BUDAYA MALU YANG MENGHAMBAT PERKEMBANGAN MAHASISWA

30 January 2020 14:49:07 Dibaca : 3922 Kategori : PENGEMBANGAN DIRI

Siti Salama Tuasikal

       Sejatinya sifat malu merupakan suatu hal penting yang harus dimiliki oleh manusia, sebagai pertanda bahwa perasaannya masih berada pada kondisi normal dalam merespon setiap stimulus yang datang untuk dipertimbangkan secara emosional sehingga mampu menggambarkan kondisi kejiwaan seseorang. Hal tersebut bermaksud bahwa setiap perilaku manusia dalam bertindak dan mengambil keputusan akan dipertimbangkan secara manusiawi melalui hati nuraninya sebagai bentuk ekspresi dari rasa malu.

    Malu bisa diibaratkan seperti pisau bermata dua. hal ini dikarenakan malu dapat dipandang suatu perilaku yang positif namun di satu sisi dapat berdampak negatif. Kondisi ini yang kemudian menjadi suatu dilema dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Fenomena ini dapat kita lihat pada kasus-kasus tertentu misalkan ketika seseorang berbuat kesalahan, sudah sewajarnya dia merasa malu atas sikapnya itu dan mulai meminta maaf. Hal ini menggambarkan sifat malu berdampak positif yang dapat menyadarkan perilaku tidak baik yang telah di perbuat. Pada kasus lain yaitu ketika seseorang ingin mengungkapkan ide dan gagasannya kepada orang lain dia merasa malu, karena dia meyakini bahwa apa yang hendak disampaikan mungkin saja tidak akan diterima atau malah ditertawakan. Hal ini merupakan salah satu kasus yang berdampak negative terhadap tugas perkembangan seseorang.

     Berdasarkan gambaran di atas kita dapat mengambil suatu benang merah bahwa rasa malu merupakan hal yang penting, namun kiranya perlu melihat situasi dan kondisi yang tepat untuk mengekspresikan rasa malu tersebut, dalam istilah yang saya gunakan  adalah memperhatikan "SIKONTOL PANJANG" (Situasi, Kondisi, Toleransi, Pantauan dan Jangkauan). Banyak orang yang tidak sadar di dalam kehidupan sehari-harinya mengalami hambatan dalam mengekspresikan perasaan sebenarnya karena belum mampu mengelola dan menempatkan serta memahami karakteristik pribadinya di dalam memposisikan rasa malu tersebut. Di Indonesia sendiri budaya malu seakan-akan menjadi identitas diri masyarakatnya. Sayangnya, kondisi tersebut tidak berbanding lurus dengan cara berpikir dalam menanggapi masalah yang dihadapi karena kadang-kadang rasa malu yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari malah berdampak memalukan. Sebut saja fakta yang sering kita temui orang desa yang sering merasa malu dengan orang kota, orang miskin yang merasa malu dengan orang kaya dan sebaliknya dikarenakan berbagai alasan yang diyakini. Keberadaan budaya malu akan terus menyertai perilaku manusia dalam setiap aktifitasnya sebagai sebuah keniscayaan bahwa manusia adalah mahluk yang berperasaan. Apakah itu dalam lingkungan keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan di mana saja. Tanpa sadar sifat malu mampu mengarahkan seseorang untuk memahami rasa tanggungjawab di setiap kondisi yang di hadapi ataupun bisa saja lari dari tanggungjawab yang diemban dalam setiap situasi kehidupan.

