DAMPAK IMPOSTOR SYNDROME TERHADAP KESEHATAN MENTAL MAHASISWA

09 January 2025 11:04:14 Dibaca : 11 Kategori : OPINI

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

              Impostor syndrome merupakan fenomena psikologis yang ditandai dengan perasaan tidak pantas atau tidak layak atas pencapaian yang telah diraih, meskipun bukti keberhasilan menunjukkan sebaliknya. Fenomena ini sering terjadi di kalangan mahasiswa berprestasi, khususnya yang berada di lingkungan akademik kompetitif. Perasaan ini memengaruhi keyakinan terhadap kemampuan diri dan kerap menghambat potensi penuh individu untuk berkembang. Mahasiswa berprestasi sering kali mengalami impostor syndrome karena tekanan untuk mempertahankan standar tinggi yang telah dicapai. Lingkungan akademik yang kompetitif dapat menciptakan perasaan bahwa keberhasilan yang diraih adalah hasil keberuntungan semata, bukan karena kemampuan atau usaha. Kondisi ini memicu kecemasan berlebih, rasa tidak percaya diri, dan ketakutan akan dianggap tidak kompeten.

              Gejala impostor syndrome meliputi kecenderungan untuk meremehkan pencapaian pribadi, ketakutan akan kegagalan, dan perasaan cemas ketika menerima pengakuan atas prestasi. Selain itu, sering muncul pola pikir bahwa keberhasilan harus selalu disertai dengan kesempurnaan. Ketidaksempurnaan kecil dalam pekerjaan sering kali dianggap sebagai tanda ketidakmampuan, yang semakin memperkuat siklus negatif ini. Hal tersebut tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga pada performa akademik dan hubungan sosial. Rasa tidak pantas dapat menyebabkan mahasiswa menolak peluang baru, menghindari tantangan, atau bahkan menarik diri dari interaksi sosial. Hal ini menghambat perkembangan pribadi dan profesional yang seharusnya dapat diraih.

              Faktor penyebab impostor syndrome melibatkan kombinasi antara faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi perfeksionisme, rendahnya self-esteem, dan pola pikir tetap (fixed mindset). Faktor eksternal dapat berupa tekanan sosial, budaya kompetitif, dan ekspektasi tinggi dari lingkungan keluarga atau institusi akademik.

              Strategi untuk mengatasi impostor syndrome dapat dimulai dengan meningkatkan kesadaran terhadap pola pikir yang tidak realistis. Memahami bahwa setiap individu memiliki kekuatan dan kelemahan merupakan langkah awal untuk membangun penerimaan diri. Mengubah fokus dari hasil akhir ke proses belajar juga dapat membantu mengurangi tekanan yang dirasakan. Membangun rasa syukur terhadap pencapaian yang telah diraih adalah salah satu cara untuk melawan impostor syndrome. Menulis jurnal pencapaian dapat membantu mencatat bukti nyata dari keberhasilan, sehingga dapat mengingatkan bahwa pencapaian tersebut adalah hasil usaha dan kemampuan. Langkah ini memperkuat keyakinan terhadap diri sendiri.

              Perlu juga dukungan sosial dari teman, mentor, atau konselor dapat menjadi sarana untuk mengatasi impostor syndrome. Melalui diskusi yang terbuka, individu dapat memahami bahwa perasaan ini tidak dialami secara sendiri, melainkan merupakan fenomena yang umum terjadi. Dukungan emosional dari lingkungan sekitar juga membantu memperbaiki pandangan terhadap diri.

              Selain itu latihan self-compassion, atau belas kasih terhadap diri sendiri, juga efektif dalam mengatasi impostor syndrome. Memberikan penghargaan atas usaha yang telah dilakukan, tanpa berfokus pada kesalahan kecil, dapat membantu mengurangi kritik berlebih terhadap diri. Dengan cara ini, keseimbangan antara ekspektasi dan kenyataan dapat tercapai. Pengembangan keterampilan pengelolaan waktu dan prioritas juga penting untuk menghadapi impostor syndrome. Dengan manajemen waktu yang baik, tugas-tugas dapat diselesaikan secara efisien tanpa merasa kewalahan. Hal ini membantu mengurangi tekanan yang berasal dari ekspektasi diri yang terlalu tinggi.

              Mengenali peran mindset dalam impostor syndrome juga merupakan langkah yang signifikan. Mengadopsi growth mindset, yaitu keyakinan bahwa kemampuan dapat dikembangkan melalui usaha dan belajar, dapat membantu mengubah pandangan negatif terhadap diri. Perspektif ini mendorong individu untuk lebih terbuka terhadap tantangan dan kesalahan sebagai bagian dari proses belajar. Mengurangi perbandingan sosial adalah strategi lain yang dapat membantu mengatasi impostor syndrome. Membandingkan diri dengan orang lain, terutama di media sosial, sering kali menghasilkan persepsi yang tidak realistis tentang kesuksesan. Fokus pada perkembangan pribadi daripada membandingkan diri dengan orang lain dapat membantu menciptakan rasa puas terhadap pencapaian yang telah diraih.

              Mencari bantuan profesional, seperti konseling, juga menjadi langkah yang efektif dalam menangani impostor syndrome. Konselor dapat membantu mengidentifikasi pola pikir negatif yang mendasari perasaan tidak pantas, serta memberikan strategi untuk mengubah pola pikir tersebut. Pendekatan ini memberikan dukungan yang terarah dalam menghadapi tantangan psikologis. Penting untuk menyadari bahwa menghadapi impostor syndrome memerlukan waktu dan kesabaran. Perubahan tidak terjadi secara instan, tetapi melalui langkah-langkah kecil yang konsisten. Dengan tekad yang kuat untuk mengatasi perasaan tersebut, individu dapat membangun keyakinan diri yang lebih kokoh dan meraih potensi maksimalnya.