Peran Konselor Dan Orangtua Untuk Membentuk Karakter Siswa Dalam Pelaksanaan Full Day School

26 March 2020 12:26:16 Dibaca : 2765 Kategori : PROSIDING

 Jumadi Mori Salam Tuasikal, M.Pd

 Universitas Negeri Gorontalo

 Email: tuasikal.jumadi@ung.ac.id

Artikel tersebut telah dimuat pada Prosiding  Seminar Nasional dan WorkShop "Fun and Full  Day School" 18 Maret 2017, hal. 185-193. Universitas Negeri Gorontalo

  ABSTRAK

Full day school sebagai sebuah gagasan yang ingin diimplementasikan di dalam sistem pendidikan Indonesia akan sangat mengandalkan rancangan program yang beragam dalam pelaksanaannya, sehingga diharapkan mampu memberikan pembelajaran yang menyenangkan bagi para siswa di sekolah. Disamping itu juga, bertujuan untuk mengisi waktu luang sebagai dampak dari keberadaan siswa di sekolah seharian. Program berbasis karakter merupakan salah satu aspek pembelajaran yang akan diakomodir di dalam full day school selain mengembangkan aspek kongnitif para siswa. Eksistensi konselor dalam dunia pendidikan yang berorientasi pada pengembangan diri siswa secara optimal melalui proses pelayanan konseling adalah pendidik yang tepat untuk mewujudkan ketercapaian pembentukan karakter siswa. Hal tersebut jelas berdasar karena merupakan bidang kajian dan keahlian dari seorang konselor. Selain itu, ketercapaian proses pembentukan karakter harus dipahami bahwa pada dasarnya tidak hanya berlangsung dan berkembang di dalam setting pendidikan formal saja, namun pada seluruh latar kehidupan siswa baik di sekolah, di keluarga ataupun dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam rangka membentuk karakter siswa secara utuh dan menyeluruh maka seorang konselor dituntut untuk menggali informasi yang lebih terpercaya dan mampu menyesuaikan perannya serta mensosialisasikan program kepada seluruh pihak yang terkait. Kondisi inilah yang kemudian harus disikapi oleh konselor untuk melakukan perannya melalui kerjasama dengan orangtua siswa agar setiap program layanan yang diberikan akan berdampak sistemik di dalam kehidupan sehari-hari siswa.

Kata kunci: Full day school, karakter, konselor, orangtua

 A. Pendahuluan

Bangsa Indonesia memerlukan sumber-daya manusia dengan kualitas yang memadai sebagai kekuatan utama untuk membangun dan mengelola semberdaya alam yang melimpah di negeri ini. Oleh karenanya, ketercapaian tujuan tersebut sudah seharusnya didukung oleh sistem pendidikan yang bermutu. Seperti yang diungkapkan oleh Dewantara (2004) bahwa pendidikan itu bertujuan untuk membangun peradaban manusia ke arah kehidupan yang lebih baik melalui pembudayaan buah budi manusia yang beradab.

Dalam pelaksanaannya pendidikan sendiri dapat diperoleh melalui jalan formal atau non formal. Jika Pendidikan dilakukan secara formal maka prosesnya mengikuti program-program yang tersistem dan telah direncanakan, terstruktur oleh sebuah lembaga, insititusi, atau kementrian dalam suatu negara. Disamping itu pendidikan non formal adalah pencapaian pengetahuan yang diperoleh hanya dari perjalanan kehidupan sehari-hari tentang berbagai pengalaman, baik yang dialami atau dipelajari dari orang lain atau lingkungan.

Senada dengan hal ini, maka pendidikan dipastikan akan berunjung pada pengembangan harkat dan martabat manusia. Memaknai pentingnya kondisi tersebut, maka melalui UU No. 20 Tahun 2003 pemerintah mengarahkan tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta mampu bertanggung jawab. Agar implementasi tujuan pendidikan tersebut bisa berjalan baik, maka para pakar pendidikan di negeri ini telah berusaha membenahi sistem pendidikan dan kurikulum dengan menawarkan berbagai solusi. Salah satu diantaranya adalah dengan membangun lingkungan pendidikan pada sekolah-sekolah berbasis karakter. Hal ini dikarenakan pengaruh-pengaruh dari lingkungan memiliki sumbangsih yang sangat relevan terhadap pembentukan perilaku siswa (Campbell, 2002). Lebih lanjut (Yusuf, 2007) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian siswa baik dalam berfikir, bersikap maupun berperilaku. Dari kondisi tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk pengintegrasian pengembangan karakter melalui pengoptimalan aspek kognitif, emosi dan spiritual siswa yang akan mampu berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia yang utuh.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 untuk pengembangan diri yang berorintesi terhadap pembentukan karakter sudah seharusnya diintegrasikan dengan mata pelajaran di sekolah dan untuk pelaksanaan kegiatan pengembangan diri akan difasilitasi dan dilaksanakan oleh konselor dan dibantu oleh seluruh tenaga pengajar. Disamping itu kegiatan pengembangan diri selain dilakukan melalui kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling dapat juga melalui kegiatan ektra kurikuler lainnya, selaras dengan itu dikatakan bahwa bimbingan merupakan bagian integral dari proses pendidikan dan memiliki kontribusi terhadap keberhasilan proses pendidikan disekolah (Nurhisan, 2005).

Keberadaan konselor sendiri dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik (UU No. 20 Tahun 2003). Oleh sebab itu, menurut Willis (2009) sebagai seorang konselor harus memiliki semua kriteria kualitas yang diunggulkan, termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan dan nilai-nilai yang dimilikinya yang akan memudahkannya dalam menjalankan proses konseling sehingga mencapai tujuan yang berhasil. Pengembangan karakter melalui berbagai program layanan oleh seorang konselor sudah barang tentu mewajibkan para konselor untuk meningkatkan kemampuannya dalam memahami seluk beluk setiap aspek yang dimiliki oleh siswa, dimulai dari kebiasaan-kebiasaannya di sekolah, keluarga dan di dalam kehidupan bermasyarakat yang akan kemudian akan memberikan gambaran jelas terkait potensi yang dimiliki siswa. Hal ini yang dimaksud oleh Battistich (2007) bahwa pendidikan karakter yang efektif akan terlaksana jika semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting. Dengan demikian bahwa peran penting konselor demi memperlancar setiap kegiatan konselingnya sudah seharusnya mendapatkan informasi yang lengkap secara menyeluruh.

Untuk itu tersebut dapat dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak, Dalam konteks ini yang lebih dulu memahami siswa adalah lingkungan keluarganya yang merupakan lingkungan utama dimana siswa dibesarkan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa orangtua adalah perangkat keluarga yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memahami kondisi anaknya secara menyeluruh, sehingga patut kiranya hubungan antara konselor dan orangtua siswa dilakukan melalui sebuah kerjasama yang baik terkait pola didikan dan program-program layanan yang harus saling terintegrasi antara kegiatan pendidikan di sekolah dan didikan orangtua di dalam keluarga, sehingga siswa mampu belajar dari keteladanan sorang pendidik dan menjadikannya sebagai model (Lefrancois, 1994). Apalagi dengan kondisi kekinian dimana beberapa sekolah lagi menerapkan sistem full day school sebagai wadah untuk mengedepankan pengembangan karakter bagi siswa. Peryataan tersebut senada dengan pendapat Nirwana (2014) yang menggungkap-kan bahwa pelaksanaan full day school yang baik bisa membangun karakter para siswa di sekolah.

Berkenaan dengan seluruh situasi pendidikan yang ada, bagaimanakah seharusnya seorang konselor memahami dan bertindak untuk meningkatkan peranannya dengan orangtua dalam konteks pendidikan karakter ? untuk itu artikel ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman teerkait pesoalan tersebut.

 B. Implementasi Full Day School terhadap Pembentukan Karakter

Penggunaan istilah Full day school dimaksudkan sebagai suatu proses pembelajaran yang dilaksanakan secara penuh dengan aktifitas anak lebih banyak dilakukan di sekolah dari pada di rumah. Senada dengan itu menurtu Salim (1988) Full day School berasal dari bahasa inggris, full artinya penuh, day artinya hari, sedangkan school artinya sekolah. Jadi Full day school berarti sekolah

sepanjang hari. Kendati demikian proses pembelajaran yang seharian di sekolah tidak hanya berlangsung di dalam kelas, melainkan tambahan jam sekolah yang digunakan untuk pendalaman ilmu pengertahuan dengan metode pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, menyelesaikan tugas dengan bimbingan guru, pembinaan mental, jiwa dan moral siswa yang berunjung pada pengembangan karakter dan potensi kearah yang optimal.Dalam pelaksanaannya menurut Nirwana (2014) full day school dirancang agar siswa dilatih untuk belajar, sementara rancangan kegiatannya dimulai pukul 7.30 sampai 16.30 WIB, mulai hari senin sampai kamis. Sedangkan hari jumat dan sabtu jadwalnya dari 7.30 sampai 12.00 WIB. Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa dengan penerapan full day school dapat bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu dan hasil belajar siswa, (2) membimbing siswa dalam mengamalkan agama melalui kegiatan ibadah, (3) meningkatkan hubungan psikologis antara guru dan siswa, (4) menumbuhkan rasa kebersamaan di antara siswa, dan (5) pendalam materi.

Dengan mengikuti full day school, para orangtua dapat mencegah dan menetralisir kemungkinan dari kegiatan-kegiatan anak yang menjerumus pada kegiatan yang negatif. Disamping itu menurut Baharuddin (2009) terdapat beberapa alasan mengapa full day school menjadi pilihan yaitu

(1) meningkatnya jumlah orangtua (parent-career) yang kurang memberikan perhatian kepada anaknya, terutama yang berhubungan dengan aktivitas anak setelah pulang dari sekolah

(2) perubahan sosial budaya yang terjadi dimasyarakat, dari masyarakat agraris menuju ke masyarakat industry yang menjurus kearah individualisme,

(3) perubahan sosial budaya memengaruhi pola pikir dan cara pandang masyarakat, seperti peran ibu yang dahulu hanya sebagai ibu rumah tangga, dengan tugas utamanya mendidik anak, mulai bergeser, dan

(4) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu cepat sehingga jika tidak dicermati, maka kita akan menjadi korban, terutama korban teknologi komunikasi.

Senada dengan pendapat di atas, menurut Hasan (2006) penerapan sistem full day school mempunyai sisi keunggulan antara lain:

1) memungkinkan terwujudnya pendidikan utuh yang efektif melalui memberi penguatan karakter pada seluruh aspek; yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik serta pengembangan kemampuan bahasa asing.

2) memungkinkan terwujudnya intensifikasi dan efektivitas proses edukasi. dalam arti siswa lebih mudah diarahkan dan dibentuk sebab aktivitasnya lebih mudah terpantau.

Lebih lanjut Hasan (2006) mengungkapkan bahwa full day school juga memiliki kelemahan yaitu:

1) menimbulkan rasa bosan pada siswa,

2) siswa membutuhkan kesiapan baik fisik, psikologis, maupun intelektual.

3) jadwal kegiatan pembelajaran yang padat akan meyebabkan siswa menjadi jenuh.

4) memerlukan perhatian dan kesungguhan manajemen agar optimal.

5) sangat dibutuhkan perhatian dan curahan pemikiran terlebih dari pengelolaannya, bahkan pengorbanan baik fisik, psikologis, material dan lainnya.

Namun bagi sekolah yang telah siap dan mempersiapkan segalanya, kelemahan tersebut bukanlah sebuah masalah, tetapi justru akan mendatangkan keasyikan tersendiri bagi siswa dan para pendidik, oleh karenanya menejemen dan pengelolaan sekolah harus meningkatkan keahlian para pendidik serta pemuktahiran bahan dan strategi pembelajaran, serta penyediaan sarana dan prasarana yang memadai dan mendukung proses implementasi pendidikan kearah berbasis karakter.

Dalam kaitannya dengan pembentukan karakter makna implementasi berarti penerapan atau membiasakan kepada hal-hal yang membuat terbentuknya karakter yang diwujudkan melalui kebijakan dan inovasi serta tindakan praktis untuk memberikan dampak dan mencapai tujuan yang diinginkan.

Jika sekolah telah siap melaksanakan full day school sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan maka dapat dipastikan bahwa tujuan dalam mengembangkan karakter siswa akan berdampak positif. Lebih jauh Prayitno & Manullang (2011) mengungkapkan bahwa penerapan karakter dengan baik akan membuat kehidupan menempuh jalan lurus yang mengikuti kaidah-kaidah nilai dan norma sesuai fitrah manusia yang berorientasi pada kebenaran dan keluhuran. Kemudian mereka mengartikan karakter di atas sebagai suatu sifat pribadi yang relative stabil pada diri individu yang menjadi landasan bagi penampilan perilaku dalam standar nilai dan norma yang tinggi.

Disamping itu, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling) dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik dan melakukan perbuatan kebaikan (Lickona, 1991). Lebih lanjut menurut Nirwana (2014) ada beberapa karakter yang dapat dibentuk melalui full day school diantaranya adalah kerja keras dan pantang menyerah, pengamalan nilai-nilai agama, bertanggung jawab, hormat pada guru dan teman-teman, serta gemar memberi dan malu menerima. Oleh karena itu, untuk pembentukan karakter anak dalam penyelenggraraan program full day school dapat diimplementasikan melalui pendisiplinan yang diterapkan dalam pembiasaan, keteladanan, penguatan, dan fun learning (Nastiti, 2015).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa banyak hal yang dapat dieksplorasikan oleh tenaga pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dalam membentuk berbagai karakter kearah pengoptimalan potensi siswa, dan yang perlu diperhatikan adalah para pendidik juga harus mampu melakukan kerjasama dengan bebagai pihak yang terkait, guna pengoptimalan peran dan fungsi sebagai tenaga kependidikan yang profesional, mulai dari sesama tenaga pengajar, orangtua dan masyarakat pada umumnya.

 C. Peran Konselor dan Orangtua dalam Full Day School

Dalam pelaksanaan full day school keberadaan konselor merupakan sosok pendidik yang diperlukan untuk memberikan pembelajaran melalui prosedur layanan bimbingan ataupun layanan konseling yang berorientasi kepada pengembangan diri, baik secara perorangan maupun kelompok agar siswa dapat mandiri dan bisa berkembang secara optimal, melalui bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun karier dengan menggunakan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku disamping kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh guru mata pelajaran.

Hal tersebut selaras dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 mengamanatkan bahwa Pengembangan diri dilaksanakan dalam bentuk kegiatan ekstra kurikuler dan pelayanan konseling, dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat yang dimiliki. Selain itu dalam mengeksplorasi setiap potensi yang dimiliki siswa, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak masalah yang sering kali dihadapi oleh para siswa yang harus diselesaikan oleh seorang konselor. Menurut Tohirin (2013) secara umum masalah-masalah yang dihadapi oleh individu khususnya oleh siswa di sekolah sehingga memerlukan bimbingan dan konseling adalah:

(1) masalah-masalah pribadi,

(2) masalah belajar (masalah-masalah yang menyangkut pembelajaran),

(3) masalah pendidikan,

(4) masalah karir atau pekerjaan,

(5) penggunaan waktu senggang,

(6) masalah-masalah sosial dan lain sebagainya.

Keseluruhan masalah yang diungkapkan di atas akan berpengaruh negatif terhadap pembentukan karakter siswa, oleh karenanya sebagai seorang konselor dalam mengatasi permasalahan tersebut dapat menggunakan berbagai cara pelayanan yaitu bisa menggunakan pelayanan dengan model bimbingan dan konseling 17 plus atau menggunakan model bimbingan konseling komprehensif yang kedua-duanya memiliki tujuan yang sama dalam memberikan pelayanan terbaik kepada siswa namun dengan kerangka pelayanan yang berbeda. Misalkan untuk pelayanan Bimbingan dan konseling pola 17 plus menurut Prayitno (2003), yang terdiri dari: empat 4 macam bimbingan, yaitu : bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karier, 10 macam layanan, yaitu : layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, konsultasi, mediasi, dan advokasi; serta 6 kegiatan pendukung, yaitu : aplikasi instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah, tampilan kepustakaan dan alih tangan kasus .

Sedangkan untuk bimbingan dan konseling komprehensif memiliki 4 komponen layanan yaitu layanan dasar, layanan responsive, layanan perencanaan pribadi dan dukungan sistem (Yusuf, 2007). Berdasarkan layanan-layanan yang diungkapkan di atas, sering kita menemukan pertentangan antara dua macam model layanan tersebut karena sering kali para praktisi kebingungan untuk menggunakan yang mana. Untuk menjawab hal tersebut secara sederhananya adalah mengikuti rujukan atau panduan pemerintah yang telah disahkan, sehingga tersistem secara kelembagaan untuk seluruh sekolah yang ada, entah nanti oleh pemerintah menggunakan rujukan teori yang mana, tapi yang pastinya penggunaan semua model layanan adalah sah secara akademik namun perlu disesuaikan dengan setiap kebutuhan para siswa.

Kemudian dalam sistem full day school yang berorientasi terhadap pengembangan karakter maka kepribadian seorang konselor adalah hal yang sangat penting karena akan ditiru dan dijadikan teladan oleh para siswa. oleh karenanya secara umum menurut Willis (2007) karakteristik kepribadian yang harus dimiliki konselor yaitu beriman dan bertakwa, komunikator yang terampil dan mampu menjadi pendengar yang baik menyenangi manusia, pikiran jernih, memiliki ilmu dan wawasan tentang manusia; sosial budaya; dan merupakan nara sumber yang kompeten, tenang dan sabar, menguasai keterampilan teknik, memiliki intuisi, memahami etika profesional, respek, jujur, asli, dan tidak menilai, fleksibel, empati, memahami, menerima, menghargai, hangat, dan bersahabat, fasilitator dan motivator, memiliki emosi yang stabil, cepat dan mampu, objektif, rasional, logis dan kongkrit serta konsisten dan bertanggung jawab.

Senada dengan hal di atas, kepribadian konselor menurut Geldard & Geldard (2011) yaitu harus menampilkan sikap yang tulus, penuh empati, hangat dan harmonis yang dilandasi kasih sayang, tidak menghakimi dan penerimaan yang positif tanpa syarat, menunjukkan perhatian, pengertian dan dukungan, bersikap kolaboratif dengan menunjukkan penghargaan yang tinggi terhadap orang lain dan menunjukkan kemampuan dalam menggunakan keterampilan konseling sesuai dengan maksud dan tujuannya.

Lebih lanjut menurut Kulsum (2013) bahwa seorang konselor harus memiliki program yang berkesinambungan dan variatif untuk menanamkan paradigma belajar ini dan yakin bahwa konsep tersebut dilaksanakan dalam keseharian. Saat paradigma belajar sudah difahami semua pihak, kemudian konselor harus membangun sistem yang memfasilitasi semua kegiatan sedang menuju kepada optimalisasi tercapainya tujuan pembelajaran. Konselor juga harus mampu menciptakan standar, prosedur, buku pedoman, buku panduan, manual, format, serta formulir sebagai acuan para guru dan siswa dalam melaksanakan program. Namun demikian, standarisasi ini tetap dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa semua program sejalan dengan tujuan pembelajaran dan bukan untuk mempersulit guru atau memasung kreativitas.

Dengan demikian melalui berbagai layanan dan kompetensi kepribadian yang dimiliki oleh konselor, diharapkan mampu membuat program-program yang pembelajaran yang menyenangkan, inovatif, kreatif untuk mengisi waktu-waktu luang yang disediakan dalam pelaksanaan full day school. Disamping itu keterlaksanaan program layanan di sekolah kadang kala tidak begitu saja berjalan seperti tujuan yang diinginkan, hal ini bisa jadi disebabkan oleh faktor-faktor lain, salah satunya adalah faktor orangtua.

Menurut Yusuf (2007) anak merupakan amanah orangtua yang masih suci laksana permata, yang baik buruknya akan tergantung pada pembinaan yang diberikan oleh orangtua kepada mereka. Hal ini memberi arti bahwa keberhasilan pendidikan anak sudah seharusnya merupakan tanggung jawab orangtua, dikarenakan orangtua adalah pendidik yang pertama dan utama saat anak terlahir ke dunia. Peran orangtua di sini sangat diperlukan untuk mendidik agar dapat membentuk pribadi anak menjadi baik dan dapat diharapkan untuk masa yang akan datang, apalagi orangtua merupakan pendidik yang pertama dan utama, disamping itu orangtua harus memberi contoh dan perilaku baik agar anak dapat meniru kebaikan dari orangtuanya, disamping itu dalam pembentukan karakter anak sangatlah penting apalagi orangtua merupakan sarana pertama kali bagi anak dalam menerima sosialisasi.

Penerapan pola didik orangtua seharusnya berorientasi terhadap didikan yang manusiawi yang penuh perhatian dan kasih saying tanpa harus memarahi ataupun memberikan hukuman fisik namun memberikan peringatan ataupun arahan agar tidak mengulanginya lagi. Selain itu juga memberikan pendidikan agama, nilai-nilai moral, etika dan aturan sosial kemasyarakatan terhadap anak sehingga dapat membentuk karakter anak dengan baik disamping penguatan kecerdasan intelektual anak (Utami, 2013). Dengan menerapkan strategi yang digunakan para orang tua menjadikan anak mereka generasi yang handal dalam era yang serba maju ini. Dan pada akhirnya siswa juga akan mengerti jika diberi sesuatu mereka dapat memilih mana yang baik dan benar. Ini merupakan pendidikan yang baik yang diterapkan orang tua kepada anaknya. Anak berusaha mengerti dan berusaha melakukannya, karena orangtua di anggap sebagai pendidik yang baik (Hurlock, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peran yang hendak dipahami bahwa kesesuaian prongram konselor dalam membentuk karakter siswa bukanlah hal yang mudah namun membutuhkan sebuah proses yang berkelanjutan dan terintegrasi antara konselor dan orangtua dirumah, sehingga tidak terjadi miskomunikasi cara mendidik. Melalui layanan konsultasi dan kunjungan rumah ataupun dukungan sistem kedua belah pihak dapat melakukan komunikasi yang intensif melalui pertemuan terjadwal guna membicarakan kemajuan perkembangan siswa serta rancangan-rancangan program yang relevan bagi siswa.

 D. Penutup

Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan dan pengelolaan yang baik terkait full day school akan memberi dampak yang signifikan terhadap pengembangan karakter siswa, namun dengan memperhatikan unsur-unsur dalam pembelajaran seperti, kualitas pendidik, lingkungan tempat belajar, strategi, metode, media dan teknologi agar terjadi proses pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran efektif, aktif, kreatif, , dan menyenangkan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dan yang terpenting adalah keteladanan yang harus dicontohkan oleh seorang pendidik, baik kedudukannya sebagai konselor, guru mata pelajaran ataupun sebagai orangtua.

 E. Daftar Pustaka

Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Battistich, V. 2007. Character Education, Prevention and Poditive Youth Development. Illnois: University Of Missouri.

Campbell, S.B. 2002. Behaviour Problems in Preschool Children: Clinical and Developmental Issues. USA: Guilford Press.

Dewantara. 2004. Karya K.H. Dewantara, bagian pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Geldard, K., & Geldard, D. 2011. Konseling Remaja. Yogyakarta : Pustaka.

Hasan, N. Full day School (Model Alternatif Pembelajaran bahasa Asing). Jurnal Pendidikan. Tadris. Vol 1. No1, 2006), h. 114-115.

Hurlock, E. 2004. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Gramedia Pustaka.

Kulsum, S. 2013. Peranan Bimbingan dan Konseling dalam Domain Pengembangan Diri Siswa. Volume 1 Nomor 1, Februari 2013, Hlm 67-72.

Lefrancois, G.R. 1994. Psychology for Teaching. Belmont. California: Wadsworth Publishing Company.

Lickona.1991. Educating for Character;How Our School Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantan Books.

Nastiti, T.A. 2015. Implementasi Program Full Day School dalam Pembentukan Karakter Anak di SD Islam Terpadu Taruna Teladan Delanggu. Semarang: UNS.

Nirwana, H. 2014. Full Day School (FDS) dan Pengembangan Karakter. Padang: UNP.

Nurihsan, A.J. 2005. Strategi Layanan Bimbingan Konseling. Bandung: Refika Aditama.

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk. Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Prayitno. 2003. Kerangka Konseling Eklektik: Konseling Pancawaskita. Padang: UNP.

Prayitno & Manullang. 2011. Pendidikan Karakter dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: Gramedia.

Salim, P. 1988. Advanced English-Indonesia Dictonary. Jakarta: Modern Englis Press.

Tohirin. 2013. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2010. Bandung: diperbanyak oleh Citra Umbara.

Utami, S.D. 2013. Peranan OrangTua dalam Mendidik Anak. Semarag: UNS.

Willis, S.S. 2007. Konseling Individual, Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta.

………….2009. Konseling Keluarga. Bandung: Alfabeta.

Yusuf, S. 2007. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 SILHKAN DOWNLOAD FILE ASLI PDF - KLIK