BUDAYA LEMBUR MAHASISWA APAKAH BUKTI DEDIKASI ATAU TANDA TIDAK SEHAT?

14 December 2024 09:12:27 Dibaca : 5 Kategori : OPINI

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Budaya lembur telah menjadi fenomena yang lazim di kalangan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Mereka sering kali terlihat sibuk hingga larut malam, baik di perpustakaan, laboratorium, maupun kamar kos mereka, mengejar tenggat waktu tugas, mempersiapkan presentasi, atau menyelesaikan penelitian. Fenomena ini kerap dipandang sebagai bukti dedikasi dan semangat belajar yang tinggi. Namun, apakah budaya lembur ini benar-benar mencerminkan komitmen terhadap pendidikan, atau justru menjadi indikasi gaya hidup yang tidak sehat?

          Mahasiswa yang terbiasa lembur sering kali didorong oleh tekanan akademik yang tinggi. Tugas yang menumpuk, ekspektasi dosen, dan keinginan untuk mencapai prestasi akademik yang gemilang menjadi pemicu utama. Tidak jarang, mereka mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan demi memenuhi semua tuntutan tersebut. Hal ini menciptakan persepsi bahwa lembur adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya positif. Banyak mahasiswa yang akhirnya terjebak dalam siklus lembur yang terus-menerus. Mereka menganggap bahwa tidur cukup atau meluangkan waktu untuk bersantai adalah bentuk kemalasan. Akibatnya, mereka mulai kehilangan keseimbangan antara kehidupan akademik dan kesehatan fisik maupun mental.

          Dalam budaya lembur, mahasiswa sering kali merasa bangga ketika berhasil begadang untuk menyelesaikan tugas. Hal ini menjadi semacam badge of honor yang menunjukkan dedikasi mereka terhadap studi. Sayangnya, kebanggaan ini sering kali datang dengan harga yang mahal, seperti kelelahan kronis, kurang konsentrasi, dan gangguan kesehatan lainnya. Dari perspektif psikologi, lembur yang berlebihan dapat memicu stres yang berkepanjangan. Ketika mahasiswa terus-menerus berada di bawah tekanan untuk memenuhi tenggat waktu, tubuh mereka memproduksi hormon kortisol secara berlebihan. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menyebabkan masalah kesehatan serius, termasuk gangguan tidur, penurunan imunitas, dan masalah kardiovaskular.

          Selain itu, budaya lembur juga berdampak negatif pada kualitas belajar. Penelitian menunjukkan bahwa belajar dalam kondisi lelah tidak seefektif belajar dengan tubuh dan pikiran yang segar. Mahasiswa yang terbiasa begadang cenderung mengalami kesulitan dalam mengingat informasi dan mengolah konsep yang kompleks. Akibatnya, hasil akademik mereka justru bisa menurun. Budaya lembur juga sering kali didorong oleh pengaruh sosial. Dalam lingkungan kampus, mahasiswa yang sering begadang sering kali dianggap lebih serius dan berdedikasi. Hal ini menciptakan tekanan sosial yang mendorong mahasiswa lainnya untuk mengikuti pola yang sama, meskipun sebenarnya mereka tidak mampu atau tidak nyaman melakukannya.

          Teknologi juga berperan dalam memperkuat budaya lembur. Kemudahan akses ke perangkat digital membuat mahasiswa bisa terus bekerja kapan saja dan di mana saja. Namun, penggunaan teknologi yang berlebihan, terutama pada malam hari, dapat mengganggu pola tidur alami mereka. Cahaya biru dari layar gadget, misalnya, dapat menekan produksi melatonin, hormon yang mengatur siklus tidur. Di sisi lain, lembur tidak selalu berdampak negatif. Dalam situasi tertentu, lembur bisa menjadi strategi yang efektif untuk menyelesaikan proyek besar atau menghadapi ujian penting. Namun, masalahnya adalah ketika lembur menjadi kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.

