Mengapa Seseorang Cenderung Tidak Berperilaku Bermoral?
Mengapa Seseorang Cenderung Tidak Berperilaku Bermoral?
Oleh: Maryam Rahim
Berbagai perilaku yang terpampang di hadapan kita, seperti korupsi merajalela di kalangan pejabat, pelangaran hukum, nepotisme, penyalahgunaan wewenang/jabatan, dan berbagai perilaku kriminal, tentu saja tidak dapat dipisahkan dari moralitas pelakunya. Meskipun seseorang mengetahui apa yang benar dan tidak benar, namun pengetahuan itu tidak selalu terwujud dalam perilakunya. Kondisi ini telah terjadi di sekitar kita. Untuk itu kita perlu mengetahui mengapa seseorang berperilaku tidak bermoral. Beberapa alasan mengapa seseorang cenderung tidak berperilaku bermoral, antara lain adalah:
1. Tingkat moralitas yang dimiliki tergolong rendah. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Kohlberg (1958, 1981) yang menunjukkan bahwa orang dengan tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi cenderung membuat keputusan yang lebih etis. Semakin tinggi seseorang dalam tahap reasoning moral (misalnya pada tahap post-konvensional), semakin besar kemungkinan ia berperilaku secara moral dalam situasi nyata.
2. Konflik kepentingan pribadi; sering seseorang memahami bahwa suatu tindakan itu tidak bermoral, namun tetap melakukannya karena ingin keuntungan pribadi (uang, kekuasaan, pujian), takut kehilangan sesuatu (status, keamanan, relasi).
3. Tekanan sosial/lingkungan. Lingkungan sangat mempengaruhi perilaku bermoral seseorang. Jika seseorang berada di lingkungan yang permisif terhadap perilaku tidak bermoral, maka ia dapat saja terdorong untuk ikut-ikutan melakukan perilaku tidak bermoral. Misalnya ingin diterima dalam kelompok, takut dikucilkan kalau tidak ikut norma "kelompok".
4. Kurangnya internalisasi nilai moral
Moralitas tidak hanya soal memahami mana yang benar dan mana yang tidak benar, namun apakah nilai itu sudah tertanam dalam hati. Kalau tidak, maka moral hanya jadi "hafalan", bukan pegangan hidup dan dapat mudah tergoyahkan saat menghadapi godaan atau tekanan.
5. Minimnya empati
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Orang yang memiliki empati yang rendah cenderung tidak peduli apabila tindakannya menyakiti orang lain, lebih fokus pada diri sendiri. Ini sering terlihat dalam kasus kekerasan, penipuan, atau penghianatan.
6. Rasionalisasi moral (moral rationalization)
Kondisi ini terjadi saat seseorang membenarkan tindakan salahnya agar merasa tidak bersalah. Orang seperti ini akan berpikir: “Ah, semua orang juga begitu.”, “Ini bukan salah saya, saya hanya disuruh.”, “Dia pantas diperlakukan begitu.” dan alasan lainnya.
7. Kurangnya pendidikan moral atau teladan. Anak-anak atau remaja yang tidak mendapat pembinaan moral yang baik akan tumbuh dengan nilai moral yang lemah. Demikian pula jika orang-orang yang mereka kagumi (guru, orang tua, tokoh publik) justru menunjukkan perilaku tidak bermoral, mereka akan meniru perilaku tersebut.
8. Kondisi psikologis atau pengalaman traumatis; dalam beberapa kasus, perilaku tidak bermoral dapat berkaitan dengan kondisi psikologis, misalnya gangguan kepribadian (seperti antisosial), luka batin atau pengalaman traumatis yang belum sembuh.