      Di antara sekian banyak aktifitas yang dilalui oleh manusia ada hal menarik yang bisa kita tinjau di dalam kehidupan kampus yang dihuni oleh masyarakat intelektual, dalam artian bagaimana mahasiswa memposisikan dirinya dalam membudayakan rasa malu yang ada pada diri dan lingkungannya. Kita ketahui bersama bahwa mahasiswa ditempatkan pada jenjang pendidikan paling tinggi di antara status pendidikan lainnya, itu artinya bahwa lingkungan kampus diharapkan mampu menstimulus mahasiswa dalam memahami arti sebenarnya dari rasa malu. Fenomena kekinian yang terjadi dunia kampus menggambarkan bahwa mahasiswa seakan-akan berada dalam posisi terjebak pada dampak negatif dari rasa malu. Kenapa demikian, karena banyak potensi yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa tidak diekspresikan sebagaimana layaknya. Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa dari sekian banyak factor tidak bisa dipungkiri bahwa rasa malu mengambil peran penting dalam membentuk karakter mahasiswa. Sebut saja banyak aktifitas-aktifitas kemahasiswaan mulai dari dalam kampus hingga keluar kampus membutuhkan kemampuan mental untuk mengaktualisasikan potensinya secara optimal.

     Berbagai kasus yang dialami oleh mahasiswa dalam mengaktualisasikan diri banyak dihambat oleh sikap kurang percaya diri, ragu-ragu, mudah menyerah, cepat putus asa, gugup, demam panggung dan, takut ditertawakan orang. Sikap-sikap tersebut kadang muncul ketika mahasiswa diperhadapkan dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Hal tersebut tak lepas dari bagaimana mahasiswa memadang dan memberikan persepsi-persepsi subjektif terhadap dirinya yang menggambarkan perasaan malu terhadap kehidupan bersosial disekelilingnya. Mungkin benar, bahwa rasa malu tidak sepenuhnya memberikan sumbangsih negatif terhadap perilaku mahasiswa. Namun juga perlu diingat bahwa kita tidak bisa memungkiri kebiasaan malu yang sudah membudaya bisa jadi susah untuk dikendalikan karena sudah mengakar dan menjadi karakter turun-temurun.

     Secara psikologis jika luapan emosi yang menjadi kebiasaan seseorang dan dilakukan terus-menerus akan menjadi otomatis tersimpan di dalam alam bawah sadar dan akan mengarahkan setiap perilaku untuk dilakukan tanpa disadari. Itu artinya jika rasa malu yang sudah tertanam di alam bawah sadar setiap mahasiswa, maka tanpa sadar mereka akan digiring untuk bersifat malu pada setiap aktifitas tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu secara rasional situasi dan kondisi yang paling tepat untuk bersikap malu. Banyak contoh yang mampu membuktikan kasus-kasus tersebut, diantaranya ada mahasiswa yang tidak mau untuk berbicara di depan banyak orang dikarenakan kebiasaannya ketika hendak berbicara di dalam keluarga tidak diizinkan oleh orang yang lebih tua dengan alasan budaya malu, dilain pihak diremehkan hingga ditertawakan, dicaci dan itu akan memberikan pengalaman kecemasan atau bisa jadi pada tingkat trauma sehingga mampu menghambat perkembangan mahasiswa dalam meningkatkan kualitasnya. Selain itu, disatu pihak dengan adanya rasa malu menuntut mahasiswa supaya engan membicarakan masalah-masalah orang lain, namun dilain pihak akan mematikan daya kritis dan kontrol social mahasiswa terhadap realita yang terjadi, belum lagi malu untuk menolak ajakan teman untuk melakukan hal-hal negative misalnya merokok, narkoba, minum alcohol dan hal-hal lainnya dan akhirnya memberi dampak terhadap terhambatnya perkembangan mahasiswa.

     Senada dengan itu, kasus seperti membicarakan masalah seksual, kebiasaan pamali, mistik dan hal-hal lainnya masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Kesemuanya masih kategorikan sebagai hal yang masuk dalam larangan yang masih berkaitan dengan budaya malu di masyarakat kita, padahal kita tahu bahwa sebagai mahasiswa sudah seharusnya hal-hal tersebut sudah bisa dikaji dan eksplorasi secara ilmiah dan bertanggungjawab. Sudah seharusnya mahasiswa membentengi pikirannya dengan bersikap kritis terhadap realita yang dihadapi sehingga perasaan emosional yang dimilikinya dapat dikontrol. Maksud control di sini adalah mahasiswa harus menempatkan atau memposisikan rasa malu sebagai suatu rasa yang objektik melalui sudut pandang yang lebih menguntungkan, terlebih lagi untuk membantu perkembangan kualitasnya.

