Belajar dari Novel "RINDU" nya TERE LIYE: Mencoba Mengkaji dari Persfektif Bimbingan dan Konseling

06 December 2024 23:55:19 Dibaca : 30 Kategori : CERITA FIKSI

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Novel Rindu karya Tere Liye adalah sebuah karya sastra yang sarat makna, sebuah eksplorasi mendalam tentang perjalanan spiritual dan pencarian makna hidup. Sebagai seorang dosen bimbingan dan konseling, saya melihat novel ini sebagai bahan refleksi yang kaya, tidak hanya untuk individu yang sedang mencari jati diri, tetapi juga untuk para pendidik, konselor, dan siapa saja yang berperan sebagai pendamping dalam proses perjalanan hidup orang lain. Dalam setiap babnya, Tere Liye membawa pembaca ke dalam perenungan yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga menggugah akal sehat, membangkitkan kesadaran akan hal-hal yang sering kali terabaikan dalam keseharian.

          Novel ini mengambil latar waktu dan tempat yang unik, yaitu perjalanan panjang sebuah kapal haji dari Makassar menuju Mekkah pada awal abad ke-20. Dalam perjalanan itu, penulis dengan brilian menggambarkan dinamika yang terjadi di antara para penumpang, dari berbagai latar belakang, dengan segala konflik batin dan pertanyaan hidup yang mereka bawa. Dari sudut pandang konseling, perjalanan di kapal ini adalah metafora yang kuat tentang proses penyembuhan dan pencarian makna. Kapal menjadi ruang aman bagi para tokohnya untuk membuka diri, berbagi cerita, dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka yang terdalam. Karakter-karakter dalam Rindu tidak hanya kompleks, tetapi juga sangat manusiawi. Ada Daeng Andipati, seorang pemimpin yang dihantui rasa bersalah atas keputusannya di masa lalu; Gurutta Ahmad Karaeng, seorang ulama bijaksana yang selalu memiliki jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan sulit; hingga Anna, seorang perempuan muda yang terjebak dalam konflik batin tentang cinta dan harapan. Masing-masing karakter menghadirkan problematika yang begitu relevan dengan kehidupan nyata, terutama dalam konteks bimbingan dan konseling, di mana konflik-konflik semacam ini sering menjadi inti dari proses konseling.

          Sebagai konselor, saya terkesan dengan cara Tere Liye menempatkan Gurutta sebagai simbol dari seorang pembimbing yang ideal. Gurutta tidak pernah memberikan jawaban instan; ia mengarahkan tokoh-tokoh lain untuk menemukan jawaban mereka sendiri. Inilah esensi dari konseling yang baik: bukan memberikan solusi, tetapi menciptakan ruang bagi klien untuk menemukan solusi yang sesuai dengan dirinya. Gurutta menggunakan pendekatan reflektif, mendengarkan dengan penuh perhatian, dan menyampaikan hikmah yang dalam, sesuatu yang sangat inspiratif bagi seorang pendidik atau konselor. Salah satu tema sentral dalam novel ini adalah tentang kerinduan, sebuah emosi universal yang memiliki banyak dimensi. Kerinduan kepada Tuhan, kepada keluarga, kepada masa lalu, bahkan kepada diri sendiri. Dalam konteks konseling, kerinduan sering kali menjadi pemicu yang mendorong seseorang untuk mencari bantuan. Novel ini mengajarkan bahwa kerinduan bukanlah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan yang jika dikelola dengan baik dapat menjadi pendorong perubahan positif.

          Selain itu, tema tentang memaafkan menjadi salah satu bagian yang paling menyentuh hati. Novel ini menggambarkan bagaimana memaafkan bukanlah proses yang mudah, terutama ketika luka yang ditinggalkan begitu dalam. Namun, Tere Liye menunjukkan bahwa memaafkan adalah jalan menuju kebebasan batin. Sebagai dosen bimbingan dan konseling, saya melihat ini sebagai pesan penting yang perlu diajarkan kepada mahasiswa dan klien: bahwa memaafkan adalah proses personal yang membutuhkan keberanian, waktu, dan kesadaran diri. Interaksi antar karakter dalam novel ini juga sangat menarik untuk dianalisis. Ada momen-momen di mana karakter saling berbagi cerita, dan di sinilah terlihat betapa pentingnya kehadiran orang lain dalam proses penyembuhan seseorang. Sebagai konselor, saya sering menekankan pentingnya hubungan interpersonal yang sehat sebagai salah satu faktor utama dalam mendukung kesejahteraan psikologis. Novel ini memperkuat pemahaman bahwa hubungan yang tulus dan penuh empati dapat membantu seseorang bangkit dari keterpurukan.