          Mahasiswa yang terjebak dalam budaya lembur sering kali merasa kesulitan untuk mengelola waktu. Manajemen waktu yang buruk adalah salah satu alasan utama mengapa mereka harus lembur. Mereka cenderung menunda-nunda pekerjaan hingga tenggat waktu semakin dekat, yang akhirnya memaksa mereka untuk begadang demi menyelesaikannya. Selain manajemen waktu, kurangnya keterampilan dalam mengatur prioritas juga menjadi faktor pendukung. Banyak mahasiswa yang merasa harus menyelesaikan semua tugas sekaligus, tanpa mempertimbangkan mana yang lebih penting dan mendesak. Hal ini membuat mereka merasa kewalahan dan akhirnya memilih lembur sebagai solusi.

          Dukungan dari institusi pendidikan juga memengaruhi budaya lembur di kalangan mahasiswa. Kurikulum yang padat dan ekspektasi yang tinggi sering kali memaksa mahasiswa untuk bekerja di luar batas waktu normal. Sebagai contoh, banyak mahasiswa yang harus mengerjakan proyek kelompok hingga larut malam karena jadwal perkuliahan mereka sudah penuh di siang hari. Namun, budaya lembur tidak selalu terjadi karena tuntutan eksternal. Ada pula mahasiswa yang memilih lembur karena merasa lebih produktif di malam hari. Mereka menikmati suasana yang tenang dan minim gangguan, yang memungkinkan mereka untuk fokus pada pekerjaan mereka.

          Apapun alasan di balik lembur, penting bagi mahasiswa untuk menyadari dampak jangka panjangnya. Tubuh manusia membutuhkan istirahat yang cukup untuk dapat berfungsi secara optimal. Kurang tidur tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kesehatan mental dan kemampuan kognitif. Untuk mengatasi budaya lembur, mahasiswa perlu belajar mengelola waktu dengan lebih baik. Membuat jadwal harian, menetapkan prioritas, dan menghindari penundaan adalah langkah-langkah sederhana yang dapat membantu mereka menyelesaikan tugas tanpa harus begadang. Disamping itu, penting bagi mahasiswa untuk memahami batas kemampuan mereka sendiri. Mereka perlu belajar untuk mengatakan "tidak" pada pekerjaan tambahan yang tidak mendesak atau tidak relevan dengan tujuan akademik mereka. Dengan demikian, mereka dapat menjaga keseimbangan antara tugas akademik dan kebutuhan pribadi.

          Institusi pendidikan juga memiliki peran penting dalam mengatasi budaya lembur. Dosen dan pihak kampus perlu menciptakan lingkungan belajar yang mendukung keseimbangan hidup mahasiswa. Misalnya, dengan memberikan tenggat waktu yang realistis, mengurangi beban tugas yang berlebihan, dan menyediakan program dukungan untuk kesehatan mental. Mahasiswa juga dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas mereka, bukan untuk memperpanjang waktu kerja. Aplikasi manajemen waktu, misalnya, dapat membantu mereka mengatur jadwal dan mengingatkan tenggat waktu tanpa harus mengorbankan waktu tidur mereka.

          Kemudian penting bagi mahasiswa untuk menjaga pola hidup sehat. Mengatur pola makan, berolahraga secara teratur, dan meluangkan waktu untuk bersantai adalah cara-cara efektif untuk menjaga kesehatan fisik dan mental mereka. Membangun kebiasaan tidur yang baik juga sangat penting. Mahasiswa perlu menciptakan rutinitas tidur yang konsisten dan menghindari penggunaan gadget sebelum tidur. Hal ini akan membantu mereka mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik dan bangun dengan energi yang cukup untuk menghadapi hari berikutnya. Sehingga dapat dipahami bahwa budaya lembur bukanlah solusi jangka panjang untuk menghadapi tantangan akademik. Mahasiswa perlu belajar untuk bekerja dengan cerdas, bukan hanya bekerja keras. Dengan mengelola waktu dan menjaga keseimbangan hidup, mereka dapat mencapai prestasi akademik yang baik tanpa harus mengorbankan kesehatan mereka.

          Jadi, apakah budaya lembur mahasiswa merupakan bukti dedikasi atau tanda tidak sehat? Jawabannya tergantung pada bagaimana lembur itu dilakukan dan apa dampaknya. Jika dilakukan secara bijaksana dan hanya sesekali, lembur bisa menjadi bentuk dedikasi. Namun, jika menjadi kebiasaan yang merugikan kesehatan, maka itu adalah tanda gaya hidup yang tidak sehat. Mahasiswa perlu memahami hal ini agar dapat membuat keputusan yang tepat untuk masa depan mereka.