Kualitas Guru
Kualitas Guru
Oleh: Maryam Rahim
Guru merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan yang sampai kapanpun diakui memiliki peranan yang sangat menentukan kualitas pendidikan. Semua negara di dunia ini memberikan pengakuan akan pentingnya kedudukan guru dalam kaitan dengan pencapaian kualitas pendidikan terutama kualitas peserta didik. Dalam International Conference on Teacher Education dengan tema Towards Developing Standard of ASEAN Teacher Education yang dilaksanakan tanggal 29 Juli 2015 di Bandung dan dihadiri oleh negara-negara anggota ASEAN, sepakat berpendapat bahwa kualitas guru menentukan kualitas pendidikan. The quality of education cannot exseed the quality of teachers (Furqon, 2015) Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru (Beeby, 1969 dalam Samani, dkk (2006,8).
Begitu pentingnya kedudukan guru dalam pendidikan maka persoalan kualitas guru menjadi sangat urgen. Perrenoud (Kartadinata, 2010) mengidentifikasi 10 kompetensi guru yang berkualitas, yakni: (1) organizing student learning opportunities, (2) managing student learning progression, (3) dealing with student heterogeneity, (4) developing student commitmen to working and learning, (5) working in teams, (6) participating in school curriculum and organization development, (7) promoting parent and community commitment to school, (8) using new technologies in daily practice, (9) talking professional duties and ethical dilemmas, dan (10) managing own professional development. Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah menetapkan 4 (empat) kompetensi yang harus dimiliki oleh guru, yakni: kompetensi pedagogik, kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
Kompetensi utuh yang dimiliki oleh guru akan berdampak pada otoritas dan kredibitas guru. Semakin positif otoritas dan kredibilitas yang dimiliki guru di hadapan para siswa, semakin kuat pula keberlangsungan pembelajaran (Jensen, 2008). Penelitian Lozanov yang dilakukan pada tahun 1979 (dalam Jensen, 2008) tentang kekuatan “otoritas guru” mengindikasikan bahwa sebagian besar pembelajaran terjadi hanya karena otoritas dan prestise guru di mata subyek/siswa.
Kualitas guru akan menentukan kapasitas mengajar yang dimiliki oleh guru itu sendiri. Kualitas yang rendah akan berakibat pada kapasitas mengajar yang rendah, dengan kata lain kualitas guru memiliki korelasi dengan kapasitas mengajar. Di sisi lain kapasitas mengajar guru tidak lepas dari proses pengembangan kapasitas itu sendiri.
Glickman (dalam Masaong, 2013) membagi karakteristik guru atas dua tingkatan atau level, yaitu tingkatan komitmen (level of commitment) dan tingkatan abstraksi (level of abstraction). Kedua level ini membentuk perilaku guru dalam mengembangkan diri dan dalam melaksanakan pembelajaran. Level abstraksi merujuk pada kemampuan kognitif, dan level komitmen merujuk pada kesungguhan melaksanakan tugas-tugas yang diemban.
Tingkat komitmen guru dilukiskan oleh Glickman (dalam Masaong, 2013) dalam kontinum sebagai berikut:
RENDAH | TINGGI |
1. Sedikit perhatian terhadap siswanya | 1. Tinggi perhatian terhadap siswanya |
2. Sedikit waktu dan tenaga yang dikeluarkan 3. Perhatian utama mempertahankan jabatan |
2. Banyak tenaga dan waktu digunakan 3. Bekerja sebanyak mungkin untuk orang lain |
Tingkat abstraksi guru dilukiskan dalam kontinum berikut:
RENDAH | SEDANG | TINGGI |
Bingung menghadapi masalah | Dapat mencegah masalah | Dalam menghadapi masalah selalu dapat mecari alternatif permasalahan |
Tidak mengetahui cara bertindak bila menghadapi masalah | Dapat menafsirkan satu atau dua kemungkinan pemecahan masalah | Dapat menggeneralisasikan berbagai alternatif pemecahan masalah |
Selalu memohon petunjuk Responnya terhadap masalah biasa saja |
Sulit merencanakan pemecahan masalah secara komprehensif |
Mewujudkan guru yang berkualitas maka perlu upaya pengembangan berbagai aspek, termasuk aspek komitmen dan kemampuan abstraksi. Hal ini tentu saja menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan yang mendidik calon-calon guru.
