TEKNIK PENA (PENDEKATAN EMOSIONAL DENGAN NARASI DAN ANALOGI) DALAM MEMANDANG MANUSIA

29 April 2025 19:18:44 Dibaca : 336 Kategori : TEORI DAN TEKNIK KONSELING

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

              Manusia dalam pandangan teknik PENA dipahami sebagai makhluk yang hidup dalam cerita. Kehidupan manusia dibentuk, dipengaruhi, dan diarahkan oleh narasi yang mereka bangun sejak dini melalui pengalaman, interaksi sosial, budaya, serta pemaknaan diri. Dalam setiap pengalaman, manusia tidak hanya bertindak, tetapi juga menafsirkan dan menarasikan apa yang dialami. Cerita-cerita ini menjadi dasar bagaimana individu memahami siapa dirinya dan bagaimana berinteraksi dengan dunia. Teknik PENA menekankan bahwa setiap manusia memiliki suara yang layak didengar. Suara ini adalah bentuk ekspresi dari identitas dan pengalaman yang unik. Oleh karena itu, konseling naratif percaya bahwa setiap individu berhak dan mampu menjadi pengarang atas hidupnya sendiri. Individu bukan sekadar pemeran dalam cerita yang ditentukan oleh orang lain, melainkan penulis aktif yang memiliki kuasa untuk menyunting, menata ulang, bahkan menulis ulang narasi hidupnya.

              Dari sudut pandang ini, masalah yang dihadapi seseorang tidak dilihat sebagai bagian yang melekat pada identitasnya, melainkan sebagai narasi eksternal yang mungkin telah mendominasi ceritanya. Teknik PENA memisahkan antara "orang" dan "masalah" (externalization), sehingga manusia tidak dilabeli oleh masalah yang dialami. Seorang anak yang pendiam, misalnya, bukanlah "anak bermasalah", tetapi mungkin sedang hidup dalam cerita tentang ketakutan sosial yang belum selesai. Manusia juga dipahami sebagai makhluk yang mampu memaknai ulang pengalaman. Dalam kerangka teknik PENA, masa lalu tidak bersifat final. Artinya, cara seseorang memandang masa lalunya bisa berubah ketika dirinya diberi ruang untuk melihatnya dari sudut yang berbeda. Proses konseling naratif membantu seseorang menemukan sudut pandang alternatif terhadap cerita hidupnya yang mungkin telah lama dibekukan oleh trauma, stigma, atau narasi dominan yang menyesatkan.

              Sebagai makhluk sosial, manusia juga sangat dipengaruhi oleh konteks budaya dan bahasa yang digunakan. Teknik PENA menyadari bahwa banyak cerita personal yang terbentuk dari pengaruh struktur sosial seperti keluarga, pendidikan, media, dan nilai-nilai budaya tertentu. Dalam konseling naratif, konselor bertugas membantu klien menyadari bahwa cerita yang klien alami tidak lahir dari ruang hampa, melainkan terbentuk dalam relasi kuasa dan struktur sosial tertentu. Oleh karena itu, teknik PENA mengajarkan bahwa perubahan bukan hanya soal perbaikan perilaku, tetapi juga proses pembebasan dari narasi yang menindas. Ketika seseorang mampu melihat bahwa cerita negatif yang diyakininya bukanlah satu-satunya kebenaran, maka saat itulah proses pemulihan bisa dimulai. Inilah yang disebut sebagai proses dekonstruksi, yaitu membongkar cerita lama agar bisa ditulis ulang dengan versi yang lebih memberdayakan.

              Manusia dalam teknik PENA juga dipahami sebagai pribadi yang kaya akan kekuatan dan nilai. Sering kali, cerita dominan tentang kelemahan dan kegagalan membuat seseorang lupa bahwa dirinya memiliki momen-momen ketahanan, keberhasilan, dan kebajikan dalam hidupnya. Teknik ini menolong individu menggali dan menarasikan kembali kisah-kisah alternatif (unique outcomes) yang tersembunyi di balik cerita dominan. Cerita alternatif ini menjadi pijakan untuk membangun identitas yang lebih sehat. Dalam konseling, konselor dan klien bekerja sama menenun ulang narasi kehidupan yang lebih positif, realistis, dan membangun. Proses ini bukan manipulasi, tetapi sebuah penemuan akan kebenaran hidup yang selama ini terpinggirkan oleh cerita-cerita penuh luka, ketakutan, dan rasa bersalah.

              Teknik PENA memandang manusia sebagai mitra sejajar dalam proses konseling. Konselor tidak berperan sebagai ahli yang memberikan jawaban, melainkan sebagai pendamping yang penuh empati dan rasa ingin tahu terhadap cerita hidup klien. Kekuatan teknik ini terletak pada dialog yang terbuka, reflektif, dan menghormati pengalaman hidup klien sebagai sumber utama perubahan. Karena setiap manusia unik, maka tidak ada satu cara bercerita yang dianggap benar. Teknik PENA menghormati keragaman ekspresi, termasuk cara klien menyampaikan perasaan, nilai, dan keyakinannya. Proses konseling tidak memaksakan klien pada kerangka berpikir tertentu, melainkan membantu mereka menyusun narasi yang otentik, sesuai dengan pengalaman dan jati diri mereka sendiri.

              Teknik PENA juga mengakui bahwa cerita manusia terus berkembang. Hidup bukanlah kisah yang sudah selesai ditulis, melainkan sebuah draf panjang yang terbuka untuk direvisi. Dalam proses ini, manusia memiliki peluang tanpa batas untuk tumbuh, menyembuhkan, dan menemukan makna baru dalam setiap fase kehidupannya. Melalui teknik ini, manusia dibantu untuk merangkai masa depan yang lebih bermakna. Cerita tentang harapan, impian, dan tujuan bukan sekadar lamunan, tetapi bagian penting dari proses penyembuhan. Narasi tentang masa depan menjadi energi penggerak untuk perubahan dan tindakan konkret dalam kehidupan sehari-hari.

              Dengan begitu, manusia dalam teknik PENA bukan dilihat sebagai makhluk yang rusak dan harus diperbaiki, melainkan sebagai narator yang sesekali tersesat dalam ceritanya sendiri. Konselor hadir untuk menemani klien menemukan kembali jalan pulang ke cerita yang lebih utuh, penuh makna, dan mencerminkan nilai-nilai hidup yang sejati. Proses ini bukan sekadar terapi, tetapi juga sebuah karya seni, yaitu seni mendengarkan, seni mengurai, dan seni menulis ulang. Teknik PENA mempercayai bahwa ketika seseorang merasa didengar dan ceritanya dihargai, maka luka-luka bisa disembuhkan dan potensi diri bisa mekar kembali. Oleh karena itu, penggunaan teknik  konseling PENA adalah bentuk penghormatan terdalam terhadap kemanusiaan.

              Dengan dasar pandangan ini, teknik PENA memandang manusia sebagai entitas yang dinamis, kreatif, dan penuh harapan. Tidak ada cerita yang terlalu gelap untuk diterangi, tidak ada narasi yang terlalu rusak untuk diperbaiki. Setiap manusia memiliki potensi untuk menulis ulang hidupnya, dan teknik PENA hadir sebagai pena yang membantu klien menulis kisah yang lebih bermakna.