ARSIP BULANAN : April 2025

Pengalaman Konseling Menggunakan Teknik PENA

22 April 2025 01:01:31 Dibaca : 13

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

              Di suatu sore yang tenang di Laboratorium Bimbingan dan Konseling kampus, saya membuka sesi praktik konseling yang memang disediakan untuk mahasiswa. Ruangan itu sederhana, namun cukup nyaman, dengan nuansa hangat dan tenang yang sengaja saya ciptakan agar mahasiswa merasa aman dan diterima. Pintu terbuka pelan, dan masuklah seorang mahasiswi yang memperkenalkan diri dengan nama samaran Mawar. Ia duduk pelan, mengatur napas, lalu menatap saya dengan mata yang menyimpan banyak cerita. Mawar adalah mahasiswi semester awal yang mulai merasa terbebani dengan tekanan kuliah dan ekspektasi dari keluarga. Ia menyampaikan bahwa akhir-akhir ini ia mudah lelah, kehilangan motivasi, dan bahkan sering menangis tanpa sebab yang jelas. Wajahnya menggambarkan kelelahan emosional yang tidak mudah ia ungkapkan dengan kata-kata. Saya tahu, saat itu saya tidak bisa langsung bertanya terlalu dalam, saya harus mendekatinya dengan hangat dan pelan.

              Saya memutuskan untuk menggunakan Teknik PENA (Pendekatan Emosional dengan Narasi dan Analogi) sebuah metode yang membantu konseli mengeksplorasi perasaannya melalui cerita dan kisah yang menyentuh. Saya mulai dengan menyampaikan sebuah cerita tentang seekor burung kecil yang kehilangan arah saat terbang di tengah badai, namun akhirnya menemukan cahaya dan kembali pulang. Saya katakan padanya bahwa terkadang, kita adalah burung kecil itu. Mawar tersenyum tipis. Cerita itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Ia mulai menceritakan bagaimana ia merasa seperti berjalan sendiri di tengah gelap, tanpa tahu harus menuju ke mana. Ia merasa tekanan tugas, kompetisi antar teman, dan rasa takut mengecewakan orang tuanya membuatnya kehilangan arah dan semangat.

              Saya mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak banyak bertanya, hanya menunjukkan bahwa saya ada dan hadir bersamanya. Lalu saya melanjutkan dengan analogi lainnya. Saya menceritakan tentang sebuah benih pohon yang butuh waktu lama untuk tumbuh, terkadang bahkan tampak tidak berkembang selama bertahun-tahun. Namun saat waktunya tiba, ia menjulang kuat dan memberikan keteduhan. Mawar mengangguk pelan. Ia mulai memahami bahwa dirinya pun sedang dalam proses. Bahwa tidak semua pertumbuhan bisa dilihat secara langsung. Ia kemudian mulai membuka lebih dalam tentang masa kecilnya, tentang harapan-harapan orang tua yang ia rasakan seperti beban, bukan semangat.

              Di sesi selanjutnya, saya mengajak Mawar untuk menulis cerita pendek tentang dirinya, namun dalam sudut pandang seorang sahabat. Ini bagian dari Teknik PENA yang mendorong konseli melihat dirinya dari lensa yang lebih lembut. Saat ia membaca ceritanya sendiri, matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka bahwa dirinya, dalam tulisan itu, tampak begitu tangguh meskipun sering merasa rapuh. Melalui proses ini, Mawar mulai bisa menamai perasaannya. Ia belajar bahwa rasa lelah dan kecewa itu valid, dan bahwa ia tidak harus selalu tampil kuat. Saya pun membagikan kisah tentang seorang pelukis buta yang tetap bisa menghasilkan karya indah karena ia merasakan dunia melalui emosi, bukan visual. Ini menjadi titik balik bagi Mawar, bahwa ia juga bisa terus berkarya dan bertumbuh meskipun belum semua jalannya terlihat jelas.

              Sesi demi sesi, Mawar menjadi lebih terbuka dan jujur tentang dirinya. Ia mulai mengubah caranya memandang kegagalan, bukan lagi sebagai akhir, tapi sebagai bagian dari proses. Ia menceritakan bagaimana ia mulai menulis jurnal harian, mencoba berbicara dengan diri sendiri lewat tulisan, dan memberi ruang untuk menangis jika perlu. Kami menutup sesi terakhir dengan refleksi bersama. Mawar mengatakan bahwa Teknik PENA membuatnya merasa seperti sedang membaca buku hidupnya sendiri, dengan bab-bab yang ternyata tidak sesuram yang ia kira. Ia menyadari bahwa di balik tekanan, ada pembelajaran. Di balik air mata, ada kekuatan.