KIAT-KIAT MENCEGAH DAN MENGATASI BURNOUT
KIAT-KIAT MENCEGAH DAN MENGATASI BURNOUT
Oleh: Maryam Rahim
Burnout dapat terjadi pada setiap orang yang melakukan banyak aktivitas, terlebih lagi jika yang bersangkutan menghadapi berbagai persoalan. Burnout yang berkepanjangan sering mengakibatkan terjadinya stress bahkan berlanjut pada frustasi. Oleh sebab itu diperlukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya burnout dan mengatasi jika burnout telah terjadi.
Kiat-kiat mencegah terjadinya burnout:
1. Manajemen waktu yang efektif
2. Istrahat yang cukup
3. Lakukan aktivitas fisik yang dapat menyehatkan fisik, termasuk melakukan olahraga
4. Pola makan yang sehat
5. Memelihara komunikasi yang baik dengan orang lain
6. Melakukan hobi dan aktivitas relaksasi
7. Tetapkan batasan aktivitas yang dikerjakan
8. Cari dukungan dari orang-orang terdekat, termasuk teman
9. Lakukan pengembangan diri
10. Perhatikan tanda-tanda awal burnout,seperti lelah berlebihan, penurunan produktivitas, dan perubahan suasana hati
11. Berzikir untuk selalu mengingat Allah SWT, sebab dengan berzikir hati menjadi tenang
12. Senantiasa bersyukur atas nikmat Allah SWT
13. Bersedekah sebagai bentuk empati pada sesama
Kiat-kita mengatasi burnout:
Jika burnout telah terjadi, maka lakukanlah hal-hal berikut:
1. Istrahat yang cukup
2. Managemen kembali waktu dengan baik
3. Olahraga teratur
4. Makan sehat
5. Cari dukungan sosial
6. Luangkan waktu untuk diri sendiri
7. Tetapkan batasan aktivitas
8. Cari bantuan profesional seperti: konselor, dan psikolog
9. Istigfar untuk memohon ampunan dan petunjuk dari Allah SWT
10. Tetapdan terus bersyukur atas nikmat Allah SWT
11. Bersedekah sebagai bentuk empati pada sesama, di samping sebagai upaya katarsis emosi
Dengan melakukan kiat-kiat ini maka diharapkan kita akan terhindar dari burnout dan dapat menemukan solusi jika telah mengalami burnout.
Burnout Akademik di Kalangan Mahasiswa
Burnout Akademikdi Kalangan Mahasiswa
Oleh: Maryam Rahim
Burnout merupakan kondisi di mana individu merasakan kelelahan fisik maupun emosional. Burnout dapat dirasakan oleh semua orang yang melakukan berbagai aktivitas. Khusus di kalangan siswa atau mahasiswa terjadi kelelahan fisik dan emosional pada saat mereka melakukan dan menyelesaikan berbagai kegiatan belajar atau kegiatan akademik lainnya, kondisi ini disebut burnout akademik.
Mahasiswa merupakan peserta didik pada tingkat perguruan tinggi, yang memiliki tugas-tugas akademik dengan intensitas yang lebih tinggi dari pada peserta didik pada tingkatan sekolah. Mahasiswa dituntut harus berpikir kritis, mandiri, mampu berkomunikasi secara efektif, kreatif, peduli, percaya diri, menyelesaikan tugas-tugas dengan persyaratan yang lebih ketat, dan dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Kondisi seperti ini sering dapat menjadi salah satu pemicu bagi mahasiswa mengalami stress, kelelahan secara fisik, mental maupun emosional, yang disebut kejenuhan (burnout).
Secara harfiah arti kejenuhan (burnout) ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi memuat apapun (Syah dalam Setyawan dan Susanto, 2018). Selain itu, burnout merupakan suatu keadaan di mana individu mengalami kelelahan fisik, mental maupun emosional yang diikuti oleh perasaan sinis atau menghindar dari lingkungan, serta penilaian diri yang rendah (Gold & Roth, 1993). Orang-orang yang merasa burnout akan kekurangan energi dan penuh dengan frustasi dan ketegangan (Alvionela dan Nailul, 2016 mengutip pendapat Cordes dan Dougherty). Mahasiswa yang mengalami burnout akan melewatkan kelas atau tidak hadir di kelas, tidak mengerjakan tugas dengan baik, dan mendapat hasil ujian yang buruk hingga akhirnya berpotensi untuk dikeluarkan dari perguruan tinggi (Law dalam Arlinkasari dan Sari, 2017). Burnout akademik ini merupakan suatu masalah yang dialami oleh mahasiswa yang akan berakibat pada prestasi belajar rendah.
Terjadinya burnout akademik dapat dipicu oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal yang dapat menimbulkan burnout akademik antara lain: ketidakmampuan dalam mengelola waktu yang berakibat menumpuknya tugas, ketidakmampuan bertahan dari situasi yang sulit, ketidakmampuan berpikir dalam menyelesaikan berbagai tugas yang dihadapi, dan ketidakmampuan menghadapi tekanan. Faktor eksternal antara lain: banyaknya tugas yang harus diselesaikan, keterbatasan fasilitas belajar, pengaruh media sosial, serta pengaruh lingkungan sosial, seperti teman sebaya, dukungan guru dan dukungan orang tua.
Fungsi dan Peran Personil dalam Struktur Organisasi Bimbingan dan Konseling
Fungsi dan Peran Personil dalam Struktur Organisasi Bimbingan dan Konseling
Oleh: Maryam Rahim
Personil pelaksana pelayanan bimbingan dan konseling adalah segenap unsur yang terkait di dalam organisasi pelayanan bimbingan dan konseling, di bawah koordinasi seorang koordinator, serta guru bimbingan dan konseling/konselor sebagai pelaksana utama. Di samping itu melibatkan pula pihak-pihak terkait lainnya seperti guru mata pelajaran/guru praktik dan wali kelas. Uraian tugas masing-masing personil tersebut dalam kaitannya dengan pelayanan bimbingan dan konseling, adalah sebagai berikut (Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, 1995):
1. Kepala Sekolah
Sebagai penanggung jawab kegiatan pendidikan secara menyeluruh, tugas kepala sekolah dalam pelayanan bimbingan dan konseling adalah:
a. Mengkoordinir segenap kegiatan yang diprogramkan dan berlangsung di sekolah, sehingga pelayanan pengajaran, latihan, dan bimbingan dan konseling merupakan suatu kesatuan yang terpadu, harmonis dan dinamis.
b. Menyediakan prasarana, tenaga, sarana, dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya pelayanan bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien.
c. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian dan upaya tindak lanjut pelayanan bimbingan dan konseling.
d. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayan bimbingan dan konseling di sekolah kepada Kanwil/Kandep yang menjadi atasannya.
2. Wakil Kepala Sekolah
Sebagai pembantu kepala sekolah, wakil kepala sekolah membantu kepala sekolah dalam melaksanakan tugas-tugas kepala sekolah.
3. Koordinator Bimbingan dan Konseling
Koordinator bimbingan dan konseling bertugas:
a. Mengkoordinasikan para guru bimbingan dan konseling dalam:
- Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada segenap warga sekolah (siswa, guru, dan personil sekolah lainnya) orang tua siswa, dan masyarakat.
- Menyusun program kegiatan bimbingan dan konseling (program tahunan, semester, bulanan, mingguan, dan program harian (Satuan Layanan atau Rencana Pelaksanaaan Layanan Bimbingan dan Konseling).
- Melaksanakan program bimbingan dan konseling.
- Mengadministrasikan program kegiatan bimbingan dan konseling.
- Menilai hasil penilaian pelaksanaan bimbingan dan konseling.
- Menganalisis hasil penilaian pelaksanaan bimbingan dan konseling.
- Memberikan tindak lanjut terhadap analisis hasil penilaian bimbingan dan konseling.
b. Mengusulkan kepada kepala sekolah dan mengusahakan bagi terpenuhinya tenaga, prasarana dan sarana, alat dan perlengkapan pelayanan bimbingan dan konseling.
c. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan bimbingan dan konseling kepada kepala sekolah.
4. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor
Sebagai pelaksana utama, tenaga inti dan ahli, guru bimbingan dan konseling/konselor bertugas:
a. Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling.
Merencanakan program bimbingan dan konseling untuk satuan-satuan waktu tertentu, program-program tersebut dikemas dalam program tahunan, semester, bulanan, mingguan dan harian.c. Melaksanakan seluruh program layanan bimbingan dan konseling.
d. Melaksanakan seluruh program layanan pendukung bimbingan dan konseling.
e. Menilai proses dan hasil pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling.
f. Menganalisis hasil penilaian layanan bimbingan dan konseling.
g. Melaksanakan tindaklanjut berdasarkan hasil penilaian layanan bimbingan dan konseling.
h. Mengadministrasikan RPLBK atau SATLAN bimbingan dan konseling.
i. Mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatannya dalam pelayanan bimbingan dan konseling secara menyeluruh kepada koordinator Bimbingan dan Konseling serta kepala sekolah.
