ARSIP BULANAN : March 2020

PIK-R MTsN 1 Kota Gorontalo Sukses Gelar Seminar Motivasi

Kota - (Kemenag.go.id) – Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R) Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kota Gorontalo, sukses menghelat seminar motivasi, Jumat, (9/2/2019) bertempat di Aula MTsN 1 Kota Gorontalo. Seminar yang mengusung tema menciptakan Generasi Berakhlak Mulia dan Berkarakter itu diikuti 378 peserta dari kelas IX MTsN 1 Kota Gorontalo dan mendatangkan Motivator Nasional Jumadi Mori Salam Tuasikal.

Pembina PIK-R MTsN 1 Kota Gorontalo Mahmud Mustofa, S.Pd, menerangkan bahwa seminar ini bertujuan untuk memberikan motivasi kepada seluruh siswa Kelas IX agar bersemangat untuk mempersiapkan diri mengikuti Ujian Nasional.

"Alhamdulillah, seluruh siswa kelas IX antusias dan bersemangat mengikuti kegiatan ini. Kami mengucapkan terimkasih kepada bapak Jumadi Bin Tuasikal yang telah bekerjasama mensukseskan kegiatan ini,” terangnya.

Sementara itu Ketua PIK-R Siti Maulidya Nurtsana Qolbina Lamato mengakubersyukur dengan kegiatan yang telah mereka helat dan sukses ini.

"Alhamdulillah kami bersyukur kegiatan yang telah kami rencanakan ini berjalan dengan lancar," akunya.

Di tempat yang sama Kepala MTsN 1 Kota Gorontalo Karjianto, S.Pd.I, M.Pd memberikan apresiasi kepada Waka Kesiswaan, Pembina PIK-R dan pengurus yang telah menyelenggarakan kegiatan ini. Menurutnya kegiatan ini sangat bermanfaat untuk peserta didik.

"Terimah kasih atas kerja sama bapak Jumadi Bin Tuasikal. Kegiatan seminar ini sangat bermanfaat, terutama untuk memotivasi kepada seluruh peserta didik kelas IX agar bersemangat dalam belajar. Kegiatan ini juga dapat membina karakter dan akhlak mulia," ujar Karjianto.

Karjianto berharap kepada seluruh siswanya agar dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi Ujian Nasional.

"Jangan lupa belajar dan berdoa. Semoga kalian semua sukses melaksanakan Ujian Nasional dengan nilai yang Terbaik," pungkasnya (mar/Aa)

 

Artikel tersebut sudah dimuat pada laman berita online gorontalo kemenag, Di Repost di laman ini dengan sedikit perubahan Nama. Di bawah ini kami cantumkan alamat Webnya

Sumber: http://gorontalo.kemenag.go.id/berita/504382/-

Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd

Universitas Negeri Gorontalo

Email: tuasikal.jumadi@ung.ac.id

Artikel ini telah dimuat pada "Procceding 4th International Counseling Seminar 2016, Expanding of Counseling Services; Word Views, Violence and Sexual Abuse Victims, 19-20 November  2016, hal. 201"  Universitas Negeri Padang.

 ABSTRAK

Konseling sebagai sebuah profesi yang sering kali mengandalkan komunikasi dalam memberikan jasa bantuan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh konseli, tidak hanya berkutat pada pendekatan-pendekatan teoritis, melainkan harus mempertimbangkan sudut pandang budaya masyarakat, semisal sistem adat istiadat yang telah terbentuk dan dijadikan sebagai acuan berkehidupan di dalam suatu masyarakat. Eksistensi pelayanan konseling yang berorientasi pada nilai budaya sudah selayaknya dipahami bahwa pada dasarnya akan terjadi perjumpaan budaya antara konselor dan konseli dari latar budaya yang beragam agar tidak terjadi miskomunikasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa orientasi dan aksentuasi budaya konseling harus mendapat perhatian yang khusus dari konselor, sehingga nilai-nilai budaya, utamanya budaya lokal penting untuk diaplikasikan dalam proses konseling. Dalam rangka memahami budaya melalui sistem adat istiadat dalam suatu masyarakat maka seorang konselor dituntut untuk menggali informasi yang lebih terpercaya dan langsung dari sumbernya yakni melalui perangkat adat yang telah tersistem dalam masyarakat tersebut. Kondisi inilah yang kemudian harus disikapi oleh konselor untuk melakukan kerjasama dengan para perangkat adat dengan maksud untuk menambah wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai budaya, serta sikap yang ideal untuk mempermudah proses konseling.

Kata kunci: Multicultural counseling, perangkat adat, konselor, kerjasama

 A. Pendahuluan

Sejarah membuktikan bahwa sejak zaman dahulu negara Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk. Kondisi tersebut tergambarkan dari semboyan negara yaitu “Bhinneka tunggal Ika” yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemajemukan ini terdiri atas keragaman suku, bangsa, budaya, agama, ras, dan bahasa. Beranekaragamnya budaya yang ada membuat negara Indonesia memiliki keunikan yang khas jika dilihat dari berbagai aspek kehidupan, tinjauan ini tentu penting untuk memahami secara menyeluruh warna- warni suatu budaya. Kompleksitas yang terjadi inilah sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa akan memiliki dampak besar terhadap timbulnya permasalahan-permasalahan di dalam bermasyarakat yang tentunya akan berpengaruh terhadap perilaku sehari-hari dari pada individu ataupun kelompok dalam menjalani kehidupannya. Kontekstual permasalahan dalam kerangka budaya dapat dilihat secara khusus pada masyarakat adat yang telah ada sejak lama di Indonesia.

Dalam menyelesaikan permasalah kehidupan yang berat dan komplit tersebut, dapat dilihat bahwa ada individu yang mampu secara baik melewatinya, dan ada juga yang gagal. Kondisi ini tentu saja harus direspon secara cepat dan tepat melalui penanganan khusus yang professional sehingga diperlukan kapasitas yang ahli dalam bidang ini. Sejalan dengan tantangan yang ada keahlian konselor sangatlah tepat untuk membantu masalah-masalah kehidupan yang sedang dialami melalui pelayanan konseling (Nirwana, 2014).

Penyelesaian permasalahan oleh konselor yang berorientasi pada masyarakat adat sudah barang tentu mewajibkan para konselor untuk meningkatkan kemampuannya dalam memahami seluk-beluk budaya atau kebiasaan yang terbentuk dalam sistem adat istiadat suatu masyarakat. Peran penting para konselor demi memperlancar setiap kegiatan konselingnya sudah seharusnya mendapatkan informasi yang lengkap, hal tersebut dapat dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak, dalam hal ini adalah perangkat adat yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam mempertahankan dan mengelola serta mengerti keadaan masyarakat adat yang berada dalam pengawasannya.

Permasalahannya adalah apa yang harus dipahami dan dilakukan oleh konselor dalam meningkatkan kemampuannya terkait dengan kerjasama dengan perangkat adat dalam konteks pelayanan multicultural counseling pada masyarakat adat? Hal inilah yang akan dijawab dalam penjelasan berikutnya.

 

B. Pelayanan Konselor dalam Multicultural Counseling

Pelayanan konseling merupakan sebuah profesi yang mulia dan altruistik. Sederhananya profesi ini diperuntukan bagi orang-orang yang peduli terhadap orang lain, ramah, bersahabat, dan sensitive (Gladding, 2012). Dengan demikian kepribadian konselor adalah suatu hal yang sangat penting dalam konseling. Seorang konselor haruslah dewasa, ramah, dan bisa berempati dikarenakan kepribadian seorang konselor sangat krusial dalam membina hubungan konseling dan menciptakan perubahan pada diri konseli, dibandingkan dengan kemampuan mereka dalam menguasai pengetahuan, keahlian, atau teknik (Gladding, 2012).

Foster dan Guy (dalam Gladding, 2012) mengemukakan delapan ciri kepribadian konselor yang baik, yaitu: (1) memiliki keingintahuan dan kepedulian yang tinggi, (2) memiliki kemampuan mendengarkan yang baik, (3) dapat menikmati pembicaraan yang berlangsung, (4) empati dan pengertian yang bagus, (5) mampu mengendalikan emosi, (6) dapat mengintropeksi diri, (7) mampu mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan pribadi, dan (8) dapat mempertahankan kedekatan emosional.

Kepribadian yang dimiliki secara spesifik akan sangat berperan dengan baik pada setiap lingkungan kerja tertentu. Demikian pelayanan yang dilakukan konselor dapat terlaksana dengan baik jika kemampuan yang dimiliki berorientasi sosial. Dimana kondisi ini membutuhkan konselor yang terampil membangun hubungan interpersonal dan kreativitas. Tindakan kreatif membutuhkan keberanian dan melibatkan upaya menjual ide dan cara-cara baru dalam bekerja dan meningkatkan hubungan intra dan interpersonal. Semakin sesuai kepribadian dengan lingkungannya, semakin efektif dan semakin puas mereka dalam bekerja (Gladding, 2012).

