KATEGORI : WAWASAN BUDAYA

By: Jumadi Mori Salam Tuasikal

Masyarakat Sulawesi Tenggara merupakan masyarakat dengan kultur yang heterogen. Hal ini dikarenakan penghuni Sulawesi Tenggara terdiri dari bermacam-macam suku besar seperti:

  •  Suku Muna (Muna)
  •  Suku Tolaki (Kendari - Konawe - Konawe Selatan dan Bombana)
  •  Suku Wolio (Buton)
  •  Suku Wakatobi (Wanci - Kaledupa - Tomia dan Binongko)
  •  Suku Wawonii
  •  Suku Kabaena
  • Suku Bajo (umumnya tinggal di daerah pantai)
  • Suku Jawa
  • Suku Moronene
  • Suku Bugis-Makassar
  • Suku Menui

Mengingat Sulawesi Tenggara berasal dari kultur heterogen, maka uraian kebudayaan selanjutnya adalah mengemukakan salah satu kebudayaan di Sulawesi Tenggara yaitu Buton-Muna yang merupakan suku mayoritas (terbesar) di Sulawesi Tenggara. Sekurang-kurangnya terdapat tiga versi yang menginformasikan tentang angka tahun sejarah permulaan masuknya ajaran Islam di kerajaan Buton yaitu tahun 850 H. atau tahun 1412 M, tahun 933 H, atau  tahun 1533 M dan tahun 948 H atau tahun 1542 M. Dari ke tiga versi tersebut, versi yang paling tua dan jelas sumbernya adalah angka tahun 948 H atau tahun 1542 M. (Silsilah bangsawan Buton, 1267 H atau tahun 1850 M). Sumber tersebut menginformasikan bahwa Syekh Abdul Wahid berasal dari Johor datang di Buton tahun 948 H atau 1542 M dengan tujuan menyebarkan agama Islam. Nama Buton berasal dari kata Butuni, artinya tempat persinggahan. Letaknya strategis diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan jalur lintas niaga. Letak Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kotaBaubau. Wilayahnya meliputi Pulau Buton dan pulau-pulau di sekitar Sulawesi Tenggara.Kerajaan yang kemudian menjadi Kesultanan ini, memiliki sejarah sistim pemerintahan monarki parlementer selama tujuh abad.

 Falsafah hidup

Yamada-yamadakimo aratâ solana ßoli karo, yamada-yamadakimo karo solana ßoli lipu, yamada-yamadakimo lipu solana ßoli sara, yamada-yamadakimo sara solana ßoli agama.

Artinya:

(Hancur-hancurlah harta asal jangan hancur diri, hancur-hancurlah diri asal jangan hancur negeri, hancur-hancurlah negeri asal jangan hancur pemerintah.Berkata ulama muhakiki pada pemerintah Wolio, hancur-hancurlah pemerintah asal jangan hancur agama).

 Cara Mengatasi Konflik

 Untuk mengatasi konflik, utamanya yang menyangkut masalah adat, keluarga dan pernikahan berdasar atau merujuk pada ketentuan yang tertera dalam Kitab Undang-undang Kesultanan atau Sarana Wolio (Undang-undang Martabat Tujuh).Prosesnya dilakukan dengan musyawarah yang dipimpin oleh pemuka adat yang sesuai aturan kesultanan.

Masalah kekerabatan atau warisan

 Untuk masalah yang menyangkut kekerabatan atau warisan juga berdasar atau merujuk pada ketentuan yang tertera dalam Kitab Undang-undang Kesultanan atau Sarana Wolio (Undang-undang Martabat Tujuh). Biasanya pembagian warisan adalah 2 : 1 (laki-laki lebih banyak daripada perempuan). Pada masa lalu jika ahli waris belum dewasa, maka warisan sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah kesultanan.

 Upacara Pernikahan

Kawia adalah istilah untuk menyebut perkawinan antara laki-laki dan perempuan bagi masyarakat Wolio (Buton). Dalam tradisi masyarakat WoIio dikenal beberapa rnacam tata cara perkawinan, yaitu; pobhisa, uncura, popalaisaka,dan Humbuni. Kcempatnya akan diuraikah sebagai berikut:

 a.      Pobhaisa

Pobhaisa adalah prosesi perkawinan setelah terlebih dahulu terbangun kesepakatan atau persetujuan antara pihak  keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan. Prosesi upacara kawia dalam bentuk pobhaisa meliputi kegiatan-kegiatan; pesoloi, bhawana katindana oda, tauraka, dan kawi  sebagai acara puncak.

Pesoloi secara harfiah berarti mencari tahu. Istilah mencari tahu dalam pengetian ini menunjuk pada aktifitas adat yang diselenggarakan oleh keluarga pihak laki-laki untuk rnencari tahu status seorang gadis; apakah yang bersangkutan secara adat telah memiliki jodoh atau belum. Untuk itu, pihak keluarga laki-laki mengutus seorang lolonca untuk menyampaikan maksud pihak keluarga laki-laki melamar gadis bersangkutan. Selaku perutusan, tolonca kemudian menyampaian maksud tersebut kepada pihak keluarga perempuan. Atas pertanyaan tolonca, pihak keluarga perempuan biasanya meminta waktu selama empat hari, guna mengkomunikasikan hal tersebut kepada seluruh keluarga, termasuk kepada gadisnya (anaknya, atau kemenakannya, atau cucunya, atau karib kerabatnya).

Setelah empat hari seperti yang ditentukan, maka tolowca atas nama keluarga pihak laki-laki kembali ke rumah keluarga perempuan guna mendapatkan jawaban atas pertanyaannya dulu. Keputusan ditolak atau diterlma selanjutnya, disampaikan oleh tolowca kepada pihak keluarga laki-laki. Tepat pada hari yang ditentukan, maka dilaksanakan upacara meminang (tauraka) dimana pihak laki-laki yang diwakili tolowca menyerahkan mahar kepada yang mewakili keluarga perempuan. Besaran mahar ditentukan berdasarkan kedudukan kedua calon mempelai dalam struktur sosial masyarakat Wolio (Buton). Tahapan selanjutnya adalah prosesi kawia.