Uraian tentang berbagai alasan seseorang tidak berperilaku bermoral bukanlah untuk membenarkan perilaku salah tersebut, tetapi untuk menjadi dasar kajian tentang penyebab seseorang tidak berperilaku bermoral. Bagaimanapun juga perilaku bermoral harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Moralitas dan Perilaku
Moralitas dan Perilaku
Oleh: Maryam Rahim
Kehidupan bermasyarakat yang positif, dalam arti kehidupan yang aman secara psikologis, jauh dari perasaan tertekan, bebas dari perasaan tidak dihargai dan terdzolimi, serta saling menghormati antara anggota masyarakat, antara lain ditandai dengan perilaku bermoral yang ditunjukkan oleh anggota masyarakat itu sendiri, mulai dari pemimpin, tokoh masyarakat hingga anggota masyarakat pada umumnya. Moralitas dalam perilaku menjadi pembentuk kehidupan sosial yang mendukung kelangsungan interaksi sosial yang positif di antara anggota komunitas sosial. Bagaimanakah korelasi antara moralitas dengan perilaku? Moralitas dan perilaku memiliki korelasi yang sangat erat, dimana moralitas menjadi dasar atau fondasi seseorang berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Korelasi moralitas dan perilaku ditunjukkan seperti berikut:
1. Moralitas sebagai panduan perilaku; moralitas mencakup nilai-nilai tentang apa yang dianggap benar dan salah dalam suatu masyarakat atau oleh individu. Nilai-nilai ini membentuk kerangka berpikir seseorang dalam bertindak. Seseorang yang memiliki moralitas tinggi cenderung menghindari kebohongan dan berusaha jujur dalam perilakunya, moralitas yang menghargai keadilan akan memengaruhi perilaku untuk tidak berbuat curang atau menindas orang lain.
2. Konsistensi antara moral dan tindakan. Dalam banyak kasus, orang berusaha menyelaraskan tindakan mereka dengan keyakinan moral mereka (integritas). Ketika ada ketidaksesuaian (misalnya, seseorang percaya mencuri itu salah namun tetap melakukannya), hal ini dapat menimbulkan konflik batin atau rasa bersalah.
3. Pengaruh sosial dan budaya. Moralitas dipengaruhi oleh budaya, agama, dan norma sosial. Oleh sebab itu perilaku yang dianggap bermoral di satu tempat dapat saja berbeda dengan tempat lain. Namun, dalam banyak budaya, ada nilai-nilai moral universal yang berlaku, misalnya: berlaku jujur, tanggung jawab, dan disiplin, tidak menyakiti orang lain tanpa alasan, menolong sesama, menghormati orang tua dan orang yang lebih tua.
4. Moralitas dan pembentukan karakter. Moralitas berperan penting dalam pembentukan karakter. Karakter yang kuat biasanya menunjukkan perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai moral seperti: tanggung jawab, kejujuran, disiplin. Perilaku seperti ini membuat seseorang dapat dipercaya dan dihormati oleh orang lain.
Beberapa hasil penelitian tentang korelasi moralitas dengan perilaku:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Lawrence Kohlberg (1958, 1981), menunjukkan bahwa orang dengan tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi cenderung membuat keputusan yang lebih etis. Semakin tinggi seseorang dalam tahap reasoning moral (misalnya pada tahap post-konvensional), semakin besar kemungkinan ia berperilaku secara moral dalam situasi nyata.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Aquino & Reed (2002) terkait konsep “moral identity” (identitas moral), yaitu sejauh mana seseorang melihat nilai moral sebagai inti dari siapa dirinya, sangat berpengaruh terhadap perilaku nyata seperti kejujuran, kepedulian sosial, dan keadilan. Identitas moral yang kuat berkorelasi positif dengan tindakan altruistik dan etis.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Batson et al. (1997) terkait studi tentang empati dan moralitas menemukan bahwa ketika seseorang memiliki empati yang tinggi terhadap orang lain, ia lebih cenderung untuk bertindak secara moral, misalnya membantu orang lain bahkan dengan mengorbankan kepentingan sendiri.
Mencermati adanya korelasi positif antara moralitas dengan perilaku, maka menjadi sesuatu yang urgen bahwa setiap orang, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat harus memiliki moralitas yang tinggi.
Materi Layanan Bimbingan Karir
Materi Layanan Bimbingan Karir
Oleh: Maryam Rahim
Materi layanan bimbingan karir tidak lepas dari kegiatan dalam layanan bimbingan karir itu sendiri. Materi tersebut meliputi: pemahaman diri, pemahaman dunia kerja, membuat perencanaan karir, memilih karir dan membuat keputusan karir.
1. Pemahaman diri, terdiri dari: pemahaman tentang: baka dan minat, kemampuan intelektual, emosi, sikap, sifat, konsep diri, cita-cita, gaya hidup yang diinginkan, harapan-harapan orang tua, kondisi ekonomi orang tua/keluarga.