Dalam menghadapi tantangan dan permasalahan kehidupan yang sangat kompleks, konselor diperhadapkan dengan berbagai karakteristik masalah dari setiap individu yang berasal dari tatanan masyarakat dengan kondisi budaya yang beragam. Lebih lanjut, Matsumoto (2008) mendefenisikan budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau sarana komunikasi lain. Hal tersebut ingin menegaskan bahwa pemberian layanan konseling dalam hal ini tidak menjadikan perbedaan budaya sebagai suatu masalah, sebaliknya dengan kondisi tersebut seorang konselor dapat belajar untuk memahami konselinya dan dapat menyadari bahwa orang-orang yang dilayaninya, adalah makhluk yang kompleks dan unik, sehingga mampu mengkombinasikan faktor budaya dan keberagaman sebagai bagian penting yang harus dimengerti dalam pelayanan konseling. Kajian terkait pelayanan konseling yang ditinjau dari latar belakang budaya yang telah dijelaskan di atas dikenal dengan sebuah konsep multicultural counseling.

Multicultural counseling secara umum dilihat sebagai proses konseling dimana konselor dan konseli berbeda budaya. Locke (dalam Brown dan Landrum, 1995) mendefinisikan multicultural counseling sebagai bidang praktik yang (1) menekankan pentingnya dan keunikan (kekhasan) individu, (2) mengaku bahwa konselor membawa nilai-nilai pribadi yang berasal dari lingkungan kebudayaannya ke dalam pelaksanaan konseling, dan (3) selanjutnya mengakui bahwa konseli yang berasal dari kelompok ras dan suku minoritas membawa nilai-nilai dan sikap yang mencerminkan latar belakang budaya masing-masing. Disamping itu, konseling dengan latar berbeda budaya sering kali diistilahkan sebagai konseling lintas budaya. Sue dkk (1992) mengungkapkan bahwa “Cross culture counseling/therapy may be defined as any counseling relationship in which two or more of the participants differ with respect to cultural background, values, and life style”. Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling yang ada dua peserta atau lebih berbeda sehubungan dengan latar belakang budaya, nilai-nilai, dan gaya hidup.

Dalam Memahami latar belakang klien terkait keberagaman budaya dalam pemecahan masalahnya, konselor perlu menekankan pada pengumpulan data terkait informasi yang diperlukan dalam konteks pelayanan multicultural counseling. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa ada hal-hal penting yang perlu untuk diketahui secara menyeluru oleh seorang konselor. Mengenai hal ini, Draguns (1989) menawarkan point kunci dalam pelaksanaan multicultural counseling yaitu :

1. Teknik konseling harus dimodifikasi jika terjadi proses yang melibatkan latar belakang budaya yang berbeda.

2. Konselor harus mempersiapkan diri dalam memahami kesenjangan yang makin meningkat antara budayanya dengan budaya konseli pada saat proses konseling berlangsung.3. Konsepsi menolong atau membantu harus berdasarkan pada perspektif budaya konseli, dan konselor dituntut memiliki kemampuan mengkomunikasikan bantuannya serta memahami distrees dan kesusahan konseli.4. Konselor dituntut memahami perbedaan gejala dan cara menyampaikan keluhan masing-masing kelompok budaya yang berbeda.5. Konselor harus memahami harapan dan norma yang mungkin berbeda antara dirinya dengan konseli.

Kelima aspek tersebut menunjukkan konselor sebagai aktor utama dalam proses konseling dituntut memiliki kemampuan dalam memodifikasi teknik konseling dan memahami aspek-aspek budaya dari konselinya serta memahami kesenjangan dan perbedaan antara budayanya dengan budaya konseli. Senada dengan hal di atas McFadden (dalam Glading, 2012) menggungkapkan bahwa ada tiga fokus dimensi utama yang harus dikuasai oleh konselor mengenai persepektif lintas budaya antara lain (1) kultural-historikal, yaitu konselor harus menguasai pengetahuan akan budaya klien, (2) psikososial, yaitu konselor harus memahamai etnik, ras, performa, percakapan, tingkah laku, kelompok sosial dari klien dapat bisa memiliki komunikasi yang bermakna, dan (3) saintifik-ideologikal, yaitu konselor harus menggunakan pendekatan konseling yang tepat untuk menghadapi masalah yang terkait dengan lingkungan regional, nasional, dan internasional.

Menurut Sue dkk (1992) ada tiga kompetensi multicultural counseling yang harus dimiliki yaitu: Attitudes dan Belief, Knowledge, dan Skills. Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan konselor memiliki kompetensi dasar tersebut:

1. Agar memiliki empati dengan individu-individu yang berbeda latar belakang, serta memiliki kesadaran sendiri terhadap nilai dan kepercayaan yang ada pada diri sendiri yang tetap berorientasi pada nilai-nilai kebenaran.2. Mampu memahami dunia konseli melalui membaca dan belajar tentang berbagai budaya sehingga bisa memahami apa yang dipahami klien tentang dunianya.3. Konselor juga perlu banyak membaca, belajar, dan berlatih dari berbagai buku dan teknik serta strategi bagaimana menginterensi budaya dengan cara yang sesuai.

Berdasarkan gagasan yang telah diungkapkan tersebut kita dapat memahami bahwa multicultural counseling tidak mengabaikan pendekatan tradisional yang monokultur, melainkan mengintegrasikannya dengan perspektif budaya yang beragam dengan tujuan memperkaya teori dan metode konseling yang sesuai dengan konteks pelayanan konseling saat itu, sehingga konselor perlu mengambil sikap proaktif terhadap perbedaan budaya, mengenali dan menghargai budaya setiap konseli serta memiliki wawasan, keyakinan, sikap dan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan dalam merealisasikal keprofesionalan seorang konselor.

 

C. Masyarakat Adat Berbudaya

Suatu masyarakat secara sederhana dapat pahami sebagai suatu bentuk kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan beragam kebudayaan yang berkembang membentuk suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial di dalam berkehidupan.

Menurut konvensi International Labour Organization (Keraf, 2010) masyarakat adat adalah masyarakat yang berdiam di negara-negara merdeka di mana kondisi sosial, kultural, dan ekonominya membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara tersebut dan statusnya diatur baik seluruh maupun sebagian oleh masyarakat adat dan tradisi masyarakat tersebut atau dengan payung hukum dan atau pengaturan khusus. Senada dengan dengan pendapat tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan bahwa yang disebutkan masyarakat adat adalah komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan sosial yang khas.

Keberadaan masyarakat adat memberi makna bahwa ada hal-hal tertentu yang membedakanya dengan masyarakat umumnya. Keraf (2010) menyebutkan ciri-ciri masyarakat adat yaitu (1) mendiami tanah-tanah nenek moyangnya, baik seluruh ataupun sebagian, (2) mempunyai garis keturunan yang sama yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut, (3) mempunyai budaya yang khas, menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, bahasa sendiri, termasuk cara mencari nafkah, (4) biasanya hidup terpisah dengan masyarakat yang lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari komunitasnya.

Selanjutnya Hollenmann (dalam Alting, 2010) membuat empat konsep sebagai kesimpulan terhadap sifat dari masyarakat adat, yaitu magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal tersebut dapat dipahami melalui penjelasan berikut.

1. Magis religious; yaitu suatu pola pikir yang didasarkan pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas ini diwujudkan dalam cara berpikir yang animism dan kepercayaan pada alam ghaib2. Komunal; yaitu masyarakat memiliki pandangan bahwa setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan serta kepentingan individu harus sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.3. Konkrit; diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.4. Kontan; yaitu mengandung arti sebagai kesertamertaan terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu dengan kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika.

Kondisi beragam pada masyarakat adat berdasarkan pada ciri-ciri dan sifatnya maka sudah barang tentu memberi kontribusi langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku masyarakat, sehingga setiap aspek perilaku individu akan dikaitkan dengan adat istiadat yang dimilikinya. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Apeldoorn (1978) yang mengungkapkan bahwa adat semata-mata adalah peraturan tingkah laku, kaidah-kaidah yang meletakan kewajiban-kewajiban. Hal ini tentu menjadi penting dikarenakan permasalahan yang terjadi kepada individu tidak terlepas dari pengaruh adat yang telah membudaya dan tersistem secara turun temurun pada masyarakat adat tertentu.