      Mahasiswa harus bisa mendobrak beberapa perilaku yang timbul dari budaya rasa malu yang terkesan tradisional dan dan kadang memberi dampak memalukan. Kondisi tersebut seharusnya bisa disesuaikan dengan perkembangan jaman dengan realita masalah yang semakin kompleks dan kemajuan perkembangan yang setiap saat selalu beranjak maju. Kedepannya dunia membutuhkan mahasiswa yang mampu berkreasi dan berinovasi dalam menghasilakan dan menciptakan hal-hal kreatif yang berdaya saing untuk mampu menjawab tantangan dunia kerja. Oleh karenannya jika mahasiswa masih tengelam dengan budaya malu yang menghambat perkembangan cara berpikir kritis maka bisa dipastikan tidak ada tempat untuk mereka di dunia kerja. Dalam rangka menjembatani mahasiswa untuk memilih dan memilah perilaku budaya malu yang cocok, harus dimulai dari cara berpikir, merasa, bersikap, bertindak dan bertanggungjawab dengan tepat. Dari itulah, melalui tulisan ini mari sebagai mahasiswa bagun karakter positif dimulai dengan mengikuti kegiatan-kegiatan tambahan di kampus misalkan, diskusi public, kajian rutin, budayakan literasi atau mengikuti organisasi-organisasi kemahasiswaan selain mengikuti kegiatan rutin akademik di ruang kuliah.

    Semua itu di maksudkan untuk membuka cakrawala berpikir mahasiswa agar tidak terpenjara pada pemahaman sempit. Melalui kegiatan-kegiatan ekstra tersebut mahasiswa akan terlibat dengan banyak data, transaksi informasi, bersosialisasi, dan membangun banyak jaringan antar teman atupun lintas antar kampus, mulai dari dalam hingga luar negeri, sehingganya mental diri mahasiswa tidak mudah terjerumus untuk perilaku budaya malu yang berunjung memalukan karena mampu memandang dunia ini secara objektif, realistis dan universal. Mengubah suatu budaya tidaklah muda, namun bukan berarti tidak bisa. Semua hal jelas memerlukan proses, jika budaya sebelumnya turun melalui pengajaran dan system didikan dari generasi sebelumnya, maka untuk merubahnya cukup dibiasakan dengan pola yang sama namun dengan maksud yang berbeda yakni mengubah cara pandang terhadap bagaimana memahami makna ataupun arti sebenarnya dari budaya malu. Kita semua yakin dan percaya bahwa atmosfir kampus selalu memberi ruang bagi budaya apa saja yang bisa diberdayakan untuk tujuan pengembangan potensi mahasiswa. 

      Oleh karenanya dengan melihat seluruh gambaran yang ada, mari sama-sama kita semua mengambil bagian untuk tidak mengembangkan budaya malu yang memberi efek penghambat bagi tumbuh kembangnya mahasiswa, mulai dari Rektor universitas sebagai pimpinan tertinggi lembaga dengan segala kebijakannya, disusul dengan para dosen dengan semua perangkat pembelajarannya, dan semua mahasiswa yang tak boleh henti-hentinya membaca dan belajar dari pengalaman dan berbagai literasi agar bisa mendapatkan hikmah guna perbaikan diri agar bisa menjadi mahasiswa yang handal, dan mampu menciptakan karya-karya bermanfaat, serta dapat mengabdikan diri untuk kepentingan dan tujuan bersama, berbangsa dan bernegara.