TIRANI KAMPUS

08 September 2024 15:58:30 Dibaca : 155 Kategori : OPINI

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

              Tirani kampus adalah situasi di mana kekuasaan yang berlebihan dan tidak proporsional digunakan oleh pihak otoritas kampus, seperti administrator, dosen, atau organisasi mahasiswa, terhadap individu atau kelompok tertentu. Istilah ini mencakup berbagai tindakan mulai dari intimidasi, diskriminasi, pengekangan kebebasan berekspresi, hingga penyalahgunaan wewenang akademis. Fenomena ini telah menjadi sorotan dalam beberapa dekade terakhir karena meningkatnya kesadaran akan pentingnya lingkungan pendidikan yang inklusif dan demokratis. Dalam konteks ini, tirani kampus dapat dilihat sebagai bentuk penindasan yang melibatkan penggunaan kekuasaan secara tidak adil untuk mempertahankan kontrol atas komunitas akademik. Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kampus yang otoriter dapat menyebabkan trauma psikologis, penurunan prestasi akademik, dan peningkatan ketidakpuasan di kalangan mahasiswa (Smith & Phillips, 2020). Dengan demikian, isu ini memiliki relevansi yang mendalam terhadap kualitas pendidikan dan kesejahteraan civitas akademika.

              Secara historis, konsep tirani kampus tidaklah baru. Kasus-kasus tirani di lingkungan pendidikan telah dilaporkan sejak era universitas abad pertengahan di Eropa, di mana otoritas gereja dan negara sering kali memengaruhi kebebasan akademik (Kerr, 1963). Namun, bentuk dan dampaknya terus berkembang seiring dengan perubahan dinamika sosial, politik, dan teknologi. Di era modern, isu tirani kampus mencakup berbagai dimensi, seperti kebijakan kampus yang otoriter, pembatasan hak-hak mahasiswa, hingga penyalahgunaan teknologi untuk memata-matai atau mengontrol perilaku mahasiswa. Semua ini menimbulkan kekhawatiran tentang pelanggaran hak asasi manusia dan standar etika dalam pendidikan (Johnson, 2019). Oleh karena itu, penting untuk memahami akar masalah ini dan mengeksplorasi bagaimana kampus dapat menjadi tempat yang lebih adil dan terbuka.

              Sejarah tirani kampus dapat ditelusuri kembali ke abad pertengahan, ketika universitas pertama kali didirikan di Eropa. Pada masa itu, universitas adalah institusi yang sangat terikat dengan otoritas gereja dan negara. Penindasan terhadap kebebasan akademik sering terjadi, terutama ketika ajaran atau penelitian dianggap bertentangan dengan doktrin agama atau kepentingan politik (Kerr, 1963). Para akademisi yang menentang norma yang ada sering kali dihukum atau diasingkan. Selama abad ke-19 dan ke-20, universitas mulai memperoleh otonomi lebih besar. Namun, ini tidak berarti bahwa tirani kampus lenyap. Sebaliknya, bentuknya berubah menjadi lebih halus dan kompleks. Dalam beberapa kasus, administrator kampus menggunakan kekuasaan mereka untuk mengontrol kurikulum dan kebijakan kampus sesuai dengan kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Misalnya, pada era Perang Dingin, beberapa universitas di Amerika Serikat dan Eropa memberlakukan kebijakan yang ketat untuk mengontrol kegiatan politik dan ideologis mahasiswa (Altbach, 1971). Pada akhir abad ke-20, dengan meningkatnya gerakan hak asasi manusia dan demokrasi di seluruh dunia, ada tekanan yang lebih besar terhadap universitas untuk menjadi lebih transparan dan adil dalam kebijakan mereka. Namun, meskipun ada kemajuan, banyak universitas tetap menjadi tempat di mana kekuasaan yang tidak proporsional dapat digunakan untuk menekan perbedaan pendapat. Ini sering kali mencerminkan ketidaksetaraan yang lebih besar dalam masyarakat, termasuk isu-isu gender, ras, dan kelas (Giroux, 2002).