 

D. Kerjasama Konselor dengan Perangkat Adat

Keberhasilan kinerja para konselor dalam pelayanan konseling tidak terlepas dari kerjasama yang seharusnya dibangun dengan berbagai pihak dalam mempermudah setiap proses pelayanan yang dilakukan oleh konselor. Hal ini dikarenakan konselor bukan merupakan satu-satunya sumber pemecahan masalah. Berbagai macam pemecahan itu ada dan terdapat di masyarakat yang terangkum dalam sistem sosial. Ini mengisyaratkan bahwa konseling perlu dipertimbangkan secara matang sebagai wujud usaha kolaboratif antara konselor, konseli dan para ahli yang terkait, sehingga bisa berbagi bersama sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Oleh karena itu, seorang konselor perlu menciptakan penyelesaian dalam suatu permasalahan secara bersama-sama dengan pihak-pihak lain yang terkait.

Lebih lanjut untuk membangun sebuah konsep kerjasama yang baik, menurut Dollarhide dan Saginak (2012) mengungkapkan bahwa sudah seharusnya koordinasi terhubung dengan kepemimpinan, keterlaksanaan koordinasi tidak sebagai fungsi pasif dari program konseling secara komprehensif, dan koordinasi sangat penting bagi organisasi dan pengelolaan program. Demikianlah jika Konselor ingin menerapkan sebuah pelayanan yang berorientasi multicultural counseling dalam masyarakat adat sudah selayaknya melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam mengelola sistem adat pada masyarakat tersebut yakni perangkat adat yang dipercayakan oleh masyarakat untuk mengatur tatanan masyarakat adat.

Hal tersebut memiliki maksud yang jelas, jika kita melihat contoh dari kondisi kekinian pada latar belakang masyarakat perkotaan yang cenderung tidak lagi menggunakan pendekatan adat yang tradisional dalam bermasyarakat menunjukan bahwa konselor secara leluasa mampu membuka praktik konseling tanpa mengalami banyak hambatan terkait adat-istiadat yang masih sangat tradisioanal dalam menerima sesuatu yang baru di luar kebiasaannya. Kondisi ini berkenaan dengan karakterisrik masyarakat adat yang lebih patuh dan menyerahkan seluruh penyelesaian masalah untuk diselesaikan secara adat sehingga tidak memberi ruang kepada konselor untuk melakukan konseling karena terhalang sistem adat yang masih kuat dalam sebuah masyarakat, misalkan saja permasalahan individu terkait dengan hukum-hukum adat menyangkut pekerjaan, tatanan bermasyarakat, sistem perkawinan, cara berkomunikasi, gaya berbahasa, ritual dan keyakinan adat serta hal lainnya yang harus dijunjung tinggi dan kesemuaannya itu tidak dipahami konselor sehingga pada akhirnya pelayanan konseling yang seharusnya menyentuh seluruh lapisan masyarakat menjadi terhambat atau tidak terlaksana sama sekali.

Kerjasama antara konselor dan perangkat adat dalam konteks ini bukan untuk melemahkan kontrol perangkat adat terhadap masyarakatnya namun lebih kepada saling melengkapi dan menyikapi permasalahan masyarakat yang lebih kompleks berdasarkan karakteristik kolaborasi akan tugas dan fungsi dari masing-masing peran, sehingga keduannya mampu berkoordinasi dalam gagasan dan ide, sumber daya, bahan, dan personil tentang desain dan penciptaan program yang tepat yang bersinergi dalam rangka memberikan layanan kepada konseli dengan memberi pandangan, tindakan, memahami, menyadari, memaksimalkan dan mengefektifkan potensinya seoptimal mungkin dalam hubungan kemitraan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Abdulsyani (dalam Alting, 2010), mengatakan bahwa kolaborasi berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama. Kolaborasi sendiri merupakan suatu proses sosial yang paling dasar. Biasanya, kolaborasi melibatkan pembagian tugas, dimana setiap orang mengerjakan setiap pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya demi tercapainya tujuan bersama.

Frans dan Bursuck (1996) mengemukakan bahwa, karakteristik kolaborasi di dalam kerjasama didasari oleh sukarela, kesetaraan hubungan, tujuan bersama, tanggung jawab terhadap hasil, mampu menjadi sumber, kepercayaan dan kepentingan konseli. Selain itu pihak-pihak yang berkolaborasi harus memahami prasyarat melakukan kolaborasi, yaitu adanya sikap saling percaya, memiliki keterampilan berinteraksi, dan memberikan kontribusi terhadap lingkungan. Dengan demikian akan lebih banyak program dari konselor ataupun program bersama yang bisa diberdayakan demi kemandirian masyarakat tanpa mengganggu tugas dan fungsi dari perangkat adat. Pola berdasarkan penjelasan yang dikemukakan di atas jika dikerangkakan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Berdasarkan kerangka tersebut, maka kerjasama yang dibangun sudah jelas bahwa harus bermuara demi tercapainya proses pelayanan yang mensejahterahkan konseli dalam hal ini adalah masyarakat adat melalui sebuah kolaborasi program yang dibangun atas komitmen bersama untuk sebuah kemitraan yang harmonis.

 

E. Penutup

Dalam merespon kondisi keberagaman budaya yang ada, konselor secara spesifik dapat melakukan pendekatan kepada masyarakat adat melalui perangkat adatnya sebagai tindakan untuk memperoleh informasi berkenaan dengan suatu budaya dalam rangka meningkatkan kemampuan keprofesionalnya. Dalam konteks ini seorang konselor harus mampu melakukan kerjasama menggunakan prinsip-prinsip kolaborasi yang baik sehingga dapat memberikan manfaat, menambah wawasan, pengetahuan, melatih keterampilan, menambah pemahaman akan nilai-nilai yang dianut masyarakat adat setempat, dan mampu membentuk sikap yang selaras dengan tuntutan permasalahan yang dihadapi dalam setiap proses pelayanan konseling. Hal ini dimaksudkan supaya konselor mampu merancang sinergitas program multicultural counseling untuk menyatukan sudut pandang budaya dari konselor dan budaya masyarakat adat dalam satu keterpaduan sistem yang saling menguntungkan.

Perencanaan program yang dimaksudkan di sini yaitu suatu standar operasiaonal yang disepakati bersama yang disesuaikan dengan kekhususan tiap-tiap adat untuk menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah perilaku konseli sesuai dengan kebutuhan yang dirasa penting dan segera harus ditangani, dan yang terpenting bahwa keberadaan konseli mampu diterima masyarakat adat dan tidak menimbulkan gejolak dalam tatanan masyarakat adat.

 

F. Daftar Pustaka

Alting, H. (2010). Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Apeldoorn. (1978). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradya Paramita.

Brown, M . T , dan Landrum, B. J. (1995). Counselor supervision: Cross-cultural perspectives

Handbook of multicultural counseling. Thousand Oaks, CA: Sage

Dollarhide, C. T., dan Saginak, K. A. (2012). Comprehensive school counseling programs: K–12 delivery systems in action (2nd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson.

Frans dan Bursuck, W. (1996). Including Students

With Special Needs. Boston: A&B.

Gladding, S.T. (2012). Konseling: Profesi yang menyeluruh. Alihbahasa oleh P.M. Winarno dan Lilian Yuwono. Jakarta: Indeks.

Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi: Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Nirwana, H. (2014). Peningkatan Keprofesionalan Konselor Sekolah di Lapangan. Prosiding International Guidance and Counseling Conference 210-213.

Sue, D.W., Arrendondo, P., dan McDavis, R. J. (1992). Multicultural Counseling Competencies and Standards: A Call to the Profession. Journal of Counseling and Development Vol 20 64-88.