              Saya merasa bersyukur telah menggunakan pendekatan ini. Teknik PENA bukan hanya membantunya merasa lebih baik, tetapi juga memberinya alat untuk memahami dirinya dengan cara yang sederhana namun menyentuh. Sebagai dosen, saya belajar bahwa konseling bukan sekadar tentang memberi solusi, melainkan menghadirkan ruang aman bagi mahasiswa untuk kembali menemukan dirinya sendiri.

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Dalam dunia konseling yang sarat akan keintiman, empati, dan kejujuran, seorang konselor dituntut untuk tidak hanya memahami teori, tetapi juga menghadirkan pendekatan yang menyentuh hati. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk membuka ruang kesadaran emosional klien adalah PENA (Pendekatan Emosional dengan Narasi dan Analogi). Pendekatan ini menempatkan kekuatan cerita sebagai alat untuk menyentuh batin dan mengaktifkan refleksi diri klien secara mendalam. PENA berakar dari pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang hidup dengan cerita. Mereka menyusun makna hidup melalui pengalaman, memori, dan simbol yang dibentuk dalam narasi. Ketika konselor menggunakan cerita pendek, kisah inspirasional, atau analogi yang relevan, mereka sedang membangun jembatan emosional yang menghubungkan dunia klien dengan kemungkinan-kemungkinan pemahaman baru tentang dirinya.

          Dalam praktiknya, PENA mengawali proses dengan mendengarkan narasi dari klien itu sendiri. Klien diajak untuk menceritakan kisah hidupnya, peristiwa yang menggugah emosi, atau pengalaman yang menurutnya memiliki dampak besar dalam hidup. Konselor kemudian mencermati pola, makna tersembunyi, dan emosi-emosi yang muncul dari cerita tersebut. Ini menjadi fondasi awal dalam menentukan arah intervensi yang lebih personal. Setelah cerita klien dipahami, konselor dapat menyelipkan analogi atau cerita pendek yang memiliki kemiripan dengan kondisi klien. Analoginya tidak perlu rumit, bisa sesederhana kisah tentang pohon yang tetap tumbuh meski diterpa angin, atau perahu kecil yang berhasil menepi meskipun terombang-ambing ombak. Cerita ini akan membantu klien melihat dirinya dalam sudut pandang baru tanpa merasa dihakimi atau diberi nasihat secara langsung.

          Pendekatan ini sangat efektif terutama ketika klien kesulitan mengungkapkan perasaannya secara langsung. Dengan menyajikan narasi yang sepadan, konselor memberikan ruang refleksi yang aman. Klien bisa menangis, tertawa, atau merasa lega karena merasa “terwakili” oleh cerita tersebut. Emosi yang selama ini tertahan pun mulai mengalir secara alami. PENA juga menumbuhkan rasa koneksi dan empati yang kuat antara konselor dan klien. Ketika konselor menyampaikan analogi dengan penuh ketulusan dan penghayatan, klien tidak hanya mendengar, tetapi juga merasa dipahami. Hubungan ini memperkuat rapport dan membuat sesi konseling menjadi lebih bermakna.

          Dalam prosesnya, konselor tidak hanya menyampaikan cerita begitu saja, tetapi juga mengaitkan pesan moral dan maknanya dengan situasi klien. Misalnya, setelah menceritakan tentang ulat yang berubah menjadi kupu-kupu, konselor dapat bertanya, “Menurutmu, di mana posisi kamu dalam kisah itu sekarang?” Pertanyaan ini membantu klien mengaitkan pengalaman emosional dengan pertumbuhan dirinya. PENA bukan hanya alat bantu naratif, melainkan jembatan menuju kesadaran dan perubahan. Klien yang semula merasa putus asa dapat menemukan kembali harapan. Mereka mulai melihat bahwa setiap cerita punya masa sulit, tapi juga punya kemungkinan untuk berubah arah. Harapan ini penting dalam proses healing dan perencanaan masa depan.