2.Pemahaman tentang sekolah dan pendidikan tinggi lanjutan, meliputi:
a.Pemahaman tentang: jenis-jenis sekolah lanjutan setelah lulus SMP/MTs (SMA/SMK/MA, program pilihan di SMA/SMK/MA, pemahaman tentang jenis-jenis perguruan tinggi lanjutan beserta program studi dan jurusan yang tersedia.
b.Untuk sekolah lanjutan dari SMP/MTs, pemahaman yang diberikan meliputi: visi-misi sekolah, program pilihan yang tersedia di setiap jenis sekolah (SMA, SMK, dan MA), kompetensi yang diperoleh setelah lulus dari sekolah, program studi atau jurusan di perguruan tinggi yang sesuai dengan jenis sekolah lanjutan, program pilihan di SMA/SMK/MA, prospek pekerjaan yang dapat dimasuki.
c.Untuk perguruan tinggi lanjutan, pemahaman yang diberikan meliputi: jenis-jenis perguruan tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Vokasi), program studi atau jurusan yang tersedia, biaya yang dibutuhkan (biaya pendaftaran dan biaya persemeter, serta biaya lainnya), prospek pekerjaan, fasilitas beasiswa yang diperoleh, lama studi, fasilitas belajar yang tersedia.
3.Pemahaman tentang dunia kerja, meliputi: jenis-jenis pekerjaan, syarat-syarat memasuki pekerjaan (syarat kepribadian dan syarat teknis, seperti ijazah, program studi/jurusan, nilai Indeks Prestasi Kumulatif, syarat-syarat fisik seperti kesehatan jasmani, tinggi badan, berat badan, dan persyaratan fisik lainnnya, misalnya tidak memiliki tato dan tindik), gaji dan fasilitas yang diperoleh, hambatan/tantangan yang ditemui, kepuasan yang diperoleh, dan informasi lainnya.
4. Membuat perencanaan karir, memilih dan membuat keputusan karir.
Membuat perencanaan karir dilakukan dengan cara memadukan antara pemahaman diri dengan pemahaman dunia kerja. Perencanaan karir akan melahirkan beberapa rencana karir. Dari beberapa rencana karir itu dibuatlah pemilihan karir, yang diakhiri dengan pengambilan keputusan karir.
Materi-materi tersebut dirancang sedemikian rupa sehingga benar-benar dapat membantu siswa/konseli dalam mengembangkan karirnya secara tepat.
Media Bimbingan dan Konseling Karir
Media Bimbingan dan Konseling Karir
Oleh: Maryam Rahim
Media berasal dari kata “medium” yang berarti “perantara” atau “pengantar”. Media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator (pengirim pesan) kepada komunikan (penerima pesan). Media bimbingan dan konseling adalah alat bantu yang digunakan dalam proses layanan bimbingan dan konseling untuk memudahkan penyampaian materi layanan.
Terdapat berbagai jenis media yang dapat digunakandalam layanan bimbingan dan konseling karir. Media tersebut meliputi:
1. Media cetak:
a. Hand-out, yaitu media bimbingan tertulis yang disiapkan guru untuk memperkaya pengetahuan siswa/konseli tentang karir. Hand-out dapat berisi tentang: jenis-jenis bakat dan cara mengetahui bakat, jenis-jenis program di SMA/SMK/MA, jenis-jenis sekolah lanjutan, jenis-jenis pekerjaan/profesi.
b. Buku, media bimbingan tertulis yang menyajikan tema tertentu, misalnya tema tentang “Pemahaman Diri”, tema tentang “Pemahaman Dunia Kerja”, tema tentang “Perencanaan Karir dan Pemilihan Karir”, tema tentang “Pengambilan Keputusan Karir”.
c. Modul, sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar siswa/konseli dapat belajar secara mandiri. Bagian-bagian modul biasanya terdiri dari: pengantar, tujuan layanan, uraian materi layanan, rangkuman materi, dan latihan. Uraian pada bagian-bagian modul inilah yang memandu siswa/konseli untuk menggunakan modul itu secara mandiri.