SILAHKAN UNDUH FILE ASLI 'PDF'

 Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd

 Universitas Negeri Gorontalo

 Email: tuasikal.jumadi@ung.ac.id

Artikel tersebut telah dimuat pada Prosiding  Seminar Nasional dan WorkShop "Fun and Full  Day School" 18 Maret 2017, hal. 185-193. Universitas Negeri Gorontalo

  ABSTRAK

Full day school sebagai sebuah gagasan yang ingin diimplementasikan di dalam sistem pendidikan Indonesia akan sangat mengandalkan rancangan program yang beragam dalam pelaksanaannya, sehingga diharapkan mampu memberikan pembelajaran yang menyenangkan bagi para siswa di sekolah. Disamping itu juga, bertujuan untuk mengisi waktu luang sebagai dampak dari keberadaan siswa di sekolah seharian. Program berbasis karakter merupakan salah satu aspek pembelajaran yang akan diakomodir di dalam full day school selain mengembangkan aspek kongnitif para siswa. Eksistensi konselor dalam dunia pendidikan yang berorientasi pada pengembangan diri siswa secara optimal melalui proses pelayanan konseling adalah pendidik yang tepat untuk mewujudkan ketercapaian pembentukan karakter siswa. Hal tersebut jelas berdasar karena merupakan bidang kajian dan keahlian dari seorang konselor. Selain itu, ketercapaian proses pembentukan karakter harus dipahami bahwa pada dasarnya tidak hanya berlangsung dan berkembang di dalam setting pendidikan formal saja, namun pada seluruh latar kehidupan siswa baik di sekolah, di keluarga ataupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam rangka membentuk karakter siswa secara utuh dan menyeluruh maka seorang konselor dituntut untuk menggali informasi yang lebih terpercaya dan mampu menyesuaikan perannya serta mensosialisasikan program kepada seluruh pihak yang terkait. Kondisi inilah yang kemudian harus disikapi oleh konselor untuk melakukan perannya melalui kerjasama dengan orangtua siswa agar setiap program layanan yang diberikan akan berdampak sistemik di dalam kehidupan sehari-hari siswa.

Kata kunci: Full day school, karakter, konselor, orangtua

 A. Pendahuluan

Bangsa Indonesia memerlukan sumber-daya manusia dengan kualitas yang memadai sebagai kekuatan utama untuk membangun dan mengelola semberdaya alam yang melimpah di negeri ini. Oleh karenanya, ketercapaian tujuan tersebut sudah seharusnya didukung oleh sistem pendidikan yang bermutu. Seperti yang diungkapkan oleh Dewantara (2004) bahwa pendidikan itu bertujuan untuk membangun peradaban manusia ke arah kehidupan yang lebih baik melalui pembudayaan buah budi manusia yang beradab.

Dalam pelaksanaannya pendidikan sendiri dapat diperoleh melalui jalan formal atau non formal. Jika Pendidikan dilakukan secara formal maka prosesnya mengikuti program-program yang tersistem dan telah direncanakan, terstruktur oleh sebuah lembaga, insititusi, atau kementrian dalam suatu negara. Disamping itu pendidikan non formal adalah pencapaian pengetahuan yang diperoleh hanya dari perjalanan kehidupan sehari-hari tentang berbagai pengalaman, baik yang dialami atau dipelajari dari orang lain atau lingkungan.

Senada dengan hal ini, maka pendidikan dipastikan akan berunjung pada pengembangan harkat dan martabat manusia. Memaknai pentingnya kondisi tersebut, maka melalui UU No. 20 Tahun 2003 pemerintah mengarahkan tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta mampu bertanggung jawab. Agar implementasi tujuan pendidikan tersebut bisa berjalan baik, maka para pakar pendidikan di negeri ini telah berusaha membenahi sistem pendidikan dan kurikulum dengan menawarkan berbagai solusi. Salah satu diantaranya adalah dengan membangun lingkungan pendidikan pada sekolah-sekolah berbasis karakter. Hal ini dikarenakan pengaruh-pengaruh dari lingkungan memiliki sumbangsih yang sangat relevan terhadap pembentukan perilaku siswa (Campbell, 2002). Lebih lanjut (Yusuf, 2007) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian siswa baik dalam berfikir, bersikap maupun berperilaku. Dari kondisi tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk pengintegrasian pengembangan karakter melalui pengoptimalan aspek kognitif, emosi dan spiritual siswa yang akan mampu berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia yang utuh.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 untuk pengembangan diri yang berorintesi terhadap pembentukan karakter sudah seharusnya diintegrasikan dengan mata pelajaran di sekolah dan untuk pelaksanaan kegiatan pengembangan diri akan difasilitasi dan dilaksanakan oleh konselor dan dibantu oleh seluruh tenaga pengajar. Disamping itu kegiatan pengembangan diri selain dilakukan melalui kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling dapat juga melalui kegiatan ektra kurikuler lainnya, selaras dengan itu dikatakan bahwa bimbingan merupakan bagian integral dari proses pendidikan dan memiliki kontribusi terhadap keberhasilan proses pendidikan disekolah (Nurhisan, 2005).

Keberadaan konselor sendiri dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik (UU No. 20 Tahun 2003). Oleh sebab itu, menurut Willis (2009) sebagai seorang konselor harus memiliki semua kriteria kualitas yang diunggulkan, termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan dan nilai-nilai yang dimilikinya yang akan memudahkannya dalam menjalankan proses konseling sehingga mencapai tujuan yang berhasil. Pengembangan karakter melalui berbagai program layanan oleh seorang konselor sudah barang tentu mewajibkan para konselor untuk meningkatkan kemampuannya dalam memahami seluk beluk setiap aspek yang dimiliki oleh siswa, dimulai dari kebiasaan-kebiasaannya di sekolah, keluarga dan di dalam kehidupan bermasyarakat yang akan kemudian akan memberikan gambaran jelas terkait potensi yang dimiliki siswa. Hal ini yang dimaksud oleh Battistich (2007) bahwa pendidikan karakter yang efektif akan terlaksana jika semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting. Dengan demikian bahwa peran penting konselor demi memperlancar setiap kegiatan konselingnya sudah seharusnya mendapatkan informasi yang lengkap secara menyeluruh.

Untuk itu tersebut dapat dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak, Dalam konteks ini yang lebih dulu memahami siswa adalah lingkungan keluarganya yang merupakan lingkungan utama dimana siswa dibesarkan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa orangtua adalah perangkat keluarga yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memahami kondisi anaknya secara menyeluruh, sehingga patut kiranya hubungan antara konselor dan orangtua siswa dilakukan melalui sebuah kerjasama yang baik terkait pola didikan dan program-program layanan yang harus saling terintegrasi antara kegiatan pendidikan di sekolah dan didikan orangtua di dalam keluarga, sehingga siswa mampu belajar dari keteladanan sorang pendidik dan menjadikannya sebagai model (Lefrancois, 1994). Apalagi dengan kondisi kekinian dimana beberapa sekolah lagi menerapkan sistem full day school sebagai wadah untuk mengedepankan pengembangan karakter bagi siswa. Peryataan tersebut senada dengan pendapat Nirwana (2014) yang menggungkap-kan bahwa pelaksanaan full day school yang baik bisa membangun karakter para siswa di sekolah.

Berkenaan dengan seluruh situasi pendidikan yang ada, bagaimanakah seharusnya seorang konselor memahami dan bertindak untuk meningkatkan peranannya dengan orangtua dalam konteks pendidikan karakter ? untuk itu artikel ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman teerkait pesoalan tersebut.

 B. Implementasi Full Day School terhadap Pembentukan Karakter

Penggunaan istilah Full day school dimaksudkan sebagai suatu proses pembelajaran yang dilaksanakan secara penuh dengan aktifitas anak lebih banyak dilakukan di sekolah dari pada di rumah. Senada dengan itu menurtu Salim (1988) Full day School berasal dari bahasa inggris, full artinya penuh, day artinya hari, sedangkan school artinya sekolah. Jadi Full day school berarti sekolah

sepanjang hari. Kendati demikian proses pembelajaran yang seharian di sekolah tidak hanya berlangsung di dalam kelas, melainkan tambahan jam sekolah yang digunakan untuk pendalaman ilmu pengertahuan dengan metode pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, menyelesaikan tugas dengan bimbingan guru, pembinaan mental, jiwa dan moral siswa yang berunjung pada pengembangan karakter dan potensi kearah yang optimal.Dalam pelaksanaannya menurut Nirwana (2014) full day school dirancang agar siswa dilatih untuk belajar, sementara rancangan kegiatannya dimulai pukul 7.30 sampai 16.30 WIB, mulai hari senin sampai kamis. Sedangkan hari jumat dan sabtu jadwalnya dari 7.30 sampai 12.00 WIB. Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa dengan penerapan full day school dapat bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu dan hasil belajar siswa, (2) membimbing siswa dalam mengamalkan agama melalui kegiatan ibadah, (3) meningkatkan hubungan psikologis antara guru dan siswa, (4) menumbuhkan rasa kebersamaan di antara siswa, dan (5) pendalam materi.

Dengan mengikuti full day school, para orangtua dapat mencegah dan menetralisir kemungkinan dari kegiatan-kegiatan anak yang menjerumus pada kegiatan yang negatif. Disamping itu menurut Baharuddin (2009) terdapat beberapa alasan mengapa full day school menjadi pilihan yaitu

(1) meningkatnya jumlah orangtua (parent-career) yang kurang memberikan perhatian kepada anaknya, terutama yang berhubungan dengan aktivitas anak setelah pulang dari sekolah

(2) perubahan sosial budaya yang terjadi dimasyarakat, dari masyarakat agraris menuju ke masyarakat industry yang menjurus kearah individualisme,

(3) perubahan sosial budaya memengaruhi pola pikir dan cara pandang masyarakat, seperti peran ibu yang dahulu hanya sebagai ibu rumah tangga, dengan tugas utamanya mendidik anak, mulai bergeser, dan

(4) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat sehingga jika tidak dicermati, maka kita akan menjadi korban, terutama korban teknologi komunikasi.

