Pendidikan Sepanjang Hayat (Life-long Education): Filosofi Pendidikan Indonesia
Pendidikan Sepanjang Hayat (Life-long Education): Filosofi Pendidikan Indonesia
Oleh: Maryam Rahim
Belajar tidak harus berhenti ketika sesorang lulus sekolah atau kuliah. Bahkan setelah bekerja, menikah, atau pensiun pun, kita tetap bisa, dan seharusnya terus belajar. Inilah yang disebut sebagai pendidikan sepanjang hayat, sebuah gagasan penting yang menjadi dasar filosofi pendidikan di Indonesia.
Apa Itu Pendidikan Sepanjang Hayat?
Pendidikan sepanjang hayat (life-long education) adalah pandangan bahwa proses belajar berlangsung terus-menerus sepanjang hidup manusia. Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas atau hanya untuk anak-anak dan remaja. Sebaliknya, setiap fase kehidupan adalah peluang untuk belajar, baik secara formal, seperti melalui sekolah, secara non formal, seperti melalui kursus dan pelatihan, maupun secara informal, seperti dalam lingkungan keluarga, pengalaman hidup, dan lingkungan sosial.
Konsep ini bukan hal baru. UNESCO telah mengusungnya sejak tahun 1972 dalam laporan "Learning to Be" yang diketuai oleh Edgar Faure. Dalam laporan tersebut ditegaskan bahwa: "Every individual must be in a position to keep learning throughout life." (Edgar Faure, UNESCO, 1972). Pandangan ini kemudian berkembang luas dan menjadi dasar pemikiran banyak negara, termasuk Indonesia.
Apa yang menjadi akar filosofis dan nilai kebangsaan pendidikan sepanjang hayat?
Secara filosofis, pendidikan sepanjang hayat bersumber dari pandangan bahwa: (1) manusia bersifat dinamis dan berkembang, sehingga membutuhkan proses belajar yang berkelanjutan, (2) pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan ruang-ruang kehidupan lainnya, (3) belajar adalah hak setiap warga negara dan merupakan bagian dari pembentukan karakter serta jati diri bangsa.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan sepanjang hayat sejalan dengan semangat Pancasila dan cita-cita dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila menekankan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, dan pendidikan adalah salah satu jalan utama untuk mencapainya.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya… dan berlangsung sepanjang hayat.” (Pasal 1 Ayat 1)
Apakah pendidikan sepanjang hayat berarti “Belajar oleh siapapun, di mana saja, dan kapan saja?”
Pendidikan sepanjang hayat mendorong kita melihat bahwa proses belajar tidak dibatasi oleh status sosial, oleh usia, oleh waktu, atau tempat.Pendidikan sepanjang hayat mengandung makna bahwa siapapun harus belajar, di manapun sesorang harus belajar, dan kapanpun belajar harus terjadi. Pendidikan berlangsung melalui tiga jalur utama, yakni: jalur formal: seperti sekolah dan universitas. Jalur nonformal: seperti kursus, pelatihan kerja, dan program kesetaraan (Paket A, B, C), dan jalur informal: melalui keluarga, pengalaman hidup, komunitas, dan lingkungan sekitar.
Tokoh pendidikan Indonesia sekaligus sebagai Menteri Pendidikan Indonesia (waktu itu disebut Menteri Pengajaran) yang pertama, Ki Hadjar Dewantara, pernah menegaskan: "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah." Ungkapan ini mengandung makna mendalam bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama dan dapat terjadi di mana saja.
Apa pentingnya belajar sepanjang hayat?
Di tengah dunia yang cepat berubah karena digitalisasi dan globalisasi, kemampuan untuk terus belajar menjadi kunci bertahan dan maju. Menurut laporan World Economic Forum (2020), 50% pekerja perlu reskilling dalam lima tahun ke depan karena perubahan teknologi. Pendidikan sepanjang hayat menjawab tantangan ini. Belajar sepanjang hayat akan membekali masyarakat dengan: kemampuan adaptif, keterampilan baru, dan daya saing yang relevan di pasar kerja dan kehidupan sosial.
Apa saja tantangan dan peluang belajar sepanjang hayat
Meskipun filosofi pendidikan ini sangat kuat, namun implementasi pendidikan sepanjang hayat di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, seperti: rendahnya akses pendidikan untuk kelompok marginal, terbatasnya fasilitas pembelajaran nonformal, dan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya belajar sepanjang usia. Namun, peluang juga terbuka lebar. Pemerintah saat ini telah mendorong pendidikan vokasional, pengembangan SDM unggul, serta perluasan akses pelatihan berbasis teknologi.