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, biasanya menjelang upacara pernikahan (kawia) akan dilaksanakan upacara posuo terhadap calon pengantin perempuan jika yang bersangkutan sebelumnya belum menjalani prosesi ini. Upacara posuo biasanya dilaksanakan bersama gadis-gadis lain yang masih termasuk anggota atau kerabat keluarga calon mempelai. Akad nikah biasanya dilaksanakan di kediaman orang tua atau keluarga pihak wanita. Pengantin laki-laki yang menggunakan pakaian balahadha-hadha diantar oleh sejumlah keluarga, tua-tua adat dan undangan lainnya dari kediamannya menuju kediaman keluarga perempuan. Pengantaran pengantin laki-laki ke tempat kediaman pengantin wanita biasanya dilakukan pagi atau sore hari. Di kediaman perempuan diadakan penyambutan oleh pihak keluarga, tua-tua adat, dan undangan lainnya. Akad nikah dilakukan oleh seorang moji dari perangkat Masjid Agung Wolio, atau tokoh adat, atau Kepala KUA (untuk kondisi sekarang) dengan disaksikan orang tua kedua mempelai, keluarga dan kerabat, serta undangan lainnya. Selama empat malam setelah akad nikah, pasangan suami istri belum dapat dipertemukan. Pengantin pria tidur di kamar lain didampingi dua orang bhisa, demikian pula pengantin wanita. Para bhisa yang keseluruhannya berjumIah empat orang tersebut adalah istri atau janda-janda para pejabat adat. Mereka bertugas memberikan petunjuk dan nasehat-nasehat kepada kedua mempelai perihal kaidah-kaidah adat, moral dan agama dalam kehidupan berumah tangga.

Setelah empat hari maka tibalah prosesi matana karia atau disebut juga pobhongkasia. Prosesi ini umumnya dilakukan pada  sore hari dikediaman keluarga mempelai perempuan yang turut  dihadiri para undangan, baik undangan dari pihak keluarga laki- laki maupun pihak keluarga perempuan. Mempelai perempuan yang mengenakan pakaian adat kombo kemudian diarahkan keluar ruangan, didudukkan di atas kursi di tengah para undangan perempuan. Telapak kaki kanannya kemudian disapukan tanah. Prosesi ini secara adat dilakukan oleh seorang istri dari kalangan moji dari Masjid Agung Wolio. Sesudah itu, kursi tempat duduk mempelai perempuan dipindahkan keluar angan agar mempelai dapat duduk ke lantai sebagaimana dangan lainnya. Di sini, mempelai perempuan didampingi oleh dua orang ibu muda yang dalam bahasa adat disebut moopina. keduanya memakai pakaian adat baju koboroko, popungu ogena, bhia pasiki. Sesudah itu, mempelai perempuan masuk kembali ke kamar dengan didampingi kedua ibu muda tersebut. keduudukan moopina secara filosofis mengandung maksud agar perkawinan proses dapat mulus sebagaimana yang telah dilalui kedua ibu muda bersangkutan. Pada saat yang sama, mempelai laki-laki yang mengenakan pakaian adat balahadha-JauJha duduk bersila di tengah para undangan laki-laki. Kepada para undangan, baik laki-laki maupun perempuan diberikan pasali sesuai kedudukan masing-masing dalam adat.

Sebelum undangan kembali ke rumah masing-masing, kedua mempelai kemudian dimandikan bhisa dengan uwe yikadhu (air yang dikandung) dalam satu tempayan. Air tersebut ditaburi dengan bunga-bunga harum; kambampuu (lambang kesungguhan), kambalagi (lambang kcabadian), dan kambamanuru (lambang kemakmuran). Prosesi ini mengandung maksud untuk menyamakan bau kedua pasangan dari sekaligus menjadi simbol kesungguhan, kcabadian, dan kemakmuran kedua pasangan. Para bhisa yang terdiri dari - empat orang perempuan tua (istri atau janda para pejabat) seperti tersebut di atas kemudian melakukan makan bersama dengan kedua mempelai dalam satu talam (Wolio; tala koae). Prosesi ini bertujuan memperkenalkan kedua pasangan suami-istri yang baru melangsungkan pernikahan tersebut.

  b.    Uncura

Uncura secara harfiah berarti duduk. Yang dimaksud dalam PEngertian ini adalah prosesi adat perkawinan dimana calon pasangan suami istri dikawinkan tanpa melalui tahapan­tahapan adat sebagaimana dalam adat pobaisa. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor, misalnya ingin mempercepat proses perkawinan sementara dana belum mencukupi. Prosesi perkawinan dalam adat uncura juga dapat terjadi karena jalur pobaisa sulit ditempuh sementara anak-anak telah suka sama suka. Kecuali itu, juga biasa disebabkan karena keluarga pihak perempuan mengulur waktu pernikahan, sementara jalur pobaisa telah dilaksanakan. Terhadap hal ini, rnaka adat uncura-lah yang biasa ditempuh pihak keluarga laki­laki. Kedudukan seseorang dalam strata sosial masyarakat Wolio (Buton) sangat berpengaruh terhadap boleh tidaknya seseorang tersebut melangsungkan perkawinan dalam adat uncura. Berdasarkan batasan tersebut, maka perkawinan dalam adat uncura hanya boleh dilakukan:

  • Anak laki-laki dari kalangan kaomu dengan perempuan kalangan kaomu pula.
  • Antara laki-laki daTi kalangan walaka dengan perempuan dari kalangan walaka   pula.
  • Laki-laki walaka boleh mengawini wanita kaomu hanya melalui adat uncura, karena perkawinan dalam adat pobhaisa antara kedua golongan dilarang keras.