Senada dengan pendapat di atas, menurut Hasan (2006) penerapan sistem full day school mempunyai sisi keunggulan antara lain:

1) memungkinkan terwujudnya pendidikan utuh yang efektif melalui memberi penguatan karakter pada seluruh aspek; yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik serta pengembangan kemampuan bahasa asing.

2) memungkinkan terwujudnya intensifikasi dan efektivitas proses edukasi. dalam arti siswa lebih mudah diarahkan dan dibentuk sebab aktivitasnya lebih mudah terpantau.

Lebih lanjut Hasan (2006) mengungkapkan bahwa full day school juga memiliki kelemahan yaitu:

1) menimbulkan rasa bosan pada siswa,

2) siswa membutuhkan kesiapan baik fisik, psikologis, maupun intelektual.

3) jadwal kegiatan pembelajaran yang padat akan meyebabkan siswa menjadi jenuh.

4) memerlukan perhatian dan kesungguhan manajemen agar optimal.

5) sangat dibutuhkan perhatian dan curahan pemikiran terlebih dari pengelolaannya, bahkan pengorbanan baik fisik, psikologis, material dan lainnya.

Namun bagi sekolah yang telah siap dan mempersiapkan segalanya, kelemahan tersebut bukanlah sebuah masalah, tetapi justru akan mendatangkan keasyikan tersendiri bagi siswa dan para pendidik, oleh karenanya menejemen dan pengelolaan sekolah harus meningkatkan keahlian para pendidik serta pemuktahiran bahan dan strategi pembelajaran, serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dan mendukung proses implementasi pendidikan kearah berbasis karakter.

Dalam kaitannya dengan pembentukan karakter makna implementasi berarti penerapan atau membiasakan kepada hal-hal yang membuat terbentuknya karakter yang diwujudkan melalui kebijakan dan inovasi serta tindakan praktis untuk memberikan dampak dan mencapai tujuan yang diinginkan.

Jika sekolah telah siap melaksanakan full day school sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan maka dapat dipastikan bahwa tujuan dalam mengembangkan karakter siswa akan berdampak positif. Lebih jauh Prayitno & Manullang (2011) mengungkapkan bahwa penerapan karakter dengan baik akan membuat kehidupan menempuh jalan lurus yang mengikuti kaidah-kaidah nilai dan norma sesuai fitrah manusia yang berorientasi pada kebenaran dan keluhuran. Kemudian mereka mengartikan karakter di atas sebagai suatu sifat pribadi yang relative stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi.

Disamping itu, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling) dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan (Lickona, 1991). Lebih lanjut menurut Nirwana (2014) ada beberapa karakter yang dapat dibentuk melalui full day school diantaranya adalah kerja keras dan pantang menyerah, pengamalan nilai-nilai agama, bertanggung jawab, hormat pada guru dan teman-teman, serta gemar memberi dan malu menerima. Oleh karena itu, untuk pembentukan karakter anak dalam penyelenggraraan program full day school dapat diimplementasikan melalui pendisiplinan yang diterapkan dalam pembiasaan, keteladanan, penguatan, dan fun learning (Nastiti, 2015).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa banyak hal yang dapat dieksplorasikan oleh tenaga pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dalam membentuk berbagai karakter kearah pengoptimalan potensi siswa, dan yang perlu diperhatikan adalah para pendidik juga harus mampu melakukan kerjasama dengan bebagai pihak yang terkait, guna pengoptimalan peran dan fungsi sebagai tenaga kependidikan yang profesional, mulai dari sesama tenaga pengajar, orangtua dan masyarakat pada umumnya.

 C. Peran Konselor dan Orangtua dalam Full Day School

Dalam pelaksanaan full day school keberadaan konselor merupakan sosok pendidik yang diperlukan untuk memberikan pembelajaran melalui prosedur layanan bimbingan ataupun layanan konseling yang berorientasi kepada pengembangan diri, baik secara perorangan maupun kelompok agar siswa dapat mandiri dan bisa berkembang secara optimal, melalui bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun karier dengan menggunakan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku disamping kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru mata pelajaran.

Hal tersebut selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 mengamanatkan bahwa Pengembangan diri dilaksanakan dalam bentuk kegiatan ekstra kurikuler dan pelayanan konseling, dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat yang dimiliki. Selain itu dalam mengeksplorasi setiap potensi yang dimiliki siswa, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak masalah yang sering kali dihadapi oleh para siswa yang harus diselesaikan oleh seorang konselor. Menurut Tohirin (2013) secara umum masalah-masalah yang dihadapi oleh individu khususnya oleh siswa di sekolah sehingga memerlukan bimbingan dan konseling adalah:

(1) masalah-masalah pribadi,

(2) masalah belajar (masalah-masalah yang menyangkut pembelajaran),

(3) masalah pendidikan,

(4) masalah karir atau pekerjaan,

(5) penggunaan waktu senggang,

(6) masalah-masalah sosial dan lain sebagainya.

Keseluruhan masalah yang diungkapkan di atas akan berpengaruh negatif terhadap pembentukan karakter siswa, oleh karenanya sebagai seorang konselor dalam mengatasi permasalahan tersebut dapat menggunakan berbagai cara pelayanan yaitu bisa menggunakan pelayanan dengan model bimbingan dan konseling 17 plus atau menggunakan model bimbingan konseling komprehensif yang kedua-duanya memiliki tujuan yang sama dalam memberikan pelayanan terbaik kepada siswa namun dengan kerangka pelayanan yang berbeda. Misalkan untuk pelayanan Bimbingan dan konseling pola 17 plus menurut Prayitno (2003), yang terdiri dari: empat 4 macam bimbingan, yaitu : bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karier, 10 macam layanan, yaitu : layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, konsultasi, mediasi, dan advokasi; serta 6 kegiatan pendukung, yaitu : aplikasi instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah, tampilan kepustakaan dan alih tangan kasus .

Sedangkan untuk bimbingan dan konseling komprehensif memiliki 4 komponen layanan yaitu layanan dasar, layanan responsive, layanan perencanaan pribadi dan dukungan sistem (Yusuf, 2007). Berdasarkan layanan-layanan yang diungkapkan di atas, sering kita menemukan pertentangan antara dua macam model layanan tersebut karena sering kali para praktisi kebingungan untuk menggunakan yang mana. Untuk menjawab hal tersebut secara sederhananya adalah mengikuti rujukan atau panduan pemerintah yang telah disahkan, sehingga tersistem secara kelembagaan untuk seluruh sekolah yang ada, entah nanti oleh pemerintah menggunakan rujukan teori yang mana, tapi yang pastinya penggunaan semua model layanan adalah sah secara akademik namun perlu disesuaikan dengan setiap kebutuhan para siswa.

Kemudian dalam sistem full day school yang berorientasi terhadap pengembangan karakter maka kepribadian seorang konselor adalah hal yang sangat penting karena akan ditiru dan dijadikan teladan oleh para siswa. oleh karenanya secara umum menurut Willis (2007) karakteristik kepribadian yang harus dimiliki konselor yaitu beriman dan bertakwa, komunikator yang terampil dan mampu menjadi pendengar yang baik menyenangi manusia, pikiran jernih, memiliki ilmu dan wawasan tentang manusia; sosial budaya; dan merupakan nara sumber yang kompeten, tenang dan sabar, menguasai keterampilan teknik, memiliki intuisi, memahami etika profesional, respek, jujur, asli, dan tidak menilai, fleksibel, empati, memahami, menerima, menghargai, hangat, dan bersahabat, fasilitator dan motivator, memiliki emosi yang stabil, cepat dan mampu, objektif, rasional, logis dan kongkrit serta konsisten dan bertanggung jawab.

Senada dengan hal di atas, kepribadian konselor menurut Geldard & Geldard (2011) yaitu harus menampilkan sikap yang tulus, penuh empati, hangat dan harmonis yang dilandasi kasih sayang, tidak menghakimi dan penerimaan yang positif tanpa syarat, menunjukkan perhatian, pengertian dan dukungan, bersikap kolaboratif dengan menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap orang lain dan menunjukkan kemampuan dalam menggunakan keterampilan konseling sesuai dengan maksud dan tujuannya.