Pendidikan sepanjang hayat bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga pendidikan. Ini adalah panggilan bagi kita semua - sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang besar, bangsa yang memiliki masa depan yang gemilang, - siapapun, di manapun, dan kapanpun, untuk terus belajar, bertumbuh, dan memberi makna dalam hidup. Karena sejatinya, belajar bukan sekedar proses akademik, melainkan cara manusia memaknai hidup dan memperbaiki masa depan.
MARI MENJADI PEMBELAJAR SEPANJANG HAYAT!
Referensi:
- UNESCO. (1972). Learning to Be: The World of Education Today and Tomorrow (Laporan Faure).
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- World Economic Forum. (2020). The Future of Jobs Report.
- Pernyataan Ki Hadjar Dewantara (dari berbagai sumber pendidikan nasional).
Gemar Belajar pada Anak Usia Dini dan Belajar Sepanjang Hayat
Gemar Belajar pada Anak Usia Dini dan Belajar Sepanjang Hayat
Oleh: Maryam Rahim
Indonesia memiliki filosofi “pendidikan sepanjang hayat (lifelong education)”, sebagaimana telah dimuat dalam penjelasan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Penjelasan tersebut memuat bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan. Pernyataan ini menegaskan bahwa pendidikan di Indonesia tidak terbatas hanya pada usia sekolah, melainkan harus berlangsung sepanjang kehidupan manusia Indonesia. Filosofi pendidikan sepanjang hayat tentu saja memuat atau memiliki makna belajar sepanjang hayat.
Belajar sepanjang hayat tentu saja membutuhkan semangat belajar yang tinggi pada setiap warga negara Indonesia. Oleh sebab itu diperlukan upaya yang berkelanjutan untuk mengembangkan perilaku gemar belajar yang dimulai dari usia dini. Gemar belajar merupakan salah satu dari 7 (tujuh) kebiasaan anak Indonesia hebat.
Belajar nerupakan salah satu aktivitas yang sangat urgen dalam kehidupan manusia. Dikatakan demikian, sebab melalui belajar seseorang akan memperoleh informasi yang bermanfaat baik untuk pengembangan diri sendiri maupun untuk pengembangan kehidupan dalam masyarakat. Perkembangan yang terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tentu saja merupakan hasil dari aktivitas belajar. Mengingat besarnya manfaat yang diperoleh melalui belajar, maka sudah sepatutnya perilaku gemar belajar dikembangkan sejak usia dini.
Seseorang melakukan aktivitas belajar biasanya didasari oleh adanya rasa ingin tahu (quriosity). Oleh sebab itu mengembangkan kebiasaan gemar belajar pada anak usia dini perlu dimulai dengan pengembangan rasa ingin tahu mereka. Rasa ingin tahu (quriosity) adalah dorongan internal dalam diri seseorang untuk mengetahui, memahami, dan mengeksplorasi sesuatu yang belum diketahuinya. Pada anak usia dini, rasa ingin tahu merupakan bagian penting dari perkembangan kognitif dan emosional, karena menjadi pendorong utama mereka untuk belajar dari lingkungan sekitarnya. Rasa ingin tahu membantu anak mengeksplorasi, bertanya, dan mencoba hal-hal baru untuk membangun pemahaman tentang dunia.
Sehubungan dengan upaya menumbuhkan rasa ingin tahu anak usia dini, terlebih dahulu perlu dipahami ciri-ciri anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi yakni:
1. Banyak bertanya; anak sering mengajukan pertanyaan terbuka, bahkan yang sederhana seperti “kenapa?”, “apa ini?”, atau “bagaimana caranya?”.
2. Suka mengeksplorasi; anak senang menjelajahi lingkungan sekitarnya, baik melalui permainan, menyentuh benda, maupun mencoba hal-hal baru.
3. Memperhatikan hal-hal detail; anak menunjukkan perhatian khusus pada benda atau kejadian kecil di sekitarnya dan mencoba memahaminya.
4. Senang bereksperimen; anak mencoba mencampur warna, membongkar mainan, atau menciptakan sesuatu dengan berbagai bahan yang ditemukannya.
5. Aktif dan enerjik; anak yang rasa ingin tahunya tinggi biasanya sangat aktif secara fisik karena terdorong untuk terus bergerak dan mencari tahu.
6. Suka membaca atau melihat buku bergambar; anak menunjukkan minat pada buku dan gambar, dan sering ingin tahu cerita di baliknya.
