MODEL DAN TAHAPAN SOSIOANTROKONSELING

12 October 2025 14:33:50 Dibaca : 3 Kategori : KONSELING LINTAS BUDAYA

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Model Sosioantrokonseling dirancang sebagai pendekatan konseling yang mengintegrasikan kesadaran sosial, pemahaman budaya, dan refleksi humanistik dalam satu proses yang dinamis dan saling terkait. Pendekatan ini berpijak pada keyakinan bahwa setiap individu tidak dapat dipahami hanya dari dimensi intrapsikisnya, tetapi harus dibaca melalui jejaring sosial-budaya yang membentuk pengalaman dan makna kehidupannya. Dengan demikian, Sosioantrokonseling bukan sekadar teknik baru dalam praktik konseling, melainkan paradigma yang menata ulang cara kita memahami manusia, permasalahan, dan perubahan.

          Model ini dibangun atas prinsip bahwa konseling adalah proses dialog kemanusiaan yang berlangsung dalam konteks sosial tertentu. Konselor berperan bukan hanya sebagai fasilitator perubahan, tetapi juga sebagai penafsir sosial dan budaya yang membantu konseli memahami posisi dirinya dalam jaringan kehidupan. Oleh sebab itu, setiap langkah dalam model ini dirancang agar konseli tidak sekadar menyelesaikan masalah personalnya, tetapi juga menemukan keterhubungan baru dengan lingkungannya secara lebih sadar dan bermakna.

          Tahap pertama dalam Sosioantrokonseling adalah pemahaman konteks sosial. Pada tahap ini, konselor berupaya membaca realitas sosial yang melingkupi kehidupan konseli: keluarga, sekolah, komunitas, lingkungan kerja, hingga pengaruh media. Pemahaman ini tidak dimaksudkan untuk menilai, melainkan untuk memetakan bagaimana struktur sosial memengaruhi pengalaman konseli. Konselor menempatkan dirinya sebagai pengamat empatik, yang mampu menangkap relasi kuasa, norma sosial, serta nilai-nilai yang mungkin menekan atau memperkuat konseli.

          Tahap kedua adalah eksplorasi nilai budaya. Di sini, konseling bergeser dari sekadar memahami masalah ke upaya menyingkap sistem makna yang menopang kehidupan konseli. Nilai, simbol, dan kebiasaan budaya menjadi lensa untuk menafsirkan bagaimana konseli memaknai dirinya dan dunia di sekitarnya. Konselor perlu memiliki kepekaan antropologis: ia menyadari bahwa setiap ekspresi emosi, cara berkomunikasi, atau pandangan hidup, sesungguhnya berakar dari sistem budaya tertentu. Melalui eksplorasi ini, konselor membantu konseli menemukan nilai-nilai budaya yang konstruktif sebagai sumber daya penyembuhan dan pertumbuhan.

          Tahap ketiga adalah refleksi humanistik. Inilah fase di mana konseli diajak menafsirkan kembali pengalaman hidupnya secara lebih personal dan eksistensial. Konselor membantu konseli mengenali potensi, kebebasan, dan tanggung jawab dirinya sebagai manusia yang memiliki kesadaran. Refleksi ini menjadi jembatan antara konteks sosial-budaya dengan kesadaran diri: konseli tidak hanya memahami dirinya sebagai bagian dari sistem, tetapi juga sebagai subjek yang mampu memilih dan mencipta makna hidupnya sendiri. Dalam tahap ini, empati, kehadiran autentik, dan penerimaan tanpa syarat menjadi fondasi utama konselor.

          Tahap keempat adalah aktualisasi relasional. Setelah konseli memahami konteks sosialnya, menafsirkan kembali nilai budayanya, dan merefleksikan eksistensinya secara humanistik, proses konseling diarahkan pada pembentukan hubungan baru yang lebih sehat dan bermakna dengan lingkungannya. Aktualisasi relasional berarti kemampuan konseli untuk hidup secara sadar, terbuka, dan empatik dalam interaksi sosialnya. Konselor berperan sebagai katalisator perubahan sosial kecil, membantu konseli menghidupkan nilai-nilai kebaikan, tanggung jawab, dan keterhubungan dalam relasi sehari-hari.

          Model ini tidak bersifat linier, tetapi sirkular dan reflektif. Artinya, keempat tahap tersebut dapat berlangsung secara dinamis dan saling menguatkan, tergantung pada kebutuhan dan konteks konseli. Dalam praktiknya, konselor dapat bergerak fleksibel antara tahap sosial, budaya, dan humanistik sesuai dinamika proses konseling yang muncul secara alami. Pendekatan ini menekankan kehadiran konselor sebagai pribadi yang responsif secara sosial, sensitif secara budaya, dan reflektif secara humanistik.