 c.      Popalasiaka

Popalaisaka adalah istilah yang digunakan sebagai padanan untuk menujuk istilah kawin lari menurut bahasa Indonesianya.Hal ini biasa terjadi apabila salah satu pihak keluarga laki-laki atau keluarga perempuan tidak merestui rencana perkawinan meskipun telah dilakukan upaya seperti yang telah dijelaskan dalam prosedur adat pobaisa.Menghadapi kondisi seperti ini, maka calon suami atau pihak keluarga calon suami kemudian mengambil sang gadis (calon istri) dari keluarganya untuk dibawah ke rumah tokoh adat, atau ke rumah KUA (untuk kondisi sekarang), atau ke rumah pihak keluarga perempuan bersangkutan. Pihak-pihak yang yang menampung mereka berkewajiban menyampaikan hal ini kepada keluarga kedua belah pihak, terutama keluarga pihak perempuan.Bila telah tiga kali diberikan penyampaian, lantas kedua belah pihak, atau salah satu keluarga tidak memberi res pons, maka secara adat mereka dapat dinikahkan.Tetapi ada kalanya setelah diberi penyampaian, maka salah satu keluarga, atau kedua belah pihak meminta putra-putrinya dari tangan pemangku adat atau pihak keluarga yang menampung dan melindungi mereka untuk selanjutnya dibicarakan secara baik-baik.Dengan demikian perkawinanpun ada kalanya dapat direstui.

 d.     Humbuni

Perkawinan dalam bentuk humbuni dewasa ini tidak ada lagi.Humbuni dilakukan seorang laki-laki atau pihak keluarga laki-laki untuk mengambil gadis dari keluarganya untuk selanjutnya dinikahkan. Hal ini terjadi karena banyak faktor misalnya salah satu atau kedua belah pihak keluarga tidak merestui rencana pernikahan mereka,sementara anak-anak telah suka sama suka, dan jalur adat pun telah ditempuh. Humbuni mengandung resiko besar, karena biasanya pihak keluarga perempuan akan merasa keberatan. Hal ini akan, berpengaruh, baik dalam prosesi perkawinan mereka, maupun dalam konteks hubungan sosial kedua pasangan dengan keluarganya dikemudian hari.

Dalam pandangan orang Wolio (Buton) setiap insan manusia dalam menapaki proses kehidupannya akan mengalami fase perkawinan, karena perkawinan merupakan sebuah sunatullah yang tidak dapat dielakkan. Kcempat tatacara perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas merupakan refleksi pemahaman mereka akaneksistensi manusia itu sendiri. Manusia secara jasmaniah (ragawi) terbangun atas empat anasir, yaitu; air, tanah, angin, dan api. Ke empat anasir tersebut merupakan satu kesatuan yang integral, salah satunya tidak ada,  maka manusia tidak akan sempurnah. Perkawinan sebagai wahana regenerasi manusia dalam tatacaranya juga merujuk pada ke empat sifat anasir yang membangunnya tadi.Atas pandangan ini, maka perkawinan pobhaisa dianggap sebagai simbol dari sifat "air". Ketenangan dari sifat air direfleksikan dalam musyawarah mufakat untuk membicarakan prosesi perkawinan. Air yang mengalir memanjang dari hulu ke muara direfleksikan dalam mengantar mempelai laki-laki hingga sampai ke rumah mempelai perempuan.

“Diam" adalah sifat tanah yang ikhlas Jiperlakukdn bagaimanapun juga. Sifat anasir tanah direfleksikan melalui perkawinan uncura (duduk). Akan halnya dengan popalisaka (kawin lari) adalah refleksi dari sifat "angin". Sedangkan humbuni adalah refleksi dari sifat "api”. Dari keempat cara perkawinan sebagaimana diuraikan di atas, maka bentuk perkawinan humbuni dewasa ini tidak pernah dipraktekkan dalam masyarakat. Sedangkan cara pobhaisa, uncura, dan popalaisaka adalah yang biasa terjadi. Kendati demikian, perkawinan pobaisa adalah yang paling umum dilakukan.

 Upacara Adat Kematian

 Bagi orang muslim, penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya pada ajaran Islam tentang hari kiamat dan pengadilan nanti, masuk ke surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada ke­percayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak lain yang telah meninggal, hadir kembali. Suasana ritus yang terakhir dialami dalam lingkaran hidup (life cycle) manusia adalah peristiwa kematian. Masyarakat Wolio (Buton) memandang kematian sangat penting karena orang yang meninggal akan pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Meskipun demikian, mereka menganggap roh orang meninggal tetap hidup di alam gaib.

Dalam perjalanannya ke akhirat, roh simati diharapkan dapat selamat sampai ke tempat tujuan (haribaan illahi). Aspek yang disebut terakhir dalam pandangan masyarakat Wolio (Buton) sangat berkaitan dengan cara perlakuan terhadap jenazah. Untuk maksud itulah kemudian diadakan serangkaian upacara jenazah. Upacara tersebut diselenggarakan sesuai kemampuan keluarganya. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan selama penyelenggaraan upacara bukanlah masalah, yang terpenting adalah keselamatan roh si mati dan keselamatan keluarga yang ditinggalkan. Hal ini akan bersangkut paut pada benar tidaknya cara penyelenggaraan upacara menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam ajaran Islam.