7. Tidak mudah puas dengan jawaban singkat; anak cenderung terus menggali informasi sampai merasa puas, sering kali menggiring pada rangkaian pertanyaan lanjutan.
8. Menunjukkan antusiasme saat belajar; anak terlihat senang dan tertarik ketika belajar hal-hal baru, baik di rumah maupun di sekolah.
Setelah diketahui ciri-ciri anak yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, maka potensi ini perlu dikembangkan, sehingga akan menumbuhkan perilaku gemar belajar pada anak usia dini. Upaya-upaya tersebut antara lain:
1. Ciptakan lingkungan yang merangsang; sediakan mainan edukatif yang beragam dan aman; siapkan buku cerita bergambar dengan topik yang menarik, buat area bermain yang penuh warna dan kaya tekstur.
2. Berikan kebebasan untuk mengeksplorasi; biarkan anak mencoba hal baru, seperti bermain air, pasir, atau menggambar bebas; jangan terlalu cepat melarang atau mengoreksi ketika anak mencoba sesuatu, selama itu tidak berbahaya.
3. Jawab pertanyaan anak dengan sabar; tanggapi pertanyaan “mengapa” atau “bagaimana” dengan antusias; jika tidak tahu jawabannya, ajak anak mencari bersama lewat buku atau tontonan edukatif.
4. Gunakan pendekatan bermain sambil belajar; ajak anak bereksperimen sederhana, seperti mencampur warna atau menanam biji; bermain peran (role play), seperti bermain dokter-dokteran atau pasar-pasaran.
5. Beri contoh dan jadilah model; tunjukkan rasa ingin tahu Anda sendiri: misalnya dengan membaca buku, mencoba resep kue, atau mengamati binatang bersama anak, sebab anak cenderung meniru sikap orang dewasa di sekitarnya.
6. Dorong anak untuk bertanya dan berpendapat; ajukan pertanyaan terbuka seperti “Menurutmu kenapa itu bisa terjadi?”; hargai pendapat mereka meskipun masih polos atau belum logis.
7. Berikan apresiasi atas usaha anak; beri pujian saat anak mencoba sesuatu yang baru atau bertanya dengan kritis; hindari menghukum atau mengejek ketika anak melakukan kesalahan saat bereksplorasi.
Jika anak usia dini telah memiliki dasar-dasar perilaku gemar belajar, tentu saja perilaku ini akan berkembang seirama dengan perkembangan anak, hingga pada akhirnya anak dapat menjadikan belajar sebagai bagian dari kehidupannya. Belajar tidak sekedar memenuhi kewajiban sebagai siswa, namun belajar baginya menjadi sebuah kebutuhan. Seseorang akan merasa ada sesuatu yang kurang jika dia belum atau tidak belajar, sama halnya dengan seseorang yang belum makan tentu saja akan merasa lapar, dan ia butuh makan. Inilah hakikat dari belajar sepanjang hayat.
Pendidikan dan Pembentukan Moralitas Bangsa (Refleksi di Hari Pendidikan Nasional)
Pendidikan dan Pembentukan Moralitas Bangsa
(Refleksi di Hari Pendidikan Nasional)
Oleh: Maryam Rahim
Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia telah merdeka. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah melalui berbagai dinamika, mulai dari perubahan kurikulum, perubahan metode pembelajaran, perubahan sistem evaluasi, termasuk perubahan pengelolaan sistem pendidikan, yang selama ini menimbulkan kesan pada masyarakat bahwa pergantian menteri pendidikan akan berakibat pada perubahan kurikulum. Namun seirama dengan perubahan itu, impelemnetasi pendidikan belum sepenuhnya menampakkan hasil yang diharapkan sebagaimana yang menjadi tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dalam pasal 3, yaitu: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Timbul pertanyaan, bagaimana keberlanjutan bangsa kita di masa depan apabila kondisi sebagian anggota masyarakat memperlihatkan perilaku yang cenderung kurang/tidak bermoral? Di mana-mana korupsi merajalela yang dilakukan oleh para pejabat, terjadinya kaus suap bahkan di kalangan pejabat penegak hukum, dan mereka yang memegang kekuasaan, perilaku jujur diabaikan, melakukan kecurangan untuk diterima sebagai mahasiswa dan tenaga kerja, lebih mendahulukan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan rakyat, memperkaya diri dan keluarga, hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah, tanggungjawab pribadi sebagai sosok pemimpin terlihat sebagai pencitraan, segelintir orang hidup bermewah-mewah di tengah masyarakat yang terhimpit dengan kehidupan ekonomi, perbuatan asusila terjadi di berbagai kalangan bahkan lebih memprihatinkan perbuatan itu terjadi di kalangan siswa di tingkat dasar sekalipun, predator sex di mana-mana, dan juga perbuatan krimininalitas lainnya.