5. Guru Mata Pelajaran dan Guru Praktik.
Sebagai tenaga ahli pengajaran dan/atau praktik dalam bidang studi atau program latihan tertentu, dan sebagai personil yang sehari-hari langsung berhubungan dengan siswa, peran guru mata pelajaran dan guru praktik dalam pelayanan bimbingan dan konseling adalah:
a. Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa.
b. Membantu guru bimbingan dan konseling/konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan pelayanan, serta pengumpulkan data tentang siswa-siswa tersebut.
c. Mengalihtangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada guru bimbingan dan konseling/konselor.
d. Menerima siswa alih tangan dari guru bimbingan dan konseling/konselor yaitu siswa yang menurut guru bimbingan dan konseling/konselor memerlukan pelayanan, pengajaran/latihan khusus (seperti pengajaran/latihan perbaikan program penyadaran).
e. Membantu mengembangkan suasan kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling.
f. Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa memerlukan layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
g. Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.
h. Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.
6. Wali Kelas
Sebagai pengelola kelas tertentu, dalam pelayanan bimbingan dan konseling wali kelas berperana:
a. Membantu guru bimbingan dan konseling/konselor melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di kelas yang menjadi tangung jawabnya.b. Membantu guru mata pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan bimbingan dan konseling, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.c. Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti/menjalani layanan dan/atau kegiatan bimbingan dan konseling.d. Berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti konferensi kasus.e. Mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada guru bimbingan dan konseling/konselor.
Bimbingan dan Konseling dalam Konteks Pendidikan Berbasis Budaya
Bimbingan dan Konseling dalam Konteks Pendidikan Berbasis Budaya
Oleh:
Maryam Rahim; Wenny Hulukati
1. Pendahuluan
Pendidikan dipandang sebagai wahana pelestarian budaya, pendidikan diharapkan mampu mengembangkan, memelihara, dan melestarikan budaya. Untuk merealisasikan harapan ini maka konsep dan praktik pendidikan yang dilaksanakan adalah pendidikan berbasis budaya. Fenomena yang menunjukkan semakin tergerusnya budaya nasional dan daerah di negara-negara tertentu termasuk Indonesia mengisyaratakan urgensi pendidikan dalam konteks pelestarian budaya bangsa atau pendidikan berbasis budaya.
Pendidikan dan budaya memiliki hubungan timbal balik, di mana pendidikan merupakan usaha kebudayaan, dan sebaliknya pendidikan menjadi sarana bagi para siswa mengenal, memahami, dan mencintai budaya yang berimplikasi pada pelestarian budaya; dengan kata lain pendidikan merupakan sarana untuk melestarikan budaya, baik budaya nasional maupun budaya daerah. Pendidikan harus mampu menyadarkan, bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang tidak akan meninggalkan budaya daerahnya, baik budaya daerah asal maupun budaya di mana dia berada. Dengan demikian budaya daerah tidak akan tergantikan atau terhapuskan oleh budaya lain yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang menjadi kebanggaan dan ciri khas setiap daerah, yang juga merupakan kekayaan budaya nasional.
Bimbingan dan konseling sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan tentu saja turut memiliki peranan penting dalam pelestarian budaya. Layanan bimbingan dan konseling tidak saja terbatas pada pemberian layanan dengan memperhatikan kondisi budaya konseli, tetapi juga berperan dalam memperkenalkan dan memberikan pemahaman tentang berbagai aspek budaya di setiap daerah yang menjadi latar belakang kehidupan konseli. Melalui peran ini maka berarti layanan bimbingan dan konseling turut melestarikan budaya nasional maupun budaya daerah suatu bangsa.
2. Bimbingan dan Konseling dalam Sistem Pendidikan di Sekolah
Sistem pendidikan di sekolah telah dikembangkan dalam 3 (tiga) sub sistem/komponen, yang meliputi komponen administrasi (administration), komponen pengajaran (instruction) dan komponen pemberian bantuan atau pembinaan siswa(pupil/student personal service), termasuk di dalamnya pelayanan bimbingan dan konseling. Ketiga komponen ini bersinergimenurut fungsinya masing-masinguntuk pencapaian tujuan pendidikan, yang mencakup tiga domain/aspek yang secara bersama-sama merupakan suatu kebulatan yakni komponen kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk mencapai tujuan tersebut belumlah cukup hanya melalui bidang pengajaran, meskipun disadari bidang pengajaran (instruction) merupakan bidang utama dalam keseluruhan pendidikan di sekolah. Sebagaimana dikemukakan oleh Winkel dan Hastuti (2004): ”bahwa bidang pengajaran dan administrasi belum cukup mampu untuk memberikan pelayanan kepada siswa, maka dibutuhkan bidang lain yang khusus memperhatikan perkembangan siswa masing-masing, bidang itu adalah bimbingan dan konseling”.