          Pendekatan ini juga fleksibel digunakan dalam berbagai setting konseling, baik individu, kelompok, maupun klasikal. Dalam konseling kelompok, misalnya, konselor dapat menggunakan cerita pendek inspiratif sebagai bahan refleksi bersama. Sementara dalam konseling klasikal, analogi dapat disisipkan dalam materi pengembangan diri yang kontekstual. PENA juga sejalan dengan prinsip dasar konseling yang tidak memaksakan solusi, tetapi memfasilitasi pemahaman. Cerita tidak bersifat memaksa, tetapi membuka ruang berpikir dan merasa. Ini menjadikan PENA sebagai pendekatan yang lembut namun dalam, penuh makna, dan sangat manusiawi.

          Kelebihan lain dari PENA adalah kemampuannya untuk melintasi budaya. Cerita dan analogi dapat disesuaikan dengan latar belakang budaya klien, sehingga terasa lebih dekat dan membumi. Kisah lokal, legenda, atau bahkan cerita pribadi konselor yang relevan bisa menjadi media yang kuat untuk membangun ikatan emosional. PENA juga mengajarkan bahwa dalam konseling, kata-kata bisa menjadi obat. Ketika dirangkai dengan empati dan dikemas dalam bentuk cerita, kata-kata mampu menyentuh sisi terdalam manusia. Di sanalah penyembuhan dimulai, bukan hanya di pikiran, tetapi di hati.

          Sebagai pendekatan, PENA mengingatkan kita bahwa tugas konselor bukan menyelesaikan masalah klien secara langsung, melainkan membantu klien menemukan makna dan kekuatan dalam kisah hidupnya. Dengan menggenggam pena itu, klien diberdayakan untuk menulis ulang narasi hidupnya, dengan akhir yang lebih penuh harapan dan keutuhan. Dengan demikian, PENA tidak hanya menjadi metode, tetapi menjadi filosofi dalam berpraktik konseling. Ia membawa pesan bahwa setiap orang punya cerita, dan di dalam cerita itu tersimpan potensi untuk bertumbuh. Konselor hanya perlu hadir, mendengarkan, dan menyelipkan seuntai narasi yang dapat menyalakan cahaya dalam jiwa klien.

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Dalam proses konseling, bertanya dan mendengar bukanlah aktivitas biasa seperti dalam percakapan sehari-hari. Keduanya merupakan keterampilan inti yang memiliki kekuatan terapeutik dan memainkan peran besar dalam membentuk keberhasilan sesi konseling. Bertanya dalam konseling bukan untuk menginterogasi, dan mendengar bukan sekadar menyimak kata. Keduanya dilakukan dengan kesadaran, empati, dan tujuan yang jelas untuk menggali, memahami, dan memfasilitasi perubahan klien. Keterampilan bertanya dalam konseling berakar dari niat untuk membantu klien menyadari pikiran, perasaan, dan perilaku yang mungkin belum sepenuhnya mereka pahami. Pertanyaan yang digunakan bukan pertanyaan sembarangan, melainkan disusun dengan hati-hati untuk membuka ruang refleksi dan eksplorasi. Konselor perlu mempertimbangkan waktu, konteks, dan kondisi emosional klien saat mengajukan pertanyaan, agar tidak menimbulkan tekanan atau kebingungan.

          Jenis pertanyaan yang digunakan pun memiliki keragaman fungsi. Pertanyaan terbuka digunakan untuk mendorong klien bercerita lebih luas dan mendalam, seperti “Apa yang membuat kamu merasa begitu?” atau “Bisakah kamu ceritakan lebih lanjut tentang hal itu?” Sementara itu, pertanyaan tertutup dapat digunakan untuk klarifikasi informasi yang lebih spesifik, seperti “Itu terjadi hari Senin atau Selasa?” Penggunaan jenis pertanyaan yang tepat sangat penting agar konselor tetap berada dalam alur yang selaras dengan kebutuhan klien. Namun, kemampuan bertanya tidak akan bermakna tanpa kemampuan mendengar yang sejati. Mendengar dalam konseling bukan hanya soal menangkap kata, melainkan menangkap makna, emosi, dan pesan-pesan tersembunyi dari ucapan klien. Konselor perlu mendengarkan dengan seluruh tubuh, hati, dan pikirannya, sebuah proses yang dikenal sebagai active listening atau mendengar aktif.