d. Lembar Kerja Siswa (LKS), yakni lembaran-lembaran berisi tugas atau kegiatan yang harus dilakukan siswa/konseli. Dalam bimbingan dan konseling karir, LKS digunakan untuk membantu siswa/konseli, misalnya dalam hal: memahami diri, memahami dunia kerja, membuat perencanaan dan pemilihan karir, membuat keputusan karir.
e. Brosur adalah media informasi tertulis mengenai suatu masalah yang disusun secara bersistem, atau cetakan yang hanya terdiri atas beberapa halaman dan dilipat tanpa dijilid, atau selebaran cetakan yang berisi keterangan singkat tetapi lengkap. Dalam bimbingan dan konseling karir, brosur bisa berisi ulasan singkat tentang kiat-kiat memahami diri, kiat-kiat memilih program studi/jurusan, kiat-kiat memilih perguruan tinggi lanjutan.
f. Leaflet, yakni media bimbingan cetak tertulis berupa lembaran yang dilipat tapi. Dalam bimbingan dan konseling karir, isi leaflet bisa berupa informasi tentang jenis-jenis sekolah lanjutan setelah lulus SMP/MTS, informasi tentang program pilihan di SMA/SMK/MA, informasi tentang jenis-jenis perguruan tinggi, informasi tentang jenis-jenis pekerjaan menurut bidang masing-masing, misalnya pekerjaan di bidang kesehatan, dan lainnya.
2. Media audio
a. Rekaman audio, yaitu sebuah rekaman yang berisi materi layanan bimbingan. Dalam bimbingan karir, rekaman tersebut dapat berupa rekaman penjelasan guru tentang cara-cara memahami diri, rekaman tentang cara merencanakan karir, cara membuat pilihan dan keputusan karir. Selain itu dapat berupa rekaman penjelasan dari tokoh tertentu tentang keberhasilannya dalam meniti sebuah karir. Rekaman ini digunakan pada saat layanan, di mana siswa/konseli dan guru bersama-sama menyimak isi rekaman yang sesuai dengan topik layanan. Penggunaan mediaini di samping dapat membantu siswa/konseli memperoleh informasi tentang topik layanan, juga dapat melatih kemampuan siswa/konseli dalam menyimak informasi.
b. Radio. Melalui radio siswa/konseli dapat memperoleh informasi karir yang mereka butuhkan, misalnya informasi tentang pendaftaran di sekolah lanjutan atau perguruan tinggi lanjutan. Informasi tersebut biasanya berisi tentang: nama sekolah, visi sekolah, kompetensi yang diperoleh ketika belajar di sekolah tersebut, syarat-syarat pendaftaran, waktu pendaftaran, cara melakukan pendaftaran, alamat sekolah, kompetensi tenaga pengajar (guru), fasilitas sekolah, berbagai prestasi yang dicapai sekolah, dan informasi lainnya. Guru BK dapat memberikan tugas kepada siswa untuk mengikuti berbagai informasi tentang karir yang disampaikan melalui radio
3. Media visual. Media visual dalam bimbingan karir dapat berupa:
a. Chart yang berisi garis-garis besar materi layanan bimbingan karir;
b. Gambar, seperti gambar pohon karir, gambar seri tentang prosedur dalam sebuah pekerjaan, dan lainnya.
c. Poster dan foto, misalnya poster dan foto tentang model-model pakaian dalam bidang pekerjaan tertentu, misalnya poster dan foto orang berpakaian dokter, pakaian perawat, pakaian polisi, tentara, pekerja pabrik, laboran, guru, hakim, dan lainnya.
d. Berbagai media cetak yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dikategorikan sebagai media visual.
4. Media audio-visual, dapat berupa: film/video, konten You-Tube yang terkait dengan karir. Misalnya film tentang kehidupan seorang pebisnis yang berhasil dalam bisnisnya; konten You-Tube tentang kiat-kiat berhasil dalam karir, dan materi karir lainnya.
