KETERAMPILAN MENDENGAR DAN BERTANYA DALAM PROSES KONSELING

22 April 2025 00:07:58 Dibaca : 9 Kategori : KETERAMPILAN KONSELING

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Dalam proses konseling, bertanya dan mendengar bukanlah aktivitas biasa seperti dalam percakapan sehari-hari. Keduanya merupakan keterampilan inti yang memiliki kekuatan terapeutik dan memainkan peran besar dalam membentuk keberhasilan sesi konseling. Bertanya dalam konseling bukan untuk menginterogasi, dan mendengar bukan sekadar menyimak kata. Keduanya dilakukan dengan kesadaran, empati, dan tujuan yang jelas untuk menggali, memahami, dan memfasilitasi perubahan klien. Keterampilan bertanya dalam konseling berakar dari niat untuk membantu klien menyadari pikiran, perasaan, dan perilaku yang mungkin belum sepenuhnya mereka pahami. Pertanyaan yang digunakan bukan pertanyaan sembarangan, melainkan disusun dengan hati-hati untuk membuka ruang refleksi dan eksplorasi. Konselor perlu mempertimbangkan waktu, konteks, dan kondisi emosional klien saat mengajukan pertanyaan, agar tidak menimbulkan tekanan atau kebingungan.

          Jenis pertanyaan yang digunakan pun memiliki keragaman fungsi. Pertanyaan terbuka digunakan untuk mendorong klien bercerita lebih luas dan mendalam, seperti “Apa yang membuat kamu merasa begitu?” atau “Bisakah kamu ceritakan lebih lanjut tentang hal itu?” Sementara itu, pertanyaan tertutup dapat digunakan untuk klarifikasi informasi yang lebih spesifik, seperti “Itu terjadi hari Senin atau Selasa?” Penggunaan jenis pertanyaan yang tepat sangat penting agar konselor tetap berada dalam alur yang selaras dengan kebutuhan klien. Namun, kemampuan bertanya tidak akan bermakna tanpa kemampuan mendengar yang sejati. Mendengar dalam konseling bukan hanya soal menangkap kata, melainkan menangkap makna, emosi, dan pesan-pesan tersembunyi dari ucapan klien. Konselor perlu mendengarkan dengan seluruh tubuh, hati, dan pikirannya, sebuah proses yang dikenal sebagai active listening atau mendengar aktif.

          Mendengar aktif melibatkan perhatian penuh pada klien, tanpa menghakimi atau tergesa-gesa merespons. Konselor memberikan sinyal nonverbal seperti anggukan kepala, ekspresi wajah yang selaras, atau bahkan keheningan yang empatik. Semua itu menunjukkan bahwa konselor hadir sepenuhnya dan memberikan ruang aman bagi klien untuk mengungkapkan dirinya. Konselor juga menggunakan keterampilan refleksi untuk menegaskan bahwa apa yang disampaikan klien telah didengar dan dipahami dengan benar. Misalnya, dengan mengatakan, “Dari ceritamu, sepertinya kamu merasa sangat kecewa karena tidak didengarkan, ya?” Refleksi seperti ini bisa memperkuat hubungan konseling dan membuat klien merasa divalidasi.

          Dalam praktiknya, bertanya dan mendengar menjadi proses yang saling menguatkan. Pertanyaan yang baik akan mendorong keterbukaan klien, dan mendengar yang baik akan memandu konselor dalam merumuskan pertanyaan berikutnya. Hubungan ini bersifat dinamis dan terus berkembang sepanjang sesi berlangsung. Di sisi lain, konselor juga perlu menghindari jebakan bertanya terlalu banyak atau terlalu cepat. Terlalu banyak pertanyaan bisa membuat klien merasa terpojok, seolah-olah sedang diinterogasi, bukan didampingi. Oleh karena itu, jeda dan keheningan menjadi bagian penting dari mendengarkan yang efektif memberi waktu pada klien untuk memproses dan merespons dengan jujur.

          Selain itu, konselor harus sensitif terhadap makna-makna emosional yang muncul dalam cerita klien. Mendengar bukan hanya tentang kata-kata, tapi juga tentang intonasi, isyarat tubuh, dan perubahan nada suara. Konselor perlu menangkap pesan-pesan nonverbal ini agar bisa memahami klien secara utuh, termasuk apa yang tidak diucapkan secara langsung. Dalam konteks konseling, bertanya dan mendengar bukan alat untuk mencari jawaban yang “benar” menurut konselor, tetapi untuk membantu klien memahami kebenaran dirinya sendiri. Konselor hadir bukan untuk memberi solusi langsung, tetapi untuk menemani klien dalam proses menemukan jawaban melalui kesadaran yang dibangun dari percakapan reflektif.

          Implementasi bertanya dan mendengar yang efektif juga sangat bergantung pada sikap dasar konselor, seperti empati, ketulusan, dan penghargaan terhadap klien. Konselor yang benar-benar peduli akan cenderung lebih hati-hati dalam memilih kata-kata dan lebih tulus dalam mendengarkan cerita klien. Klien pun akan lebih mudah merasa diterima dan terbuka dalam prosesnya. Bertanya dalam konseling juga bisa digunakan untuk menantang pemikiran atau keyakinan yang tidak adaptif, tetapi dilakukan dengan cara yang halus dan penuh hormat. Misalnya, “Apakah kamu pernah memikirkan kemungkinan bahwa kamu tidak sepenuhnya gagal, hanya karena satu kesalahan itu?” Pertanyaan semacam ini bisa menggeser perspektif klien tanpa membuatnya merasa diserang.

          Dalam sesi-sesi lanjutan, konselor dapat memanfaatkan riwayat percakapan sebelumnya sebagai dasar bertanya lebih dalam, menunjukkan bahwa mereka mendengarkan dengan seksama dan menghargai proses klien. Hal ini akan memperkuat aliansi terapeutik yang dibangun dan mendorong keberlangsungan proses konseling yang lebih mendalam. Mendengar dan bertanya juga menjadi alat untuk menyesuaikan intervensi sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan klien. Dengan mendengar baik-baik, konselor bisa mengetahui kapan saatnya memberi dorongan, kapan saatnya diam, dan kapan saatnya membuka percakapan baru. Semua ini membentuk irama unik yang hanya bisa terbangun lewat hubungan konseling yang penuh kehadiran.