          Mendengar aktif melibatkan perhatian penuh pada klien, tanpa menghakimi atau tergesa-gesa merespons. Konselor memberikan sinyal nonverbal seperti anggukan kepala, ekspresi wajah yang selaras, atau bahkan keheningan yang empatik. Semua itu menunjukkan bahwa konselor hadir sepenuhnya dan memberikan ruang aman bagi klien untuk mengungkapkan dirinya. Konselor juga menggunakan keterampilan refleksi untuk menegaskan bahwa apa yang disampaikan klien telah didengar dan dipahami dengan benar. Misalnya, dengan mengatakan, “Dari ceritamu, sepertinya kamu merasa sangat kecewa karena tidak didengarkan, ya?” Refleksi seperti ini bisa memperkuat hubungan konseling dan membuat klien merasa divalidasi.

          Dalam praktiknya, bertanya dan mendengar menjadi proses yang saling menguatkan. Pertanyaan yang baik akan mendorong keterbukaan klien, dan mendengar yang baik akan memandu konselor dalam merumuskan pertanyaan berikutnya. Hubungan ini bersifat dinamis dan terus berkembang sepanjang sesi berlangsung. Di sisi lain, konselor juga perlu menghindari jebakan bertanya terlalu banyak atau terlalu cepat. Terlalu banyak pertanyaan bisa membuat klien merasa terpojok, seolah-olah sedang diinterogasi, bukan didampingi. Oleh karena itu, jeda dan keheningan menjadi bagian penting dari mendengarkan yang efektif memberi waktu pada klien untuk memproses dan merespons dengan jujur.

          Selain itu, konselor harus sensitif terhadap makna-makna emosional yang muncul dalam cerita klien. Mendengar bukan hanya tentang kata-kata, tapi juga tentang intonasi, isyarat tubuh, dan perubahan nada suara. Konselor perlu menangkap pesan-pesan nonverbal ini agar bisa memahami klien secara utuh, termasuk apa yang tidak diucapkan secara langsung. Dalam konteks konseling, bertanya dan mendengar bukan alat untuk mencari jawaban yang “benar” menurut konselor, tetapi untuk membantu klien memahami kebenaran dirinya sendiri. Konselor hadir bukan untuk memberi solusi langsung, tetapi untuk menemani klien dalam proses menemukan jawaban melalui kesadaran yang dibangun dari percakapan reflektif.

          Implementasi bertanya dan mendengar yang efektif juga sangat bergantung pada sikap dasar konselor, seperti empati, ketulusan, dan penghargaan terhadap klien. Konselor yang benar-benar peduli akan cenderung lebih hati-hati dalam memilih kata-kata dan lebih tulus dalam mendengarkan cerita klien. Klien pun akan lebih mudah merasa diterima dan terbuka dalam prosesnya. Bertanya dalam konseling juga bisa digunakan untuk menantang pemikiran atau keyakinan yang tidak adaptif, tetapi dilakukan dengan cara yang halus dan penuh hormat. Misalnya, “Apakah kamu pernah memikirkan kemungkinan bahwa kamu tidak sepenuhnya gagal, hanya karena satu kesalahan itu?” Pertanyaan semacam ini bisa menggeser perspektif klien tanpa membuatnya merasa diserang.

          Dalam sesi-sesi lanjutan, konselor dapat memanfaatkan riwayat percakapan sebelumnya sebagai dasar bertanya lebih dalam, menunjukkan bahwa mereka mendengarkan dengan seksama dan menghargai proses klien. Hal ini akan memperkuat aliansi terapeutik yang dibangun dan mendorong keberlangsungan proses konseling yang lebih mendalam. Mendengar dan bertanya juga menjadi alat untuk menyesuaikan intervensi sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan klien. Dengan mendengar baik-baik, konselor bisa mengetahui kapan saatnya memberi dorongan, kapan saatnya diam, dan kapan saatnya membuka percakapan baru. Semua ini membentuk irama unik yang hanya bisa terbangun lewat hubungan konseling yang penuh kehadiran.

POSISI NASEHAT SEBAGAI TEKNIK DALAM PROSES KONSELING

21 April 2025 23:57:23 Dibaca : 11

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Dalam praktik konseling, memberikan nasehat bukanlah sebuah tindakan spontan yang muncul dari niat baik semata, melainkan sebuah langkah yang harus ditempatkan secara hati-hati dan penuh pertimbangan. Nasehat dalam konseling bukan sekadar ucapan bijak atau arahan sepihak, melainkan bagian dari proses terapeutik yang berorientasi pada pertumbuhan klien. Ia bukan satu-satunya tujuan, melainkan bisa menjadi salah satu alat bantu dalam mengarahkan klien menuju kesadaran dan perubahan yang bermakna. Konselor profesional menyadari bahwa memberikan nasehat terlalu dini dapat merusak esensi utama konseling, yaitu membantu klien menemukan solusi dari dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, nasehat baru muncul setelah konselor melalui tahap-tahap penting, seperti membangun hubungan yang empatik, mengeksplorasi masalah secara mendalam, serta memahami konteks dan nilai-nilai pribadi klien. Ini berarti bahwa nasehat adalah buah dari proses, bukan awal dari intervensi.