Pada umumnya, upacara yang berlangsung sebelum penguburan dan serangkaian upacara selama penguburan dipandang sangat penting dibanding upacara sesudah penguburan. Oleh karena itu diperlukan orang-orang yang lebih ahli dalam pengurusan jenazah. Orang Wolio menganggap, ditangan mereka-mereka itulah tergantung keselamatan roh dalam perjalanannya ke alam baqa. Adapun upacara-upacara pokok yang berkaitan dengan kematian dalam tradisi Wolio (Buton) adalah: 1) Penerimaan kala (kadha); 2) Memandikan jenazah; 3) Mengkafani jenazah; 4) Menyembahyangkan jenazah; 5) Menguburkan jenazah; dan 6) Prosesi setelah penguburan. Apabila ke enam upacara tersebut tidak sempurnah pelaksanaannya, maka roh si mati akan mengalami kesulitan atau hambatan dalam perjalanannya ke alam baqa. Efek lain yang mungkin timbul adalah, biasanya mayat si mati sesudah dikuburkan akan dipermainkan oleh syaitan, atau roh si mati sesekali akan muncul mengganggu orang atau keluarganya yang masih hidup. Hal semacam ini biasa terjadi pada orang yang meninggal dalam keadaan hamil.meninggal tiba-tiba karena kceelakaan, meninggal dalam usia remaja dan sebagainya. Ada juga anggapan karena selama hidupnya, si mati lalai menjalankan perintah-perintah Tuhan.

Tujuan lain dari upacara kematian dalam kebudayaan masyarakat Wolio (Buton) ialah sebagai saluran untuk menyatakan rasa belasungkawa sekaligus membesarkan hati keluarga yang ditinggalkan. Mereka yang hadir melayat  dalam bahasa Wolio disebut dupa. Besar kecilnya dupa tergantung kemampuan dan kerelaan masing-masing. Hikmah yang dapat dipetik dari penyelenggaraan upacara kematian secara tidak langsung mengingatkan kepada setiap orang bahwa kematian pasti mendatangi semua orang. Tradisi Wolio menyebutnya dengan istilah sandaranakaro, artinya contoh yang nyata bagi yang masih hidup.

Namun sebelumnya, bila si sakit telah menampakkan tanda-tanda kematian, biasanya dilakukan upacara toba (taubat). Upacara dipimpin oleh seorang petua adat atau tetua agama. Prosesi ini dimaksudkan untuk menyadarkan si sakit perihal dosa-dosa atau perbuatannya yang salah menurut tuntunan agama yang pemah dilakukannya sebelumnya, dan hanya kepada Allah SWT, semata tujuan sisa hidupnya.

Bila si sakit telah menunjukkan penderitaan yang keras dan tidak ada harapan lagi untuk sembuh, maka si sakit akan terus didampingi oleh sanak keluarganya. Keluarga akan terus berjaga-jaga terutama mereka yang dianggap lebih mengetahui tanda-tanda kernatian. Dalam kcadaan seperti ini si sakit biasanya nampak tidak tenang, apalagi saat menghadapi sakralul maut. Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Wolio memiliki suatu keyakinan perihal jalan lurus (jalan keselamatan) yang mesti ditempuh untuk menuju ke hadirat Illahi. Keyakinan demikian biasa dibisikkan ke telinga si sakit. Setelah si sakit menghembuskan napas terakhir, maka tindakan yang segera diambil oleh pihak keluarga adalah membersihkan terlebih dahulu tubuh si mati. Setelah penyucian tersebut, mayat kemudian dibujurkan terlentang ke arah barat­timur, dengan posisi kepala di timur (menghadap kiblat). Di samping kiri kanan mayat diapitkan bantal seperlunya. Di sisi pembaringan mayat (kambale-mbaleana) ditempatkan kanturu (lampu) Wolio yang dinyalakan dengan bahan minyak kelapa. Menyertai itu. Kemudian dilakukan pengajian al-Qur’an di rumah duka. Hanya orang-orang tertentu yang bertindak selaku pelaksana upacara. Mereka yang datang melayat umumnya membawah sekedar uang atau bahan apa saja yang dianggap perlu untuk meringankan beban keluarga orang yang meninggal. Bantuan berupa uang tersebut lazim disebut dhupa yang secara harfiah berarti kemenyan; podhupa artinya berkemenyan. Maksudnya, sumbangan tersebut hanyalah sekedar pembeli kemenyan, besar keciInya tidak ada artinya.

Dalam tradisi Wolio, istilah podupa hanyalah ditujukan untuk sumbangan dalam upacara kematian saja. Jumlahnya tidak ada ketentuan, tetapi berdasarkan kerelaan. Mereka yang datang melayat, khususnya kaum ibu biasanya langsung duduk di pinggir pembaringan mayat atau tempat lain yang disediakan. Dhupa yang mereka bawah disimpan di tempat yang telah disiapkan. Ruangan tempat pembaringan mayat biasanya dipasangi langi-/angi (semacam plafon yang terbuat dari sambungan potongan-potongan kain yang berwama-warni). Hal yang sama juga biasa dilakukan dalam upacara-upacara seperti perkawinan. Yang membedakan adalah pada upacara kematian, langi-langi dipasang terbalik (kasarnya yang nampak dari luar), sedangkan pada upacara lain - halusnya yang nampak dari luar.

Begitu pula pada sekeliling dinding ruangan pembaringan mayat biasanya dipasangi kulambu (kelambu) Wolio secara terbalik I'seperti langi-langi. Berita kematian biasanya segera terdengar oleh masyarakat setempat dan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Wolio untuk datang melayat tanpa diundang. Penentuan mengenai siapa-siapa yang harus diundang dalam pelaksanaan upacara penguburan dan upacara-upacara sebelumnya, biasanya dilakukan oleh orang tertua dalam keluarga duka. Namun, pada umumnya, yang diundang biasanya tiga tingkatan sesuai kemampuan keluarga yang berduka.

By: Jumadi Mori Salam Tuasikal

1. Budaya Daerah Lampung

Asal usul bangsa Lampung adalah dari Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way atau sungai-sungai yaitu Way Komring, Way Kanan, Way Semangka, Way Seputih, Way Sekampung dan Way Tulang Bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten. Semboyan Lampung yang berbunyi Sang Bumi Ruwa Jurai (se-bumi dua cabang) diartikan bahwa bumi Lampung dihuni oleh dua jurai/trach, yakni Jurai Sai Batin dan Jurai Pepadun.Kedua jurai tersebut dianggap sebagai penduduk asli masyarakat Lampung.