              Di abad ke-21, tirani kampus menjadi lebih kompleks dengan hadirnya teknologi baru. Alat-alat digital seperti media sosial dan sistem pemantauan online digunakan oleh beberapa pihak kampus untuk mengawasi aktivitas mahasiswa dan dosen, terkadang dengan cara yang mengancam kebebasan berekspresi (Cottom, 2017). Sementara teknologi dapat menjadi alat untuk pemberdayaan, penggunaannya juga dapat memfasilitasi kontrol yang lebih besar dan penyalahgunaan kekuasaan. Konteks globalisasi dan peningkatan keragaman di kampus-kampus juga telah menambah dimensi baru terhadap tirani kampus. Mahasiswa internasional dan kelompok minoritas sering kali menghadapi diskriminasi dan marginalisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semua faktor ini menunjukkan bahwa tirani kampus bukanlah fenomena statis, melainkan terus berkembang sesuai dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi global (Bhambra, 2014).

              Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya tirani kampus. Diantaranya adanya hierarki kekuasaan yang kaku di universitas sering kali menjadi penyebab utama. Struktur administratif yang tertutup dan birokratis cenderung memusatkan kekuasaan di tangan segelintir orang, sering kali tanpa ada mekanisme pengawasan yang efektif. Hal ini menciptakan kondisi di mana kebijakan kampus dapat diambil tanpa konsultasi atau persetujuan dari pihak yang terdampak, seperti mahasiswa dan dosen (Clark, 1983). Selain itu  faktor ekonomi memainkan peran penting. Kampus sering kali menjadi arena persaingan untuk mendapatkan sumber daya, baik dalam bentuk pendanaan penelitian, subsidi pemerintah, maupun donasi dari pihak swasta. Tekanan ekonomi ini dapat mendorong kebijakan yang lebih represif, misalnya dalam hal pengurangan biaya operasional atau peningkatan pendapatan melalui peningkatan biaya kuliah, yang pada akhirnya merugikan mahasiswa (Slaughter & Rhoades, 2004).

            Ada juga tinjauan dari aspek politik yang tidak dapat diabaikan. Universitas sering kali menjadi tempat perdebatan politik dan ideologis, baik dari dalam maupun dari luar. Tekanan politik ini dapat datang dari pemerintah, partai politik, atau kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu. Dalam banyak kasus, universitas dapat menjadi alat politik yang digunakan untuk mendiskriminasi kelompok tertentu atau untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat (Giroux, 2007). berkenaan dengan hal ini konteks budaya institusional yang tertutup dan kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan juga dapat memfasilitasi tirani kampus. Tanpa adanya mekanisme akuntabilitas yang jelas, pihak otoritas kampus dapat dengan mudah menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dalam beberapa kasus, ini dapat melibatkan konflik kepentingan, nepotisme, atau bahkan korupsi (Bok, 2003). Serta faktor yang seringkali tidak diperhitungkan yaitu kurangnya partisipasi mahasiswa dalam pengambilan keputusan kampus juga merupakan faktor penyebab. Banyak kampus yang tidak memberikan ruang yang cukup bagi mahasiswa untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, baik itu melalui badan perwakilan mahasiswa atau melalui forum-forum dialog. Hal ini membuat kebijakan kampus sering kali tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi mahasiswa, dan malah memperkuat struktur kekuasaan yang tidak demokratis (McNay, 1995).

              Tirani kampus tidak hanya memengaruhi dinamika kekuasaan di dalam kampus, tetapi juga berdampak signifikan terhadap kesehatan sosial dan psikologis mahasiswa serta staf. Tirani kampus dapat menyebabkan stres dan kecemasan yang tinggi di kalangan mahasiswa. Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang merasa dikontrol atau ditekan oleh otoritas kampus lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan (Jones & Cooke, 2021). Tirani kampus juga berdampak pada kualitas akademik. Mahasiswa yang merasa tidak memiliki kebebasan untuk berekspresi atau berpendapat sering kali merasa tidak termotivasi untuk belajar dan terlibat dalam kegiatan akademik. Ini dapat menyebabkan penurunan prestasi akademik, penurunan kehadiran, dan bahkan peningkatan angka putus sekolah (Bell, 2018). Kondiri tersebut juga dapat memicu ketegangan sosial dan polarisasi di kalangan mahasiswa dan staf. Dalam situasi di mana kekuasaan digunakan untuk mengontrol atau mendiskriminasi kelompok tertentu, konflik antar kelompok dapat dengan mudah muncul. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat, di mana perbedaan pendapat tidak dihargai dan dialog terbuka menjadi sulit untuk dilakukan (Goodman, 2014).

              Keberlangsungan Tirani kampus juga dapat mengurangi kepercayaan terhadap institusi pendidikan itu sendiri. Mahasiswa yang merasa bahwa hak-hak mereka dilanggar atau bahwa kebijakan kampus tidak adil cenderung kehilangan rasa percaya terhadap universitas mereka. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap reputasi universitas di mata calon mahasiswa, masyarakat, dan mitra industri (Pusser, 2003). Serta dapat menghambat inovasi dan kebebasan akademik. Kampus yang otoriter sering kali menekan ide-ide yang dianggap kontroversial atau tidak sesuai dengan kebijakan yang ada. Ini menciptakan lingkungan di mana akademisi dan mahasiswa merasa takut untuk mengeksplorasi ide-ide baru atau untuk melakukan penelitian yang mungkin bertentangan dengan kebijakan kampus atau pandangan umum (Fish, 2011).

              Dari perspektif mahasiswa, tirani kampus sering kali dianggap sebagai bentuk penindasan yang membatasi kebebasan mereka untuk belajar, berkreasi, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di kampus. Banyak mahasiswa yang merasa bahwa hak-hak mereka sering kali diabaikan oleh pihak otoritas kampus, terutama dalam hal kebijakan yang berkaitan dengan biaya pendidikan, kurikulum, dan kebijakan disiplin (Carson, 2012). Mahasiswa juga merasa bahwa tirani kampus menghambat kebebasan berekspresi dan perdebatan akademik. Mereka sering kali mengalami sensor atau tekanan untuk tidak menyuarakan pendapat yang berbeda dari kebijakan resmi kampus atau pandangan mayoritas. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung kebebasan berpikir dan dialog terbuka, yang seharusnya menjadi salah satu ciri utama pendidikan tinggi (Butler, 2017).

              Banyak mahasiswa mengungkapkan bahwa mereka merasa kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting di kampus. Meski ada badan perwakilan mahasiswa, sering kali peran mereka dianggap simbolis dan tidak memiliki pengaruh nyata terhadap kebijakan kampus. Hal ini memperkuat rasa tidak puas dan ketidakpercayaan terhadap pihak otoritas kampus (Giroux, 2002). Selain itu, ada juga keluhan bahwa kebijakan kampus sering kali tidak transparan dan sulit dipahami. Mahasiswa merasa bahwa mereka tidak memiliki akses yang memadai terhadap informasi mengenai proses pengambilan keputusan, seperti pemilihan rektor, alokasi dana, atau kebijakan akademik. Kurangnya transparansi ini memunculkan kecurigaan terhadap adanya praktik-praktik yang tidak adil atau tidak etis (Bok, 2003). Mahasiswa juga sering kali merasa bahwa mereka tidak memiliki tempat yang aman untuk mengajukan keluhan atau menyuarakan ketidakpuasan mereka. Banyak kampus yang tidak memiliki mekanisme pengaduan yang efektif atau yang benar-benar melindungi hak-hak mahasiswa. Akibatnya, banyak mahasiswa yang merasa enggan untuk menyuarakan masalah mereka karena takut akan reaksi negatif atau pembalasan dari pihak kampus (Johnson, 2019).

              Di era digital ini, teknologi memainkan peran ganda dalam konteks tirani kampus. Di satu sisi, teknologi dapat digunakan untuk memperkuat pengawasan dan kontrol oleh otoritas kampus. Contohnya, penggunaan sistem pemantauan daring, alat-alat analitik data, dan aplikasi survei dapat digunakan untuk memata-matai aktivitas mahasiswa dan dosen, serta untuk mengendalikan perilaku mereka (Cottom, 2017). Ini sering kali dilakukan dengan dalih meningkatkan keamanan atau efisiensi, tetapi pada kenyataannya, dapat mengancam kebebasan dan privasi. Namun, di sisi lain, teknologi juga dapat menjadi alat yang kuat untuk memerangi tirani kampus. Media sosial, misalnya, telah digunakan oleh mahasiswa di seluruh dunia untuk mengorganisir gerakan protes, menyuarakan ketidakpuasan, dan menuntut perubahan. Teknologi memungkinkan penyebaran informasi dengan cepat dan efisien, serta memberikan platform bagi mahasiswa untuk berbicara secara kolektif melawan praktik-praktik otoriter di kampus (Puschmann & Ausserhofer, 2017).

              Selain itu, teknologi juga dapat digunakan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di kampus. Alat-alat digital seperti platform e-governance, aplikasi feedback mahasiswa, dan portal akses informasi dapat memungkinkan mahasiswa dan staf untuk lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan, serta memastikan bahwa kebijakan kampus diambil secara transparan dan inklusif (Jongbloed, 2008). Namun, penggunaan teknologi dalam konteks ini juga tidak tanpa risiko. Ada kekhawatiran bahwa data pribadi mahasiswa dan staf dapat disalahgunakan oleh pihak kampus atau pihak ketiga. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa penggunaan teknologi di kampus dilindungi oleh kebijakan privasi dan keamanan yang ketat (Lyon, 2014).

              Mengatasi tirani kampus memerlukan pendekatan yang holistik dan inklusif. Salah satu solusi utama adalah mengembangkan struktur kepemimpinan kampus yang lebih demokratis dan transparan. Misalnya, memperkenalkan mekanisme partisipatif di mana mahasiswa, dosen, dan staf memiliki suara dalam pengambilan keputusan penting seperti pemilihan rektor, penentuan kebijakan akademik, dan alokasi dana (Giroux, 2007). Kemudian penting untuk mengembangkan kebijakan anti-diskriminasi dan anti-bullying yang kuat di kampus. Kampus harus menjadi tempat yang aman bagi semua individu, terlepas dari latar belakang, pandangan politik, atau orientasi seksual mereka. Untuk itu, universitas perlu mengadopsi kebijakan yang melarang segala bentuk diskriminasi dan kekerasan, serta menyediakan mekanisme pengaduan yang efektif dan rahasia bagi korban (Butler, 2017).

              Kampus perlu memperkuat peran organisasi mahasiswa dan memberi mereka kesempatan yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan. Organisasi mahasiswa harus mampu mengambil peran dalam pembahasan kebijakan kampus dan diberi hak untuk mengajukan pendapat atau keberatan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan. Hal ini dapat membantu menciptakan lingkungan kampus yang lebih demokratis dan inklusif (McNay, 1995). Disamping itu universitas harus memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Alat-alat digital dapat digunakan untuk membuat proses pengambilan keputusan lebih terbuka dan dapat diakses oleh semua anggota komunitas akademik. Selain itu, teknologi juga dapat digunakan untuk menyediakan akses yang lebih besar terhadap informasi penting seperti kebijakan kampus, anggaran, dan data terkait lainnya (Jongbloed, 2008). Semua pihak juga perlu mendorong dialog terbuka dan inklusif di kampus.

           Universitas harus menjadi tempat di mana semua pandangan dan pendapat dapat didiskusikan secara bebas dan tanpa rasa takut. Ini dapat dilakukan dengan mengadakan forum-forum diskusi, debat publik, dan kegiatan lainnya yang mempromosikan dialog yang konstruktif dan menghargai perbedaan pendapat (Giroux, 2002). Tirani kampus adalah masalah yang kompleks dan multidimensional, yang berdampak pada kualitas pendidikan dan kesejahteraan civitas akademika. Meski tantangan yang dihadapi tidak mudah, ada banyak cara untuk mengatasi masalah ini dan menciptakan lingkungan kampus yang lebih adil dan inklusif. Sehingga penting untuk memahami akar permasalahan, dampak yang ditimbulkannya, dan solusi yang mungkin diambil oleh setiap kampus.