5. Media interaktif
Media interaktif adalah jenis media yang memungkinkan siswa/konseli untuk berinteraksi secara langsung dengan konten yang disajikan. Siswa/konseli tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi juga bisa memberikan input, memilih informasi, atau mempengaruhi jalannya konten tersebut. Jenis media interaktif:
a. E-learning interaktif, misalnya: modul belajar online dengan kuis, simulasi, dan video interaktif.
b. Aplikasi edukasi di smartphone, misalnya: Duolingo (untuk belajar bahasa).
c. Permainan edukatif, misalnya: game untuk melatih pengelolaan emosi, melatih kerja sama, tanggung jawab, kreativitas, dan aspek kepribadian lainnya.
d. Presentasi interaktif, misalnya PowerPoint yang dilengkapi dengan tombol navigasi, kuis, atau animasi.
e. Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR), siswa/konseli dapat menjelajahi lingkungan virtual dan berinteraksi di dalamnya, misalnya aplikasi jenis-jenis pekerjaan/profesi.
f. Orang sumber atau nara sumber. Orang sumber/nara sumber adalah seseorang yang menyajikan materi terkait dengan karir pada saat layanan bimbingan dan konseling karir, misalnya seseorang yang telah berhasil dalam karirnya akan memberikan penjelasan kita-kiat yang telah dilakukannya sehingga dia bisa berhasil dalam karir yang ditekuninya tersebut. Siswa/konseli dapat berinteraksi langsung dengan nara sumber tersebut, misalnya bertanya atau berdiskusi.
Fungsi Sekolah dan Tantangannya
Fungsi Sekolah dan Tantangannya
Oleh: Maryam Rahim
Sekolah dipandang sebagai lembaga pendidikan yang dipersiapkan guna menghasilkan sumber daya manusia yang mampu melanjutkan pembangunan bangsa. Pendidikan di sekolah ditujukan untuk mengubah tingkah laku peserta didik menjadi lebih baik, serta mampu memberikan perubahan pada masyarakat. Sekolah dipandang sebagai agen perubahan (changes agent). Fungsi sekolah adalah mempertahankan, mengembangkan dan meneruskan kebudayaan suatu masyarakat, melalui aktivitas mendidik yang dilakukan pada peserta didik sebagai bagian dari masyarakat. Sekolah dipandang juga sebagai lembaga yang berfungsi mempersiapkan generasi yang kelak mampu mempertahankan eksistensi kelompok masyarakat dan bangsa yang memiliki karakteristik budaya dan kepribadian yang berbeda dengan kelompok masyarakat dan bangsa lain.
Sekolah berkewajiban mempersiapkan siswa peserta didik menjadi warga negara yang mengetahui dan mampu menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Khusus bagi bangsa dan negara Indonesia fungsi tersebut diwujudkan dalam bentuk meneruskan nilai-nilai luhur pandangan hidup bangsa yakni pancasila dalam pembentukan sikap mental peserta didik (http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2180686-peranan-sekolah-sebagai-lembaga-pendidikan/#ixzz2CGyEtBN7). Penjelasan ini menunjukkan betapa pentingnya peranan sekolah dalam kehidupan bermasayarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sekolah berfungsi mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri.Sekolah adalah ruang aktualisasi diri untuk menumbuhkan semangat hidup, mengembangkan bakat dan kreativitas anak. Sekolah bertanggungjawab menanamkan pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformative dalam membangun bangsa yang maju dan berkualitas. Peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan (Yamin (2013, 203-204).
Kasmadi (1994, 153) menjelaskan pandangannya tentang sekolah sebagai berikut: (1) Sekolah sebagai lingkungan belajar, di mana terjalinnya proses belajar dan mengajar, serta terjalinnya hubungan antar manusia di dalamnya dengan baik. Sekolah merupakan lingkungan belajar yang mampu memanusiakan peserta didik sehingga mereka mampu mandiri dan bertanggungjawab terhadap kehdupannya, serta lingkungan, bangsa, dan negaranya, (2) Sekolah sebagai lingkungan budaya, dalam arti sekolah tidak lepas dari nilai-nilai internasionalisasi budaya. Pendidikan melalui sistem persekolahan memegang peranan yang sangat penting dalam memberikan dukungan terhadap perkembangan budaya, ekonomi, dan teknologi dan ilmu pengetahuan lainnya. Pertemuan yang lain adalah berdialognya budaya dan kebiasaan tradisional dengan budaya dan kebiasaan modern melalui transformasi dan informasi IPTEK melalui transformasi pendidikan, (3) Sekolah mampu menerima segala perubahan, terutama yang berhubungan dengan metode mengajar dengan memperhatikan perbedaan individu anak.