Komponen administrasi pendidikan sekolah berfungsi untuk mengatur kerja sama antara manusia dalam lembaga sekolah dengan pendayagunaan penunjang non manusia secara efektif dan efisien, yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengawasan. Komponen pengajaran melaksanakan policy sekolah menurut kurikulum yang telah ditentukan. Komponen bimbingan dan konseling menjalankan fungsinya dalam bentuk memberikan pelayanan kepada siswa yaitu membantu siswa untuk mengambil manfaat semaksimal mungkin dari pendidikannya atau membantu siswa untuk berkembang secara optimal. Dengan demikian dapat dimaknai apabila salah satu di antara ketiga komponen ini tidak berfungsi secara efektif, maka akan berpengaruh pada proses pendidikan di sekolah itu secara holistik.
Dalam konteks pendidikan sebagai agen pelestarian budaya, maka bimbingan dan konseling sebagai salah salah satu komponen pendidikan di sekolah turut memiliki peran penting dalam melestarikan budaya nasional dan juga budaya daerah.Layanan bimbingan dan konseling di sekolah diselenggarakan dalam konteks pelestarian budaya.
3. Bimbingan dan Konseling dalam Konteks Budaya
Era globalisasi menjadi tantangan bagi pelayanan bimbingan dan konseling untuk dapat berperan dalam pelestarian budaya. Globalisasi dengan segala pengaruhnya telah berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk budaya. Budaya-budaya asing yang semakin mengglobal telah memberikan peluang terjadinya penggerusan nilai-nilai budaya, termasuk budaya nasional dan budaya daerah di Indonesia (Hulukati dan Rahim, 2016;181).
Ditemukan berbagai defenisi tentang budaya (culture). Coheen (Gladding, 2004:87) mendefinisikan budaya adalah: ”structures our behavior, thoughts, perception, values, goals, moral, and cognitive processes”. Menurut Pedersen (Gladding, 2014:87) culture may be defined in several ways. They include ”ethnographyc variables such ashnicity, nationality, religion, and language, as well as demographic variables of age, gender, place of recidence, etc; status variables such as social, economic, and educational background and wide range of formal or informal memberships and affiliations). Mulyana dan Rakhmat (2005,18) mendefenisikan budaya sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Selanjunyta dijelaskan bahwa budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi tindakan-tindakan orang-orang yang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu. Budaya juga berkenaan degan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Ki Hajar Dewantoro (dalam Panjaitan, dkk, 2013,4) berpendapat bahwa kebudayan memiliki tiga unsur utama, yakni: cipta, rasa, dan karsa. Menurut Koentjaraningrat (dalam Panjaitan, dkk; 2014,7 merumuskan tiga unsur kebudayaan: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide,, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya; (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dalam tulisan ini aspek-aspek budaya dibatasi pada bahasa, adatistiadat, permainan, kesenian, makanan, dantanamanadat.
Berikut beberapa aktivitas layanan bimbingan dan konseling berbasis budaya.
a. Bimbingan dan konseling lintas budaya
Paul Pederson (Supriatna, 2011;168) mengemukakan bahwa dalam konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psiko dinamik, pendekatan behavioral, dan pendekatan humanistik. Elly (dalamAchmad,2016) mengemukakan bahwa konseling lintas budaya ingin mengembalikan manusia dengan nilai budaya, karya, dan usaha pengembangan budaya dengan ilmu pengetahuan.
Pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas member makna bahwa bimbingan dan konseling lintas budaya tidak hanya sekedar memahami budaya konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, namun sesungguhnya sangat berhubungan dengan pelestarian budaya. Keberagaman budaya konseli yang terungkap pada saat bimbingan klasikal, bimbingan kelompok, maupun konseling kelompok menjadi sesuatu yang penting untuk dipahami oleh para anggota kelompok itu. Pemahaman itulah yang menjadi kesempatan untuk memperkenalkan budaya setiap anggota kelompok, sehingga setiap anggota kelompok akan memiliki penghargaan terhadap budaya anggota kelompok lainnya. Di samping itu pihak konselor juga harus memiliki pemahaman tentang budaya setiap konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Pemahaman tentang budaya yang diaplikasikan dalam pelayanan bimbingan dan konseling dengan sendirinya akan berdampak pada pelestarian budaya.
b. Bimbingan dan konseling berbasis budaya
Bimbingan dan konseling berbasis budaya yang dimaksudkan dalam tuliasan ini aplikasi aspek-aspek budaya dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling. Aspek-aspek budaya dimaksud antara lain: bahasa, adatistiadat, permainan, kesenian, makanan, dan tanaman adat. (Hulukati dan Rahim, 2016:182-184).
a. Bahasa
Bahasa daerah dapat digunakan sebagai alat komunikasi dalam pelaksanaan layanan. Penggunaan bahasa daerah diharapkan akan mempererat hubungan antara konseli dengan konselor, serta antara sesama konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang sama. Bahasa dipengaruhi oleh budaya setempat, istilah-istilah yang digunakan bisa sama antar budaya tetapi seringkali maknanya jauh berbeda. Oleh sebab itu konselor harus peka terhadap perbedaan latar belakang budaya konseli (Atmoko,2015;22).
b. Adat istiadat
Di setiap daerah terdapat adat istiadat yang memiliki makna psikologis dan pembelajaran tentang hidup yang sangat sarat dengan doa, harapan-harapan dan keinginan agar individu yang menjadi anggota masyarakatnya memiliki karakter dan perilaku yang baik. Adat istiadat tersebut dilakukan seiring dengan tahapan perkembangan individu, sejak dalam kandungan, pada masa masa bayi, pada masa kanak-kanak, pada masa remaja, dan pada saat pelaksanaan pernikahan.
c. Kesenian
Kesenian suatu daerah berupa tari-tarian maupun lagu-lagu daerah senantiasa memiliki makna psikologis untuk membangkitkan perasaan cinta kepada orang tua dan sesama, rasa cinta dan bangga atas kekayaan daerah, serta mengembangkan karakter dan perilaku yang baik, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial.
d. Makanan khas daerah
Makanan merupakan salah satu cirri khas suatu daerah. Sebagaimana aspek budaya lainnya, makanan khas daerah juga memiliki makna psikologis dan makna pembelajaran. Layanan bimbingan dan konseling dapat menggunakan makanan sebagai media untuk mengembangkan karakter dan perilaku yang baik.
e. Tanaman adat
Tanaman khas suatu daerah juga memiliki makna yang sarat dengan pendidikan karakter dan perilaku, sehingga dapat digunakan sebagai media dalam pelayanan kepada konseli. Penggunaan tanaman sebagai media akan membawa konseli menyadari kekayaan alam sehingga akan mengembangkan kemampuan konseli memaknai betapa besar kekuasaan Allah dan menyadari betapa kecilnya dirinya di hadapan Allah SWT.
Implementasi aspek-aspek budaya dalam pelayanan bimbingan dan konseling memberikan manfaat seperti: (1) mengefektifkan layanan, dan (2) pelestarian budaya daerah (Hulukati dan Rahim, 2016:181). Pergeseran budaya yang terjadi saat ini menjadi isyarat pentingnya upaya-upaya mengembalikan aspek-aspek budaya positif suatu daerah sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi oleh anggota masyarakat, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Saatinihal-hal yang dianggap tabu atau perbuatan tidak baik oleh generasi tua menjadi sesuatu yang dianggap baik atau bukan merupakan hal yang tabu lagi. Menurut Basuki (2013,213) bahwa pergeseran budaya yang terjadi dalam masyarakat perlu dibenahi melalui layanan bimbingan dan konseling berbasis budaya.
4. Simpulan
Pelayanan bimbingan dan konseling sebagai salah satu komponen dalam sistem pendidikan di sekolah turut berperan penting dalam kaitan dengan eksistensi pendidikan sebagai wahana pelestarian budaya, dengan kata lain layanan bimbingan dan konseling sangat berkontribusi dalam melestarikan budaya. Bimbingan dan konseling lintas budaya dan bimbingan dan konseling berbasis budaya merupakan bentuk layanan bimbingan dan konseling dalam rangka pelestarian budaya.
Kategori
- Masih Kosong
Arsip
Blogroll
- Masih Kosong