Penduduk Lampung asli terdiri dari masyarakat Lampung beradat Pepadun dan masyarakat Lampung beradat Saibatin (Peminggir) .Sedangkan pendatang adalah mereka yang umumnya berasal dari Jawa dan Bali yang bertransmigrasi sejak jaman Belanda. Namun kini pendatang itu tidak hanya dari Jawa dan Bali saja, tetapi hampir segala suku yang ada di Indonesia ada di propinsi ini. Rumah orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway .Bangunan beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang disebut marga.Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak.Rumah ini selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga.

Arsitektur lainnya adalah “lamban pesagi” yang merupakan rumah tradisional berbentuk panggung yang sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk. Rumah ini berasal dari desa Kenali Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat..Ada dua jenis rumah adat Nuwou Balak aslinya merupakan rumah tinggal bagi para Kepala Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban (tempat tamu melapor) dan Ijan Geladak (tangga "naik" ke rumah); Anjung-anjung (serambi depan tempat menerima tamu), Serambi Tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), Lapang Agung (tempat kerabat wanita berkumpul), Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).

Bangunan lain adalah Nuwou Sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat tempat para purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat (musyawarah).Karena itu balai ini juga disebut Sesat Balai Agung.Bagian bagian dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap).Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan (tempat menyimpan alat musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat istirahat bagi para penyimbang) . Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang berwarna putih, kuning, dan merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional Lampung Pepadun.

Falsafah dan Pedoman Hidup Ulun Lampung

Tandani Ulun Lampung Wat Piil-Pusanggiri Mulia Hina Sehitung Wat Liom Rega Diri Juluq-Adoq Ram Pegung, Nemui-Nyimah Muari Nengah-Nyampor Mak Ngungkung, Sakai-Sambayan Gawi.Falsafah Hidup Ulun Lampung tersebut diilustrasikan dengan lima bunga penghias Sigor pada lambang Propinsi Lampung. Menurut kitab Kuntara Raja Niti, Ulun Lampung haruslah memiliki Lima Falsafah Hidup:

  1. Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri),
  2. Juluq-Adoq (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya),
  3. Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi, selalu mempererat persaudaraan serta ramah menerima tamu),
  4. Nengah-Nyampor (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis),
  5. Sakai-Sambayan (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

 

2. BUDAYA DAERAH PALEMBANG

Palembang artinya tempat melimbang, disini banyak orang melimbang emas. Pada tahun 1630 kesultanan Palembang memberlakukan Undang-Undang  Simbur Cahaya untuk mengatur ketertiban hukum di wilayah kekuasaaannya. Perekonomian Palembang sebagian berasal  dari berdagang, bertenun, dan tukang emas, membuat makanan empek-empek, kerupuk, dan kain songket. Petani bukan orang Palembang. Gotong royong dianggap pentingdisebut turunan anak ayam.Tolong menolong dalam hukum adat palembang berupa : (1) budi dibalas budi, (2) budi dibalas dengan upah, (3) budi dibalas dengan pekerjaan yang sama

Suku palembang memiliki norma sopan santun disebut dengan sondok Piyoga, yaitu :

  1. Orang tua gadis yang sudah menerima lamaran, orang tua bujang tidak patut jika menerima lamaran orang tua bujang lain
  2. Bertandang ke rumah gadis jangan dilakukan saat orang istirahat, jangan mengganggu penghuni  rumah
  3. Usahakan jalinan hubungan yang harmonis, yang muda menghormati yang tua sedangkan yang tua menjadi suri teladan.
  4. Mengindahkan cara berpakaian, cara bicara, menyapa, cara minum, cara menerima tamu, cara bertamu, malu berbuat salah, merasa bahagia jika dapat melakukan perbuatan baik, rendah hati, bertindak tegas dalam kebenaran dan kebaikan.
  5. Seseorang dapat diakui sebagai anggota masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban sepenuhnya jika ia sudah menikah dan sudah mandiri.
  6. Anak laki-laki dan perempuan berhak sebagai pengganti atau penerus keturunan untuk mengurus orang tua.
  7. Anak kandung harus patuh dan hormat,berkewajiban memelihara atau mengurus kedua orang tua.
  8. Suami isteri berkewajiban memelihara dan mengurus orang tua dan mertua
  9. Barang siapa menemukan barang , uang di tempat umum sepatutnya dikemballikan ke Lurah atau RT untuk diumumkan.
  10. Jika orang melakukan perbuatan menyimpang dari tata krama, sopan santun dicemooh, sindiran, teguran, bahkan dikucilkan dari masyarakat.

Norma –norma ini dilengkapi dengan larangan-larangan antara lain:

  1. Tidak boleh melakukan sumbang besar atau kecil
  2. Tidak boleh berbuat Zina
  3. Tidak diperbolehkan mengintip orang mandi
  4. Tidak boleh membawa senjata apitanpa hak dan senjata tajam yang tak ada hubungannya dengan pekerjaannya.
  5. Pemilik binatang berkaki empat harus mengandangkan hewan pada malam hari dan menambat , mengembalanya pada siang hari
  6. Apabila hewan piaraan itu merusak sehingga menimbulkan kerugian orang maka  pemilik hewan harus bertanggung jawab mengganti kerugian.
  7. Tidak boleh menuba sungai
  8. Tidak boleh melakukan perjudian
  9. Tidak diperkenankan mengucapkan sumpah palsu
  10. Tak boleh menempeleng, memukul, mengancam orang dengan senjata, merusak tanaman
  11. Tidak boleh membuat, mengedarkan, dan menggunakan minuman keras, dan sejenisnya tanpa seizin yang berwajib
  12. Tidak diperkenankan memaki-maki atau membuka aib orang
  13. Tidak diperkenankan memasang perangkap tikus, dan ranjau membahayakan orang lain
  14. Tidak diperkenankan menabang pohon yang bersarang lebah
  15. Tidak boleh menyabung ayam.

Panggilan dalam keluarga : Bapak , aba = ayah, Emak, Ibok = Ibu. Ujuk, mamang = paman, mamang kecek (mang cek) lebih muda. Bibik (bik) – Bibi, Bicek = bibi kecek, Buyut = nenek atau kakek, Yai = kakek, Nyai = nenek, Kakak = kakak lakilaki, ayuk kakak perempuan, wak = saudara ayah atau ibu yang lebih tua. Bentuk perkawinan suku palembang mengambil bentuk bebas, tidak terikat kepada hukum kebapakan atau keiibuan, melainkan keibubapakan. Penngantin boleh tingal dimana saja bergantung kesepakatan. Ada 2 cara perkawinan yaitu (1) nakoo, dan (2) ngambek mantu Nakko, perkawinan berdasarkan peminangan oleh  pihak laki-laki terhadap gadis, semua biaya dipikul laki-laki. Ngambek menantu (mengambil menantu) , perkawinan dimana pihak perempuan menjodohkan anak gadisnya dengan seorang laki-laki pilihan, kecuali mas kawin yang harus dibayar oleh mempelai laki-laki, semua biaya perkawinan dipikul oleh perempuan.. Perkawinan dimulai dari rasan tuo atau rasan mudo. Jika rasan tuo dimulai dari dengan madik atau nindai ( menilai ) sebagai cara menilai atau meneliti dari pihak laki-laki mengenai tinkah laku anak gadis. Jika bujang dan gadis sudah kenalan dulu dan sepakat untuk menikah disebut rasa mudo. Pada rasan mudo tidak perlu madik lagi.

Ketika meminang pihak laki-laki membawa tenong ( anyaman rotan 3 – 5 tingkat) berisi bahan bahan mentah seperti gula, susu, mentega, gandum,dan kue basah. Tenong dibawa berjumlah ganjil 3, 5,7,9, 11. Jika peminangan diterima dilanjutkan dengan Ngebet( mengikat ) dan nyinggong (harus dipagar kuat tidak diganggu musang, agar  artinya tak boleh ambil lagi gadisnya) diselesaikan dengan bentuk mutuske kato (memutuskan kata) dibicarakan juga mas kawin, duit belanjo, uang asep ( biaya perkawinan, pelangkah, hari, dan tanggal pelaksanaan perkawinan. Dalam adat berasn dilakukan dengan adat terang, artinya semua pembicaraan harus dilakukan dengan terus terang  dan disaksikan oleh kedua keluarga kedua pihak . Ketika ini calon mempelai ada di kamar jika keluarga laki-laki ingin melihatnya dapat memberinya sejumlah uang buat mempelai perempuan tersebut. Seminggu sebelum  acara akad nikah , rombongan pihak keluarga laki-laki melakukan antar antaran kepada keluarga perempuan. Dengan membawa tepak berisi sirih, pinang, gambir dan tembakau ( tetua keluarga perempuan dipersilahkan mencicipi sirih tersebut, dengan mengatakan enak sekali, manis sekali) . Pihak keluarga perempuan juga menyiapkan hal yang sama seperti yang dibawa laki-laki.

Di samping itu dibawa pula barang – barang untuk diberikan pada pihak perempuan yaitu ; beras, roti, dodol, wajik, rempah-rempah (bawang merah, bawang putih, saos, telur, mentega, dsb)., kain songket, pakaian wanita. Di kemas dan diletakan di atas nampan kecuali beras. Jumlah bawaan sekitar 33 nampan (baki). Dodol, wajik, roti diberikan kepada keluarga dekat, dengan harapan keluarga ini memberikan bantuan materi. Pernikahan berlangsung di rumah lai-laki, pesta di rumah perempuan. Acara dimulai denan membacakan kitab suci Al-Quran, khotbah, ijab qabul, do’a, sujud dengan orang tua, bersalaman dengan semua orang yang hadir. Pada acara nikah laki-laki berpakain haji, perempuan berpakaian kebaya (kain songket). Munggah dalam acara ini dimulai dengan arak-arakan, membaca surat yasin. Pihak lai-laki membawa pakaian mempelai wanita lengkap, kain songket, kain jumputan, uang kertas menyerupai bentuk buah manggis, belanjo isi toko,kue basah, ( kkue 8 jam, maksuba, bolu koju, lapis legit, kerupuk goreng besar. Setelah barang diserahkan dilanjutkan dengan acara cap-capan ( kepala dibasahi dengan air kembang 7 macam) dan suap-suapan oleh para ibu-ibu yang sudah terlatih.

Acara cap-capan dan suap-suapan dilakukan dengan keluarga dekat seperti, kakek, nenek, uwak, bibi, yang sudah tua membasahi kepala pengantin, dan menyuapi pengantin dengan nasi kuning dan ayam kampung lengkap dengan rempelo dan memberi minum air putih diikuti dengan pembacaan sanjak dan pantun serta nasehat, memperkenalkan penganten kepada orang yang menyuapi itu. Kegiatan ini dilakukan oleh para ibu. Duduk di pelaminan acara ini dihadiri oleh keluarga, tetangga, dan handai tolan, semua undangan.Nyanjoi dari kata sanjo artinya berkungjung, acara ini dilakukan setelah acara munggah dan nyemputi. Dilakukan 2 kali, malam pertama untuk muda mudi malam kedua untuk orang tua. Nyemputi atau ngundu mantu. Sesudah 2 hari acara munggah, dilakukan nyemputi penganten di rumah penganten wanita oleh pihak keluarga penganten laki-laki.