Sebagai konsekwensi logis dari berbagai pandangan ini, maka sistem pendidikan di sekolah harus menyediakan tenaga pendidik dan kependidikan yang mampu memberikan pelayanan yang optimal terhadap peserta didik dalam berbagai dimensi kehidupannya, di samping menyediakan berbagai fasilitas yang memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk dapat berkembang secara optimal.
Sekolah merupakan sebuah sistem terbuka yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya. Sebagai sistem terbuka, sekolah mengambil energi (masukan) dari lingkungan. Peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan sebagai sumber daya manusia berasal dari lingkungan masyarakat. Demikian pula sumber daya lainnya berupa sarana dan parasarana, alat-alat perlengkapan dan dana berasal dari masyarakat. Selanjutnya sekolah mentransformasikan energi yang tersedia, misalnya dengan transformasi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan kepada peserta didik sebagai bagian dari masyarakat. Luaran sekolah akan diberikan kepada masyarakat berupa tenaga kerja untuk berbagai lapangan kehidupan di masyarakat. Ini berarti sekolah memberikan hasil kepada lingkungan (masyarakat).Sekolah juga merupakan rangkaian kejadian atau peristiwa yang terus berlangsung. Sekolah terus bergerak melawan proses entropi (kehancuran), berusaha agar bergerak menuju pada peran-peran yang lebih berdiferensiasi dengan berbagai upaya mengembangkan kemampuan-kemampuan professional tenaga kependidikan (Depdiknas, 2002).
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai agen perubahan dan sebagai sistem yang terbuka, sekolah diperhadapkan dengan berbagai tantangan yang saling terkait. Ebert dan Culyer (2011,2) mengidentifikasi beberapa masalah kontekstual yang paling menonjol yang dihadapi sekolah saat ini, termasuk: (1) kemajuan teknologi dan dinamika perubahan tenaga kerja, (2) peningkatan heterogenitas dari populasi siswa dan meningkatkan jumlah, kualitas, dan kompleksitas kebutuhan siswa, dan (3) dorongan untuk praktik berbasis fakta dan akuntabilitas yang meningkat meskipun sumber daya berkurang.
Selain itu tantangan yang dihadapi sekolah saat ini: (1) kesenjangan akses dan kualitas pendidikan, masih terdapat kesenjangan antara sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan, termasuk dalam hal fasilitas, tenaga pendidik, dan akses terhadap teknologi, (2) integrasi teknologi dalam pembelajaran, meskipun teknologi berkembang pesat, guru dan siswa masih menghadapi tantangan dalam penggunaannya secara efektif, seperti kurangnya pelatihan guru, atau infrastruktur yang belum memadai, (3) kompetensi guru, efektivitas guru sangat mempengaruhi hasil belajar, tantangannya adalah meningkatkan kompetensi pedagogik, manajerial, dan adaptasi terhadap kurikulum baru, (4) Perubahan kurikulum yang cepat, kurikulum yang terus diperbarui tanpa kesiapan sekolah dan guru bisa menimbulkan kebingungan dalam implementasi, (5) kesehatan mental dan beban belajar siswa, tekanan akademik, bullying, dan kecanduan gawai membuat kesehatan mental siswa menjadi isu penting yang sering terabaikan di sekolah, (6) kurangnya pendidikan karakter, fokus pada capaian akademik kadang mengabaikan pembentukan karakter seperti empati, tanggung jawab, dan integritas, (7) minimnya keterlibatan orang tua, rendahnya partisipasi orang tua dalam pendidikan anak membuat dukungan di rumah kurang maksimal.
Besarnya tantangan terhadap implementasi fungsi sekolah harus senantiasa dicarikan solusinya agar sekolah benar-benar dapat mewujudkan fungsinya secara optimal.
Referensi:
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Memahami Sekolah Sebagai Sistem. Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Sekolah. Jakarta. Dirjen Dikdsmen Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Ebert, Edwart S, dan Culyer, Richard C. 2011. School An Introduction to Education. Second Edtion.Wadsworth Cengage Learning.
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. 1994. Kurikulum untuk Abad Ke – 21. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung. Rajawali Perss.
Yamin, Moh. 2012. Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan. Panduan lengkap Tata Kelola Kurikulum Efektif.Jogyakarta.DIVA Press.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong