Tradisi Tumbilatohe di Gorontalo

(Nilai-Nilai Agama-Sosial-Emosional-Ekonomi)

Oleh: Maryan Rahim

Tradisi tumbilatohe di kalangan masyarakat Gorontalo telah ada sejak abad ke- 15. Secara etimologis kata Tumbilotohe terdiri dari kata “tumbilo” yang berarti “menyalakan” dan “tohe” yang berarti “lampu”. Tumbilatohe berarti menyalakan lampu. Pada awalnya lampu penerangan masih terbuat dari “wamuta” atau “seludang” yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar sehingga menimbulkan cahaya. Alat penerangan ini di sebut “wango”. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan “tohe tutu” atau damar yaitu semacam getah padat yang akan menyala cukup lama ketika dibakar. Setelah itu berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa, dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan buah pepaya yang dipotong dua, alat ini disebut “padamala”. Perkembangan selanjutnya lampu tumbilatohe terbuat dari botol kecil yang berisi sumbu dan minyak tanah. Dan saat ini telah diperkaya dengan menggunakan lampu listrik (https://gorontalo.kemenag.go.id/artikel/17247/-).

Jika dicermati, perayaan tumbilotohe sarat dengan nilai-nilai religius-sosial-emosional dan ekonomi. Tradisi ini pada awalnya kental dengan nilai-nilai religius, sebab pada awalnya kegiatan menyalakan lampu ini dilakukan oleh masyarakat  pada setiap tiga malam terakhir di bulan Ramadan dalam rangka mendapatkan malam “Lailatul Qadar”. Menyalakan lampu (tumbilotohe) dilakukan sebagai usaha untuk menerangi jalan-jalan sehingga masyarakat bisa ke mesjid dengan aman, mengingat waktu itu belum dikenal alat penerangan yang menggunakan tenaga listrik.

Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan adanya nilai-nilai sosial-emosional-ekonomi dalam tradisi tumbilotohe. Nilai sosial ditunjukkan oleh adanya kerjasama yang diliputi kesukarelaan di antara anggota masyarakat dalam mempersiapkan tumbilotohe di lingkungannya masing-masing, bahkan berkompetisi antar lingkungan (kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota). Perayaan tumbilatohe telah melahirkan perasaan gembira di kalangan masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa bahkan mereka yang berusia tua. Kegembiraan ini ditandai dengan berbondong-bondongnya masyarakat mengunjungi tempat-tempat yang menyediakan mozaik indah dari ratusan bahkan ribuan lampu yang menyala. Melakukan foto selfie dengan berbagai gaya, semuanya dilakukan dengan perasaan gembira. Di sisi lain, ada sekelompok anak-anak yang diliputi perasaan senang, hilir mudik dari rumah ke rumah penduduk dengan melagukan syair pantun “tumbilotohe, tamohile jakati bubohe lo popati” yang artinya “tumbilotohe, orang yang minta jakati dipukul dengan popati”. “Jakati”  semacam pemberian alakadarnya sebagai tanda perhatian atau kasih sayang kepada anak-anak. “Popati” adalah bahasa Gorontalo dari “pacul”. “Bubohe lo popati” artinya “pukul dengan tangkai pacul”, namun ini hanya sekedar pantun yang mengandung humor. Inilah nilai emosional dari tumbilatohe. Perayaan tumbilotohe telah memunculkan peluang mendapatkan keuntungan ekonomi bagi sebagian anggota masyarakat melalui jual beli alat-alat tumbilotohe, seperti: botol kecil lengkap dengan sumbu lampu, janur kuning, minyak tanah, dan lampu hias elektrik. Inilah yang menjadi nilai ekonomi dari tumbilotohe.

Namun yang menjadi keprihatinan saat ini adalah ketika masyarakat lebih mementingkan perayaan tumbilotohe dan cenderung melalaikan nilai ibadah di malam-malam terakhir, khususnya tiga malam terakhir bulan Ramadan. Di mana di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, Allah SWT telah menjanjikan pahala malam Lailatul Qadar bagi hamba-hambaNya yang melakukan ibadah dengan khusyu’, melakukan sholat wajib maupun sunnah, membaca Alqur’an, I’tikaf dan ibadah lainnya. Oleh sebab itu perlu pengaturan waktu oleh masyarakat agar melalui perayaan tradisi tumbioatohe kita tetap mengutamakan kegiatan ibadah (nilai religius), di samping mendapatkan nilai-nilai lainnya (sosia-emosional-ekonomi).

Konseling Karir Nathan dan Hill

08 April 2024 08:00:01 Dibaca : 178

Konseling Karir Nathan dan Hill

Oleh Maryam Rahim

Nathan dan Hill (2012, 14-18) mengembangkan pendekatan konseling karir dengan menggunakan pemikiran Taylor (1985). Taylor (1985) mengidentifikasi sejumlah pertanyaan kritis yang dapat diterapkan pada konseling karir, yakni: (1) sejauhmana perasaan klien/konseli seharusnya diekspresikan dan ditangani atau menjadi fokus aspek-aspek relasional dari pengambilan keputusan?; (2) siapa yang seharusnya mengumpulkan atau menyediakan informasi, klien/konseli, konselor, atau keduanya? (3) siapa pakarnya (artinya, siapa yang seharusnya memimpin, yang memutuskan bagaimana berbagai isu timbul seharusnya ditangani?;, (4) siapa yang seharusnya bertanggung jawab untuk membuat keputusan, konseli atau konselor? (5) apakah gaya konselor yang seharusnya dominan-direktif, kolaboratif, interpretative, atau reflektif?; (6) Apa yang seharusnya didiskusikan di dalam konseling karir? Masalah personal/emosional, self-appraisal, pengambilan keputusan, hasil-hasil tes, informasi tentang berbagai opsi, job-hunting?

Terhadap pertanyaan tersebut Nathan dan Hill berpendapat: (1) konseling karir seharusnya membiarkan perasaan klien/konseli untuk diekspresikan bilamana ekspresi tersebut membantu tercapainya tujuan konseling karir, (2) Hal ini menjadi tanggung jawab bersama, (3) hendaknya konseli yang berperan dalam penanganan masalahnya sendiri, (4) tanggung jawab untuk memutuskan terletak di tangan konseli, konselor bertanggung jawab untuk memfasilitasi prosesnya, (5) konselor karir perlu bisa mengadaptasikan gaya mereka menurut kebutuhan konseli dan tahap proses konselingnya, (6) konseling karir mengakui interdependensi masalah-masalah itu dan bahwa isu-isu personal perlu ditangani dalam proses konseling karir. Pendapat Nathan dan Hill terhadap pertanyaan Taylor dirangkum dalam tabel 1 berikut:

        Tabel 1 Pendapat Nathan dan Hill terhadap pertanyaan Taylor

Taylor Nathan dan Hill
Sejauhmana perasaan klien/konseli seharusnya diekspresikan dan ditangani atau menjadi fokus aspek-aspek relasional dari pengambilan keputusan? Konseling karir seharusnya membiarkan perasaan klien/konseli untuk diekspresikan bilamana ekspresi tersebut membantu tercapainya tujuan konseling karir
Siapa yang seharusnya mengumpulkan atau menyediakan informasi, klien/konseli, konselor, atau keduanya? Hal ini menjadi tanggung jawab bersama
Siapa pakarnya (artinya, siapa yang seharusnya memimpin, yang memutuskan bagaimana berbagai isu timbul seharusnya ditangani? Hendaknya konseli yang berperan dalam penanganan masalahnya sendiri
Apakah gaya konselor yang seharusnya dominan-direktif, kolaboratif, interpretative, atau reflektif? Konselor karir perlu bisa mengadaptasikan gaya mereka menurut kebutuhan konseli dan tahap proses konselingnya

Apa yang seharusnya didiskusikan di dalam konseling karir? Masalah personal/emosional, self-appraisal,

pengambilan keputusan, hasil-hasil tes, informasi tentang berbagai opsi, job-hunting?

Konseling karir mengakui interdependensi masalah-masalah itu dan bahwa isu-isu personal

perlu ditangani dalam proses konseling karir

   

Berdasarkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan Taylor (1985), Nathan dan Hill mengembangkan pendekatan konseling karir. Pendekatan konseling karir tersebut digambarkan dalam tabel 2.2 sebagai berikut:

         Tabel 2.2: Pendekatan Konseling Nathan dan Taylor

Tahap Tugas Knseli Tugas Konselor
Sreening, Contractring, Exploring

Melakukan asesmen pendahuluan tentang kesesuaian konseling karir

 

 

 

Melakukan persiapan tertulis, menguji kesiapan dan ketepatgunaan konseling karir

Keterbukaan untuk mengeksplorasi presenting concrern dan berbagai pengaruh pada perkembangan dan pilihan karir dan pendidikan

 

 

Mengklarifikasi ekspektasi terhadap konseling karir

 

Mendiskusikan dan menyepakati kontrak

 

Mengedukasi dan memberikan informasi kepada klien tentang konseling karir melalui komunikasi tertulis, lisan, dan tatap muka.

 

 

Menguji kesiapan dan ketepatgunaan konseling karir, menunjukkan bentuk bantuan yang lebih cocok, jika diperlukan

Membangun hubungan baik, memfasilitasi eksplorasi

 

 

 

Menyepakati kontrak (yaitu kerahasiaan, struktur, dll)

 

 

Memungkinkan konseli untuk memahami

Mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan: Siapa aku? Di mana aku sekarang ini? Apa keinginanku? Aku ingin ke mana?

 

Melaksanakan latihan asesmen-diri, tes psikometrik, dan kuesioner, bilamana perlu

 

 

Siap menangani pertanyaan “Apa yang menghentikan aku?”

 

 

 

Meriset informasi tentang peluang kerja

Memfasilitasi pengeksplorasian perasaan dan keyakinan yang berkaitan dengan masalah/isu karir

 

 

 

Membantu klien mengidentifikasi tema-tema penting dan mengintegrasikan pemahaman tentang diri sendiri

 

Memanfaatkan dengan tepat guna latihan asesmen-diri dan tes psikometrik dan kuesioner

 

Membantu klien untuk mengatasi berbagai enghalang tindakan, menggunakan keterampilan menantang bilamana perlu

 

Menempelkan informasi tentang berbagai kemungkinan pekerjaan

 

 

 

Tindakan, hasil, dan ending

Menyelesaikan latihan mengambil keputusan dan merencanakan tindakan

 

Mengembangkan

berbagai opsi dan memilih di antara opsi-opsi

 

Melakukan keputusan

dalam bentuk tindakan

 

Menyetujui tugas-tugas riset, bilamana perlu

 

Mengatasi ketakutan akan perubahan

 

 

Mengevaluasi kebutuhan akan dukungan berkelanjutan

 

Mereviu kemajuan yang dibuat ke arah tujuan selama konseling karir

 

 

Memungkikan klien untuk menghasilkan ide-ide dan memilih di antaranya

 

Mendukung klien dalam

mengembangkan dan memonitor rencana tindakan

 

 

 

 

 

Menyetujui tugas-tugas riset, bilamana perlu

 

 

Membantu klien menghadapi ambivalensi tentang masa depan

 

Mengeksplorasi kebutuhan klien akan dukungan berkelanjutan

 

 

Menekankan pentingnya mempertahankan momentum

 

Membantu klien dalam mengidentifikasi sumber daya dan sumber dukungan

 

Konseling Karir Trait and Factor

31 March 2024 08:47:29 Dibaca : 646

Konseling Karir Trait and Factor

Oleh: Maryam Rahim

Meskipun dalam perkembangannya teori konseling trait and factor telah digunakan dalam lingkup yang lebih luas, namun lebih awal teori ini difokuskan pada segi vokasional atau pekerjaan (Arnold, 1997; Gothard, 2001; Sciarra, 2003; Brown & Let, 2005; Kidd, 2006; Perry & Zark, 2006, Zunker, 2006, Gybson & Mitchell, 2008; Gysbers, et.al, 2014, Surya, 2003; Sinring, 2011), sehingga disebut konseling karir trait and factors. Career guidance in education is still primarily based on the trait and-factor approach (Irving & Malik, 2005; Watts & Sultana, 2004). In this approach, focus is placed on achieving the best possible match between the skills of an individual and the ‘‘right’’ education, training or job opportunities (Meijers; Kuijpers; & Gundy; 2012). Teori trait and factor sering disebut konseling direktif atau konseling yang berpusat pada konselor.

Menurut teori ini kepribadian merupakan suatu sistem sifat atau faktor yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Sifat atau faktor dimaksud seperti kecakapan, minat, sikap dan temperamen. Perkembangan kemajuan individu mulai dari masa bayi hingga dewasa diperkuat oleh interaksi sifat dan faktor. Hal yang mendasar bagi konseling trait and factor adalah asumsi bahwa individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan dirinya sebagai dasar untuk pengembangan potensinya. Pencapaian penemuan diri menghasilkan kepuasan intrinsik dan memperkuat usaha untuk mewujudkan diri (Surya, 2003;3).

Williamson sebagai tokoh utama dalam teori ini (Surya, 2003; Sinring, 2011) berpendapat bahwa landasan konsep konseling modern adalah terletak pada asumsi individualitas yang unik dari setiap anak dan identifikasi keunikan tersebut dengan menggunakan pengukuran obyektif. Berdasarkan hasil identifikasi tentang sifat dan faktor individu, konselor dapat membantunya dalam memilih program studi, mata kuliah, perguruan tinggi secara rasional serta membuat perkiraan keberhasilan di masa yang akan datang. Selanjutnya dikatakan bahwa tugas konseling trait and factor adalah membantu individu dalam memperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam kegiatan dengan perubahan kemajuan tujuan-tujuan hidup dan karir.

Proses konseling trait and factor terdiri dari 5 (lima) tahap utama (Arnold, 1997; Gothard, 2001; Sciarra, 2003; Brown & Let, 2005; Kidd, 2006; Perry & Zark, 2006, Gybson & Mitchell, 2008; Gysbers, et.al, 2014, Surya,2003; Sinring,2011), yaitu: tahap pertama, yakni tahap analisis, merupakan tahapan kegiatan yang terdiri dari pengumpulan informasi dan data mengenai konseli. Sebelum konseling dilaksanakan, baik konseli maupun konselor harus mempunyai informasi yang dapat dipercaya, tepat dan relevan untuk mendiagnosa pembawaan, minat, motif, kesehatan jasmani, keseimbangan emosional dan sifat lain, yang memudahkan atau mempersulit penyesuaian yang memuaskan baik di sekolah maupun dalam pekerjaan. Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat seperti: catatan kumulatif, wawancara, format distribusi waktu, otobigrafi, catatan anekdot, tes psikologi, studi kasus; tahap kedua, yakni tahap sintesis, merupakan langkah untuk merangkum dan mengatur data dari hasil analisis yang sedemikan rupa sehingga menunjukkan bakat konseli, kelemahan serta kekuatannya, dan kemampuan penyesuaian diri; tahap ketiga, yakni tahap diagnosis, untuk menemukan ketetapan dan pola yang dapat mengarahkan kepada permasalahan, sebab-sebabnya, serta sifat-sifat konseli yang relevan dan berpengaruh kepada proses penyesuaian diri. Diagnosis meliputi tiga langkah penting ialah: (1) identifikasi masalah yang sifatnya deskriptif, (2) menentukan sebab-sebab, yang mencakup perhatian hubungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan yang dapat menerangkan sebab-sebab gejala. Konselor menggunakan intuisinya yang dicek oleh logika, oleh reaksi klien dan oleh uji coba dari program kerja berdasarkan diagnosa sementara, dan (3) prognosis, yakni menentukan kemungkinan keberhasilan pada masa yang akan datang berdasarkan hasil diagnosis; tahap keempat, yakni tahap konseling, merupakan hubungan membantu konseli untuk menemukan sumber diri sendiri maupun sumber di luar dirinya, baik di lembaga atau sekolah dan masyarakat dalam upaya mencapai perkembangan dan penyesuaian optimal, sesuai dengan kemampuannya. Dalam kaitan ini ada lima jenis sifat konseling ialah: (a) belajar terpimpin menuju pengertian diri, (b) mendidik kembali atau mengajar kembali sesuai dengan kebutuhan individu sebagai alat untuk mencapai tujuan kepribadiaanya dan penyesuaian hidupnya, (c) bantuan pribadi dan konselor supaya konseli mengerti dan terampil dalam menerapkan prinsip dan teknik yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, (d) mencakup hubungan dan teknik yang bersifat menyembuhkan dan efektif, (e) mendidik kembali yang sifatnya sebagai katarsis atau penyaluran; dan tahap kelima, yakni tahap tindak lanjut, mencakup bantuan kepada konseli dalam menghadapi masalah baru dengan mengingatkannya kepada masalah sumbernya sehingga menjamin keberhasilan konseling. Teknik yang digunakan konselor harus disesuaikan dengan individualitas konseli, mengingat bahwa tiap individu unik sifatnya, sehingga tak ada teknik yang baku yang berlaku untuk semua.

Pseudo-Education

23 March 2024 17:07:32 Dibaca : 240

Pseudo-Education

Oleh

Maryam Rahim

Universitas Negeri Gorontalo

                Pendidikan diartikan sebagai usaha sadar untuk membantu perkembangan manusia ke arah perkembangan yang optimal, yakni perkembangan yang sesuai dengan kemampuan, minat dan bakat, serta berbagai potensi lainnya yang dimiliki oleh manusia. Pendidikan dalam arti luas berarti suatu proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan. Pendidikan merupakan suatu proses membantu manusia mencapai kepribadian yang lebih baik.

Berbagai defenisi tentang pendidikan memuat subyek pendidikan yakni manusia. Oleh sebab itu, memahami makna pendidikan memerlukan pemahaman yang jelas tentang manusia. Manusia merupakan makhluk Tuhan yang unik. Para ahli banyak melakukan pengkajian tentang manusia dari berbagai dimensi yang berbeda.

A. Dimensi Manusia

                Dimensi manusia atau dimensi kehidupan kemanusiaan merupakan bingkai penampilan tiap-tiap diri manusia dalam aktualisasi kehidupannya sehari-hari (Prayitno, 2015:5). Prayitno mengemukakan 5 (lima) unsur dimensi kemanusiaan, yakni:

1. Dimensi kefitrahan, dengan kata kunci kebenaran dan keluruhan.

2. Dimensi keindividualan, dengan kata kunci potensi dan perbedaan.

3. Dimensi kesosialann, dengan kata kunci komunikasi dan kebersamaan.

4. Dimensi kesusilaan, dengan kata kunci nilai dan moral.

5. Dimensi keberagamaan, dengan kata kunci iman dan takwa.

                Kesatuan kelima dimensi tersebut akan mewujudkan kualitas kemuliaan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari dengan orientasi hakikat kemanusiaan.

                Sinolungan (1992) memandang manusia dari dimensi:

1. Manusia sebagai makhluk individu, artinya sebagai pribadi, sebagai orang perorang, yang berbeda satu dengan lainnya.

2. Manusia sebagai makhluk sosial, artinya sebagai bagian dari manusia lain, tidak dapat hidup tanpa orang lain, membutuhkan interaksi dengan sesame manusia lainnya.

3. Manusia sebagai makhluk religious, artinya sebagai makhluk Tuhan, yang mempercayai adanya kekuasaan di atas segala kekuasaan di dunia ini.

                Pendidikan hendaknya didasarkan pada dimensi manusia ini, serta berupaya mengembangkan dimensi-dimensi tersebut agar manusia dapat mencapai kedudukannya sebagai manusia dengan hakikat kemanusiaannya.

 

B. Potensi Manusia

                Sebagai makhluk yang sempurna di antara makhluk-makhluk Tuhan lainnya, manusia telah dibekali dengan berbagai potensi. Manusia terlahir dengan berbagai potensi, di mana potensi itu akan berkembang secara optimal dalam interaksinya dengan lingkungan, dalam arti jika dikembangkan melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, berbagai potensi itu tidak akan berkembang (teori kovergensi oleh William Stern).Prayitno (2015, 4) mengemukakan perangkat dasar potensi kemanusiaan yang disebutnya sebagai “panca daya”, yang terdiri dari: (1) daya takwa, (2) daya cipta, (3) daya rasa, (4) daya karsa, dan (5) daya karya.

                Para pakar psikologi perkembangan memandang potensi manusia, dalam bentuk potensi fisik an potensi psikis. Potensi fisik, berupa tubuh, badan, raga, yang menentukan keberadaan manusia. Potensi psikis, berupa berbagai potensi kejiwaan, seperti bakat, minat, emosi, kemampuan kognitif, nilai, moral, kemampuan berbahasa, keterampilan sosial. Potensi itu ada yang dibawa sejak lahir, dan ada pula yang diperoleh melalui proses belajar. Para ahli teori humanistic melihat potensi manusia, sebagai berikut: (1) manusia memiliki dorongan bawaan untuk mengembangkan diri, (2) manusia memiliki kebebasan untuk merancang atau mengembangkan tingkah lakunya, dan (3) manusia adalah makhluk rasional dan sadar (Yusuf dan Nurihsan, 2011).

                Berbagai potensi tersebut perlu dikembangkan secara optimal agar manusia memperoleh kehidupan yang berkualitas dalam berbagai dimensi kemanusiaannya. Pendidikan merupakan upaya mengembangkan berbagai potensi manusia.

                C. Pandangan tentang Pendidikan

                Seiring dengan perkembangan pendidikan, lahirlah berbagai pandangan tentang pendidikan, seperti:

1. Pendidikan sebagai transformasi pengetahuan

                Pendidikan sebagai trasformasi pengetahuan merupakan konsep awal yang dikembangkan dalam dunia pendidikan. Pendidikan dipandang sebagai upaya mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik agar dapat menggunakan pengetahuannya itu dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat survive dalam kehidupannya.

2. Pendidikan sebagai transformasi nilai

                Pendidikan pada hakekatnya merupakan aktivitas mendidik, mengajar, membimbing, dan melatih. Aktivitas tersebut dilaksanakan sebagai upaya untuk mentransformasikan nilai-nilai kehidupan, yang mencakup nilai-nilai religi, nilai-nilai kebudayaan, nilai-nilai sains dan teknologi, nilai-nilai seni, nilai-nilai susila, nilai-nilai hukum. Transformasi nilai tersebut dilakukan dalam rangka melestarikan, mengembangkan bahkan mengubah kehidupan manusia ke arah yang lebih baik.

                Berbagai gejala perilaku negative yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia disebabkan oleh dangkalnya kepemilikan nilai-nilai kehidupan. Oleh sebab itu pendidikan sudah seharusnya memberikan penekanan pada penanaman nilai-nilai kehidupan kepada peserta didik.

3. Pendidikan pencerahan dan kemandirian

                Esensi dari pemikiran ini bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan peradaban manusia. Oleh sebab itu pendidikan harus dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sebab hanya dengan pendidikan seperti itu maka kehidupan yang akan diwujudkan sesuai denga hakekat kemanusiaan.

                Pendidikan yang berpihak pada rakyat pada dasarnya merupakan upaya untuk melepaskan manusia dari belenggu keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, ketergantungan (Nyerere, 1978), penindasan dan memberdayakan manusia (Freire, 19970; Shore, 1992).

4. Pendidikan multicultural

James Bank dikenal sebagainperintis pendidikan multicultural. Menurutnya pendidiikan harus membuat siswa mampu mengajarkan memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa juga harus disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang diterima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing, siswa harus dibiasakan menerima perbedaan.

Menurut Bank (1993) pendidikan multicultural adalah ide, gerakan, pembahruan pendidikan dan proses pendidikan ang tujuan utamanya untuk mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa baik pria maupun wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang menjadi anggota kelompok ras, etnis, kultur yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah. Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multicultural memberikan kompetensi multicultural.

5. Pendidikan sepanjang hayat

                Konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education) merupakan jawaban terhadap kritik-kritik yang dilontarkan pada sekolah. Sistem sekolah tradisonal mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat yang berlangsung dengan sangat cepat. Pendidikan berlangsung sejak anak lahir (bahkan sejal dalam kandungan ibu) dan akan berlangsung terus sampai manusia meninggal dunia, sepanjang manusia mampu menerima pengaruh-pengaruh dari lingkungannya. Oleh sebab itu pendidikan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat (Sadulloh, 2007).

 

5. Pendidikan untuk semua

                Pendidikan untuk semua (education for all) merupakan konsep yang dikembangkan oleh UNESCO. Menurut konsep ini secara makro pendidikan haruslah menyentuh seluruh lapisan masyarakat, dari masyarakat lapisan atas hingga masyarakat lapisan bawah. Jadi pendidikan buka monopoli kalangan tertentu saja. Secara mikro, pendidikan untuk semua bermakna pendidikan harus mampu mengakomodasi segenap peserta didik dengan berbagai karakteristiknya.

 

D. Pendidikan dan Pengembangan Jati Diri Manusia

                Berbicara tentang pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan jati diri manusia tidak lepas dari pemahaman tentang hakikat manusia. Terdapat berbagai pendapat ahli tentang manusia, seperti:

1.       Menurut Sigmund Freud:

a.       Manusia pada dasarnya bersifat pesimistik, deterministic, mekanistik, dan reduksionistik.

b.      Manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tak sadar, dorongan-dorongan biologis, dan pengalaman masa kecil.

c.       Dinamika kepribadian berlangsung melalui pembagian energi psikis kepada Id, Ego dan Superego yang bersifat saling mendominasi.

d.      Manusia memiliki naluri-naluri seksual (libido seksual) dan agresif ; naluri kehidupan (eros) dan kematian (tanatos).

e.      Manusia bertingkah laku dideterminasi oleh hasrat memperoleh kesenangan dan menghindari rasa sakit (pleasure principle).

2.    Menurut Passons (Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchel, 1986 : 121) mengemukakan delapan asumsi tentang hakikat manusia menurut kerangka kerja teori konseling Gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Perls (1884-1970) sebagai berikut :

a.       Individu memiliki kepribadian yang utuh, menyeluruh, bukan terdiri dari bagian-bagian badan, emosi, pikiran, sensasi, dan persepsi. Individu dapat dipahami apabila dilihat dari keterpaduan semua bagian-bagian tersebut.

b.      Individu merupakan bagian dari lingkungannya. Oleh karena itu individu baru dapat dipahami apabila memperhatikan konteks lingkungannya.

c.       Individu memilih bagaimana dia merespon rangsangan internal maupun eksternal. Individu adalah aktor bukan reactor.

d.      Individu memiliki kemampuan potensial untuk menyadari secara penuh semua sensasi, pikiran, emosi, dan persepsinya.

e.      Individu memiliki kemampuan untuk melakukan  pilihan, sebab dia menyadarinya.

f.        Individu memiliki kapasitas untuk membangun kehidupannya secara efektif.

g.       Individu tidak dapat mengalami masa lalu dan masa yang akan datang, tetapi dia hanya dapat mengalami masa sekarang.

h.      Individu pada dasarnya tidak dapat dikatakan baik atau buruk.

3.       Menurut Beck (Blocher, 1974) mengemukakan beberapa asumsi eksistensialis tentang hakikat manusia, yaitu sebagai berikut :

a.       Manusai bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri, dia mempunyai pilihan dan harus melakukan pilihan untuk dirinya sendiri.

b.      Manusia harus memandang atau memperhatikan orang lain sebagai bagian dari dirinya, dan perhatiannya ini direfkeksikan dalan pergaulan dengan warga masyarakat yang lebih luas.

c.       Manusia eksis di dunia nyata, dan hubungan dengan dunianya di satu sisi merupakan ancaman yang dalam banyak hal tidak dapat merubahnya.

d.      Hidup yang bermakna harus menghilangkan ancaman yang dihadapi, baik fisik maupun psikis. Tujuannya adalah untuk membebaskan manusia dari ancaman, sehingga dapat mencapai perkembangan yang optimum.

e.      Setiap manusia memiliki pembawaan dan pengalaman yang unik, sehingga memungkinkan berperilaku yang berbeda satu sama lainnya.

f.        Manusia berperilaku sesuai dengan pandangan subjektifnya tentang realitas.

g.       Secara alami manusia tidak dapat dikatakan “baik” atau “buruk” (jahat).

h.      Manusia mereaksi situasi secara menyeluruh tidak bersifat serpihan (seperti hanya intelektual atau emosional).

 

4. Prayitno, dkk (2015) menjelaskan hakikat manusia:

     a. Beriman dan kertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

     b. Diciptakan paling sempurna

     c. Berderajat paling tinggi

    d. Berstatus sebagai khalifah di bumi

    e. Menyandang hak azasi manusia

 

5. Pandangan lain tentang manusia:

    a. Manusia sebagai zoon politican (Aristoteles, 384-322 SM): manusia adalah makhluk    yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan manusia, sebagai makhluk yang bermasyarakat.

   b. Manusia sebagai hewan yang berpikir

   c. Manusia sebagai homo educandum ata homo educable: manusia adalah makhluk yang dapat dididik atau makhluk terdidik.

   d. Manusia sebagai animal educandum: manusia adalah hewan yang dapat dididik.

                Tugas pendidikan adalah membantu atau memfasilitasi manusia untuk mengembangkan jati dirinya.

 

E. Outcome Pendidikan

                Outcome pendidikan adalah insan paripurna, sebagai insan kamil, yakni manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari dimensi-dimensi kemanusiaan. Istilah lain yang digunakan dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah manusia Indonesia seutuhnya.

                Pendidikan yang ideal merupakan proses pengembangan keseluruhan potensi manusiawi untuk mewujudkan manusia seutunya. Pendidikan bukan sekedar menciptakan manusia yang siap kerja (jangka menengah) dan hanya untuk kepentingan diri semata. Lebih dari itu, pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan utama (jangka panjang) untuk membentuk dan mengembangkan manusia paripurna, manusia berbudaya (berbudi dan berbudaya) yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya sehingga dapat menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Pendidikan untuk menuju manusia seutuhnya itu secara implisit namun tegas dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 3 yang mengamanatkan Pemenrintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

 

Daftar Pustaka

Banks, James A. 1993. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn 7 Bacon.

Wibowo, Udik Budi. 2013. Pendidikan Menuju Manusia Seutuhnya: Inkonsistensi dan Paradoks Inter/Antar-Kebijakan sampai Praksis Pendidikan. Fakultas Ilmu             Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Ash-Shaaf.

Hanum, Farida. 2013. Ilmu Pendidikan dan Pendidikan Multikultural. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Ash-Shaff.

Prayitno, dkk. 2015. Pembelajaran Melalui Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Satuan Pendidikan. Pengembangan Manusia Seutuhnya. Panduan Teknis-  Praktis- Operasional untuk Para Pelaksana Pelayanan BK di Satuan Pendidikan (Terutama Guru BK/Konselor). Paramitra Publishing.

Saduloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. Alfabeta.

Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika. 2010. Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Pendidikan Dengan Ilmu Pendidikan (PENDIP) versus Pendidikan Tanpa Ilmu Pendidikan (PENTIP)

Oleh: Maryam Rahim

Dosen Jurusan BK FIP UNG

        Pendidikan bertugas mengembangkan berbagai potensi peserta didik agar dapat memiliki kepribadian yang mantap, kekuatan spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masayarakat, bangsa dan negara. Peserta didik yang menjadi subyek pendidikan merupakan individu yang unik, masing-masing memiliki kekhasan yang membedakannya dengan individu lain. Tidak ada peserta didik yang betul-betul sama, sebagaimana anak kembar yang tetap memiliki perbedaan. Menghadapi peserta didik yang berbeda itulah maka upaya pendidikan bukanlah aktivitas yang mudah. Pendidikan harus didasari oleh ilmu tentang perkembangan peserta didik, teori-teori pendidikan, teori belajar dan pembelajaran, strategi/metode pembelajaran, serta ilmu pendidikan (pedagogy). Dengan kata lain pendidikan harus dilaksanakan dengan ilmu pendidikan, pendidikan harus dilaksanakan berdasarkan pemahaman yang komprehensif tentang ilmu pendidikan.

                Seorang pendidik harus memahami keberagaman peserta didik dengan berbagai dimensi perkembangannya. Dimensi tersebut terdiri dari dimensi fisik dan dimensi psikis (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian). Dapat dibayangkan, jika dalam sebuah kelas ada 20 orang peserta didik, maka akan terdapat 20 karakteristik kondisi fisik dan psikis peserta didik. Dari segi fisik, ada peserta didik yang sehat fisiknya secara menyeluruh, sementara lainnya memiliki kelemahan fisik, mengidap penyakit tertentu atau kondisi kesehatan yang sering terganggu. Dari segi psikis (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian) masing-masing akan ada 20 karakteristik aspek-aspek tersebut (bayangkan jika seorang guru menghadapi kelas terdiri dari 30 atau lebih peserta didik). Dari aspek bakat misalnya, bukan hanya ada 20 bakat, sebab ada peserta didik yang memiliki lebih dari satu bakat yang menonjol, demikian halnya dengan minat. Dari segi emosi, setiap hari peserta didik dengan kondisi emosi yang tidak sama, bisa saja di hari tertentu ia dilanda emosi positif seperti gembira, bahagia, namun di hari yang lain mengalami emosi negatif, seperti marah, sedih, ataupun takut. Dari aspek sosial, terdapat peserta didik yang luwes dalam bergaul, mudah menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi (well-adjustive), dan yang lainnya memiliki kemampuan interkasi sosial yang rendah bahkan sulit menyesuiakan diri (mal-adjustive). Ada yang memiliki kepribadian introvert dan ada pula yang ekstrovert. Demikian pula halnya aspek sikap, gaya belajar, kemampuan berbahasa, perkembangan moral, dan jenis perhatian. Seluruh karakteristik ini harus disesuaikan dengan teori belajar dan pembelajaran, dan strategi/metode pembelajaran. Tidak hanya itu, di sisi lain pendidikan juga dituntut harus mampu mengembangkan berbagai aspek perkembangan peserta didik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya (bakat, minat, emosi, sosial, sifat, sikap, gaya belajar, bahasa, sosial, moral, perhatian). Pendidikan harus mampu mengembangkan bakat dan minat peserta didik; menjadikannya sebagai individu yang memiliki kecerdasan emosional (emotional intelligence), kecerdasan sosial (social intelligence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intelligence) yang tinggi di samping kecerdasan intelektual; memiliki sikap-sikap yang positif (positive attitude) terhadap hal-hal yang positif; memiliki sifat-sifat yang baik; memiliki moral dan karakter terpuji, memiliki keterampilan berbahasa yang baik; dapat belajar sesuai dengan gaya belajarnya; memiliki kemampuan berkonsentrasi yang tinggi. Dengan kata lain pendidikan harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, serta mampu mengembangkan berbagai aspek perkembangan peserta didik tersebut. Pekerjaan lain lagi, guru harus melayani peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar dengan berbagai kondisi, ada yang lambat belajar (slow learner), ada yang sulit memahami materi, dan kesulitan belajar lainnya. Guru dituntut untuk melaksanakan pengajaran remedial (remedial teaching, remedial yang sesungguhnya, bukan ulangan atau ujian ulang yang biasa dilakukan pada saat akan pengisian raport), melaksanakan program pengayaan (enrichment program) bagi peserta didik yang memiliki kecepatan belajar yang tinggi (bukan pengayaan saat menghadapi ujian sekolah). Pekerjaan ini tentulah bukan pekerjaan yang mudah bagi seorang pendidik/guru. Hal ini menggambarkan betapa tidak mudahnya pendidikan yang berdasarkan pada ilmu pendidikan, atau pendidikan dengan ilmu pendidikan (PENDIP). Ketidakmudahan dalam melaksanakan pendidikan dengan ilmu pendidikan (PENDIP) ini dikhawatirkan akan menjebak guru dalam praktek pendidikan tanpa ilmu pendidikan (PENTIP).

                Kelas-kelas (terutama pada tingkat pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama) seharusnya dibina oleh minimal 2 (dua) orang guru, masing-masing bisa berbagi tugas, ada yang fokus pada upaya membantu siswa menguasai materi mata pelajaran, dan guru yang satunya memberikan perhatian pada perkembangan psikis peserta didik (bukan guru Bimbingan dan Konseling/Konselor). Pasti akan muncul pemikiran tentang biaya yang dibutuhkan jika setiap kelas dibina oleh 2 orang guru. Namun itulah resiko yang harus terjadi jika menginginkan pendidikan yang dapat membantu perkembangan peserta didik secara utuh.

                Tidak cukup seorang pendidik/guru memiliki keterampilan dalam menggunakan strategi dan metode pembelajaran yang diperoleh melalui berbagai pelatihan yang melelahkan dan menguras energy bahkan menghabiskan anggaran biaya yang tidak sedikit, jika ia tidak mampu mengaplikasikannya sesuai dengan karakteristik peserta didik. Akibatnya keterampilan itu tidak dapat membantu perkembangan peserta didik secara optimal sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan. Undang-Undang Guru dan Dosen telah menetapkan bahwa salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru adalah kompetensi pedagogik, yakni kompetensi yang sangat terkait dengan penguasaan guru tentang karakteristik peserta didik dan ilmu pendidikan secara utuh serta penerapannya dalam aktivitas pembelajaran yang menjadi tanggungjawabnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah setiap guru memiliki kompetensi pedagogik yang mumpuni? Pertanyaan ini semakin menguat dengan adanya kebijakan tentang penyiapan guru yang berlatar belakang non kependidikan. Cukupkah waktu setahun untuk memberikan bekal kompetensi pedagogik bagi para guru tersebut? jawabannya sudah jelas “tidak cukup”. Bandingkan dengan para calon guru yang dibekali dengan keilmuan di bidang pendidikan selama 4 (empat) tahun, yang bisa saja kompetensi pedagogiknya tidak terbentuk secara mantap. Kondisi ini tentu saja akan semakin memperlebar ruang terjadinya pendidikan tanpa ilmu pendidikan (PENTIP).