Pada saat ini keluarga perempuan sudah siap akan mengantar pengantin wanita ke tempat laki-laki, saat ini juga keluarga lakilaki sudah siap merayakan penganten laki-laki membawa pulang istri. Acara keramasan dan mandi simburandilakukan di rumah perempuan. Maknanya bahwa penganten mohon doa restu untuk hidup sebagai suami isteri. Menyonsong malam pertama, kedua penganten diberi nasehat dan petunjuk oleh sesepuh keluarga (mak Inang) tentang melakukan hubungan suami isteri. Mak inan membawa seperai warna putih yang telah bernoda perawan untuk diserahkan kepada kedua orangtua mempelai(kebanggan orang tua). Jika tidak perawan lagi maka penganten laki-laki berhak mengembalikan penganten perempuan kepada orang tua dan meminta kembali semua barang.

Kesenian daerah Palembang antara lain, dul muluk adalah kesenian tradisional yang berbentuk seni teater yang ada di sumsel, dipakai pada acara perkawinan, dan panggung hiburan. Tari Madik (Nindai), menggambarkan orang tua berkunjung ke rumah gadis, dengan tujuan melakukan penilaian terhadap calon mantu. Tari Majeng Besuko, menggambarkan kesukariaan para remaja memikat jenis kelamin lain, bahkan ada yang saling jatuh cinta, nikah. Gending sriwidjaya, ini sering dinyanyikan pada acara resmi mis, kegubernuran, tamu agung. Gelar kebangsawanan sesuai dengan tingkatnya ;

  1. Raden – Raden Ayu
  2. Masagus – Masayu
  3. Kemas – Nyimas
  4. Ki –Agus – Nyayu

Gelar ini diperoleh berdasarkan garis keturunan ayah. Tempat duduk mereka diatur sesuai dengan gelar tersebut.Bahasa Palembang ada 2 yaitu ; Palembang Alus dan Palembang sehari-hari. Palembang alus dipakai pada kelompok pemuka masyarakat

 

3. Budaya Daerah Jambi

Masyarakat melayu jambi mengenal undang –undang adat secara turun temurun antara lain tetap mengenal istilah :

1.      Titian teras bertangga batu maksudnya titian teras merupakan adat, sedangkan bertangga batu syarak dan kitabullah. Teras merupakan bagian dari pada inti kayu yang tidak mudah dipatahkan namun dapat dipindahkan (dialihkan)

2.      Hukum syarak disebut bertangga batu, hukum yang positif dan permanen baik menghadap ke bawah maupun menghadap ke atas, nan tak dapat dipikul diajak (dipindahkan), tidak mempunyai prioritas pada seseorang. Kalau sesuatu itu dikatakan haram haruslah haram, najis dikatakan najis

Masyarakat Jambi jarang sekali ditemukan beristeri lebih dari satu. Dalam hukum kekerabatan menganut hukum bilateral yaitu setiap individu di dalam menarik garis keturunannya selalu menghubungkan diri kepada pihak keluarga bapak maupun pihak keluarga ibu. Jika hukum waris menggunakan patrinial sebagian besar jatuh pada pihak-pihak laki-lakiBahasa masyarakat Jambi adalah bahasa Melayu asli, dialek yang muncul ketika menggunakan bahasa Indonesia ” A” menjadi ” O ”mis, kemana menjadi kemano, siapa menjadi siapo, dsb. Kekhasan bahasa Melayu yang termasuk kesusasteraan lama yang menyentuh keharuan rasa ” rasa kagum, rasa hormat, rasa sayang, rasa bangga, dan rasa benci. Masyarakat jambi memeluk agama yang bervariasi yaitu Islam, Kriten katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu.

Pada masa sebelum perkawinan anak gadis dan pria Jambi yang sangat selektif  dalam memilih pasangan, dikatakan dalam sebuah ungkapan Bak Siliwang dibalik batang. Siliwang adalah nama seekor ikan di sungai di dasar air, mereka senang di balik-balik batang, apabila ada makanan yang hanyut di sekitarnya dia tidak terus menerkamnya, ikan ini akan melakukan gerak maju mundur. Pada saat pemuda datang berkunjung ke rumah gadis menggunakan pantun, dengan pantun ini mereka merendahkan diri. Setelah selesai peminangan, pihak laki-laki meletakkan mengikatnya dengan tanda sebuah cincin begitu juga perempuan. Masa bertunangan ini adalah waktu pengujian sikap, kesabaran, kejujuran, dan kemampuan menjawab tantangan rasa. Ini merupakan untuk mempersiapkan pesta atau kenduri.

Jika masa tunangan sudah habis waktunya tiba waktu lek (pesta). Pihak laki-laki datang untuk menentukan waktu kapan tepatnya lek (pesta). Pada hari lek yang diundang ibu ibu membawa beras dalam rantang atau baskom, gula, garam, kecap, dsb.. Kaum bapak memberikan uang masukan dalam amplop diberikan pada tuan rumah. Setelah pesta di rumah perempuan, maka ada masa berkunjung ke rumah laki-laki, disini diadakan lagi lek. Ibu-ibu yang datang membawa makong, piring, pecah belah lainnya. Bapak bawa uang dimasukkan dalam nampan yang ditutupi dengan kain songket. Acara pokok di rumah pengantin pria adalah tunjuk ajar (memberikan pengajaran) kepada kedua pengantin, serta mengubah panggilan. Seperti mama, bibi, pak tuo, pak ngah, dll. Pada pelaksanaan pesta ada tiga unsur pakaian yang selalu dipakai yaitu:

1.      Kain serai serumpun, yang melambang suatu harapan supaya anak cucu mereka akan berkembang biak seperti biaknya serai .

2.      Selungkang pinang, melambangkan kain persiapan pendukung (pendukung anak yang akan dilahirkan)

3.      Persiapan emas, maksudnya barang ini dapat dipergunakan mengatasi semua keperluan dan kebutuhan hidup, sandang pangan, papan, pendidikan.

4.      Menuak dukun/bidan

Ibu hamil dirawat oleh seorang dukun beranak disebut bidan. Upacara menuak dukun beranak dilakukan secara adat dengan mandi berlimau kedua calon ayah dan ibu pada pagi hari, setelah itu mengadakan kenduri dengan mengundan orang sekampung. Pantangan pada pria jika isterinya hamil (1) dilarang memotong ayam, (2) jangan membunuh kera,atau ular (3)  jika mandi jangan melilitkan handuk di leher, (4) jangan melakukan perbuatan tercela, (5) Dianjurkan suami dan isteri baca quran ayat Yusuf dan Maryam. Bagi isteri yang hamil (1) jangan  bersifat AIDS (Angkuh, Iri, Dengki, Sombong). (2) jangan suka duduk di depan pintu, (3) jangan banyak duduk, (4) jangan banyak makan kerupuk jangat, (5) jangan terlalu bebas makan yang berlemak

Acara kematian yang terutama diberitahu Syara dan tuo tangganai. Siapa duluan datang mengelilingi mayat dan membaca yasin. Bagi kaum ibu datang duduk di bagian dalam rumah datang dengan membawa beras. Beras diletakkan pada keranjang kecil yang bulat yang ditutup dengan sapu tangan, sebagian datang membawa kain penutup mayat, setalah penguburan kain dikembalikan. Setelah penguburan malam hari dilanjutkan tahlilan selama 3 malam berturut. Pada hari ketujuh diadakan acara naik tanah, di hari keseribu diadakan acara semen  menembok kuburan.

Rencana Pembelajaran Semester - Wawasan Budaya

21 September 2020 03:56:48 Dibaca : 2047

Mata Kuliah: Wawasan Budaya

SKS: 2 SKS

Dosen: Jumadi Mori Salam Tuasikal, S.Pd., M.Pd

Fakultas/Jurusan: Ilmu Pendidikan/Bimbingan dan Konseling

Semester: Ganjil

 

A.    Tujuan Matakuliah

Setelah mengikuti matakuliah ini, diharapkan mahasiswa memiliki wawasan, pengertahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang kompeten dalam memahami konsep budaya.

 

B.     Indikator Pencapaian

Mahasiswa mampu:

1.      Menggambarkan pendekatan-pendekatan wawasan budaya

2.      Memahami konsep dan unsur-unsur kebudayaan

3.      Mendeskripsikan masalah-masalah budaya (lokal, regional, nasional dan global)

4.      Menjelaskan struktur dan dinamika budaya masyarakat Gorontalo dan kawasan sekitarnya

5.      Menganalisis perubahan-perubahan budaya (lokal s/d global)

6.      Menganalisis hubungan disiplin ilmu pengetahuan dan  budaya

7.      Menganalisis pengaruh Teknologi ITC dan Network manusia dalam budaya kontemporer di Indonesia dan Gorontalo

8.      Mengetahui ketimpangan-ketimpangan budaya dan kemajuan masyarakat

9.      Memahami perbandingan budaya di Indonesia dan Asia Tenggara 

10.  Membuat analisis jangka panjang transformasi masyarakat dan budaya lokal dan Indonesia di era global

 

C.    Strategi Perkuliahan

Perkuliahan ini akan dilakukan dengan cara:

1.      Ceramah, Tanya jawab dan diskusi

2.      Penyajian Essay

3.      Analisis jurnal/artikel

4.      Kliping

5.      Wawancara dan observasi ke masyarakat

6.      Strategi lainnya akan disesuaikan dengan kondisi perkuliahan

 

D.    Evaluasi Perkuliahan

Keberhasilan dalam perkuliahan ini ditentukan oleh:

1.      Kehadiran dalam perkuliahan (10%)

2.      Ketuntasan Tugas (20%)

3.      Ujian Tengah Semester (30%)

4.      Ujian Akhir Semester (40%) dan

5.      Perilaku atau adab keseharian yang ditampilkan akan menjadi penentu nilai akhir

 

E.  Deskripsi Pelaksanaan

 

F. Reference:

Alim Niode. (2007). Gorontalo: Perubahan Nilai-Nilai Budaya dan Pranata Sosial. Jakarta: Pustaka Indonesia Press.

Basri Amin (2013). Memori Gorontalo: Teritori, Tradisi dan Transisi. Yogyakarta: Ombak.

B.J. Haga. (1981). Lima Pahalaa, Susunan Masyarakat, Hukum Adat dan Kebijaksanaan Pemerintah di Gorontalo. Jakarta: Djambatan.

Ben Chu (2017). Chinese Whispers: Membongkar Mitos tentang China. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 David Chaney (1996). Life Styles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra: Yogyakarta.

 Edi Sedyawati (2014). Kebudayaan di Nusantara: Dari Keris, Tor-Tor sampai Industri Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

 George Ritzer (2006). The Globalization of Nothing: Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

 Hamis McRay. (1999). Dunia di Tahun 2020: Kekuasaan, Budaya dan Kemakmuran: Wawasan Tentang Masa Depan. Jakarta: Bina Aksara.

 Ian F. McNeely & Lisa Wolverton (2010). Para Penjaga Ilmu dari Alexandria sampai Internet. Ciputat: Literati.

 Koentjaraningrat (2002). Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

 Lawrance Harrison & Samuel Huntington (2000). Cultre Matters: How Values Shape Human Progress. New York: Basic books.

 Raymond Williams (1985) Culture: Keywords, A Vocabulary of Culture & Society. London: Oxford Univ. Press.

 Robert Hefner (Ed, 2000). Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: LP3ES.

Thomas L. Friedman. (2006). The World is Flat. New York: Penguin.

Ket:  Mahasiswa dapat menggunakan sumber penunjang lainnya yang dianggap relevan dengan setiap pokok bahasan yang dibahas, diutamakan buku dan jurnal.