          Dalam pendekatan yang menghargai otonomi klien, konselor menghindari pendekatan direktif seperti mengatakan “kamu harus melakukan ini” atau “sebaiknya kamu tinggalkan itu.” Sebaliknya, konselor memfasilitasi klien dengan pertanyaan reflektif dan dialog terbuka yang mengajak klien berpikir secara kritis dan mandiri. Hal ini membuat klien merasa diberdayakan, bukan diarahkan secara paksa. Jika pun klien meminta nasehat secara eksplisit, konselor tetap perlu mempertimbangkan waktu dan kesiapan emosional klien. Nasehat yang diberikan harus berdasarkan data yang telah dikumpulkan melalui asesmen dan pemahaman mendalam terhadap pengalaman serta harapan klien. Nasehat yang tidak berbasis pemahaman dapat menjadi bumerang, membuat klien merasa tidak dipahami atau bahkan semakin bingung.

          Salah satu bentuk implementasi nasehat dalam konseling yang efektif adalah melalui psychoeducation atau pendidikan psikologis. Dalam sesi konseling, konselor dapat menyisipkan informasi ilmiah atau pengetahuan praktis yang relevan dengan permasalahan klien, seperti cara mengelola stres, teknik relaksasi, atau cara berkomunikasi asertif. Dalam hal ini, nasehat hadir sebagai informasi yang mencerahkan, bukan perintah. Selain itu, konselor juga bisa menggunakan cerita pendek, analogi, atau kisah inspiratif untuk menyampaikan pesan tertentu kepada klien. Metode ini membuat klien bisa merenung dan mengambil makna dari kisah tersebut tanpa merasa digurui. Dengan cara ini, nasehat hadir dalam bentuk yang halus dan menyentuh, sehingga lebih mudah diterima oleh klien.

          Nasehat juga dapat diimplementasikan melalui modeling dan role play, di mana konselor memberikan contoh perilaku atau mengajak klien untuk mencoba skenario tertentu. Dalam proses ini, klien diberi kesempatan untuk mempraktikkan solusi yang mungkin belum pernah mereka coba sebelumnya. Di sini, nasehat tidak hanya bersifat verbal, tapi juga aplikatif. Namun, konselor juga harus selalu mengingat bahwa nasehat yang diberikan harus bebas dari nilai pribadi atau bias moral konselor. Konseling bukanlah ruang untuk memaksakan keyakinan pribadi kepada klien, melainkan tempat untuk membantu klien memahami dirinya sendiri dan membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai yang ia yakini.

          Dalam setiap bentuk nasehat yang muncul, prinsip-prinsip etika konseling harus tetap menjadi fondasi. Nasehat tidak boleh melemahkan kemandirian klien, melainkan justru harus menjadi alat yang memperkuat daya pikir dan rasa percaya diri klien. Nasehat yang baik adalah nasehat yang membuat klien merasa dihargai, didukung, dan tetap memegang kendali atas hidupnya. Nasehat dalam konseling juga tidak bersifat mutlak atau final. Ia adalah tawaran alternatif yang terbuka untuk ditolak, diterima, atau dimodifikasi oleh klien. Inilah yang membedakan nasehat dalam konseling dari nasehat pada umumnya—karena ia tidak menuntut kepatuhan, melainkan mengajak pada pertimbangan.

          Dalam konteks tertentu, seperti konseling krisis atau situasi darurat, konselor bisa saja memberikan arahan yang lebih tegas. Namun, ini pun tetap berada dalam kerangka etis dan bertujuan melindungi keselamatan klien. Setelah krisis teratasi, peran konselor kembali sebagai fasilitator pertumbuhan, bukan pengendali kehidupan klien. Konselor juga perlu mengevaluasi dampak dari nasehat yang telah diberikan. Ini bisa dilakukan dengan mengecek kembali persepsi dan perasaan klien terhadap nasehat tersebut, serta mengamati apakah nasehat tersebut benar-benar membantu klien dalam proses perubahan yang diinginkan. Dengan demikian, nasehat menjadi bagian dari dialog berkelanjutan, bukan titik akhir.