Lebih lanjut menurut Kulsum (2013) bahwa seorang konselor harus memiliki program yang berkesinambungan dan variatif untuk menanamkan paradigma belajar ini dan yakin bahwa konsep tersebut dilaksanakan dalam keseharian. Saat paradigma belajar sudah difahami semua pihak, kemudian konselor harus membangun sistem yang memfasilitasi semua kegiatan sedang menuju kepada optimalisasi tercapainya tujuan pembelajaran. Konselor juga harus mampu menciptakan standar, prosedur, buku pedoman, buku panduan, manual, format, serta formulir sebagai acuan para guru dan siswa dalam melaksanakan program. Namun demikian, standarisasi ini tetap dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa semua program sejalan dengan tujuan pembelajaran dan bukan untuk mempersulit guru atau memasung kreativitas.

Dengan demikian melalui berbagai layanan dan kompetensi kepribadian yang dimiliki oleh konselor, diharapkan mampu membuat program-program yang pembelajaran yang menyenangkan, inovatif, kreatif untuk mengisi waktu-waktu luang yang disediakan dalam pelaksanaan full day school. Disamping itu keterlaksanaan program layanan di sekolah kadang kala tidak begitu saja berjalan seperti tujuan yang diinginkan, hal ini bisa jadi disebabkan oleh faktor-faktor lain, salah satunya adalah faktor orangtua.

Menurut Yusuf (2007) anak merupakan amanah orangtua yang masih suci laksana permata, yang baik buruknya akan tergantung pada pembinaan yang diberikan oleh orangtua kepada mereka. Hal ini memberi arti bahwa keberhasilan pendidikan anak sudah seharusnya merupakan tanggung jawab orangtua, dikarenakan orangtua adalah pendidik yang pertama dan utama saat anak terlahir ke dunia. Peran orangtua di sini sangat diperlukan untuk mendidik agar dapat membentuk pribadi anak menjadi baik dan dapat diharapkan untuk masa yang akan datang, apalagi orangtua merupakan pendidik yang pertama dan utama, disamping itu orangtua harus memberi contoh dan perilaku baik agar anak dapat meniru kebaikan dari orangtuanya, disamping itu dalam pembentukan karakter anak sangatlah penting apalagi orangtua merupakan sarana pertama kali bagi anak dalam menerima sosialisasi.

Penerapan pola didik orangtua seharusnya berorientasi terhadap didikan yang manusiawi yang penuh perhatian dan kasih saying tanpa harus memarahi ataupun memberikan hukuman fisik namun memberikan peringatan ataupun arahan agar tidak mengulanginya lagi. Selain itu juga memberikan pendidikan agama, nilai-nilai moral, etika dan aturan sosial kemasyarakatan terhadap anak sehingga dapat membentuk karakter anak dengan baik disamping penguatan kecerdasan intelektual anak (Utami, 2013). Dengan menerapkan strategi yang digunakan para orang tua menjadikan anak mereka generasi yang handal dalam era yang serba maju ini. Dan pada akhirnya siswa juga akan mengerti jika diberi sesuatu mereka dapat memilih mana yang baik dan benar. Ini merupakan pendidikan yang baik yang diterapkan orang tua kepada anaknya. Anak berusaha mengerti dan berusaha melakukannya, karena orangtua di anggap sebagai pendidik yang baik (Hurlock, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peran yang hendak dipahami bahwa kesesuaian prongram konselor dalam membentuk karakter siswa bukanlah hal yang mudah namun membutuhkan sebuah proses yang berkelanjutan dan terintegrasi antara konselor dan orangtua dirumah, sehingga tidak terjadi miskomunikasi cara mendidik. Melalui layanan konsultasi dan kunjungan rumah ataupun dukungan sistem kedua belah pihak dapat melakukan komunikasi yang intensif melalui pertemuan terjadwal guna membicarakan kemajuan perkembangan siswa serta rancangan-rancangan program yang relevan bagi siswa.

 D. Penutup

Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan dan pengelolaan yang baik terkait full day school akan memberi dampak yang signifikan terhadap pengembangan karakter siswa, namun dengan memperhatikan unsur-unsur dalam pembelajaran seperti, kualitas pendidik, lingkungan tempat belajar, strategi, metode, media dan teknologi agar terjadi proses pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran efektif, aktif, kreatif, , dan menyenangkan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dan yang terpenting adalah keteladanan yang harus dicontohkan oleh seorang pendidik, baik kedudukannya sebagai konselor, guru mata pelajaran ataupun sebagai orangtua.

 E. Daftar Pustaka

Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Battistich, V. 2007. Character Education, Prevention and Poditive Youth Development. Illnois: University Of Missouri.

Campbell, S.B. 2002. Behaviour Problems in Preschool Children: Clinical and Developmental Issues. USA: Guilford Press.

Dewantara. 2004. Karya K.H. Dewantara, bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Geldard, K., & Geldard, D. 2011. Konseling Remaja. Yogyakarta : Pustaka.

Hasan, N. Full day School (Model Alternatif Pembelajaran bahasa Asing). Jurnal Pendidikan. Tadris. Vol 1. No1, 2006), h. 114-115.

Hurlock, E. 2004. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Gramedia Pustaka.

Kulsum, S. 2013. Peranan Bimbingan dan Konseling dalam Domain Pengembangan Diri Siswa. Volume 1 Nomor 1, Februari 2013, Hlm 67-72.

Lefrancois, G.R. 1994. Psychology for Teaching. Belmont. California: Wadsworth Publishing Company.

Lickona.1991. Educating for Character;How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantan Books.

Nastiti, T.A. 2015. Implementasi Program Full Day School dalam Pembentukan Karakter Anak di SD Islam Terpadu Taruna Teladan Delanggu. Semarang: UNS.

Nirwana, H. 2014. Full Day School (FDS) dan Pengembangan Karakter. Padang: UNP.

Nurihsan, A.J. 2005. Strategi Layanan Bimbingan Konseling. Bandung: Refika Aditama.

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk. Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Prayitno. 2003. Kerangka Konseling Eklektik: Konseling Pancawaskita. Padang: UNP.

Prayitno & Manullang. 2011. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: Gramedia.

Salim, P. 1988. Advanced English-Indonesia Dictonary. Jakarta: Modern Englis Press.

Tohirin. 2013. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2010. Bandung: diperbanyak oleh Citra Umbara.

Utami, S.D. 2013. Peranan OrangTua dalam Mendidik Anak. Semarag: UNS.

Willis, S.S. 2007. Konseling Individual, Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta.

………….2009. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta.

Yusuf, S. 2007. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 SILHKAN DOWNLOAD FILE ASLI PDF - KLIK

 Karjianto : Motivasi Belajar Harus Mendapat Perhatian

Kota (kemenag.go.id) – Pemahaman motivasi belajar mengharuskan pemahaman kepada pengertian motivasi terlebih dahulu sebelum dikaitkan dengan belajar. Salah satu dampaknya timbul dalam strategi peningkatan motivasi belajar terhadap siswa, sebagai tugas penting guru kelas untuk mengefektifkan pengelolaan pembelajaran dalam kelas.

Kepala Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Kota Gorontalo, Karjianto,M.Pd saat membuka Kegiatan Seminar Motivasi yang di gelar oleh Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK-R) MTsN 1 Kota Gorontalo, Jumat (8/2/2019) mengatakan, Motivasi merupakan faktor penting yang selalu mendapat perhatian didalam berbagai usaha yang ditunjukkan untuk mendidik dan membelajarkan manusia, baik dalam pendidikan formal maupun non formal.

Biasanya pendidik mereflesikan perhatiannya terhadap motivasi peserta didik dengan berbagai pertanyaan. “Seorang siswa yang belajar secara tekun guna meghadapi ulangan umum atau ujian akhir, mempunyai motivasi jangka panjang. Setiap kali ia selalu memaksa diri untuk dapat mengerti hal yang dijelaskan oleh pendidiknya. Motivasi seperti ini mempunyai arti sama pentingnya dengan intelegensi yang baik,” ungkapnya

Sementara itu, Motivator Jumadi Mori Salam Tuasikal saat ditemui tim Humas disela-sela kegiatan mengungkapkan bahwa motivasi belajar pada mulanya adalah suatu kecenderungan alamiah dalam diri manusia. Perkembangan kemudian tidak hanya sekedar menjadi penyebab dan mediator belajar tetapi juga sebagai hasil belajar itu sendiri.

“Semua itu terjadi karena ada faktor-faktor yang diketahui bisa mempengaruhi seseorang dalam belajar. Dalam garis besarnya, motivasi belajar dipengaruhi dengan banyak faktor,” ujar sang motivator.

Diakhir kegiatan sebelum berdoa, para siswa diajak mereflesikan diri tentang makna hidup atau biasa disebut Muhasabah. Dalam kegiatan ini mereka diingatkan bagaimana dapat membahagiakan orang tua, bagaimana belajar hidup didunia, karena kehidupan yang hakiki hanya di akhirat. (mar/riri/Aa)

Artikel ini telah dipublis pada berita online gorontalo kemenag, Sumber: https://gorontalo.kemenag.go.id/berita/504399/karjianto-:-motivasi-belajar-%C2%A0harus-mendapat-perhatian

KETERAMPILAN-KETERAMPILAN DALAM KONSELING - PART 2

24 March 2020 22:10:04 Dibaca : 10436

Oleh: Jumadi M. Salam Tuasikal, M.Pd

M. Memimpin

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa ada kalanya klien terlalu berbelit-belit menyampakan permasalahannya bahkan melantur dari inti permasalahan, dalam hal ini seorang konselor diharapkan memiliki keterampilan untuk memimpin percakapan agar tidak menyimpang dari permasalahan sehingga tujuan konseling yang utama dapat tercapai sesuai sasarannya.

Apalagi masih dengan keunikan tiap masalah yang dialami sering kali membuat konseli tidak fokus menceritakan permasalahan yang dialam, mulai dari permasalahnnya yang sekarang, yang lalu serta masa depan, sehingganya perlu untuk di arahkan kepada titik persoalan yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu.

 

Contoh:

Klien : “saya memang sudah tidak lagi menyukainya. Itu mungkin salah…. Tapi bagaimana bila saya bekerja di tempat yang jauh? Yah.. walaupun sebenarnya saya juga ingin menikah dalam waktu dekat.”

Konselor : “bagamana bila kita membicarakannya satu persatu dahulu. Tad anda katakana bahwa anda tidak lagi mencintainya. Mengapa anda tidak mencintainya lagi?.”

1. Rasional

Suatu proses konseling harus dapat mencapai tujuan secara efektik. Namun sering terjadi klien tak mampu mengarahkan pembicaraan dan terkesan melantur, menyimpang, atau kebanyakan materi diluar pokok pembicaraan.Untuk mengatasi hal ini seorang konselor harus mampu memimpin agar pembicaraan klien lurus ke tujuan konseling sebagaimana diharapkan klien. Konselor yang efektif akan menggunakan teknik memimpin (Leading).

2. Tujuan Latihan

a. Agar calon konselor mampu mengetahui dan memahami bahwa arah pembicaraan klien sudah menyimpang atau tidak mengarah ke tujuan konselingb. Agar calon konselor dapat menyusun kalimat yang memimpin pembicaraan dalam diskusi dengan klien.

3. Materi

a. Latihan memahami penyimpangan pembicaraan dalam proses konselingb. Latihan menyusun kalimat yang memimpin pembicaraan dengan klien

Contoh:

K1: “Saya sudah pasrah sejak kamu. Tak dapat lagi mengatakan apa. Mana mungkin, Pak. Saya tidak sanggup membicarakan persoalan itu lebih jauh. Hati saya amat pedih.”

Ko: “Saya amat memahami perasaan saudara. Namun pembicaraan ini saya lihat hampir tuntas kalau saja saudara tidak terlalu emosional dan sedikit berpikir rasional. Pembicaraan kita sudah berada pada titik terang, yaitu dalam hal tugas pokok saudara. Bagaimana pendapat anda?”

 

N. Menjernihkan

Ketika kita menyampaikan permasalahan dengan kurang jelas atau samar-samar bahkan dengan keraguan, maka tugas konselor adaah melakukan klarifikasi untuk memperjelas apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh klien. Konselor harus melakukannya dengan bahasa dan alasan yang rasional sehingga mudah dipahami oleh klien.

Contoh:

Klien : “saya tidak mengerti siapa sebenarnya yang harus saya ikut? Ayah saya atau ibu saya!.”

Konselor : “bisakah anda sampaikan kepada saya, siapakah diantara mereka berdua yang selalu mengambil keputusan dalam keluarga anda?.”

1. Rasional

Dalam keadaan ragu-ragu, sering klien berbicara samar-samar alias tidak jelas. Mungkin dia diliputi perasaan tertentu, mungkin menyimpan rahasia, maka klien kurang jelas pengungkapannya.Mungkin pula ketidakjelasan bersumber dari lemahnya kemampuan mengkomunikasikan sesuatu secara jelas. Dalam hal-hal seperti ini konselor harus jeli pengamatannya. Dia berusaha menggunakan teknik “menjernihkan” atau clarifyng”.

2. Tujuan Latihan

Supaya klien dapat menyatakan pesannya (perasaan, pikiran, pengalaman) dengan jelas, alasan yang logis, dan dapat mengilustrasikan perasaan dengan cermat, perlu konselor dilatih supaya dia mampu:a. Menangkap pesan klien yang samar-samar alias tidak jelas atau yang meragukanb. Menyusun kalimat yang menjernihkan/meng-clear-kan (clarifyng) pernyataan-pernyataan (pesan-pesan) yang samar-samar, meragukan dan tidak jelas.

3. Materi

a. Latihan menangkap pesan-pesan yang samar-samar dan yang jelasb. Latihan menyusun kalimat-kalimat menjernihkan terhadap pernyataan klien yang samar-samar dan meragukan.

Contoh:

K1: “Saya tidak keberatan, tapi jangan begitu caranya.”

Ko: “Saudara tidak keberatan dengan adanya hukuman itu tejadi, asalkan dengan cara-cara yang menurut saudara lebih manusiawi. Begitu kan?”

 

O. Memudahkan

Adalah suatu keterampilan membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konseor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara ebas, sehingga komunkasi dan partisipasi meningkat dan proses konseling berjalan efektif.

1. Rasional

Adalah tugas seorang konselor untuk memudahkan atau memberi peluang yang besar kepada klien supaya dia mengungkapkan perasaan, pikiran, dan pengalamannya dengan leluasa.

Hal ini amat ditekankan karena sering terjadi bahwa konselor kebanyakan mengatur, mendikte, atau bersikap serba pintar sehingga banyak memberi nasehat. Hal ini amat bertentangan dengan prinsip konseling yaitu pembicaraan terpusat pada klien, sedangkan konselor adalah fasilitator (orang yang memberi kemudahan supaya pembicaraan klien bebas dan terbuka tanpa rasa takut, malu, dan sungkan).Untuk mencapai tujuan itu calon konselor dilatih dengan teknik facilitating (memudahkan).

2. Tujuan Latihan

a. Membentuk sikap dan kemampuan sebagai seorang fasilitator melalui latihan attending, empati, toleransi, dan latihan memberikan peluang (kesabaran) lawan bicara bebas menyatakan pendapat, perasaan, dan pengalamannya.b. Memberi kemampuan kepada calon konselor agar dia mampu menyusun kalimat-kalimat yang memberikan kemudahan kepada klien untuk berbicara

3. Materi

a. Latihan attending, empati, toleransi, dan kesabaran dalam berbicara dengan orang lainb. Latihan menyusun kalimat-kalimat yang memudahkan klien untuk berbicara.

Contoh:

Ko: “Saya mengerti perasaan saudara. Saya tentu berpihak pada anda. Dan yakinlah bahwa jika kita berdiskusi tentu masalah anda akan lebih mudah diatasi. Apakah anda dapat mengemukakan perasaan anda?”

 

P. Mengambil Inisiatif

1. Rasional

Sering kejadian klien kurang bersemangat atau suka diam dalam suatu diskusi konseling. Keadaan ini mungkin disebabkan klien masih ragu untuk terlibat dalam diskusi, kurang mempunyai pengetahuan untuk mengemukakan masalah secara rinci, kehilangan arah pembicaraan, atau dalam kondisi emosional seperti cemas dan sebagainya. Untuk mengatasi hal-hal seperti ini konselor harus menggunakan teknik mengambil inisiatif.

2. Tujuan Latihan

a. Memberikan kemampuan bagi calon konselor untuk menangkap keadaan klien yang cenderung diam, tidak bersemangat untuk bicara atau tersendat-sendat.b. Memberi kemampuan kepada calon konselor untuk membuat kalimat-kalimat yang menggambarkan teknik-teknik mengambil inisiatif.

3. Materi Latihan

a. Latihan menangkap kondisi klien yang cenderung diam, kurang inisiatif dan semangat dalam wawancara konselingb. Latihan membuat kalimat-kalimat yang menggambarkan teknik mengambil inisiatif.

Contoh:

K1: …tidak begitu memahami kondisi tersebut… (diam)

Ko: “Baiklah, barangkali anda mempunyai perasaan dan pemikiran tertentu, namun belum anda nyatakan secara luas. Coba anda renungkan dan usahakan menyatakan lagi. Bagaimana bisakah?

 

Q. Memberi Nasehat

1. Rasional

Mungkin banyak klien dan calon konselor mengira bahwa bimbingan dan konseling adalah lembaga nasehat. Sehingga jika tidak ada kebutuhan seperti itu, maka lembaga itu seolah-olah tak ada gunanya.

Padahal konseling bukan hanya untuk memberi nasehat saja namun lebih luas lagi yakni untuk pengembangan potensi klien dan membantu dia agar mampu mengatasi masalah sendiri. Karena itu sebaiknya nasehat diberikan jika klien memintanya.

2. Tujuan Latihan

Latihan teknik memberi nasehat bertujuan:

a. Agar calon konselor memahami sepenuhnya kapan dia harus memberikan nasehat terhadap klien. Walaupun diminta oleh klien tapi harus dipertimbangkan apakah nasehat itu perlu?b. Supaya calon konselor mampu membuat pernyataan yang menolak secara halus bahwa nasehat itu belum perlu. Atau pernyataan yang memberi nasehat namun tanpa melupakan kemandirian klien.

3. Materi Latihan

a. Latihan membuat pertimbangan untuk suatu pemberian nasehat kepada klien. Misalnya kedewasaan, kemampuan, kondisi emosional, tingkat kesulitan, dan sebagainya.b. Latihan memuat kalimat-kalimat pernyataan yang menolak secara halus untuk memberi nasehat atas dasar pertimbangan tertenru, membuat kalimat nasehat yang tidak mengurangi arti kemandirian klien.

Contoh:

Ko: “Saya kira anda lebih memahami segala sesuatu dengan tugas anda. Tentu anda yang lebih tahu dari saya. Mana mungkin saya akan memberi nasehat, padahal anda sendiri jelas lebih mengatasi sendiri.”

 

R. Memberi Informasi

1. Rasional

Member informasi kepada klien sama dengan member nasehat yaitu jka diminta oleh klien. Namun tidak semua permintaan informasi harus dilayani, akan tetapi harus mempertimbangkan kondisi klien, dan penting-tidaknya informasi yang diminta.

Disamping itu konselor juga harus dapat mengukur kemampuannya dalam berbaga jenis informasi. Misalnya apakah mungkin seorang konselor mengetahui seluk beluk sekolah penerbangan, sekolah angkatan laut, dan sebagainya. Paling tnggi mungkn mengetahui persyaratan umum. Itu kalau dia pernah memiliki informasi tersebut. Karena itu tidak baik seorang konselor memaksakan diri dalam memberikan informasi yang kurang dikuasai.

2. Tujuan latihan

a. Melatih calon konselor agar mampu mempertimbangkan untuk memberikan informasi berdasarkan kemampuannya, kualitas intelektual dan emosional klien, penddikan klien, dan sebagainya.b. Melatih calon konselor agar mampu membuat kalimat pernyataan pemberian informas dengan berbagai pertimbangan. Atau melatih agar calon konselor mampu menolak secara halus permintaan klien karena dianggap kien mampu mencari sendiri informasi yang dibutuhkannya.

3. Materi latihan

a. latihan mengamati keadaan klien apakah pantas diberi informasi atau tidak. Latihan bagaimana menolak permintaan informasi dari klien secara halus tanpa menyinggung perasaannya.b. Latihan menyusun kalimat pernyataan menolak secara halus pemberian informasi karena konselor tidak mengetahui, padahal klien mempunyai kemampuan untuk mencarinya. Atau agar klien mencari sendiri informasi yang dibutuhkannya, dengan alasan dia tentu bisa melakukannya.

 

S. Merencanakan Program Bersama Klien

1. Rasional

Mendekati akhir sesi konseling selalu harus ada recana klien untuk kegiatan selanjutnya dalam rangka pengembangan dirinya. Mungkin rencana itu tidak besar namun harus ada. Misanya, rencana pertemuan berikutnya, rencana pendekatan klien terhadap pacarnya yang ngambek, rencana kuliah sambil bekerja, rencana diskusi dengan suami yang dianggap mulai menyeleweng, dan sebagaianya.

Rencana atau program pada akhir sesi konseling amat penting, yaitu: pertama, menandakan adanya perubahan perilaku atau kemajuan pada diri klien; kedua, sebagai pedoman untuk kemajuan sesi konseling berikutnya. Calon konselor harusnya dilatih kapan dia menganggap bahwa sudah saatnya membuat rencana bersama klien berdasarkan penlaiannya bahwa akhir sesi konseing sudah tiba.

2. Tujuan Latihan

a. Agar konselor mampu membuat pertimbangan kapann berakhirnya sesi konseling, dan sudah saatnya klien membuat rencananya atas bantuan konselor.b. Agar calon konselor mampu membuat kalmat-kalimat pernyataan yang mengajak klien untuk membuat rencananya dengan berbagai alasan terutama sesi konseling hamper selesai.

3. Materi

a. Latihan memahami bahwa sesi konseling sudah hampir berakhr. Dugaan itu berdasarkan berbagai alasan dan calon konselor membuat alasan-alasan tersebut.b. Lathan membuat kalimat-kalmat pernyataan mengenai akan selesainya ses konselng dan menyarankan agar kien membuat rencana selanjutnya.

 

J. Menyimpulkan, Mengevaluasi, dan Menutup Sesi Konseling

1. Rasional

Jika konselor akan menutup sesi konselng sebaiknya dibuat bersama klen kesimpulan umum hasil proses konseling sejak awal. Disamping itu klien diberi kesempatan memberkan penilaian terhadap jalannya konseling dan terhadap perilaku konselor selama membantu klien. Hal ni amat berguna sebagai masukan bagi konselor untuk memperbaik proses konseling dan pribadinya sendiri.

Kesimpulan adalah berdasarkan perolehan selama proses konseling. Terutama apa yang sudah diperoleh klien yaitu: apakah kecemasannya telah menurun, apakah dia merasa lebih lega, apakah rencananya sudah jelas, apakah pertemuan berkutnya perlu, dan sebagainya.Sedangkan evaluasi adalah mengenai jalannya diskusi, kemampuan konselor, keadaan diri klien sekarang, dan bagaimana rencananya kira-kira akan berhasil atau tidak?.Jika semua sudah jelas, maka konselor menyarankan kepada klien apakah sesi konselng sudah bisa ditutup.

2. Tujuan Latihan

Latihan menyimpulkan dan sebagainya dan ini bertujuan:a. Agar calon konselor memaham sepenuhnya kapan dia harus menyarankan klien untuk menyimpulkan hasil diskusi, kapan dia meminta klien untuk mengevaluasi proses konseling, dan kapan dia akan menutup sesi konseling.b. Supaya calon konselor mampu membuat kalimat pernyataan yang menyarankan kepada klien untuk membuat kesimpulan, evaluasi, dan menutup sesi konseling.

3. Materi Latihan

a. Latiha membuat saran kepada klien untuk menyimpulkan, mengevaluasi, dan menutup sesi konseling.b. Latihan membuat kalimat-kalimat pernyataan yang menyarankan klien untuk membuat kesimpulan dan mengevaluasi. Selanjutnya member sran kepada klien apakah sesi knseling ini sudah bisa diakhiri.

Contoh:Ko : “saya kira sesi konseling ini sudah hampir berakhir. Namun sebelum kita tutup, alangkah baiknya jikalau anda membuat beberapa kesimpulan yang menyangkut proses dan hasil konseling tentang perolehan anda dari konseling ini, dan sebagainya.”

Ko : “bagaimana penilaian anda tentang jalannya konseling, hasil yang anda peroleh, dan tentang diri saya sendir sebagai konselor”

4. Prosedur Latihan

a. Buat pasangan-pasangan peserta yang akan berperan sebagai konselor dank lien. Tentukan pula tiga pengamat pada setiap pasangan itu.b. Beri kesempatan peserta mempelajari materi latihan yang telah disiapkan oleh pembimbing atau yang mereka buat sendiri.c. Lakukan permainan peran oleh calon konselor dank lien dan diamati oleh peserta lain.d. Lakukan diskusi dan evaluasi setiap selesa permainan peran konseling mikro.

 

DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Lesmana, Jeanette Murad. 2008. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: Universitas Indonesia

Nurihsan, Juntika Ahmad. 2007. Bimbingan dan Konseling. Bandung. PT Refika Aditama

Thohirin. 2015. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Willis, S Sofyan.2013. Konseling Indivudual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta