ARSIP BULANAN : October 2020

TEORI DAN PERKEMBANGAN KARIR: TRAIT AND FACTOR THEORY

10 October 2020 12:59:49 Dibaca : 64774

Oleh: Jumadi Mori Salam Tuasikal

A. Definisi Trait and Factor

Secara bahasa trait dapat diartikan dengan sifat, karakteristik seorang individu. Sedangkan factor berarti tipe-tipe, syarat-syarat tertentu yang dimilki oleh sebuah pekerjaan atau suatu jabatan. Teori Trait and factor memberikan asumsi bahwa kecocokan antara trait dengan factor akan melahirkan kesuksesan dalam suatu karir yang dilalui oleh seseorang dan begitu sebaliknya kegagalan dalam mencocokkan Trait dengan factor akan menimbulkan kegagalan dalam sebuah pekerjaan.(Hadiarni Irman, 89-90: 2009), Teori Trait-Factor adalah pandangan yang mengatakan bahwa kepribadian seseorang dapat dilukiskan dengan mengidentifikasikan sejumlah ciri, sejauh tampak dari hasil testing psikologis yang mengukur masing-masing dimensi kepribadian itu. Konseling trait-facot berpegang pada pandangan yang sama dan menggunakan alat tes psikologis untuk menganalisis atau mendiagnosis seseorang mengenai ciri-ciri atau dimensi/aspek kepribadian tertentu yang diketahui mempunyai relevansi terhadap keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam memangku jabatan dan mengikuti suatu program studi Williamson (WS. Winkel, 1997: 338).

B. Pendekatan Perkembangan Karir Trait dan Factor

Dalam pendekatan trait dan faktor, individu tersebut telah mengerti pola dari perilaku seperti ketertarikan, tingkah laku, pencapaian, dan karakteristik kepribadian, yang dikenal melalui maksud yang objektif, seperti biasanya tes psikologi ataupun inventori, dan profil yang mewakili potensi dari si individu tadi. Pendekatan trait dan faktor ini beranggapan kesamaan pekerjaan, hal inilah merupakan terdiri dari faktor yang dibutuhkan dalam kesuksesan performa kerja yang bisa diprofilkan berdasarkan kepada banyak trait yang dibutuhkan individu tadi.Menurut CH Miller (1974, p. 238) dia memberikan asumsi yang membawahi pendekatan trait dan faktor terdiri dari:1. Pilihan dilakukan untuk mencapai yang telah direncanankan.2. Pilihan okupasi adalah even yang tersendiri.3. Dimana adnya satu tujuan untuk setiap orang dalam pemilihan.4. Satu orang bekerja dalam setiap pekerjaan. Ini sama halnya dengan koin bermata dua.5. Adanya pemilihan kerja yang tersedia untuk setiap individu.Secara unsur sejarah, studi trait dan faktor telah menyediakan pondasi teksnis untuk menjelaskan tiga proses langkah dari bimbingan yang didasarkan oleh F. Parsons (1909). Asumsi dari parsons yang mana pendekatan trait dan faktor berorientasikan kepada okupasi yang secara spesifik atau khusus, atau tugas yang sebagai kriteria kepada variabel seperti perilaku, kemampuan mental, sosioekonmi, ketertrikan atau gaji, menifestasi dari kepribadian.Perkembangan karir sebenarnya tidak hanya mengenai pemilihan okupasi tetapi juga mengenai proses seperti pemilihan secara tertuju dan terintegrasi dalam bentuk pilihan yang tertata, yang sesuai dengan kebutuhan dan sesuai dengan mengertinya antara perilaku dalam pekerjaan. Menurut Krumboltz (1994), dia berpendapat diantara adanya teori trait dan faktor bahwasanya “hal itu tidak membantu kita memahami pemerolehan emosional dan skill yang dibutuhkan dalam pencarian kerja, hal ini pula tidak menginformasikan kita tentang adanya pekerjaan dan phobia kerja, juga tidak menjelaskan bagaimana menangani keluarga yang memiliki dual pekerjaan, bagaimana perencanaan pensiun dan hal lainnya da ini berkaitan dengan konseling karir. Oleh karena itu trait dan faktor teori, merupakan gambaran dari perkembangan karir dan pembuatan pemilihan dalam pekerjaan saja yang sesuai dengan aptitudes dan skill yang dimiliki individu. Chartrand (1991) menyimpulkan bahwa pertama, orang akan digambarkan mampu dalam membuat pilihan yang rasional. Ini tidak berarti bahwa proses perilaku bisa dihilangkan. Kedua, orang akan bekerja dalam lingkungan yng berbeda dalam kereliabelan, bermakna dan cara yang konsisten, ini bukan berarti bahwa satu tipe orang bekerja dalam satu pekerjaan. Ketiga, semakin besar kongruen antara karakteristik pribadi dan persyaratan pekerjaan, maka semakin tingginya kecendrungan kesuksesan. Ini berarti bahwa pengetahuan seseorag dan pola lingkungannya bisa digunakan untuk memberitahukan orang tentang kemungkinan dari kepuasan dan peningkatan dalam perbedaan pendidikan dan seting pekerjaan.

C. Asumsi Trait- Factor Cuonseling

Menurut Miller mengemukakan bahwa asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan trait and factor meliputi:a. Perkembangan vokasional sebagian besar merupakan merupakan suatu proses kognitif, keputusan-keputusan dicapai melalui penalaran.b. Pilihan okupasioanal merupakan suatu peristiwa tunggal berdasarkan parson, pilihan diberikan penekanan yang terbesar dan perkembangan diberikan penekanan yang sangat kecil.c. Bagi setiap orang terdapat suatu tujuan “benar” dalam pilihan fokasi.d. Satu tipe orang untuk setiap pekerjaan.e. Terdapat satu pilihan okuasioanal yang tersedia bagi setiap individu.Menurut Frederickson asumsi yang mendasari teori trait-factor adalah :a. Setiap individu memiliki pola sifat unik yang dapat diukur secara akurat.b. Setiap okupasi atau pekerjaan memiliki syarat-syarat sifat yang unik yang dan diukur, pengukuran dilakukan untuk mengetahui bagaimana pekerjaan itu dapat dilakukan dengan berhasil dalam berbagai setting.c. Sifat-sifat individu dapat dicocokkan dengan sifat persyaratan pekerjaan atau macthing.d. Makin cocok antara sifat individu dengan sifat persyaratan kerja, maka akan produktif dan puas seseorang dengan okupasinya atau pekerjaannya. Sedangkan menurut Williamson (WS. Winkel 1997: 388-389) : sejumlah asumsi yang mendasari trait-factor counseling adalah :a. Setiap individu mempunyai sejumlah kemampuan dan kompetensi, seperti taraf intelegensi umum, bakat khusus, taraf kreatifitas, wujud minat serta keterampilan, yang bersama-sama membentuk suatu pola yang khas untuk individu itu.b. Pola kemampuan dan potensi yang tampak pada seseorang menunjukan hubungan yang berlain-lainan dengan kemampuan dan keterampilan yang dituntut pada seorang pekerja diberbagai bidang pekerjaan.c. Penentuan kecocokan atau ketidak cocokan antara data tentang tuntutan programn studi dan data tentang individu lebih dapat diandalkan dari pada hanya perkiraan kecocokan atas dasar pandangan pribadi tentang diri sendiri dan sekedar kesan tuntutan program studid. Setiap individu mampu, berkeinginan, dan berkecendrungan untuk mengenal diri sendiri serta memanfaatkan pemahaman diri itu dengan berfikir baik-baik, sehingga dia akan menggunakan keseluruhan kemampuannya semaksimal mungkin dan dengan demikian mengatur kehidupannya sendiri secara memuaskan.Dari pendapat-pendapat di atas ada beberapa asumsi yang mendasari lahirnya teori ini, yaitu:a. Seorang individu memiliki berbagai perbedaan dan keragaman yang amat mendasar bila dibandingkan dengan individu lainya baik bakat, minat, sikap, kemampuan akademik, keterampilan dan kondisi fisik.b. Berbagai pekerjaan memiliki perbedaan yang mendasar antara suatu pekerjaan atau jabatan tertentu dengan jabatan lainnya.c. Bahwa seorang individu memiliki sebuah pilihan yang tunggal terhadap suatu karir atau jabatan tertentu yang akan dilalaui selama hidup dan sepanjang hayatnya.d. Bahwa pekerjaan dan jabatan yang dilalui oleh serorang individu dalam hidup dan kehidupannya merupakan panggilan asasi yang lahir dari hati nurani dan jiwa paling dalam.

D. Penerapan Teori Trait And Factor

Dari pemahaman teori trait and factor banyak hal yang bias dilakukan oleh seorang konselor dalam penerapannya dilapangan. Secara garis besar, setidaknya ada empay langkah yang diterapkan konselor, yaitu:a. Mengenal klien, dengan data yang akurat dan lengkap sehingga data kien menjadi modal awal bagi konselor untuk melakukan proses preventif, kuratif dan diploment.b. Mengadakan peninjauan terhadap berbagai pekerjaan yang ada, dilengkapi dengan pengenalan sifat pekerjaan, keahlian yang dibutuhkan pekerjaan dan prasyarat lainnya, sehingga seorang konselor betul memiliki referensi, wawasan luas dan sempurna tentang pekerjaan dan jabatan yang ada.c. Mencocokan potensi (bakat, minat, kecendrungan, keahlian dan kondisi objektif lainnya) yang dimiliki oleh klien dengan pekerjaan dan jabatan yang ada.d. Melakukan konseling dengan klien dan mendiskusikan perihal sehubunggan dengan data diri dan pekerjaan, untuk melakukan pilihan, keputusan diri dan berbagai solusi terhadap masalah yang dialami klien. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa konseling karir mencocokkan kedua factor ini, yaitu diri dan okupasional. Dengan bertambahnya pengalaman, maka proses penyesuaian menjadi lebih efisien. Williamson (Issacson 1977: 38), menunjukkan konseling melibatkan enam langkah antara lain:a. Analisis, mengumpulkan data tentang individu, dapat dilakukan dengan wawancara, catatan harian, otobiografi dan tes psikologi.b. Sintesis: Merangkum, menggolongkan dan menghubungkan data yang diperoleh sehingga memperoleh gambaran tentang kelemahan dan kelebihan individu.c. Diagnosis: Masalah dan sebab-sebabnya dikemukakan. Menarik kesimpulan logis atas dasar gambaran, pribadi individu yang diperoleh dari hasil analisis dan sintesisd. Prognosis: kemungkinan keberhasilan setiap pilihan diperiksa.e. Konseling: Konselor membantu klien untk memahami, menerima dan menggunakan informasi tentang diri dan okupasi-okupasi.f. Tindak lanjut: Pengecekan dilakukan mengenai kesesuaian keputusan-keputusan dan kebutuhan akan bantuan lanjutan.

E. Tujuan Trait- Factor Counseling

Trait- factor counseling bertujuan mengajak individu untuk berfikir mengenai dirinya serta mampu mengembangkan cara-cara yang dilakukan agar dapat keluar dari masalah yang dihadapinya. Traid factor dimaksudkan agar individu mengalami : (1) klarifikasi diri, (2) pemahaman diri, (3) penerimaan diri, (4) pengarahan diri, (5) aktualisasi diri.

F. Analisis Teori Trait And Factor

Menurut (Hadiarni dan Irman, 2009: 98).Di antara keunggulan yang dimilikinya adalah:a. Klien mendapatkan data yang akurat dan valid tentang dirinya, yang diperoleh melalui tes psikologi dan non tes yang dikerjakan oleh konselor secara ilmiah.b. Klien mendapatkan berbagai informasi dunia kerja dan berbagai persyaratan yang mesti dimiliki untuk dimasuki dunia kerja tersebut.c. Klien mendapatkan berbagai tawaran terhadap pilihan pekerjaan, kepuasan karir, dan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapinya.d. Klien akan lebih puas apabila mendapatkan karir sesuai dengan analisis sifat dan factor. Kemungkinan tingkat keberhasilan dan kesuksesan dalam mengeluti karir akan lebih tinggi. Disamping keunggulan, menurut (Hadiarni dan Irman, 2009: 98- 99) juga ditemukan kelemahan yang dimiliki teori trait and factor, diantaranya adalah:a. Klien lebih bersifat pasif dan yang lebih aktif itu guru pembimbing (konselor)b. Klien akan frustasi apabila tawaran pilihan karir tidak dapat dia temukan, karena klien terbatas pada pilihan karir yang telah diteapkan oleh konselor berdasarkan analisa sifat dan factor. Dalam konseling yang lebih tahu tentang diri klien adalah klien itu sendiri, tugas dari konselor adalah menemukan potensi diri yang dimiliki klien dan melahirkan kemandirian yang sesungguhanya, sementara dalam konseling trait and factor ini sebaliknya. Dari berbagai keunggulan dalm kelemahan yang dimiliki oleh teori trait and factor, sebagai konselor disekolah maupun diluar sekolah, tentu memiliki sikap dalam penerapan konseling dilapangan, diantara sikap seorang konselor dalam bekerja semestinya melihat dan memahami situasi dan kondisi yang ada, artinya satu teori untuk satu persoalan mungkin cocok dan amat tepat sekali, akan tetapi untuk persoalan yang lain mungkin tidak pas.

G. Implikasi Teori Trait-Factor Counseling Bagi Konselor

Teori trait-factor menawarkan sejumlah implikasi bagi para konselor antara lain (M. Thayeb, 1992: 67-68) :a. Karena individu-individu memilikih sifat-sifat yang berhubungan dengan pilihan okupasional yang dapat diukur, maka konselor dapat membantunya memahami dirinya sendiri, minat-minat, bakat-bakat, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilannya yang dapat ditransfer.b. Karena okupasi-okupasi dapat digambarkan menurut tugas-tugas, menjadi tidak asing dengan tugas-tugas okupasional, maka konselor membantu klien mempelajarinya sehingga mereka dapat membedakan dan mengambarkan okupasi-okupasi.c. Karena mempelajari bagaimana mengumpulkan, memahami, dan menerapkan informasi tentang diri dan dunia kerja merupakan suatu ketrampilan penting dan pokok untuk mengambil keputusan-keputusan, maka konselor harus membantu individu-individu mempempelajari ketrampilan

 

Referensi:

Hadiarni dan Irman. 2009. Konseling karir. Batusangkar: STAIN Batusangkar Press.

Mohammad Thayeb Manrihu. 1992. Pengantar Bimbingan dan Konseling Karir. Jakarta: Bumi Aksara.

Taufik. 2012. Model-Model Konseling. Padang: UNP Press

KENAKALAN REMAJA

10 October 2020 12:38:05 Dibaca : 125213

Jumadi Mori Salam Tuasikal

A. PENGERTIAN KENAKALAN REMAJA

1. Pengertian Kenakalan

Istilah kenakalan remaja merupakan penggunaan lain dari istilah kenakalan anak sebagai terjemahan dari juvenile delinquency. Menurut Simanjuntak (1984) pengertian juvenile delinquency ialah apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup. Menurut Sudarsono (2012) bahwa kenakalan bukan hanya merupakan perbuatan anak yang melawan hukum semata akan tetapi juga termasuk di dalamnya perbuatan yang melanggar norma masyarakat. Dengan demikian masalah-masalah sosial yang timbul karena perbuatan remaja dirasakan sangat mengganggu, dan merisaukan kehidupan masyarakat, bahkan sebagian anggota masyarakat menjadi terancam hidupnya.

2. Pengertian Remaja

Menurut Hurlock (1998 : 107) “masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah”. Sedangkan menurut Papalia dan Olds (dalam Yudrik Jahja, 2011) bahwa masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umunya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluh tahun. Selanjutnya menurut pendapat Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2012 : 10) “fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik”. Pada umumnya remaja menuntut dan menginginkan kebebasan dari orang dewasa lainnya dalam bertindak, akan tetapi mereka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk mengatasi setiap permasalahan tersebut.

3. Pengertian Kenakalan Remaja

Menurut Kartini Kartono (2011 : 6) kenakalan remaja (Juvenile delinquency) ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial. Menurut Sudarsono (2012) bahwa juvenile delinquence sebagai kejahatan anak dapat diinterpretasikan berdampak negatif secara psikologis terhadap anak yang menjadi pelakunya, apalagi jika sebutan tersebut secara langsung menjadi semacam trade-mark. Sedangkan menurut Ary (2010) bahwa juvenile delinquency ialah perbuatan anak-anak yang melanggar norma sosial, norma hukum, norma kelompok, dan mengganggu ketentraman masyarakat, sehingga yang berwajib terpaksa mengambil tindakan pengamanan/penangkalan. Berdasarkan pendapat Freud, pribadi manusia itu terbentuk dari dorongan-dorongan nafsu-nafsu. Juga dikemukakan olehnya bahwa ada 3 sistem dalam pembentukan pribadi manusia yang disebut Id, Ego, dan Superego, inilah yang menjadi prinsip kesenangan yang memiliki fungsi untuk menyalurkan enersi untuk segera meniadakan ketegangan (menuntut kepuasan).

B. JENIS-JENIS KENAKALAN REMAJA

Menurut Jensen (dalam Sarlito, 2012) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis yaitu;

  1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokkan, pembunuhan, dan lain-lain.
  2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
  3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkaan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.
  4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka, dan sebagainya.

 C. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KENAKALAN REMAJA

1. Lingkungan Keluarga

Menurut Kartini Kartono (2011) keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Selanjutnya menurut Sudarsono (2012) keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan, dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Koestoer (1983) berpendapat bahwa keluarga merupakan suatu kelompok yang terkecil dalam tiap masyarakat dimana anak untuk pertama kalinya mendapat latihan-latihan yang diperlukan untuk hidupnya kelak dalam masyarakat. Pentingnya peran keluarga dalam proses perkembangan sosial anak, karena itu baik-buruknya struktur dalam keluarga memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak. Keluarga yang baik akan memberikan pengaaruh yang positif terhadap perkembangan anak dan sebaliknya keluarga yang jelek akan memberikan pengeruh negatif. Sejak kecil anak menghabiskan banyak waktunya di dalam lingkungan keluarga, maka besar kemungkinan penyebab delinkuen timbul dari keluarga. Banyak remaja yang ketika di tengah lingkungan keluarga dan kerabat sendiri merasa tidak berarti, hanyut dan tidak mempunyai status sosial yang bermartabat, merasa terkungkung dan tidak bisa berkembang, ditengah gangnya anak-anak ini dapat menemukan kompensasi bagi segala kekurangannya (Kartini Kartono, 2011).Menurut Kartini Kartono (2011) sebagai berikut: Delinkuensi yang dilakukan oleh anak-anak, para remaja dan adolesens itu pada umumnya merupakan produk dari konstitusi defektif mental orang tua, anggota keluarga dan lingkungan tetangga dekat, ditambah dengan nafsu primitif dan agresivitas yang tidak terkendali. Semua itu mempengaruhi mental dan kehidupan perasaan anak-anak muda yang belum matang dan sangat labil. Dikemudian hari proses ini berkembang menadi bentuk defektif secara mental sebagai akibat dari proses pengkondisian oleh lingkungan sosial yang buruk jahat. Pada umumnya remaja yang melakukan kejahatan adalah remaja yang memiliki pengontrolan diri rendah, sehingga mereka tidak mampu mengendalikan diri dalam bertingkah laku. Dalam keluarga anak untuk pertama kalinya mengadakan hubungan sosial dengan ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya, anak yang tumbuh di dalam keluarga yang penuh kasih sayang mereka cenderung memiliki sifat-sifat yang baik dibandingkan dengan anak yang tumbuh di dalam keluarga yang buruk. Menurut Kartini Kartono (2011) pola kriminal ayah, ibu, atau salah seorang anggota keluarga dapat mencetak pola kriminal hampir semua anggota keluarga lainnya.

Menurut Kartini Kartono (2011 : 59) sebab terjadinya kenakalan remaja dilingkungan keluarga antara lain:a. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri.b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak-anak remaja menjadi tidak terpenuhi. Keinginan dan harapan anak-anak tidak bisa tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.c. Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan disiplin dan kontrol-diri yang baik. Sebagai akibat dari tiga sebab diatas adalah anak menjadi sedih, malu, merasa tidak berguna dan muncul perasaan benci baik terhadap oraang lain maupun terhadap diri sendiri, kemudian mereka mencari tempat yang mereka rasa nyaman di luar lingkungan keluarga.Dengan adanya modernisasi banyak struktur keluarga rusak dan berakibat pada meningkatnya jumlah kenakalan dan kejahatan anak-anak. Kerusakan pada keluarga dapat berupa perceraian, tidak harmonisnya hubungan antar anggota keluarga yang berakibat pada rendahya tingkat komunikasi di dalam keluargadan percekcokan yang terjadi dalam keluarga. Menurut Koestoer Partowisastro (1983) anak-anak yang hidup dalam keluarga yang penuh dengan percekcokan atau pertengkaran dapat menjadi anak yang bingung (nervous), gugup, tidak tenang, ia merasa tidak aman dirumah. Anak-anak seperti itu merasa tidak ada lagi tempat berlindung dan tempat berpijak sehingga menimbulkan kenakalan-kenakalan yang merupakan bentuk pelampiasan gejolak batinnya. Menurut kartini kartono (2011) bahwa tingkah laku delinkuen tidak hanya terbatas pada strata sosial bawah dan strata ekonomi rendah saja; akan tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya di kalangan kelurga berantakan.Pengaruh keluarga terhadap kenakalan remaja ialah anak-anak yang memiliki pola-pola kebiasaan delinkuen pada umumnya merupakan anak-anak yaang berasal dari keluarga yang berantakan/penuh konflik. Anak yang terlahir dari keluarga yang harmonis/penuh kasih sayang akan manunjukkan perilaku yang positif, sedangkan anak yang terlahir dari keluarga yang tidak harmonis akan berperilaku negatif dan memandang dunia penuh dengan rasa kecurigaan (merasa tidak aman dan nyaman) sehingga mencari tempat yang bersedia menerima mereka dengan baik diluar lingkungan keluarga, biasanya lingkungan ini dapat mendorong anak untuk bertingkah laku negatif yang mengarah pada perilaku delinkuen.

2. Lingkungan Sekolah

Menurut Sudarsono (2012) bahwa sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak remaja. Sedangkan menurut Ary (2010) bahwa Setiap pendidikan menyiratkan bahwa pendidikan sebagai proses sosialisasi anak dalam lingkungan sosialnya. Kultur/budaya akademis, kritis dan kreatif, serta sportif harus terbina dengan baik demi terbentuknya kestabilan emosi sehingga tidak mudah goncangan dan menimbulkan akses-akses yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan berbahaya serta kenakalan. Menurut penelitian, bila dibandingkan dengan anak yang tidak nakal, pada umumnya anak nakal tampak terbelakang dalam pendidikan sekolahnya. Secara kuantitatif anak nakal tercatat sekitar 18% tak bersekolah, terlambat sekolah sekitar 54%, dan secara kualitatif anak nakal sering membolos, kurang kesungguahan belajar, lebih berani mencontek, dan sebagainya. Terdapat keceenderungan yang khas bahwa anak nakal kurang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dibanding dengan anak yang tidak nakal. Kebanyakan anak nakal ingin cepat bekerja dan mendapatkan nafkah. Dewasa ini sering terjadi perlakuan guru yang tidak adil, hukuman/sanksi-sanksi yang kurang menunjang tercapainya tujuan pendidikan, ancaman yang tiada putus-putusnya disertai disiplin yang terlalu ketat (Sudarsono: 2012).

3. Lingkungan Masyarakat

Menurut Sudarsono (2011) anak remaja sebagai anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh dari keadaan masyarakat dan lingkungannya baik langsung maupun tidak langsung. Dikalangan masyarakat banyak sekali terjadi kejahatan seperti: pencurian, pembunuhan, pelecehan seksual, gelandangan, penganiayaan. Faktor-faktor penyebab kenakalan remaja menurut Kartini Kartono (2011 : 25) di golongkan dalam 4 (empat) teori, yaitu :

a. Teori Biologis

Tingkah laku sosiopatik atau kenakalan pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat cacat jasmaniah yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung :

  1. Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen, dapat juga di sebakan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi kenakalan secara potensial.
  2. Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku kenakalan.
  3. Melalui pewarisan kelemahan konstitutional jasmaniah tertentu yang menimbulkan tigkah laku yang sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan brachydac-tylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes inspidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.

b. Teori Psikogenis

Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delinkuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaan. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis.

c. Teori Sosiogenis

Para sosiolog berpendapat penyebab tingkah laku kenakalan pada anak-anak remaja ini adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya di sebabkan oleh pengaruh subkultursosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian-diri atu konsep-dirinya. Jadi sebab-sebab kenakalan anak remaja itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturnya.

d. Teori Subkultur

Subkultur delinkuen remaja mengaitkan sistem nilai, kepercayaan/keyakinan, ambisi-ambisi tertentu (misalnya ambisi materil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi heteroseksual bebas, dll) yang memotivasi timbulnya kelompok-kelopok remaja brandalan dan kriminal. Sedang perangsangnya bisa berupa: hadiah mendapatkan status “terhormat” di tengah kelompoknya, prestise sosial, relasi sosial yang intim, dan hadiah-hadiah materiil lainnya. Menurut teori subkultur ini, sumber juvenile delinquency ialah: sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultur) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiamioleh para remaja delinkuen tersebut. Sedangkan menurut Zahratu (2012) faktor-faktor penyebab kenakalan remaja, yaitu:

1. Faktor internal:

a. Krisis identitas:

Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua.

b. Kontrol diri yang lemah:

Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

2. Faktor eksternal:

  1. Keluarga dan Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja.
  2. Teman sebaya yang kurang baikc. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.

D. DAMPAK KENAKALAN REMAJA

Kenakalan remaja dampak berdampak bagi siapapun (Haryanto, 2011), yaitu: Kenakalan dalam keluarga: Remaja yang labil umumnya rawan sekali melakukan hal-hal yang negatif, di sinilah peran orang tua. Orang tua harus mengontrol dan mengawasi putra-putri mereka dengan melarang hal-hal tertentu. Namun, bagi sebagian anak remaja, larangan-larangan tersebut malah dianggap hal yang buruk dan mengekang mereka. Akibatnya, mereka akan memberontak dengan banyak cara. Tidak menghormati, berbicara kasar pada orang tua, atau mengabaikan perkataan orang tua adalah contoh kenakalan remaja dalam keluarga. Kenakalan dalam pergaulan: Dampak kenakalan remaja yang paling nampak adalah dalam hal pergaulan. Sampai saat ini, masih banyak para remaja yang terjebak dalam pergaulan yang tidak baik. Mulai dari pemakaian obat-obatan terlarang sampai seks bebas.Menyeret remaja pada sebuah pergaulan buruk memang relatif mudah, dimana remaja sangat mudah dipengaruhi oleh hal-hal negatif yang menawarkan kenyamanan semu. Akibat pergaulan bebas inilah remaja, bahkan keluarganya, harus menanggung beban yang cukup berat. Kenakalan dalam pendidikan: Kenakalan dalam bidang pendidikan memang sudah umum terjadi, namun tidak semua remaja yang nakal dalam hal pendidikan akan menjadi sosok yang berkepribadian buruk, karena mereka masih cukup mudah untuk diarahkan pada hal yang benar. Kenakalan dalam hal pendidikan misalnya, membolos sekolah, tidak mau mendengarkan guru, tidur dalam kelas, dll.Dampak kenakalan remaja pasti akan berimbas pada remaja tersebut. Bila tidak segera ditangani, ia akan tumbuh menjadi sosok yang bekepribadian buruk. Remaja yang melakukan kenakalan-kenakalan tertentu pastinya akan dihindari atau malah dikucilkan oleh banyak orang. Remaja tersebut hanya akan dianggap sebagai pengganggu dan orang yang tidak berguna. Akibat dari dikucilkannya ia dari pergaulan sekitar, remaja tersebut bisa mengalami gangguan kejiwaan. Yang dimaksud gangguan kejiwaan bukan berarti gila, tapi ia akan merasa terkucilkan dalam hal sosialisai, merasa sangat sedih, atau malah akan membenci orang-orang sekitarnya. Dampak kenakalan remaja yang terjadi, tak sedikit keluarga yang harus menanggung malu. Hal ini tentu sangat merugikan, dan biasanya anak remaja yang sudah terjebak kenakalan remaja tidak akan menyadari tentang beban keluarganya.Masa depan yang suram dan tidak menentu bisa menunggu para remaja yang melakukan kenakalan. Bayangkan bila ada seorang remaja yang kemudian terpengaruh pergaulan bebas, hampir bisa dipastikan dia tidak akan memiliki masa depan cerah. Hidupnya akan hancur perlahan dan tidak sempat memperbaikinya.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Ari H. Gunawan. (2010). Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang Berbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka cipta.
  • Haryanto. (2011). Akibat kenakalan remaja. (online). Di akses 14 februari 2015.
  • Hurlock. (1996). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang kehidupan). Terjemahan Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
  • Kartini Kartono. (2011). Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Kartini Kartono. (2011). Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
  • Koestoer Partowisastro. (1983). Dinamika Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
  • Mohammad Ali dan Mohammad Asrori. (2012). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.
  • Sarlito W. Sarwono. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Simanjuntak, B. (1984). Latar belakang kenakalan remaja. Bandung: Alumni.
  • Sudarsono. (2012). Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta.Yudrik, J. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana.
  • Zahratu Najedah. (2012). Dampak kenakalan remaja. (online). Di akses 14 februari 2015.

Oleh: Jumadi Mori Salam Tuasikal

A. Konsep Program

Program pelayanan konseling di Perguruan Tinggi tidak berbeda jauh dengan pelayanan di sekolah menengah, dimana dapat dipahami juga sebagai Suatu rangkaian kegiatan bimbingan dapat di konsepkan yang terencana, terorganisasi dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu, misalnya satu tahun ajaran. Satuan program pelayanan bimbingan konseling berupa rencana kegiatan layanan dan kegiatan pendukung BK pada periode tertentu yang diselenggarakan di Universitas/ Sekolah Tinggi/ Akademi/ Politeknik/ ataupun Institut. Kegiatan pelayanan terorganisir melalui unit pelayanan bimbingan dan konseling (UPBK), unit inilah yang menjadi wadah penyelenggara kegiatan pelayanan BK bagi mahasiswa, warga kampus dan anggota masyarakat lainnya.

B. Ketentuan

Ketentuan yang menjadi dasar pemikiran, pedoman/panduan pelaksanaan, ataupun petunjuk teknis baik secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan dilaksanakannya kegiatan pelayanan BK di perguruan tinggi antara lain yaitu :

  1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana dalam UU Sisdiknas disampaikan pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dan menegaskan bahwa konselor adalah pendidik. Selain itu dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa paradigm pembiasaan yang harus dibangun adalah pemberian keteladanan, pembangunan kemauan dan pengembangan kreativitas dalam konteks kehidupan sosial kultural sekolah. Dan Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan, mengamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan harus menyusun kurikulum yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP. Pada penerapan KTSP, Guru Bimbingan Konseling di sekolah memberikan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam memfasilitasi “Pengembangan Diri” siswa sesuai minat, bakat serta mempertimbangkan tahapan tugas perkembangannya. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengacu pada standar isi, standar proses, standar kompetensi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian.
  3. UU No. 14/2005 Tentang Guru dan dosen.
  4. Permendiknas Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kulaifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Setiap satuan pendidikan wajib mempekerjakan konselor yang memiliki standar kualifikasi akademik dan kopetensi konselor yang berlaku secara nasional.
  5. Statuta Perguruan Tinggi.
  6. Permendiknas N0. 20/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Bidang Pendidikan.
  7. Permendiknas No. 28/2005 tentang BASN-PT.
  8. Permendiknas No. 63/2009 tentang Sistem Penjamin Mutu Pendidikan.
  9. PP No. 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
  10. Permendiknas No. 184/U/2001 tentang Pedoman Pengawasan-pengendalian dan pembinaan Program diploma Sarjana dan Pascasarjana.
  11. Tridharma Perguruan Tinggi.

C. Jenis-Jenis Program

Berdasarkan segi unit waktu sepanjang tahun ajaran pada satuan pendidikan khususnya di Perguruan Tinggi ada lima jenis program layanan yang disusun dan diselenggarakan dalam pelayanan BK yaitu

  1. Program Tahunan yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun ajaran untuk masing-masing kelas rombongan belajar pada satuan pendidikan.
  2. Program Semesteran yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
  3. Program Bulanan yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
  4. Program Mingguan yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
  5. Program Harian yaitu program pelayanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk Satuan Layanan atau Rencana Program Layanan dan/atau Satuan Kegiatan Pendukung atau Rencana Kegiatan Pendukung pelayanan bimbingan dan konseling.

Lebih jauh secara khusus dari segi bentuk kegiatan pelayanannya terdapat beberapa jenis yaitu program pelayanan akademik (PPA), program informasi karir/pekerjaan, program instrumentasi, dan program layanan masyarakat.

D. Dasar Penyusunan Program

Penyusunan program pelayanan BK pada Perguruan Tinggi didasarkan pada kebutuhan mahasiswa (Need Assessment) yang diperoleh dari aplikasi intrumentasi dan himpunan data. Artinya keseluruhan program kegiatan pelayanan memang merupakan suatu pelayanan yang benar-benar menjadi kebutuhan mahasiswa itu sendiri sehingga relevan untuk dilaksanakan, dasar pertimbangan lain yang perlu diperhatikan ialah adanya perbedaan (Diferensial) individu, faktor IPOLEKSOSBUD dan kebijakan lokal, upaya pencapain tujuan pendidikan tinggi, dinamika serta tuntutan perkembangan individu.

E. Syarat-Syarat Program

Kegiatan bimbingan konseling yang dilaksanakan melalui pertimbangan yang matang dan terpadukan dalam program pelayanan bimbingan konseling yakni :

  1. Berdasarkan kebutuhan, bagi pengembangan siswa sesuai dengan kondisi pribadinya serta jenjang dan jenis pendidikannya.
  2. Lengkap dan menyeluruh, memuat segenap fungsi bimbingan, meliputi semua jenis layanan dan kegiatan pendukung serta menjamin dipenuhinya prinsip dan asas-asas bimbingan konseling. Kelengkapan program ini disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik pada satuan pendidikan yang bersangkutan.
  3. Sistematik, dalam arti program disusun menurut urutan logis, tersinkronisasi dengan menghindari tumpang tindih yang tidak perlu serta dibagi-bagi secara logis.
  4. Terbuka dan luwes, mudah menerima masukan untuk pengembangan dan penyempurnaannya tanpa harus merombak program itu secara menyeluruh
  5. Memungkinkan kerjasama, dengan semua pihak yang terkait dalam rangka memanfaatkan berbagai sumber dan kemudahan yang tersedia bagi kelancaran dan keberhasilan pelayanan bimbingan konseling.
  6. Memungkinkan diselenggarakannya penilaian dan tindak lanjut, untuk penyempurnaan program pada khususnya dan peningkatan keefektifan dan keefisienan penyelenggaraan program bimbingan konseling pada umumnya

F. Unsur-Unsur Program BK

Unsur-unsur yang ada dalam program pelayanan BK di perguruan tinggi antara lain memuat kebutuhan sasaran layanan/ kegiatan pendukung, bidang bimbingan (pribadi, sosial, belajar dan karier), jenis layanan/ kegiatan pendukung, sarana/ prasarana yang dibutuhkan, pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang dilibatkan, volume, waktu dan tempat pelaksanaan kegiatan layanan, kemungkinan kerjasama dengan pihak lain, evaluasi serta pengawasan.

G. Materi Program BK

Materi yang ada dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan BK di Perguruan Tinggi mencakup materi-materi yang berkenaan dengan dinamika perkembangan individu mahasiswa yang termasuk dalam kajian bidang bimbingan konseling serta berkenaan dengan pengembangan program akademik dan atau program lain sesuai aspirasi dan kemampuan dirinya, ketentuan yang berlaku, dan kondisi lingkungan yang ada.

H. Penyusunan Program

Penyusunan program kegiatan pelayanan BK diawali dengan kegiatan analisis kebutuhan (Need Assesment) yang kemudian dikoordinasikan dengan unsur pimpinan perguruan tinggi dan disusun dengan menetapkan tujuan, sasaran, indikator, rancangan program, pelaksanaan, waktu pelaksanaan, tempat dan skala prioritas.

I. Sosialisasi Program

Melalui penyebaran leaflet BK, brosur dan flowchart, pengisian rubrik surat kabar, penyampaian materi pada kegiatan orientasi mahasiswa baru, perkuliahan dan rapat-rapat akademik ataupun kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan.

J. Tahap-Tahap Pelaksanaan Program

Tahapan dalam pelaksanaan program pelayanan BK di Perguruan Tinggi mulai dari awal hingga akhir secara bertahap dapat dibagi kedalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap penilaian, tahap analisis hasil, serta tahap tindak lanjut/ arah kedepan. Setiap tahapan tersebut memiliki karakteristik dan langkah kerja konkret yang berkesinambungan dengan tahapan berikutnya.

K. Pengawasan Pelaksanaan Program

Pengawasan sebagai bagian dari upaya controling dalam rangka untuk memastikan terselenggarakannya program pelayanan BK di Perguruan Tinggi secara baik dan benar dapat dilakukan secara intern yaitu oleh Pimpinan Perguruan Tinggi, dilakukan secara ekstern yaitu oleh Pengawas Ditjen DIKTI. Pengawasan ditujukan kepada profesionalitas konselor dalam melaksanakan program. Hasil pengawasan dianalisis, didokumentasikan dan ditindak lanjuti untuk program selanjutnya.

L. Masalah dan Solusi

  1.  Permasalahan di lapangan:Dari beberapa informasi yang diperoleh dari berbagai sumber dan pengalaman yang dimiliki penulis ada beberapa permasalahan dalam pelaksanaan program pelayanan bimbingan konseling di perguruan tinggi antara lain minimnya ketersediaan konselor di Perguruan Tinggi, UPBK yang ada saat ini hanya dimiliki Perguruan Tinggi yang memiliki jurusan/prodi BK, kurangnya perhatian dari unsur pimpinan Perguruan Tinggi, kurangnya sosialisasi pemanfaatan UPBK pada mahasiswa dan juga civitas akademik lainnya, anggaran dana dan dasar ketentuan pelaksanan ataupun teknis yang belum memadai.
  2. Solusi: Dari beberapa permasalahan yang ditemukan dilapangan perlu kiranya dilakukan upaya solusi konkret untuk memecahkannya antara lain dengan pengadaan tenaga konselor pada perguruan tinggi, optimalisasi UPBK dan sosialisasi yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan, pembentukkan dan penetapan anggaran dana serta dasar ketentuan pelaksanaan maupun teknis yang jelas dan aspiratif mampu mengakomodir kepentingan warga kampus.

DAFTAR PUSTAKA

ABKIN. 2013. Panduan Umum Pelayanan Bimbingan Dan Konseling. Jakarta:ABKINPrayitno, dkk. 2013. Pembelajaran melalui Pelayanan BK di Satuan Pendidikan. Jakarta.Unit Pelyanan Bimbingan dan Konseling (UPBK). 2005. Padang: UNP Press.Winkel. 1997. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo.Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA

09 October 2020 17:08:01 Dibaca : 87759

 Oleh: Jumadi Mori Salam Tuasikal

A.  Hakikat Konseling Lintas Budaya

Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Ponterotto, Casas, Suzuki, dan Alexander, 1995; Locke, 1992; Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994; Arrendondo, Psalti, dan Cella, 1993; Pedersen, 1991). Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn (1992) menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling individuals who are of different culture/cultures than that of the therapist.Oleh sebab itu menurutnya sensitivitas konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat penting.Ia menegaskan: It is important for counselors to be sensitive to and considerate of a client's cultural makeup. Clinicians encounter many challenging and complex issues when attempting to provide accessible, effective, respectful and culturally affirming chemical dependency treatment to a multi-cultural population of Deaf and hard of hearing individuals.

Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut.Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37). Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Bagi Dedi, konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural.Dengan demikian, maka konselingdipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselordan klien.

 B.  Pendekatan Konseling Lintas Budaya

Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya.Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok.Kedua, pendekatan emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156). Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.

Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut.

  1. Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya daripendekatan konseling yang digunakannya.
  2. Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
  3. Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
  4. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.

 Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transculturalsebagai berikut:

  1.  Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling;
  2. Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
  3. Kelas dan gender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.

 C.  Model Konseling Lintas Budaya

Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.

 1.      Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)

Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme.Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli.Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri.

Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya.Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian.Artinya, fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu.Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.

2.      Model Integratif (Integrative Model)

Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones(Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatupanduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :

  1. Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
  2. Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
  3. Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
  4. Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and endowments).

Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulituntuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut.Menurutnya,yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepatterhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumberperkembangan pribadi.Budaya tradisional yang dimaksud adalah segalapengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadariataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung(1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai-nilaibudaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itukekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilaibudaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.

3.      Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)

Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yangdalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993).Model inimerupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigmamemfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural.Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budayadengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.

a)   Konsepsi sakit (sickness conception)

Seseorang dikatakan sakit apa bila :

  • Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
  • Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
  • Melakukan pelanggaran hukum
  • Mengalami masalah interpersonal

b)   Causal/healing beliefs

  • Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
  • Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
  • Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
  • Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi (share) tentang keyakinan yang sama

c)    Kriteria sehat (wellbeing criteria)

Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya.Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.

  • Mampu menentukan sehat dan sakit
  • Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
  • Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
  • Menyadari dan memahami budayanya sendiri

d)   Body function beliefs

  • Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebihbermakna
  • Sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupansehari-hari
  • Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli

e)    Health practice efficacy beliefs

Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah denganpengarahan atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.

 

D.   Identitas dan Komponen-komponen Perbedaan Budaya

1.   Pengertian Budaya

Istilah budaya merupakan sesuatu yang kompleks.Apa lagi jika ditelusuridari asal usul kata di Indonesia, yang berasal dari budi dan daya. Budi berartipikiran, cara berpikir, atau pengertian; sedangkan daya merujuk padakekuatan, upaya-upaya, dan hasil-hasil. Jika saja budaya diterjemahkansebagai produk berpikir dan berkarya, maka jelaslah bahwa budaya memangmerupakan sesuatu yang amat luas.Bahkan apapun yang nampak di duniaini, asalkan bukan ciptaan Tuhan pastilah disebut budaya. Oleh sebab ituBerry, at all, (1992) menegaskan culture as “that complex whole whichincludes knowledge, belief, art, morals, laws, custom and any othercapabilities and habits acquared by man as a member of society”. Bahkanlebih tegas lagi Padden (1980) menjelaskan, bahwa budaya berarti, “the totalsocial heredity of mankind”. Ahli lainnya pun menegaskan demikian (Leongand Kim, 1991 : 112) bahwa culture refers to the widely shared ideals, values,formation and uses of categories, assumptions about life, and goal-directedactivities that become unconsciously or subconsciously accepted as 'right' and'correct' by people who identify themselves as members of a society".

2.    Komponen-komponen Perbedaan Budaya

Model konseptual perbedaan budaya dalam pembahasan ini mengacu kepadaPalmer dan Laungani (2008 : 45). Konstruk teoretis perbedaan budaya yangdiajukannya sebagai berikut.

  1. Individualism ............ Communalism (Collectivism)
  2. Cognitivism ............... Emotionalism
  3. Free Will ................... Determinism
  4. Materialism .............. Spiritualism

Dalam pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia, perludiperhatikan komponen-komponen perbedaan budaya.Apalagi Indonesiadikenal dengan keragaman yang kompleks baik segi demografis, sosial-ekonomis,adat-istiadat, maupun latar budayanya.Bhinneka Tunggal Ika yang menjadisemboyan bangsa Indonesia dalam perspektif konseling lintas budaya, layaknyadikembangkan dimensi wawasan ke-bhinnekaan-nya dalam kerangka penegasankarakteristik ke-tunggal-an yang kuat.

Adapun komponen-komponen yang perlu diperhatikan dalampengembangan konsep utuh bimbingan dan konseling di Indonesia mestiterfokus pada orientasi nilai budaya yang menghendaki kehidupan masyarakatyang selaras dengan alam.Koentjaraningrat (1993) menyebut orientasi nilaibudaya sebagai mentalitas. Menurut dia, di antara sedemikian banyak komponenmentalitas yang dimiliki berbagai kebudayaan suku bangsa di Indonesia, dalampenelitian-penelitian yang telah dilakukan, terdapat empat komponen yangmenonjol, yaitu : (1) konsepsi waktu yang sifatnya sirkuler (waktu itu “beredar”tidak “berlangsung”); (2) hidup terlalu bergantung pada nasib; (3) sikapkekeluargaan dan gotong-royong yang sangat kuat; dan (4) orientasi nilai budayavertikal.

Persepsi waktu yang sirkuler adalah gagasan dan keyakinan, bahwa masayang telah lampau selalu akan kembali. Persepsi waktu yang beredar tidak linierdilatari oleh kehidupan agraris, yang menunjukkan lingkaran proses pertanianakan terulang tiap tahun. Hal inipun masih melatarbelakangi cara berpikir orangIndonesia pada umumnya, meskipun kaum pelajar di Indonesia telah banyakberpikir berdasarkan konsep waktu yang linier. Kalau tidak demikian, maka tidakmungkin bangsa Indonesia merencanakan berbagai kebijakan pembangunan dengan teliti. Konsep waktu yang sirkuler dalam cara berpikir umumnya orang Indonesia, seyogianya dipahami oleh konselor sebagai bahan masukan guna mengantisipasi atau memprediksi persepsi dan sikap klien terhadap persoalan yang tengah dihadapinya. Persepsi yang demikian tentang waktu kemungkinan berdampak terhadap anggapan dan sikap, bahwa persoalan yang dihadapi adalah biasa sehingga tidak diperlukan pengatasan atau bantuan orang lain untuk mengatasinya; mengingat orang lain pun berhadapan dengan persoalan yang sama dan selalu berulang. Kalaupun persoalan itu dibicarakan, terbatas pada lingkup orang-orang yang berlatar atau berkaitan secara kekeluargaan dan hanya menegaskan bahwa mereka pun mengalami hal yang sama. Pendek kata, persoalan kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang “biasa”, dibiarkan saja, karena akan hilang dan muncul secara alami. Dampaknya, diperkirakan “kita” tidak tertantang untuk kreatif dan inovatif dalam memproduksi piranti keras ataupun lunak.

Orientasi nilai budaya yang juga berakar pada kebudayaan agraris ditambah dengan keadaan yang diakibatkan oleh kemiskinan, adalah sikap hidup yang terlalu meggantungkan diri pada nasib. Menurut Koentjaraningrat (1993:4), apabila kita menginginkan peningkatan kemakmuran melalui jalur industrialisasi, maka orientasi nilai budaya atau mentalitas seperti itulah, yang sangat perlu diubah atau digeser menjadi mentalitas yang lebih aktif. Orang yang terlalu bergantung pada nasib artinya menyerahkan diri pada nasibnya sendiri, kehilangan semangat untuk berikhtiar, menjalani kehidupan tanpa repot-repot membuat rencana, kendati banyak alternatif tidak memandang perlu mengambil pilihan, menunda keputusan sampai nasib menghampirinya, kehilangan harapan yang optimis; bahkan mungkin melupakan firman Allah atas pentingnya ikhtiar untuk mengubah nasib. Dalam adegan pengembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, tampaknya para konselor mesti memperkaya wawasannya tentang konsep takdir mubrom dan muallaq, hingga dirinya menjadi pribadi yang aktif dan proaktif serta mengembangkan layanan konseling berdasarkan landasan nilai optimistic dan pandangan kehidupan yang mencerahkan secara hakiki. Dengan kata lain dapat dikiaskan, bahwa pengembangan bimbingan dan konseling akan berkonstruksi rapuh, manakala dibangun di atas landasan menyerah kepada nasib menunggu bintang jatuh. Komponen ketiga yang perlu diperhatikan adalah orientasi nilai budaya yang berupa sikap kekeluargaan dan gotong royong yang sangat kuat dalam masyarakat Indonesia.Kendati mentalitas ini menyiratkan kesamaan pada umumnya, tetapi titik anjak dan bentuk pengoperasionalannya berbeda-beda pada sebagian besar anggota masyarakat.

Koentjaraningrat (1993) mengemukakan, dalam diskusi-diskusi pernah diajukan kemungkinan, bahwa untuk industrialisasi diperlukan mentalitas yang lebih mandiri, lebih bertanggungjawab sendiri, tidak terlampau menggantungkan diri pada keluarga ataupun bantuan gotong-royong dari lingkungan.Selanjutnya dia menyatakan, banyak di antara kita memang masih perlu membiasakan diri untuk bersikap lebih mandiri dalam banyak hal, serta lebih berani bertanggungjawab atas kekurangan dan kesalahan kita, tanpa mengurangi asas kekeluargaan dan penggeseran mentalitas yang terlalu menggantungkan diri pada gotong-royong.Namun tidak perlu khawatir, bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong menghambat kemajuan; sebab walaupun asas kekeluargaan dalam masyarakat Jepang tetap kuat, bangsa Jepang telah berhasil menjadi salah satu negara yang terkaya di dunia, dan memiliki sistem industri yang sangat maju.Implikasi dari komponen ketiga bagi pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia adalah pengembangan piranti-piranti strategis untuk kepentingan konseling kelompok dan konseling keluarga dalam perspektif lintas budaya.Dasar pertimbangannya adalah, bahwa orientasi nilai budaya kekeluargaan dan gotong-royong merupakan modal landasan konseptual yang dapat dijadikan mediator guna memfasilitasi keberlangsungan konseling lintas budaya dalam adegan kelompok ataupun keluarga. Rupanya, studi-studi ke arah penggalian dan pengembangan konsep ini perlu ditingkatkan guna mengokohkan bangun konseling lintas budaya di Indonesia. Komponen yang keempat, yaitu orientasi vertikal, terasa kuat tidak hanya dalam masyarakat Jawa dan Bali, tetapi ternyata juga dalam sebagian besar berbagai suku bangsa penduduk Sumatera dan Indonesia Timur.Kenyataan ini merupakan hasil penelitian orang Indonesia sendiri di beberapa tempat di Nusantara (Koentjaraningrat, 1993).

Secara nyata orientasi vertikal itu adalah ketaatan pada orang tua, orang senior, guru, pemimpin, orang berpangkat tinggi,komandan, dan sebagainya, sehingga seseorang dengan orientasi vertikal tidak akan bertindak tanpa suatu instruksi atau restu dari atas. Khusus dalam kebudayaan Jawa, ketaatan merupakan sifat yang dinilai sangat tinggi.Anak yang manut (yaitu taat) adalah anak yang sangat terpuji, sementara anak yang selalu mempunyai kehendak sendiri dan gemar mengeksplorasi segala hal di sekitarnya, dianggap mengganggu dan tidak dianggap sebagai anak yang sopan dan santun.Disinyalir pula oleh Koentjaraningrat, bahwa sangat disayangkan kebanyakan orang di Indonesia masih kurang taat pada hal-hal yang kurang konkret, seperti misalnya hukum dan peraturan-peraturan, apalagi pada hal yang lebih abstrak, yaitu prinsip. Namun, untunglah orang Indonesia pada umumnya taat menjalani ibadah keagamaan, sehingga pelaksanaan sila pertama dalam ideologi negara kita dapat memperkuat ketenteraman jiwa manusia, yang hidup dalam masa pancaroba yang sedang dan masih akan dialami dalam 25 tahun mendatang.

Tampaknya ketaatan seperti itu perlu dipersoalkan, terutama dalam kerangka penumbuh-kembangan prinsip disiplin yang tidak bergantung pada ada atau tidak adanya pengawasan.Konsep Islam tentang khusyu’ dalam shalat dan imsyak dalam shaum perlu dikaji secara komprehensif untuk selanjutnya diterjemahkan ke dalam landasan kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan konseling. Dalam konteks pengembangan konsep utuh bimbingan dan konseling di Indonesia, rupanya diperlukan pengkajian lintas-disiplin yang terfokus pada perspektif metafisis tentang orientasi nilai vertikal dan latar belakang sikap “orang atasan” terhadap perilaku dan nilai ketaatan. Hasil pengkajian dipandang sumbangan konseptual yang besar dan amat berharga, terutama bagi pengembangan bimbingan dan konseling yang berpijak pada nilai-nilai budaya lokal tetapi berlaku universal.

 

E.  Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya

1.  Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut :

  1. Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
  2. Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
  3. Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
  4. Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
  5. Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
  6. Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
  7. Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

2. Sikap Konselor

Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya.

Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.

 3.  Persyaratan Konselor Lintas Budaya

Dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang bereda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya, yaitu :

  1. Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
  2. Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
  3. Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
  4. Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
  5. Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
  6. Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.

 

KEPUSTAKAAN

Anak Agung Ngurah Adhiputra. 2013. Konsleling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Corey, G. 1991. Theory And Practice Of Group Counseling. California. Brooks/Cole Publishing Company.

Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. Umm Press.

Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. Bandung. UPI.

Fukuyama, M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To Multicultural Counseling.” Counselor Education And Supervision, 30, 6-17.

Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society. London : Sage Publisher.

Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory And Practice. New York John Wiley And Sons, Inc.