Lantas, apakah kita biarkan kondisi ini berlarut-larut? Tentu saja tidak. Pendidikan haruslah terus melakukan berbagai upaya untuk menghasilkan generasi yang bermoral baik. Kita semua, terutama pendidik dalam hal ini guru, dan orang tua bersama-sama masyarakat dan pemerintah, memiliki tanggungjawab bersama untuk keberlanjutan bangsa Indonesia, bangsa yang menjunjung tinggi moralitas, sebagai bangsa besar yang memiliki ideologi Pancasila di mana nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berakar dari kepribadian bangsa Indonesia yang menjujung tinggi moralitas.
Sudah saatnya pendidikan memberikan perhatian utama dan penuh pada persoalan pembentukan moralitas masyarakat Indonesia, melalui:
1. Pendidikan di sekolah lebih difokuskan pada aspek afektif atau aspek nilai, yang menjadi akar dari perilaku bermoral.
2. Penilaian aspek afektif diberikan bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan aspek kognitif dan psikomotor. Perbandingan bobot penilaian adalah: 40% untuk aspek afektif, 30% untuk aspek kognitif, dan 30% untuk aspek psikomotor. Bahkan perlu diberikan penekanan bahwa siswa bisa naik kelas jika perilakunya menunjukkan perilaku bermoral (empati, altruis, jujur, sopan, tanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain, disiplin, lebih mendahulukan kepentingan orang banyak dibandingkan kepentingan pribadi, memiliki pemahaman diri yang baik, tolong menolong). Oleh sebab itu diperlukan instrumen penilaian perilaku bermoral yang benar-benar dapat mengungkap perilaku bermoral baik pada siswa.
3. Kegiatan pada lembaga pendidikan anak usia dini lebih ditekankan pada pembiasaaan perilaku bermoral pada anak-anak (empati, altruis, jujur, sopan, tanggungjawab pada diri sendiri dan orang lain, disiplin, tolong menolong, saling menghormati, perilaku antri dan perilaku lainnya) melalui berbagai kegiatan kontekstual.
4. Kelas-kelas di tingkat dasar, khususnya sekolah dasar hendaknya dibina oleh 2 orang guru, di mana 1 orang guru fokus pada materi pemebelajaran (aspek kognitif dan psikomotor) dan 1 orang guru lainnya fokus pada aspek afektif atau moralitas.
5. Penerapan pendidikan berbasis budaya. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia adalah bangsa ini hidup di tengah-tengah budaya daerah masing-masing, dan menjadikan budaya sebagai pedoman dalam berperilaku. Di setiap budaya memiliki istilah-istilah dan pepatah yang terkait dengan perilaku bermoral, dan ini dapat digunakan sebagai media untuk menumbuhkan dan mengembangkan perilaku bermoral pada peserta didik. Contoh di daerah Gorontalo ada pepatah seperti berikut: "bo to hale-hale lo odutuwa lo tanggulo" yang berarti "keberadaan seseorang sangat ditentukan oleh perilakunya. Seseorang akan dihargai dan dipercaya jika perilakunya sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku".
Tentu saja budaya di daerah lain juga memiliki pepatah yang mengandung pendidikan perilaku bermoral
6. Pendidikan moral harus terintegrasi dalam semua mata pelajaran, dalam arti pendidikan moral menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran.
7. Layanan bimbingan dan konseling di sekolah lebih dioptimalkan untuk pengembangan moral peserta didik
8. Pendidikan harus dapat membentuk pribadi peserta didiknya menjadi pribadi yang memiliki ketahanan diri/ketahanan mental agar mampu menghadapi berbagai pengaruh negatif dari perkembangan teknologi dan kehidupan sosial di masyarakat.
9. Pendidikan didukung oleh adanya model perilaku bermoral dari para guru, orang tua, para pemimpin, dan anggota masyarakat termasuk para pegiat media sosial.
Jika pendidikan di sekolah benar-benar memberikan perhatian utama pada pendidikan moral, yang didukung oleh orang tua, para pemimpin, anggota masyarakat, dan para pegiat media sosial, maka akan terwujud generasi Indonesia yang memiliki moralitas yang tinggi.
Pengembangan Motivasi Berwirausaha pada Siswa Sekolah Dasar
Pengembangan Motivasi Berwirausaha pada Siswa Sekolah Dasar
Oleh: Maryam Rahim
Kondisi dunia kerja yang tidak menentu saat ini, yang ditandai dengan masih tingginya masalah pengangguran, bahkan pengangguran itu terjadi di kalangan terdidik, khususnya lulusan perguruan tinggi, sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua. Data berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 6 Februari 2025: tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sesuai tingkatkan pendidikan adalah sebagai berikut: Tidak/Belum Pernah Sekolah, Belum Tamat SD, Tamat SD, sebesar 2,32 %; SMP sebesar 4,11%; SMA Umum sebesar 7,05%, SMK sebesar 9,01%, Diploma I/II/III sebesar 4,83& dan S1 ke atas sebesar 5,25%. Jika dicermati, salah satu penyebab terjadinya pengangguran adalah rendahnya motivasi berwirausaha, orientasi kerja sebagai pegawai negeri sipil atau perusahaan, ditambah lagi dengan kurangnya keterampilan khusus yang dibutuhkan dalam bekerja.
Motivasi berwirausaha merupakan faktor penting dalam mengurangi pengangguran. Dengan mendorong individu untuk menciptakan usaha sendiri, ketergantungan pada lapangan kerja formal dapat dikurangi, dan peluang kerja baru dapat tercipta. Oleh karena itu, meningkatkan motivasi berwirausaha melalui pendidikan dan pelatihan kewirausahaan sangat penting dalam upaya menurunkan tingkat pengangguran.
Pentingnya pengembangan motivasi berwirausaha pada siswa SD dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Pembentukan karakter dan mental mandiri; anak-anak usia SD sedang berada pada masa pembentukan karakter. Dengan mengenalkan nilai-nilai kewirausahaan sejak dini, seperti tanggung jawab, kerja keras, kreatif, dan tidak mudah menyerah, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berani mengambil inisiatif.
b. Penanaman nilai-nilai ekonomi; pemahaman dasar tentang manajemen keuangan, nilai uang, dan pentingnya usaha akan membantu siswa lebih bijak dalam menggunakan sumber daya dan memahami pentingnya kerja untuk memperoleh hasil.
c. Persiapan menghadapi dunia nyata; meski masih jauh dari dunia kerja, pemahaman tentang wirausaha membantu mereka memahami bahwa kesuksesan tidak hanya diperoleh melalui pekerjaan formal, tetapi juga bisa melalui jalur usaha mandiri.
d. Menumbuhkan kreativitas dan inovasi; wirausaha mendorong siswa untuk berpikir kreatif, menciptakan sesuatu yang bermanfaat, serta melatih mereka dalam memecahkan masalah secara mandiri.
e. Dukungan terhadap pembangunan ekonomi; jangka panjangnya, generasi muda yang memiliki semangat wirausaha dapat menjadi motor penggerak perekonomian bangsa melalui penciptaan lapangan kerja dan inovasi bisnis.
Pengembangan motivasi berwirausaha pada siswa sekolah dasar dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan:
a. Layanan bimbingan dan konseling karir; motivasi berwirausaha siswa dikembangkan melalui berbagai permainan (game), ceramah dari pengusaha-pengusa sukses, pemutaran film/video misalnya dengan konten “wirausahawan cilik”, kegiatan “career day”.
b. Integrasi nilai kewirausahaan dalam pembelajaran; materi pembelajaran, terutama pada pelajaran seperti IPS, Matematika, dan Bahasa Indonesia, dapat disisipkan dengan contoh-contoh kegiatan kewirausahaan yang kontekstual dan sesuai usia.
c. Kegiatan ekstrakurikuler; menyediakan ekstrakurikuler seperti "club wirausaha cilik" atau "mini market siswa" yang melibatkan mereka dalam simulasi bisnis kecil-kecilan.
d. Proyek kewirausahaan sederhana; mengadakan kegiatan seperti bazar siswa, proyek menjual hasil karya seni, makanan ringan, atau produk daur ulang yang dibuat siswa sendiri.
e. Pembelajaran perbasis proyek (project-based learning); melibatkan siswa dalam proyek nyata yang menuntut mereka merancang, membuat, dan memasarkan produk.
e. Guru dan orang tua menjadi model wirausahawan; guru dan orang tua yang menunjukkan perilaku kreatif, inovatif, dan menghargai usaha mandiri akan menjadi inspirasi nyata bagi anak-anak.
