FENOMENA NILAI KASIHAN DARI DOSEN DAN IMPLIKASINYA PADA MAHASISWA DAN INSTITUSI PENDIDIKAN

02 January 2025 15:27:15 Dibaca : 11 Kategori : OPINI

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Pemberian nilai yang tidak mencerminkan kemampuan akademik mahasiswa memiliki dampak negatif yang signifikan, baik untuk masa sekarang maupun masa depan. Keputusan untuk memberikan nilai tinggi kepada mahasiswa yang sebenarnya tidak memenuhi standar, hanya karena alasan belas kasih, menimbulkan masalah serius dalam ranah pendidikan. Keputusan semacam ini bertentangan dengan prinsip keadilan akademik yang menjadi fondasi sistem pendidikan.

          Di masa sekarang, praktik semacam ini mengikis integritas akademik dan profesionalisme dalam dunia pendidikan. Nilai yang tidak mencerminkan kemampuan aktual menciptakan ilusi kompetensi yang dapat menyesatkan mahasiswa. Hal ini juga merusak kepercayaan terhadap kredibilitas lembaga pendidikan karena masyarakat mengharapkan lulusan dengan kompetensi yang sesuai dengan nilai yang diterima. Mahasiswa yang menerima nilai tidak layak dapat kehilangan motivasi untuk belajar dan berkembang. Dengan merasa cukup puas atas nilai yang diberikan, mahasiswa tersebut tidak akan merasa perlu meningkatkan kemampuan atau memperbaiki kelemahan. Sikap ini berpotensi menciptakan kebiasaan buruk yang sulit diubah di masa depan.

          Praktik ini juga berisiko merusak persaingan sehat di antara mahasiswa. Ketika nilai diberikan bukan berdasarkan usaha dan pencapaian, mahasiswa yang bekerja keras dapat merasa tidak dihargai. Akibatnya, semangat kompetisi positif yang mendorong kualitas pembelajaran menurun secara signifikan. Dalam jangka panjang, mahasiswa yang tidak memenuhi standar akademik tetapi menerima nilai tinggi dapat menghadapi kesulitan besar di dunia kerja. Ketika mereka dihadapkan pada tuntutan profesional yang nyata, ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi akan menciptakan tekanan psikologis, rasa malu, dan bahkan kehilangan kesempatan kerja. Fenomena ini juga memiliki dampak sosial yang lebih luas. Jika lulusan tidak memiliki kompetensi yang memadai, reputasi institusi pendidikan dapat menurun. Hal ini berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan, yang pada akhirnya mempengaruhi daya saing bangsa secara global.

          Dari perspektif pendidikan, praktik memberikan nilai tinggi tanpa dasar yang kuat menciptakan standar ganda. Mahasiswa yang berprestasi tidak akan merasa bangga atas pencapaiannya jika nilai mereka disejajarkan dengan mahasiswa yang tidak berusaha. Hal ini menciptakan ketidakadilan yang dapat memengaruhi moral komunitas akademik secara keseluruhan. Selain itu, keputusan ini juga mengabaikan tanggung jawab dosen sebagai pendidik yang harus memberikan penilaian objektif. Peran dosen bukan hanya sebagai pemberi nilai, tetapi juga sebagai pembimbing yang membantu mahasiswa memahami pentingnya usaha dan kompetensi dalam mencapai keberhasilan.

          Dampak negatif ini dapat diperparah jika praktik semacam ini menjadi kebiasaan. Jika mahasiswa terbiasa menerima sesuatu tanpa usaha, mereka akan mengembangkan mentalitas ketergantungan dan kurangnya rasa tanggung jawab terhadap tindakan mereka sendiri. Hal ini tentu berlawanan dengan tujuan pendidikan yang bertujuan menciptakan individu yang mandiri dan bertanggung jawab. Pemberian nilai belas kasih juga dapat memengaruhi cara pandang mahasiswa terhadap pendidikan. Jika nilai dianggap sekadar formalitas, mahasiswa akan kehilangan apresiasi terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Akibatnya, pendidikan kehilangan esensinya sebagai sarana pengembangan diri dan penemuan potensi. Tidak hanya mahasiswa, dosen yang terbiasa memberikan nilai tanpa mempertimbangkan kualitas juga dapat kehilangan integritas profesional. Sikap ini menurunkan standar moral dalam profesi pendidikan, yang pada akhirnya merusak citra dosen sebagai teladan dan pemimpin intelektual.

          Salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengedepankan dialog dan bimbingan personal. Dosen dapat membantu mahasiswa memahami kelemahan mereka dan memberikan arahan untuk memperbaiki diri. Proses ini memerlukan komitmen waktu dan energi, tetapi hasilnya jauh lebih bernilai dibandingkan sekadar memberikan nilai tinggi tanpa alasan yang jelas. Membangun budaya akademik yang sehat memerlukan kerja sama antara dosen, mahasiswa, dan institusi pendidikan. Dosen perlu menegakkan standar penilaian yang objektif, mahasiswa harus memiliki kemauan untuk belajar, dan institusi harus mendukung dengan kebijakan yang memprioritaskan kualitas daripada kuantitas lulusan.

          Komitmen untuk memberikan penilaian yang adil dan berdasarkan kemampuan aktual akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih bermakna. Mahasiswa yang memahami bahwa nilai mereka mencerminkan usaha dan kompetensi akan memiliki motivasi lebih besar untuk terus belajar dan berkembang. Dalam jangka panjang, sikap tegas dalam penilaian akademik akan memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Lulusan yang kompeten tidak hanya mampu berkontribusi secara produktif di tempat kerja tetapi juga menjadi teladan bagi generasi berikutnya, membangun kepercayaan terhadap pentingnya kejujuran dan kerja keras. Oleh karena itu, penegakan integritas akademik adalah investasi jangka panjang yang membawa manfaat bagi individu, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan yang berkualitas adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, dan nilai yang diberikan dengan adil adalah salah satu pilar utama dalam mewujudkan tujuan tersebut.