Berkenalan dengan PENA (Pendekatan Emosional dengan Narasi dan Analogi): Eksplorasi Teknik Konseling

22 April 2025 00:30:23 Dibaca : 12 Kategori : TEORI DAN TEKNIK KONSELING

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Dalam dunia konseling yang sarat akan keintiman, empati, dan kejujuran, seorang konselor dituntut untuk tidak hanya memahami teori, tetapi juga menghadirkan pendekatan yang menyentuh hati. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk membuka ruang kesadaran emosional klien adalah PENA (Pendekatan Emosional dengan Narasi dan Analogi). Pendekatan ini menempatkan kekuatan cerita sebagai alat untuk menyentuh batin dan mengaktifkan refleksi diri klien secara mendalam. PENA berakar dari pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang hidup dengan cerita. Mereka menyusun makna hidup melalui pengalaman, memori, dan simbol yang dibentuk dalam narasi. Ketika konselor menggunakan cerita pendek, kisah inspirasional, atau analogi yang relevan, mereka sedang membangun jembatan emosional yang menghubungkan dunia klien dengan kemungkinan-kemungkinan pemahaman baru tentang dirinya.

          Dalam praktiknya, PENA mengawali proses dengan mendengarkan narasi dari klien itu sendiri. Klien diajak untuk menceritakan kisah hidupnya, peristiwa yang menggugah emosi, atau pengalaman yang menurutnya memiliki dampak besar dalam hidup. Konselor kemudian mencermati pola, makna tersembunyi, dan emosi-emosi yang muncul dari cerita tersebut. Ini menjadi fondasi awal dalam menentukan arah intervensi yang lebih personal. Setelah cerita klien dipahami, konselor dapat menyelipkan analogi atau cerita pendek yang memiliki kemiripan dengan kondisi klien. Analoginya tidak perlu rumit, bisa sesederhana kisah tentang pohon yang tetap tumbuh meski diterpa angin, atau perahu kecil yang berhasil menepi meskipun terombang-ambing ombak. Cerita ini akan membantu klien melihat dirinya dalam sudut pandang baru tanpa merasa dihakimi atau diberi nasihat secara langsung.

          Pendekatan ini sangat efektif terutama ketika klien kesulitan mengungkapkan perasaannya secara langsung. Dengan menyajikan narasi yang sepadan, konselor memberikan ruang refleksi yang aman. Klien bisa menangis, tertawa, atau merasa lega karena merasa “terwakili” oleh cerita tersebut. Emosi yang selama ini tertahan pun mulai mengalir secara alami. PENA juga menumbuhkan rasa koneksi dan empati yang kuat antara konselor dan klien. Ketika konselor menyampaikan analogi dengan penuh ketulusan dan penghayatan, klien tidak hanya mendengar, tetapi juga merasa dipahami. Hubungan ini memperkuat rapport dan membuat sesi konseling menjadi lebih bermakna.

          Dalam prosesnya, konselor tidak hanya menyampaikan cerita begitu saja, tetapi juga mengaitkan pesan moral dan maknanya dengan situasi klien. Misalnya, setelah menceritakan tentang ulat yang berubah menjadi kupu-kupu, konselor dapat bertanya, “Menurutmu, di mana posisi kamu dalam kisah itu sekarang?” Pertanyaan ini membantu klien mengaitkan pengalaman emosional dengan pertumbuhan dirinya. PENA bukan hanya alat bantu naratif, melainkan jembatan menuju kesadaran dan perubahan. Klien yang semula merasa putus asa dapat menemukan kembali harapan. Mereka mulai melihat bahwa setiap cerita punya masa sulit, tapi juga punya kemungkinan untuk berubah arah. Harapan ini penting dalam proses healing dan perencanaan masa depan.

          Pendekatan ini juga fleksibel digunakan dalam berbagai setting konseling, baik individu, kelompok, maupun klasikal. Dalam konseling kelompok, misalnya, konselor dapat menggunakan cerita pendek inspiratif sebagai bahan refleksi bersama. Sementara dalam konseling klasikal, analogi dapat disisipkan dalam materi pengembangan diri yang kontekstual. PENA juga sejalan dengan prinsip dasar konseling yang tidak memaksakan solusi, tetapi memfasilitasi pemahaman. Cerita tidak bersifat memaksa, tetapi membuka ruang berpikir dan merasa. Ini menjadikan PENA sebagai pendekatan yang lembut namun dalam, penuh makna, dan sangat manusiawi.

          Kelebihan lain dari PENA adalah kemampuannya untuk melintasi budaya. Cerita dan analogi dapat disesuaikan dengan latar belakang budaya klien, sehingga terasa lebih dekat dan membumi. Kisah lokal, legenda, atau bahkan cerita pribadi konselor yang relevan bisa menjadi media yang kuat untuk membangun ikatan emosional. PENA juga mengajarkan bahwa dalam konseling, kata-kata bisa menjadi obat. Ketika dirangkai dengan empati dan dikemas dalam bentuk cerita, kata-kata mampu menyentuh sisi terdalam manusia. Di sanalah penyembuhan dimulai, bukan hanya di pikiran, tetapi di hati.

          Sebagai pendekatan, PENA mengingatkan kita bahwa tugas konselor bukan menyelesaikan masalah klien secara langsung, melainkan membantu klien menemukan makna dan kekuatan dalam kisah hidupnya. Dengan menggenggam pena itu, klien diberdayakan untuk menulis ulang narasi hidupnya, dengan akhir yang lebih penuh harapan dan keutuhan. Dengan demikian, PENA tidak hanya menjadi metode, tetapi menjadi filosofi dalam berpraktik konseling. Ia membawa pesan bahwa setiap orang punya cerita, dan di dalam cerita itu tersimpan potensi untuk bertumbuh. Konselor hanya perlu hadir, mendengarkan, dan menyelipkan seuntai narasi yang dapat menyalakan cahaya dalam jiwa klien.