Upaya pengembangan motivasi berwirausaha pada siswa sekolah dasar ini tentu saja perlu dilakukan secara berkelanjutan dengan melibatkan semua guru dan tentu saja orang tua. Motivasi berwirausaha yang dimiliki siswa sejak sekolah dasar diharapkan akan terus berkembang ketika mereka lanjut ke tingkat pendidikan berikutnya, sehingga pada akhirnya mereka siap menjadi para wirausawan yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, tidak saja untuk dirinya sendiri, namun juga untuk orang lain.
Mengapa Seseorang Cenderung Tidak Berperilaku Bermoral?
Mengapa Seseorang Cenderung Tidak Berperilaku Bermoral?
Oleh: Maryam Rahim
Berbagai perilaku yang terpampang di hadapan kita, seperti korupsi merajalela di kalangan pejabat, pelangaran hukum, nepotisme, penyalahgunaan wewenang/jabatan, dan berbagai perilaku kriminal, tentu saja tidak dapat dipisahkan dari moralitas pelakunya. Meskipun seseorang mengetahui apa yang benar dan tidak benar, namun pengetahuan itu tidak selalu terwujud dalam perilakunya. Kondisi ini telah terjadi di sekitar kita. Untuk itu kita perlu mengetahui mengapa seseorang berperilaku tidak bermoral. Beberapa alasan mengapa seseorang cenderung tidak berperilaku bermoral, antara lain adalah:
1. Tingkat moralitas yang dimiliki tergolong rendah. Hal ini mengacu pada hasil penelitian Kohlberg (1958, 1981) yang menunjukkan bahwa orang dengan tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi cenderung membuat keputusan yang lebih etis. Semakin tinggi seseorang dalam tahap reasoning moral (misalnya pada tahap post-konvensional), semakin besar kemungkinan ia berperilaku secara moral dalam situasi nyata.
2. Konflik kepentingan pribadi; sering seseorang memahami bahwa suatu tindakan itu tidak bermoral, namun tetap melakukannya karena ingin keuntungan pribadi (uang, kekuasaan, pujian), takut kehilangan sesuatu (status, keamanan, relasi).
3. Tekanan sosial/lingkungan. Lingkungan sangat mempengaruhi perilaku bermoral seseorang. Jika seseorang berada di lingkungan yang permisif terhadap perilaku tidak bermoral, maka ia dapat saja terdorong untuk ikut-ikutan melakukan perilaku tidak bermoral. Misalnya ingin diterima dalam kelompok, takut dikucilkan kalau tidak ikut norma "kelompok".
4. Kurangnya internalisasi nilai moral
Moralitas tidak hanya soal memahami mana yang benar dan mana yang tidak benar, namun apakah nilai itu sudah tertanam dalam hati. Kalau tidak, maka moral hanya jadi "hafalan", bukan pegangan hidup dan dapat mudah tergoyahkan saat menghadapi godaan atau tekanan.
5. Minimnya empati
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Orang yang memiliki empati yang rendah cenderung tidak peduli apabila tindakannya menyakiti orang lain, lebih fokus pada diri sendiri. Ini sering terlihat dalam kasus kekerasan, penipuan, atau penghianatan.
6. Rasionalisasi moral (moral rationalization)
Kondisi ini terjadi saat seseorang membenarkan tindakan salahnya agar merasa tidak bersalah. Orang seperti ini akan berpikir: “Ah, semua orang juga begitu.”, “Ini bukan salah saya, saya hanya disuruh.”, “Dia pantas diperlakukan begitu.” dan alasan lainnya.
7. Kurangnya pendidikan moral atau teladan. Anak-anak atau remaja yang tidak mendapat pembinaan moral yang baik akan tumbuh dengan nilai moral yang lemah. Demikian pula jika orang-orang yang mereka kagumi (guru, orang tua, tokoh publik) justru menunjukkan perilaku tidak bermoral, mereka akan meniru perilaku tersebut.
8. Kondisi psikologis atau pengalaman traumatis; dalam beberapa kasus, perilaku tidak bermoral dapat berkaitan dengan kondisi psikologis, misalnya gangguan kepribadian (seperti antisosial), luka batin atau pengalaman traumatis yang belum sembuh.
Uraian tentang berbagai alasan seseorang tidak berperilaku bermoral bukanlah untuk membenarkan perilaku salah tersebut, tetapi untuk menjadi dasar kajian tentang penyebab seseorang tidak berperilaku bermoral. Bagaimanapun juga perilaku bermoral harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong