WAWASAN BUDAYA: Sekilas tentang Budaya Daerah Buton-Muna (Sulawesi Tenggara)

29 August 2022 13:01:30 Dibaca : 7466 Kategori : WAWASAN BUDAYA

By: Jumadi Mori Salam Tuasikal

Masyarakat Sulawesi Tenggara merupakan masyarakat dengan kultur yang heterogen. Hal ini dikarenakan penghuni Sulawesi Tenggara terdiri dari bermacam-macam suku besar seperti:

  •  Suku Muna (Muna)
  •  Suku Tolaki (Kendari - Konawe - Konawe Selatan dan Bombana)
  •  Suku Wolio (Buton)
  •  Suku Wakatobi (Wanci - Kaledupa - Tomia dan Binongko)
  •  Suku Wawonii
  •  Suku Kabaena
  • Suku Bajo (umumnya tinggal di daerah pantai)
  • Suku Jawa
  • Suku Moronene
  • Suku Bugis-Makassar
  • Suku Menui

Mengingat Sulawesi Tenggara berasal dari kultur heterogen, maka uraian kebudayaan selanjutnya adalah mengemukakan salah satu kebudayaan di Sulawesi Tenggara yaitu Buton-Muna yang merupakan suku mayoritas (terbesar) di Sulawesi Tenggara. Sekurang-kurangnya terdapat tiga versi yang menginformasikan tentang angka tahun sejarah permulaan masuknya ajaran Islam di kerajaan Buton yaitu tahun 850 H. atau tahun 1412 M, tahun 933 H, atau  tahun 1533 M dan tahun 948 H atau tahun 1542 M. Dari ke tiga versi tersebut, versi yang paling tua dan jelas sumbernya adalah angka tahun 948 H atau tahun 1542 M. (Silsilah bangsawan Buton, 1267 H atau tahun 1850 M). Sumber tersebut menginformasikan bahwa Syekh Abdul Wahid berasal dari Johor datang di Buton tahun 948 H atau 1542 M dengan tujuan menyebarkan agama Islam. Nama Buton berasal dari kata Butuni, artinya tempat persinggahan. Letaknya strategis diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan jalur lintas niaga. Letak Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kotaBaubau. Wilayahnya meliputi Pulau Buton dan pulau-pulau di sekitar Sulawesi Tenggara.Kerajaan yang kemudian menjadi Kesultanan ini, memiliki sejarah sistim pemerintahan monarki parlementer selama tujuh abad.

 Falsafah hidup

Yamada-yamadakimo aratâ solana ßoli karo, yamada-yamadakimo karo solana ßoli lipu, yamada-yamadakimo lipu solana ßoli sara, yamada-yamadakimo sara solana ßoli agama.

Artinya:

(Hancur-hancurlah harta asal jangan hancur diri, hancur-hancurlah diri asal jangan hancur negeri, hancur-hancurlah negeri asal jangan hancur pemerintah.Berkata ulama muhakiki pada pemerintah Wolio, hancur-hancurlah pemerintah asal jangan hancur agama).

 Cara Mengatasi Konflik

 Untuk mengatasi konflik, utamanya yang menyangkut masalah adat, keluarga dan pernikahan berdasar atau merujuk pada ketentuan yang tertera dalam Kitab Undang-undang Kesultanan atau Sarana Wolio (Undang-undang Martabat Tujuh).Prosesnya dilakukan dengan musyawarah yang dipimpin oleh pemuka adat yang sesuai aturan kesultanan.

Masalah kekerabatan atau warisan

 Untuk masalah yang menyangkut kekerabatan atau warisan juga berdasar atau merujuk pada ketentuan yang tertera dalam Kitab Undang-undang Kesultanan atau Sarana Wolio (Undang-undang Martabat Tujuh). Biasanya pembagian warisan adalah 2 : 1 (laki-laki lebih banyak daripada perempuan). Pada masa lalu jika ahli waris belum dewasa, maka warisan sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah kesultanan.

 Upacara Pernikahan

Kawia adalah istilah untuk menyebut perkawinan antara laki-laki dan perempuan bagi masyarakat Wolio (Buton). Dalam tradisi masyarakat WoIio dikenal beberapa rnacam tata cara perkawinan, yaitu; pobhisa, uncura, popalaisaka,dan Humbuni. Kcempatnya akan diuraikah sebagai berikut:

 a.      Pobhaisa

Pobhaisa adalah prosesi perkawinan setelah terlebih dahulu terbangun kesepakatan atau persetujuan antara pihak  keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan. Prosesi upacara kawia dalam bentuk pobhaisa meliputi kegiatan-kegiatan; pesoloi, bhawana katindana oda, tauraka, dan kawi  sebagai acara puncak.

Pesoloi secara harfiah berarti mencari tahu. Istilah mencari tahu dalam pengetian ini menunjuk pada aktifitas adat yang diselenggarakan oleh keluarga pihak laki-laki untuk rnencari tahu status seorang gadis; apakah yang bersangkutan secara adat telah memiliki jodoh atau belum. Untuk itu, pihak keluarga laki-laki mengutus seorang lolonca untuk menyampaikan maksud pihak keluarga laki-laki melamar gadis bersangkutan. Selaku perutusan, tolonca kemudian menyampaian maksud tersebut kepada pihak keluarga perempuan. Atas pertanyaan tolonca, pihak keluarga perempuan biasanya meminta waktu selama empat hari, guna mengkomunikasikan hal tersebut kepada seluruh keluarga, termasuk kepada gadisnya (anaknya, atau kemenakannya, atau cucunya, atau karib kerabatnya).

Setelah empat hari seperti yang ditentukan, maka tolowca atas nama keluarga pihak laki-laki kembali ke rumah keluarga perempuan guna mendapatkan jawaban atas pertanyaannya dulu. Keputusan ditolak atau diterlma selanjutnya, disampaikan oleh tolowca kepada pihak keluarga laki-laki. Tepat pada hari yang ditentukan, maka dilaksanakan upacara meminang (tauraka) dimana pihak laki-laki yang diwakili tolowca menyerahkan mahar kepada yang mewakili keluarga perempuan. Besaran mahar ditentukan berdasarkan kedudukan kedua calon mempelai dalam struktur sosial masyarakat Wolio (Buton). Tahapan selanjutnya adalah prosesi kawia.

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, biasanya menjelang upacara pernikahan (kawia) akan dilaksanakan upacara posuo terhadap calon pengantin perempuan jika yang bersangkutan sebelumnya belum menjalani prosesi ini. Upacara posuo biasanya dilaksanakan bersama gadis-gadis lain yang masih termasuk anggota atau kerabat keluarga calon mempelai. Akad nikah biasanya dilaksanakan di kediaman orang tua atau keluarga pihak wanita. Pengantin laki-laki yang menggunakan pakaian balahadha-hadha diantar oleh sejumlah keluarga, tua-tua adat dan undangan lainnya dari kediamannya menuju kediaman keluarga perempuan. Pengantaran pengantin laki-laki ke tempat kediaman pengantin wanita biasanya dilakukan pagi atau sore hari. Di kediaman perempuan diadakan penyambutan oleh pihak keluarga, tua-tua adat, dan undangan lainnya. Akad nikah dilakukan oleh seorang moji dari perangkat Masjid Agung Wolio, atau tokoh adat, atau Kepala KUA (untuk kondisi sekarang) dengan disaksikan orang tua kedua mempelai, keluarga dan kerabat, serta undangan lainnya. Selama empat malam setelah akad nikah, pasangan suami istri belum dapat dipertemukan. Pengantin pria tidur di kamar lain didampingi dua orang bhisa, demikian pula pengantin wanita. Para bhisa yang keseluruhannya berjumIah empat orang tersebut adalah istri atau janda-janda para pejabat adat. Mereka bertugas memberikan petunjuk dan nasehat-nasehat kepada kedua mempelai perihal kaidah-kaidah adat, moral dan agama dalam kehidupan berumah tangga.

Setelah empat hari maka tibalah prosesi matana karia atau disebut juga pobhongkasia. Prosesi ini umumnya dilakukan pada  sore hari dikediaman keluarga mempelai perempuan yang turut  dihadiri para undangan, baik undangan dari pihak keluarga laki- laki maupun pihak keluarga perempuan. Mempelai perempuan yang mengenakan pakaian adat kombo kemudian diarahkan keluar ruangan, didudukkan di atas kursi di tengah para undangan perempuan. Telapak kaki kanannya kemudian disapukan tanah. Prosesi ini secara adat dilakukan oleh seorang istri dari kalangan moji dari Masjid Agung Wolio. Sesudah itu, kursi tempat duduk mempelai perempuan dipindahkan keluar angan agar mempelai dapat duduk ke lantai sebagaimana dangan lainnya. Di sini, mempelai perempuan didampingi oleh dua orang ibu muda yang dalam bahasa adat disebut moopina. keduanya memakai pakaian adat baju koboroko, popungu ogena, bhia pasiki. Sesudah itu, mempelai perempuan masuk kembali ke kamar dengan didampingi kedua ibu muda tersebut. keduudukan moopina secara filosofis mengandung maksud agar perkawinan proses dapat mulus sebagaimana yang telah dilalui kedua ibu muda bersangkutan. Pada saat yang sama, mempelai laki-laki yang mengenakan pakaian adat balahadha-JauJha duduk bersila di tengah para undangan laki-laki. Kepada para undangan, baik laki-laki maupun perempuan diberikan pasali sesuai kedudukan masing-masing dalam adat.

Sebelum undangan kembali ke rumah masing-masing, kedua mempelai kemudian dimandikan bhisa dengan uwe yikadhu (air yang dikandung) dalam satu tempayan. Air tersebut ditaburi dengan bunga-bunga harum; kambampuu (lambang kesungguhan), kambalagi (lambang kcabadian), dan kambamanuru (lambang kemakmuran). Prosesi ini mengandung maksud untuk menyamakan bau kedua pasangan dari sekaligus menjadi simbol kesungguhan, kcabadian, dan kemakmuran kedua pasangan. Para bhisa yang terdiri dari - empat orang perempuan tua (istri atau janda para pejabat) seperti tersebut di atas kemudian melakukan makan bersama dengan kedua mempelai dalam satu talam (Wolio; tala koae). Prosesi ini bertujuan memperkenalkan kedua pasangan suami-istri yang baru melangsungkan pernikahan tersebut.

  b.    Uncura

Uncura secara harfiah berarti duduk. Yang dimaksud dalam PEngertian ini adalah prosesi adat perkawinan dimana calon pasangan suami istri dikawinkan tanpa melalui tahapan­tahapan adat sebagaimana dalam adat pobaisa. Hal ini dapat terjadi karena berbagai faktor, misalnya ingin mempercepat proses perkawinan sementara dana belum mencukupi. Prosesi perkawinan dalam adat uncura juga dapat terjadi karena jalur pobaisa sulit ditempuh sementara anak-anak telah suka sama suka. Kecuali itu, juga biasa disebabkan karena keluarga pihak perempuan mengulur waktu pernikahan, sementara jalur pobaisa telah dilaksanakan. Terhadap hal ini, rnaka adat uncura-lah yang biasa ditempuh pihak keluarga laki­laki. Kedudukan seseorang dalam strata sosial masyarakat Wolio (Buton) sangat berpengaruh terhadap boleh tidaknya seseorang tersebut melangsungkan perkawinan dalam adat uncura. Berdasarkan batasan tersebut, maka perkawinan dalam adat uncura hanya boleh dilakukan:

  • Anak laki-laki dari kalangan kaomu dengan perempuan kalangan kaomu pula.
  • Antara laki-laki daTi kalangan walaka dengan perempuan dari kalangan walaka   pula.
  • Laki-laki walaka boleh mengawini wanita kaomu hanya melalui adat uncura, karena perkawinan dalam adat pobhaisa antara kedua golongan dilarang keras.

 c.      Popalasiaka

Popalaisaka adalah istilah yang digunakan sebagai padanan untuk menujuk istilah kawin lari menurut bahasa Indonesianya.Hal ini biasa terjadi apabila salah satu pihak keluarga laki-laki atau keluarga perempuan tidak merestui rencana perkawinan meskipun telah dilakukan upaya seperti yang telah dijelaskan dalam prosedur adat pobaisa.Menghadapi kondisi seperti ini, maka calon suami atau pihak keluarga calon suami kemudian mengambil sang gadis (calon istri) dari keluarganya untuk dibawah ke rumah tokoh adat, atau ke rumah KUA (untuk kondisi sekarang), atau ke rumah pihak keluarga perempuan bersangkutan. Pihak-pihak yang yang menampung mereka berkewajiban menyampaikan hal ini kepada keluarga kedua belah pihak, terutama keluarga pihak perempuan.Bila telah tiga kali diberikan penyampaian, lantas kedua belah pihak, atau salah satu keluarga tidak memberi res pons, maka secara adat mereka dapat dinikahkan.Tetapi ada kalanya setelah diberi penyampaian, maka salah satu keluarga, atau kedua belah pihak meminta putra-putrinya dari tangan pemangku adat atau pihak keluarga yang menampung dan melindungi mereka untuk selanjutnya dibicarakan secara baik-baik.Dengan demikian perkawinanpun ada kalanya dapat direstui.

 d.     Humbuni

Perkawinan dalam bentuk humbuni dewasa ini tidak ada lagi.Humbuni dilakukan seorang laki-laki atau pihak keluarga laki-laki untuk mengambil gadis dari keluarganya untuk selanjutnya dinikahkan. Hal ini terjadi karena banyak faktor misalnya salah satu atau kedua belah pihak keluarga tidak merestui rencana pernikahan mereka,sementara anak-anak telah suka sama suka, dan jalur adat pun telah ditempuh. Humbuni mengandung resiko besar, karena biasanya pihak keluarga perempuan akan merasa keberatan. Hal ini akan, berpengaruh, baik dalam prosesi perkawinan mereka, maupun dalam konteks hubungan sosial kedua pasangan dengan keluarganya dikemudian hari.

Dalam pandangan orang Wolio (Buton) setiap insan manusia dalam menapaki proses kehidupannya akan mengalami fase perkawinan, karena perkawinan merupakan sebuah sunatullah yang tidak dapat dielakkan. Kcempat tatacara perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas merupakan refleksi pemahaman mereka akaneksistensi manusia itu sendiri. Manusia secara jasmaniah (ragawi) terbangun atas empat anasir, yaitu; air, tanah, angin, dan api. Ke empat anasir tersebut merupakan satu kesatuan yang integral, salah satunya tidak ada,  maka manusia tidak akan sempurnah. Perkawinan sebagai wahana regenerasi manusia dalam tatacaranya juga merujuk pada ke empat sifat anasir yang membangunnya tadi.Atas pandangan ini, maka perkawinan pobhaisa dianggap sebagai simbol dari sifat "air". Ketenangan dari sifat air direfleksikan dalam musyawarah mufakat untuk membicarakan prosesi perkawinan. Air yang mengalir memanjang dari hulu ke muara direfleksikan dalam mengantar mempelai laki-laki hingga sampai ke rumah mempelai perempuan.

“Diam" adalah sifat tanah yang ikhlas Jiperlakukdn bagaimanapun juga. Sifat anasir tanah direfleksikan melalui perkawinan uncura (duduk). Akan halnya dengan popalisaka (kawin lari) adalah refleksi dari sifat "angin". Sedangkan humbuni adalah refleksi dari sifat "api”. Dari keempat cara perkawinan sebagaimana diuraikan di atas, maka bentuk perkawinan humbuni dewasa ini tidak pernah dipraktekkan dalam masyarakat. Sedangkan cara pobhaisa, uncura, dan popalaisaka adalah yang biasa terjadi. Kendati demikian, perkawinan pobaisa adalah yang paling umum dilakukan.

 Upacara Adat Kematian

 Bagi orang muslim, penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya pada ajaran Islam tentang hari kiamat dan pengadilan nanti, masuk ke surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada ke­percayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak lain yang telah meninggal, hadir kembali. Suasana ritus yang terakhir dialami dalam lingkaran hidup (life cycle) manusia adalah peristiwa kematian. Masyarakat Wolio (Buton) memandang kematian sangat penting karena orang yang meninggal akan pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Meskipun demikian, mereka menganggap roh orang meninggal tetap hidup di alam gaib.

Dalam perjalanannya ke akhirat, roh simati diharapkan dapat selamat sampai ke tempat tujuan (haribaan illahi). Aspek yang disebut terakhir dalam pandangan masyarakat Wolio (Buton) sangat berkaitan dengan cara perlakuan terhadap jenazah. Untuk maksud itulah kemudian diadakan serangkaian upacara jenazah. Upacara tersebut diselenggarakan sesuai kemampuan keluarganya. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan selama penyelenggaraan upacara bukanlah masalah, yang terpenting adalah keselamatan roh si mati dan keselamatan keluarga yang ditinggalkan. Hal ini akan bersangkut paut pada benar tidaknya cara penyelenggaraan upacara menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam ajaran Islam.

Pada umumnya, upacara yang berlangsung sebelum penguburan dan serangkaian upacara selama penguburan dipandang sangat penting dibanding upacara sesudah penguburan. Oleh karena itu diperlukan orang-orang yang lebih ahli dalam pengurusan jenazah. Orang Wolio menganggap, ditangan mereka-mereka itulah tergantung keselamatan roh dalam perjalanannya ke alam baqa. Adapun upacara-upacara pokok yang berkaitan dengan kematian dalam tradisi Wolio (Buton) adalah: 1) Penerimaan kala (kadha); 2) Memandikan jenazah; 3) Mengkafani jenazah; 4) Menyembahyangkan jenazah; 5) Menguburkan jenazah; dan 6) Prosesi setelah penguburan. Apabila ke enam upacara tersebut tidak sempurnah pelaksanaannya, maka roh si mati akan mengalami kesulitan atau hambatan dalam perjalanannya ke alam baqa. Efek lain yang mungkin timbul adalah, biasanya mayat si mati sesudah dikuburkan akan dipermainkan oleh syaitan, atau roh si mati sesekali akan muncul mengganggu orang atau keluarganya yang masih hidup. Hal semacam ini biasa terjadi pada orang yang meninggal dalam keadaan hamil.meninggal tiba-tiba karena kceelakaan, meninggal dalam usia remaja dan sebagainya. Ada juga anggapan karena selama hidupnya, si mati lalai menjalankan perintah-perintah Tuhan.

Tujuan lain dari upacara kematian dalam kebudayaan masyarakat Wolio (Buton) ialah sebagai saluran untuk menyatakan rasa belasungkawa sekaligus membesarkan hati keluarga yang ditinggalkan. Mereka yang hadir melayat  dalam bahasa Wolio disebut dupa. Besar kecilnya dupa tergantung kemampuan dan kerelaan masing-masing. Hikmah yang dapat dipetik dari penyelenggaraan upacara kematian secara tidak langsung mengingatkan kepada setiap orang bahwa kematian pasti mendatangi semua orang. Tradisi Wolio menyebutnya dengan istilah sandaranakaro, artinya contoh yang nyata bagi yang masih hidup.

Namun sebelumnya, bila si sakit telah menampakkan tanda-tanda kematian, biasanya dilakukan upacara toba (taubat). Upacara dipimpin oleh seorang petua adat atau tetua agama. Prosesi ini dimaksudkan untuk menyadarkan si sakit perihal dosa-dosa atau perbuatannya yang salah menurut tuntunan agama yang pemah dilakukannya sebelumnya, dan hanya kepada Allah SWT, semata tujuan sisa hidupnya.

Bila si sakit telah menunjukkan penderitaan yang keras dan tidak ada harapan lagi untuk sembuh, maka si sakit akan terus didampingi oleh sanak keluarganya. Keluarga akan terus berjaga-jaga terutama mereka yang dianggap lebih mengetahui tanda-tanda kernatian. Dalam kcadaan seperti ini si sakit biasanya nampak tidak tenang, apalagi saat menghadapi sakralul maut. Dalam kondisi seperti inilah, masyarakat Wolio memiliki suatu keyakinan perihal jalan lurus (jalan keselamatan) yang mesti ditempuh untuk menuju ke hadirat Illahi. Keyakinan demikian biasa dibisikkan ke telinga si sakit. Setelah si sakit menghembuskan napas terakhir, maka tindakan yang segera diambil oleh pihak keluarga adalah membersihkan terlebih dahulu tubuh si mati. Setelah penyucian tersebut, mayat kemudian dibujurkan terlentang ke arah barat­timur, dengan posisi kepala di timur (menghadap kiblat). Di samping kiri kanan mayat diapitkan bantal seperlunya. Di sisi pembaringan mayat (kambale-mbaleana) ditempatkan kanturu (lampu) Wolio yang dinyalakan dengan bahan minyak kelapa. Menyertai itu. Kemudian dilakukan pengajian al-Qur’an di rumah duka. Hanya orang-orang tertentu yang bertindak selaku pelaksana upacara. Mereka yang datang melayat umumnya membawah sekedar uang atau bahan apa saja yang dianggap perlu untuk meringankan beban keluarga orang yang meninggal. Bantuan berupa uang tersebut lazim disebut dhupa yang secara harfiah berarti kemenyan; podhupa artinya berkemenyan. Maksudnya, sumbangan tersebut hanyalah sekedar pembeli kemenyan, besar keciInya tidak ada artinya.

Dalam tradisi Wolio, istilah podupa hanyalah ditujukan untuk sumbangan dalam upacara kematian saja. Jumlahnya tidak ada ketentuan, tetapi berdasarkan kerelaan. Mereka yang datang melayat, khususnya kaum ibu biasanya langsung duduk di pinggir pembaringan mayat atau tempat lain yang disediakan. Dhupa yang mereka bawah disimpan di tempat yang telah disiapkan. Ruangan tempat pembaringan mayat biasanya dipasangi langi-/angi (semacam plafon yang terbuat dari sambungan potongan-potongan kain yang berwama-warni). Hal yang sama juga biasa dilakukan dalam upacara-upacara seperti perkawinan. Yang membedakan adalah pada upacara kematian, langi-langi dipasang terbalik (kasarnya yang nampak dari luar), sedangkan pada upacara lain - halusnya yang nampak dari luar.

Begitu pula pada sekeliling dinding ruangan pembaringan mayat biasanya dipasangi kulambu (kelambu) Wolio secara terbalik I'seperti langi-langi. Berita kematian biasanya segera terdengar oleh masyarakat setempat dan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Wolio untuk datang melayat tanpa diundang. Penentuan mengenai siapa-siapa yang harus diundang dalam pelaksanaan upacara penguburan dan upacara-upacara sebelumnya, biasanya dilakukan oleh orang tertua dalam keluarga duka. Namun, pada umumnya, yang diundang biasanya tiga tingkatan sesuai kemampuan keluarga yang berduka.