          Latar belakang budaya yang kuat dalam Rindu juga memberikan dimensi tambahan pada proses refleksi dan pencarian makna hidup. Tere Liye dengan cermat menggambarkan nilai-nilai tradisional yang masih sangat relevan dalam kehidupan modern, seperti pentingnya menjaga kehormatan, tanggung jawab, dan keikhlasan. Dari sudut pandang bimbingan dan konseling, hal ini menggarisbawahi pentingnya memahami konteks budaya klien dalam proses konseling, karena budaya memengaruhi cara seseorang memandang masalah dan solusi. Selain itu, novel ini juga menyinggung isu-isu sosial yang relevan, seperti ketidaksetaraan gender, ketidakadilan, dan perjuangan melawan stigma. Isu-isu ini sering kali menjadi sumber stres atau trauma bagi individu, dan novel ini menawarkan cara-cara untuk melihat isu-isu tersebut dari perspektif yang lebih luas dan penuh harapan. Bagi seorang konselor, ini adalah pengingat untuk selalu melihat klien dalam konteks sosialnya dan bekerja menuju pemberdayaan klien. Yang menarik, novel ini tidak memberikan jawaban pasti atau solusi akhir atas semua konflik yang dihadapi oleh para tokohnya. Sebaliknya, novel ini menekankan bahwa perjalanan mencari jawaban adalah bagian penting dari pertumbuhan manusia. Hal ini sejalan dengan filosofi konseling, di mana proses sering kali lebih penting daripada hasil akhir. Dalam proses itulah terjadi pembelajaran, refleksi, dan transformasi.

          Bahasa yang digunakan Tere Liye dalam novel ini sangat indah dan puitis, namun tetap mudah dipahami. Sebagai seorang dosen, saya merasa gaya bahasa ini adalah cara yang efektif untuk menjembatani pembaca dari berbagai latar belakang, sehingga pesan-pesan dalam novel ini dapat diterima oleh siapa saja, dari mahasiswa hingga praktisi konseling yang sudah berpengalaman. Satu bagian yang sangat mengesankan adalah bagaimana novel ini menggambarkan perjalanan spiritual sebagai sesuatu yang personal dan unik bagi setiap individu. Tidak ada satu jalan yang benar untuk semua orang, dan hal ini sangat relevan dalam konseling, di mana pendekatan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi klien. Perjalanan spiritual dalam novel ini mengajarkan tentang pentingnya keikhlasan dan penerimaan dalam menghadapi hidup. Ketegangan antara kewajiban dan keinginan pribadi juga menjadi tema yang sangat relevan, terutama bagi mereka yang bekerja di bidang bimbingan dan konseling. Konflik antara apa yang diinginkan dan apa yang harus dilakukan sering kali menjadi sumber stres yang besar bagi klien. Novel ini memberikan perspektif yang bijaksana tentang bagaimana menemukan keseimbangan di antara keduanya.

          Di akhir novel, pembaca diajak untuk merenungkan arti dari setiap perjalanan, baik perjalanan fisik maupun batin. Tere Liye menunjukkan bahwa setiap perjalanan memiliki tujuan, meskipun tujuannya mungkin tidak selalu terlihat jelas di awal. Sebagai dosen, saya merasa ini adalah pesan yang sangat penting untuk dibagikan kepada mahasiswa: bahwa perjalanan mereka, dengan segala tantangan dan kesulitan, adalah bagian penting dari pembentukan karakter dan pemahaman diri mereka. Keseluruhan novel ini adalah sebuah karya yang sangat relevan bagi siapa saja yang tertarik pada bidang bimbingan dan konseling. Ini bukan hanya tentang cerita, tetapi juga tentang proses pembelajaran yang mendalam. Rindu mengajarkan bahwa dalam setiap individu terdapat kekuatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri, selama ia mau membuka hati dan pikirannya terhadap kemungkinan perubahan. Sebagai penutup, saya merekomendasikan novel ini tidak hanya sebagai bahan bacaan, tetapi juga sebagai referensi reflektif bagi mahasiswa, konselor, dan pendidik. Rindu adalah sebuah perjalanan yang akan membuat pembaca merenungkan kembali tujuan hidup mereka, dan sebagai seorang dosen, saya percaya ini adalah salah satu karya yang dapat memperkaya perspektif siapa saja yang membacanya.