pembelajaran, bukan sekadar masalah.

5. Mendukung layanan bimbingan dan konseling. Dalam konteks bimbingan dan konseling, jurnal emosi dapat menjadi alat bantu asesmen dan refleksi bagi peserta didik.

Agar jurnal emosi efektif, berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Menentukan waktu rutin. Menulis jurnal sebaiknya dilakukan secara konsisten, misalnya setiap hari atau setelah mengalami peristiwa penting.

2. Menuliskan peristiwa yang dialami. Tuliskan secara singkat kejadian yang memicu emosi, misalnya ketika dimarahi orang tua, ketika diganggu teman, ketika menerima informasi yang baik, dan lainnya

.3. Mengidentifikasi emosi yang dirasakan. Sebutkan emosi yang muncul secara jujur tanpa menghakimi diri sendiri, misalnya marah, sedih, takut, cemburu, iri hati, bahagia, senang, sayang, dan lainnya.

4. Mengeksplorasi penyebab emosi. Refleksikan mengapa emosi tersebut muncul dan apa maknanya bagi diri sendiri

.5. Menuliskan respons atau harapan ke depan. Catat bagaimana merespon emosi tersebut saat itu, dan bagaimana sebaiknya merespons emosi tersebut di masa mendatang.

          Dalam layanan bimbingan dan konseling, jurnal emosi dapat digunakan sebagai teknik pengembangan aspek afektif peserta didik. Guru BK dapat mengarahkan siswa untuk menulis jurnal emosi sebagai bagian dari latihan kesadaran diri (self-awareness) dan penguatan karakter. Bagi peserta didik usia sekolah dasar hingga menengah, jurnal emosi juga berperan dalam menumbuhkan nilai kejujuran, tanggung jawab terhadap perasaan sendiri, serta empati terhadap orang lain. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan karakter dan pendidikan moral.

       Jurnal emosi merupakan sarana sederhana namun bermakna dalam membantu individu memahami emosi dirinya sendiri. Melalui proses menulis dan refleksi, emosi yang semula tidak disadari dapat dikenali, dipahami, dan dikelola dengan lebih baik. Dalam konteks pendidikan dan bimbingan konseling, jurnal emosi tidak hanya mendukung kesehatan mental, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan kepribadian yang matang dan berkarakter. Dengan membiasakan menulis jurnal emosi, individu belajar berdialog dengan dirinya sendiri, sebuah langkah penting menuju keseimbangan emosional dan kehidupan yang lebih bermakna.

Pendidikan Saat Ini dan Pendidikan di Masa Lalu: Tinjauan dari aspek Persepsi Orang Tua terhadap Guru dan Pendidikan

Oleh: Maryam Rahim

            Mencermati fenomena pendidikan saat ini, khususnya terkait dengan perilaku peserta didik, dan terutama menyangkut moral dan karakter mereka; serta respon orang tua peserta didik terhadap pendidikan, khususnya terhadap guru, telah menjadi alasan bagi masyarakat membandingkan antara pendidikan saat ini dengan pendidikan di masa lalu. Pada umumnya orang menganggap bahwa pendidikan di masa lalu lebih baik dibandingkan saat ini. Penilaian seperti  ini tidak dapat dibantah, sebab sangat didukung oleh kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, di mana perilaku peserta didik ataupun orang-orang yang mengalami pendidikan di masa lalu dipandang lebih baik dari perilaku peserta didik ataupun mereka yang mengalami pendidikan saat ini. Demikian pula halnya dengan respon orang tua terhadap guru. Dahulu orang tua tidak keberatan jika anaknya dihukum guru karena nakal atau memperoleh hasil belajar rendah, namun saat ini, yang terjadi adalah adanya fenomena tindakan kriminalisasi terhadap guru yang melakukan kontak fisik ataupun menghukum peserta didik. Saat ini sepertinya guru tidak lagi memiliki otoritas dalam mendidik. Muncul pertanyaan, mengapa hal ini terjadi? Jawabannya dapat dikaji dari adanya pergeseran pandangan masyarakat tentang otoritas guru dan tentang fungsi pendidikan.

            Pendidikan tidak pernah berada dalam ruang hampa, tetapi selalu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat dan perubahan zaman. Pada masa lalu, pendidikan bersifat sederhana dan fokus pada kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Saat ini, pendidikan berkembang menjadi sistem yang lebih luas dan kompleks. Menurut Durkheim (1956), pendidikan merupakan mekanisme sosial untuk mentransmisikan nilai-nilai sesuai kebutuhan masyarakat. Ketika masyarakat semakin kompleks, pendidikan pun ikut menjadi kompleks.

            Kompleksitas pendidikan saat ini adalah berubahnya relasi antara orang tua, guru, dan sekolah. Telah terjadi perubahan pandangan masyarakat dalam hal ini orang tua terhadap guru. Dulu, guru dipandang sebagai satu-satunya sumber belajar/sumber ilmu. Dulu guru dipandang sebagai pemegang otoritas moral dan intelektual, sehingga tindakan guru terhadap peserta didiknya dianggap sebagai upaya menjadikan peserta didiknya menjadi lebih baik. Posisi guru sebagai satu-satunya sumber ilmu bersifat mutlak karena terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi. Namun, seiring masuknya era digital, teknologi informasi, dan budaya global, dunia pendidikan mengalami transformasi drastis. Saat ini, peserta didik dapat mengakses informasi secara instan melalui internet, media sosial, dan platform digital lainnya. Kini orang tua lebih memandang guru sebagai pelayan dengan menghilangkan sebagian otoritas guru.

            Pergeseran persepsi orang tua terhadap fungsi pendidikan juga telah terjadi. Saat ini, sebagian besar orang tua melihat pendidikan sebagai alat mobilitas sosial dan investasi ekonomi. Persepsi ini dikhawatirkan akan mengakibatkan melemahnya pandangan sebagian orang tua terhadap pentingnya pendidikan moral dan karakter peserta didik. Pendidikan dianggap berhasil ketika lulusannya langsung terterima di dunia kerja.  Menurut Ball (2003), pendidikan yang bergerak menuju orientasi pasar menciptakan relasi transaksional antara sekolah dan orang tua. Ini menambah beban pada guru untuk memenuhi ekspektasi akademik dan layanan. Guru semakin dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik terhadap peserta didik khususnya, dan orang tua/masyarakat pada umumnya.

Flexing dan Empati

14 September 2025 11:27:36 Dibaca : 122

Flexing dan Empati

Oleh: Maryam Rahim           

            Istilah flexing berasal dari bahasa Inggris “to flex” yang berarti memamerkan atau menunjukkan sesuatu yang dianggap bernilai. Fenomena ini seringkali dikaitkan dengan kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial, validasi, maupun meningkatkan citra diri. Namun di balik itu, flexing dapat berimplikasi pada menurunnya sensitivitas sosial. Maraknya media sosial di era digital ini, telah berdampak munculnya fenomena flexing atau pamer kekayaan, pamer prestasi, serta pamer gaya hidup mewah di kalangan masyarakat. Kondisi ini perlu diimbangi dengan empati. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan kondisi emosional orang lain. Kehadiran empati sangat penting dalam menjaga hubungan sosial yang sehat, mengurangi konflik, serta memperkuat solidaritas.

           Fenomena flexing dapat dipahami melalui teori presentasi diri yang dikemukakan oleh Goffman (1959) yang menjelaskan bahwa manusia cenderung menampilkan citra tertentu di hadapan orang lain layaknya seorang aktor di panggung sosial. Media sosial menjadi “panggung” baru yang memungkinkan individu menampilkan sisi terbaik kehidupannya. Namun, jika flexing dilakukan secara berlebihan, dikhawatirkan akan dapat menciptakan kesenjangan sosial-psikologis. Studi dari Kuss & Griffiths (2017) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berorientasi pada citra diri sering menimbulkan perasaan iri, rendah diri, bahkan depresi pada orang lain. Dengan demikian, flexing tidak hanya berdampak pada individu yang memamerkan, tetapi juga pada audiens yang mengonsumsinya.  

           Empati merupakan kemampuan kognitif dan afektif untuk menempatkan diri pada posisi orang lain. Menurut Davis (1994), empati mencakup aspek perspective-taking (melihat dari sudut pandang orang lain) dan empathic concern (kepedulian emosional). Dalam masyarakat yang kompleks, empati berperan penting sebagai penyeimbang agar interaksi sosial tidak sekadar didominasi oleh kompetisi dan pamer diri. Dalam perspektif pendidikan moral, empati juga menjadi fondasi karakter pro-sosial. Eisenberg & Miller (1987) menekankan bahwa empati mendorong perilaku menolong (helping behavior) serta memperkuat ikatan sosial. Jika empati melemah, maka solidaritas sosial juga ikut menurun.

           Flexing dan empati berada pada dua kutub yang berbeda. Flexing menonjolkan kepentingan diri, sementara empati mengedepankan kepentingan orang lain. Ketika seseorang terlalu sibuk dengan citra diri melalui flexing, maka ruang untuk memahami penderitaan atau keterbatasan orang lain menjadi berkurang. Namun demikian flexing tidak selalu bersifat negatif. Jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan disertai empati, flexing dapat menjadi inspirasi. Misalnya, berbagi kisah sukses yang disertai motivasi, atau menunjukkan pencapaian dengan menekankan usaha dan perjuangan, bukan sekadar hasil akhir. Dengan demikian, flexing tidak hanya menjadi ajang pamer, tetapi juga sarana berbagi semangat dan optimisme.  

           Jika dicermati, perilaku flexing dan empati berimplikasi pada beberapa hal:

1. Pendidikan karakter; perlu ada penguatan pendidikan empati sejak dini agar generasi muda mampu menyeimbangkan ekspresi diri dengan kepedulian sosial.

2. Etika bermedia sosial; pengguna media sosial perlu membangun kesadaran etis dalam membagikan konten, agar tidak menimbulkan luka sosial.

3. Budaya apresiasi; masyarakat diharapkan lebih mengutamakan apresiasi terhadap usaha dan nilai kebersamaan dibandingkan materi semata.

            Fenomena flexing merupakan realitas sosial yang tidak bisa dihindari di era digital. Namun, tanpa adanya keseimbangan dengan empati, flexing dapat menimbulkan dampak negatif seperti kecemburuan sosial, hilangnya solidaritas, dan meningkatnya individualisme. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk mengembangkan empati dalam setiap bentuk ekspresi diri. Flexing yang dibarengi dengan empati dapat berubah dari sekadar pamer menjadi inspirasi yang menebarkan kebaikan sosial.

Referens: 

- Davis, M. H. (1994). Empathy: A Social Psychological Approach. Boulder: Westview Press.

- Eisenberg, N., & Miller, P. A. (1987). The relation of empathy to prosocial and related behaviors. Psychological Bulletin, 101(1), 91–119.

- Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Anchor Books.

- Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2017). Social Networking Sites and Addiction: Ten Lessons Learned. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(3), 311.