          Dalam proses konseling yang ideal, nasehat tidak menjadi pusat perhatian, tetapi hadir secara alami sebagai hasil dari hubungan yang terbuka dan empatik. Klien yang merasa didengar dan dipahami biasanya akan lebih terbuka untuk mempertimbangkan masukan dari konselor, termasuk nasehat yang diberikan. Konselor juga perlu menyadari bahwa tidak semua klien membutuhkan atau menginginkan nasehat. Beberapa klien hanya butuh tempat aman untuk bercerita dan menemukan jawaban sendiri dari refleksi yang mereka lakukan. Dalam kasus seperti ini, tugas konselor adalah menjaga ruang konseling tetap terbuka dan bebas tekanan.

          Implementasi nasehat dalam bingkai konseling bukanlah soal menyampaikan apa yang menurut konselor benar, tetapi bagaimana menuntun klien menemukan kebenarannya sendiri. Nasehat yang baik bukan yang membuat klien takluk, tapi yang membuat klien tumbuh. Di sinilah letak seni dan tanggung jawab konselor sebagai pendamping dalam perjalanan batin klien menuju versi terbaik dari dirinya

Gebrakan! Mahasiswa BK UNG Bentuk Komunitas Riset

18 April 2025 17:31:27 Dibaca : 26

BERITAMOLAMETO.ID – Gorontalo – Sekelompok mahasiswa dan seorang dosen dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG) berinisiatif membentuk organisasi riset yang diberi nama Molameto Research Group pada 21 Maret 2025. Pembentukan organisasi ini bertujuan untuk mengembangkan budaya riset di kalangan mahasiswa serta memperkuat kapasitas keilmuan dan kepenulisan ilmiah sejak dini.

Organisasi ini digagas oleh lima mahasiswa dari Program Studi Bimbingan dan Konseling yaitu Oskar, Iyad, Key, Suci, dan Desy. Mereka memiliki semangat dan keresahan yang sama terhadap kurangnya keterlibatan aktif mahasiswa dalam dunia penelitian ilmiah. Inisiatif ini mendapat dukungan penuh dari Dosen Pembimbing, Jumadi Mori Salam Tuasikal, yang juga menjadi pendamping resmi kelompok riset tersebut.

“Molameto” yang diambil dari bahasa daerah Gorontalo yang memiliki dasar filosofis mendalam, sehingga mencerminkan semangat intelektual dan reflektif yang diusung kelompok ini. Molameto Research Group hadir sebagai wadah kolaboratif bagi mahasiswa yang ingin memperdalam minat dalam penelitian Pendidikan, konseling, psikologi, pendidikan, dan perilaku manusia.

“Pembentukan Molameto Research Group adalah awal dari langkah panjang untuk membudayakan riset yang dekat dengan realitas kehidupan masyarakat. Kami ingin mahasiswa menjadi agen perubahan yang berpikir kritis dan solutif,” ujar Jumadi selaku pembina.

Molameto Research Group juga berkomitmen untuk menjadikan riset sebagai media pengembangan diri dan kontribusi sosial. Kegiatan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat antara lain pelatihan metodologi penelitian, diskusi jurnal, mentoring proposal skripsi, publikasi ilmiah, dan kolaborasi riset dengan institusi lain.

Oskar, selaku Direktur Molameto, menyampaikan bahwa organisasi ini terbuka bagi mahasiswa dari lintas angkatan yang memiliki ketertarikan pada dunia riset.

“Kami ingin membentuk ruang belajar yang terbuka dan dinamis. Molameto bukan hanya tempat riset, tetapi juga ruang bertumbuh bersama,” jelas Oskar.

Kehadiran Molameto Research Group disambut antusias oleh civitas akademika, khususnya mahasiswa yang ingin memperdalam kapasitas akademik mereka melalui riset-riset aplikatif.

Salah satu pengurus molameto, Iyad, menyampaikan harapannya, “Saya senang dengan adanya Molameto. Semoga ini menjadi ruang baru bagi mahasiswa untuk belajar riset dengan cara yang menyenangkan dan berdampak.”

Dengan semangat kolaborasi dan semangat ilmiah, Molameto Research Group diharapkan menjadi penggerak lahirnya generasi akademik muda yang unggul, kritis, dan kontributif dalam memajukan ilmu pengetahuan dan pengabdian kepada masyarakat.