IMPLEMENTASI SOSIOANTROKONSELING DALAM KONTEKS PENDIDIKAN DAN KOMUNITAS
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Paradigma Sosioantrokonseling tidak hanya berhenti pada tataran teoretis, tetapi justru menemukan makna terdalamnya ketika diimplementasikan dalam kehidupan nyata, terutama di ranah pendidikan dan komunitas. Dunia pendidikan dan masyarakat merupakan dua ruang yang paling nyata bagi individu untuk berinteraksi, menginternalisasi nilai, serta membentuk identitas sosial-budayanya. Oleh karena itu, implementasi Sosioantrokonseling di kedua konteks ini menjadi wujud konkret dari upaya menjadikan konseling sebagai praksis kemanusiaan yang hidup, reflektif, dan kontekstual.
Dalam konteks pendidikan, Sosioantrokonseling berperan sebagai pendekatan yang memanusiakan peserta didik. Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi juga arena sosial di mana nilai, identitas, dan hubungan antarindividu terbentuk. Implementasi paradigma ini berarti menghadirkan layanan konseling yang tidak terjebak pada diagnosis individualistik semata, melainkan mampu membaca struktur sosial sekolah, budaya kelas, serta norma-norma pendidikan yang membentuk perilaku siswa. Konselor di sekolah menjadi mediator antara dunia personal siswa dan ekosistem sosialnya, membantu siswa memahami dirinya sekaligus membangun relasi yang sehat dengan guru, teman sebaya, dan lingkungan belajar.
Penerapan Sosioantrokonseling di sekolah dapat dilakukan melalui berbagai bentuk layanan, seperti bimbingan klasikal yang menumbuhkan empati sosial, konseling kelompok yang menekankan refleksi budaya, maupun konseling individual yang membantu siswa menemukan makna dirinya dalam konteks sosialnya. Misalnya, dalam kasus perundungan, konselor tidak hanya membantu korban memulihkan kepercayaan diri, tetapi juga membaca pola sosial yang melahirkan perilaku agresif, serta menumbuhkan kesadaran kolektif di antara siswa untuk membangun budaya saling menghargai. Dengan demikian, konseling menjadi upaya pendidikan karakter yang berakar pada kesadaran sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.
Sementara itu, dalam konteks komunitas, Sosioantrokonseling hadir sebagai pendekatan pemberdayaan sosial. Setiap komunitas memiliki dinamika khas yang dibentuk oleh sejarah, struktur ekonomi, nilai budaya, dan pengalaman kolektifnya. Dalam kerangka ini, konselor berperan sebagai fasilitator partisipatif yang membantu komunitas mengenali potensi sosial dan budaya yang mereka miliki untuk mengatasi persoalan bersama. Konseling komunitas yang berbasis paradigma ini berfokus pada membangun kesadaran kritis, solidaritas, dan kemandirian sosial.
Implementasi Sosioantrokonseling di masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan seperti lokakarya reflektif, diskusi komunitas, atau program pendampingan berbasis nilai budaya lokal. Misalnya, dalam masyarakat pedesaan, praktik konseling dapat diintegrasikan dengan tradisi musyawarah atau ritual lokal yang memiliki makna simbolik penyembuhan dan kebersamaan. Dalam masyarakat urban, pendekatan ini dapat diterapkan melalui komunitas remaja, keluarga muda, atau kelompok sosial yang menghadapi tekanan modernitas, dengan mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal sebagai sumber makna dan keseimbangan hidup.
Dalam praktiknya, keberhasilan implementasi Sosioantrokonseling sangat bergantung pada kompetensi reflektif konselor. Konselor harus mampu menjadi pembelajar sosial-budaya yang terbuka, tidak hanya menguasai teori, tetapi juga peka terhadap narasi kehidupan yang berkembang di lapangan. Ia perlu memposisikan diri bukan sebagai ahli yang memberi solusi, melainkan sebagai mitra dialog yang menumbuhkan kesadaran dan keberdayaan bersama. Konselor dalam paradigma ini adalah bagian dari komunitas itu sendiri, bukan pengamat yang berdiri di luar, melainkan peserta aktif dalam transformasi sosial.
Selain itu, penerapan paradigma ini menuntut adanya sinergi kelembagaan antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Layanan konseling yang efektif tidak dapat berjalan sendiri; ia memerlukan dukungan dari sistem sosial yang lebih luas. Dengan demikian, Sosioantrokonseling juga berfungsi sebagai jembatan antara pendidikan formal dan kehidupan sosial, antara ruang belajar dan ruang hidup, antara teori dan praktik keseharian.
Melalui implementasi di pendidikan dan komunitas, Sosioantrokonseling menjadi gerakan praksis yang menegaskan kembali tujuan hakiki konseling: memanusiakan manusia dalam segala dimensinya. Pendekatan ini bukan sekadar intervensi psikologis, tetapi juga proses sosial yang menumbuhkan kesadaran kolektif, memperkuat solidaritas kemanusiaan, dan membangun masyarakat yang lebih reflektif serta berkeadaban.
MODEL DAN TAHAPAN SOSIOANTROKONSELING
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Model Sosioantrokonseling dirancang sebagai pendekatan konseling yang mengintegrasikan kesadaran sosial, pemahaman budaya, dan refleksi humanistik dalam satu proses yang dinamis dan saling terkait. Pendekatan ini berpijak pada keyakinan bahwa setiap individu tidak dapat dipahami hanya dari dimensi intrapsikisnya, tetapi harus dibaca melalui jejaring sosial-budaya yang membentuk pengalaman dan makna kehidupannya. Dengan demikian, Sosioantrokonseling bukan sekadar teknik baru dalam praktik konseling, melainkan paradigma yang menata ulang cara kita memahami manusia, permasalahan, dan perubahan.
Model ini dibangun atas prinsip bahwa konseling adalah proses dialog kemanusiaan yang berlangsung dalam konteks sosial tertentu. Konselor berperan bukan hanya sebagai fasilitator perubahan, tetapi juga sebagai penafsir sosial dan budaya yang membantu konseli memahami posisi dirinya dalam jaringan kehidupan. Oleh sebab itu, setiap langkah dalam model ini dirancang agar konseli tidak sekadar menyelesaikan masalah personalnya, tetapi juga menemukan keterhubungan baru dengan lingkungannya secara lebih sadar dan bermakna.
Tahap pertama dalam Sosioantrokonseling adalah pemahaman konteks sosial. Pada tahap ini, konselor berupaya membaca realitas sosial yang melingkupi kehidupan konseli: keluarga, sekolah, komunitas, lingkungan kerja, hingga pengaruh media. Pemahaman ini tidak dimaksudkan untuk menilai, melainkan untuk memetakan bagaimana struktur sosial memengaruhi pengalaman konseli. Konselor menempatkan dirinya sebagai pengamat empatik, yang mampu menangkap relasi kuasa, norma sosial, serta nilai-nilai yang mungkin menekan atau memperkuat konseli.
Tahap kedua adalah eksplorasi nilai budaya. Di sini, konseling bergeser dari sekadar memahami masalah ke upaya menyingkap sistem makna yang menopang kehidupan konseli. Nilai, simbol, dan kebiasaan budaya menjadi lensa untuk menafsirkan bagaimana konseli memaknai dirinya dan dunia di sekitarnya. Konselor perlu memiliki kepekaan antropologis: ia menyadari bahwa setiap ekspresi emosi, cara berkomunikasi, atau pandangan hidup, sesungguhnya berakar dari sistem budaya tertentu. Melalui eksplorasi ini, konselor membantu konseli menemukan nilai-nilai budaya yang konstruktif sebagai sumber daya penyembuhan dan pertumbuhan.
Tahap ketiga adalah refleksi humanistik. Inilah fase di mana konseli diajak menafsirkan kembali pengalaman hidupnya secara lebih personal dan eksistensial. Konselor membantu konseli mengenali potensi, kebebasan, dan tanggung jawab dirinya sebagai manusia yang memiliki kesadaran. Refleksi ini menjadi jembatan antara konteks sosial-budaya dengan kesadaran diri: konseli tidak hanya memahami dirinya sebagai bagian dari sistem, tetapi juga sebagai subjek yang mampu memilih dan mencipta makna hidupnya sendiri. Dalam tahap ini, empati, kehadiran autentik, dan penerimaan tanpa syarat menjadi fondasi utama konselor.
Tahap keempat adalah aktualisasi relasional. Setelah konseli memahami konteks sosialnya, menafsirkan kembali nilai budayanya, dan merefleksikan eksistensinya secara humanistik, proses konseling diarahkan pada pembentukan hubungan baru yang lebih sehat dan bermakna dengan lingkungannya. Aktualisasi relasional berarti kemampuan konseli untuk hidup secara sadar, terbuka, dan empatik dalam interaksi sosialnya. Konselor berperan sebagai katalisator perubahan sosial kecil, membantu konseli menghidupkan nilai-nilai kebaikan, tanggung jawab, dan keterhubungan dalam relasi sehari-hari.
Model ini tidak bersifat linier, tetapi sirkular dan reflektif. Artinya, keempat tahap tersebut dapat berlangsung secara dinamis dan saling menguatkan, tergantung pada kebutuhan dan konteks konseli. Dalam praktiknya, konselor dapat bergerak fleksibel antara tahap sosial, budaya, dan humanistik sesuai dinamika proses konseling yang muncul secara alami. Pendekatan ini menekankan kehadiran konselor sebagai pribadi yang responsif secara sosial, sensitif secara budaya, dan reflektif secara humanistik.
SOSIOANTROKONSELING: LANDASAN FILOSOFIS DAN EPISTEMOLOGIS
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Paradigma Sosioantrokonseling tidak hanya lahir dari kegelisahan praktis terhadap keterbatasan model konseling Barat, tetapi juga dari pencarian filosofis tentang hakikat manusia, sumber pengetahuan, dan nilai yang membimbing tindakan konseling. Sebagai suatu paradigma, Sosioantrokonseling memiliki struktur filosofis yang kokoh yang berpijak pada tiga fondasi utama: ontologi manusia relasional, epistemologi dialogis-kontekstual, dan aksiologi kemanusiaan berakar budaya. Ketiga aspek ini menjadi landasan konseptual dalam memahami dan mengarahkan praktik konseling yang berkeadaban.
Secara ontologis, Sosioantrokonseling berangkat dari pandangan bahwa manusia bukan entitas tunggal yang terisolasi, melainkan makhluk relasional yang keberadaannya selalu ditentukan oleh interaksi sosial, budaya, dan spiritual di sekitarnya. Hakikat manusia dipahami sebagai being in relation, yaitu eksistensi yang hadir dan bermakna karena keberadaannya bersama orang lain. Dalam konteks ini, konsep “diri” tidak dipahami sebagai ego individual seperti dalam psikologi Barat, melainkan sebagai diri sosial yang lahir dari jaringan nilai, bahasa, dan simbol budaya. Ontologi ini menegaskan bahwa memahami manusia berarti memahami dunia sosialnya, dan membantu manusia berarti memulihkan keterhubungannya dengan komunitas dan nilai yang ia anut.
Sosioantrokonseling menolak pandangan mekanistik yang melihat individu semata-mata sebagai sistem psikologis yang bisa dipisah dari konteks sosial. Sebaliknya, paradigma ini menempatkan manusia dalam kerangka ontologi holistik yang memandang kehidupan sebagai jejaring makna. Masalah psikologis tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari ketegangan sosial-budaya yang dialami individu dalam upaya menemukan harmoni antara dirinya dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, konseling tidak hanya bertujuan memulihkan keseimbangan intrapsikis, tetapi juga membangun kembali keseimbangan relasional antara manusia dan lingkungannya, antara “aku” dan “kami”.
Secara epistemologis, Sosioantrokonseling berpijak pada dialogical epistemology, bahwa pengetahuan lahir melalui dialog antara subjek dan konteksnya. Pengetahuan konseling bukanlah kebenaran objektif yang berdiri di luar manusia, melainkan hasil konstruksi bersama antara konselor, konseli, dan budaya tempat mereka berinteraksi. Oleh karena itu, proses konseling dipahami sebagai perjumpaan dua dunia makna: dunia konselor yang sarat dengan nilai profesional dan dunia konseli yang dipenuhi pengalaman budaya. Tugas utama konselor bukan mentransfer teori, tetapi membangun pemahaman baru melalui proses interpretatif dan empatik yang menghormati keragaman konteks klien.
Dalam epistemologi ini, metode hermeneutik dan fenomenologis menjadi dasar bagi praktik dan riset Sosioantrokonseling. Konselor bertugas menafsirkan makna pengalaman konseli sebagaimana ia alami, bukan sebagaimana teori menjelaskannya. Dengan cara ini, konseling menjadi ruang pemaknaan ulang terhadap pengalaman hidup yang sering kali dikaburkan oleh struktur sosial atau kekuasaan budaya. Pengetahuan konseling bersifat situated knowledge, yaitu pengetahuan yang terletak dalam ruang sosial dan budaya tertentu. Hal ini menjadi penegasan bahwa kebenaran dalam konseling bersifat kontekstual, plural, dan dinamis.
Lebih jauh, epistemologi Sosioantrokonseling menempatkan empati kultural sebagai bentuk tertinggi dari pengetahuan. Untuk memahami konseli, konselor perlu menghayati cara pandang hidupnya, cara ia menafsirkan kebahagiaan, penderitaan, dan relasi sosial. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh lewat observasi semata, tetapi melalui lived engagement, keterlibatan hidup bersama manusia lain dalam konteksnya. Epistemologi ini dengan demikian bersifat humanistik, partisipatif, dan reflektif. Ia tidak memisahkan peneliti dari yang diteliti, konselor dari konseli, atau teori dari kehidupan.
Dari segi aksiologi, Sosioantrokonseling berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang berakar pada budaya lokal dan spiritualitas kolektif. Tujuan tertingginya bukan hanya penyembuhan pribadi, tetapi pemulihan kemanusiaan dalam relasi sosial. Nilai-nilai seperti gotong royong, empati, penghormatan terhadap orang tua, keseimbangan hidup, dan kebijaksanaan lokal menjadi pilar etika konseling. Dalam konteks ini, etika Sosioantrokonseling tidak bersumber dari norma universal yang kaku, tetapi dari nilai-nilai hidup yang tumbuh dalam kebudayaan masyarakat. Ini adalah etika yang kontekstual, yang hidup dan menghidupkan.
Aksiologi ini juga menegaskan bahwa konseling harus berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan nilai kemanusiaan. Konselor tidak boleh netral terhadap ketimpangan sosial, penindasan budaya, atau kehilangan identitas yang dialami konseli. Dalam paradigma Sosioantrokonseling, praktik konseling adalah tindakan etis yang transformatif: membangkitkan kesadaran, memperkuat kemandirian, dan menumbuhkan harmoni sosial. Dengan demikian, nilai kebaikan tidak diukur dari seberapa cepat konseli “sembuh”, tetapi dari sejauh mana ia mampu hidup bermakna dalam komunitasnya.
Landasan aksiologis ini membawa implikasi penting: konseling dipahami sebagai bentuk cultural care, yaitu perawatan kemanusiaan yang menghargai perbedaan dan keberagaman. Konselor menjadi penjaga nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam masyarakat yang tengah berubah. Ia bukan hanya pendengar masalah, tetapi juga penjaga kebijaksanaan sosial. Sosioantrokonseling, dalam pengertian ini, menjadi ruang spiritual di mana manusia menemukan kembali dirinya dalam kebersamaan, bukan dalam keterasingan.
Dengan demikian, filosofi Sosioantrokonseling dapat dipahami sebagai gerakan epistemik dan moral yang berupaya mengembalikan konseling pada akar kemanusiaannya. Ia menghubungkan filsafat Barat yang menekankan otonomi individu dengan kearifan Timur yang menekankan harmoni dan keseimbangan sosial. Ia bukan sekadar teori, tetapi paradigma kemanusiaan yang menuntun konselor untuk berpikir, merasa, dan bertindak dalam kesadaran sosial-budaya yang utuh. Sosioantrokonseling hadir sebagai jembatan antara pengetahuan ilmiah dan kebijaksanaan lokal, antara akal dan nurani, antara individu dan masyarakat.
KONSEP SOSIOANTROKONSELING
By. Jumadi Mori Salam Tuasikal
Sosioantrokonseling lahir dari refleksi kritis terhadap kenyataan bahwa praktik konseling sering kali diimpor dari paradigma Barat yang menekankan individualisme, rasionalitas, dan universalitas manusia tanpa mempertimbangkan dimensi sosial dan budaya yang mengitarinya. Di tengah masyarakat Indonesia yang kolektivistik, religius, dan sarat nilai komunal, pendekatan seperti itu kerap menemui keterbatasan. Oleh karena itu, lahirnya Sosioantrokonseling merupakan bentuk upaya dekolonisasi pengetahuan konseling, yaitu menghadirkan paradigma yang berpijak pada keunikan manusia Indonesia dalam konteks sosial-budaya dan relasi kemanusiaannya.
Secara etimologis, istilah “Sosioantrokonseling” berasal dari tiga unsur utama: sosio (masyarakat dan relasi sosial), antro (manusia dan kebudayaan), serta konseling (proses bantuan psikopedagogis untuk mencapai keberfungsian pribadi). Ketiganya berpadu menjadi satu kesatuan paradigma yang menegaskan bahwa perilaku, pikiran, dan perasaan manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan budaya di mana ia tumbuh. Dengan demikian, Sosioantrokonseling bukan hanya bentuk layanan psikologis, melainkan juga sebuah cara memahami manusia sebagai makhluk sosial, kultural, dan spiritual yang terhubung dalam jejaring makna sosial yang lebih luas.
Filosofi dasar Sosioantrokonseling berakar pada pandangan humanistik yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk berkembang secara utuh. Namun, berbedanya dari konseling humanistik klasik seperti Carl Rogers atau Abraham Maslow, Sosioantrokonseling menambahkan lapisan kontekstual berupa realitas sosial dan nilai budaya yang membentuk diri manusia. Dalam hal ini, manusia tidak hanya dilihat sebagai individu yang otonom, tetapi sebagai entitas yang eksistensinya selalu menyatu secara menyeluruh dengan struktur sosial, simbol budaya, dan relasi komunitas yang membentuk identitasnya.
Sosioantrokonseling berpijak pada filsafat eksistensial-historis bahwa setiap manusia adalah hasil dialog antara “aku” dan “kita”. Diri tidak pernah lahir dari ruang hampa, melainkan dari pengalaman sosial dan warisan budaya yang terus membentuk makna kehidupan. Dalam kerangka ini, konseling bukan sekadar proses membantu individu memecahkan masalah personal, tetapi juga upaya membangunkan kesadaran reflektif tentang posisi dirinya dalam tatanan sosial yang lebih besar. Dengan demikian, keberhasilan konseling tidak hanya diukur dari adaptasi pribadi, tetapi juga dari bagaimana individu mampu hidup selaras dengan nilai dan budaya lingkungannya tanpa kehilangan keutuhan dirinya.
Paradigma Sosioantrokonseling juga berakar pada filsafat hermeneutic, bahwa setiap manusia memaknai dunia melalui tafsir. Proses konseling di sini merupakan ruang dialogis di mana konselor dan konseli bersama-sama menafsirkan pengalaman hidup dalam bingkai sosial dan budaya masing-masing. Konselor bukan sekadar ahli yang memberikan solusi, melainkan mitra reflektif yang membantu klien membaca ulang makna hidupnya melalui simbol, ritus, bahasa, dan nilai yang tumbuh di komunitasnya. Di sinilah konseling berfungsi sebagai proses pemaknaan ulang terhadap realitas, bukan hanya perbaikan perilaku.
Dari sudut pandang antropologis, Sosioantrokonseling menegaskan pentingnya cultural empathy, yakni kemampuan memahami konseli dari dalam sistem budayanya sendiri. Konselor perlu membaca bahasa tubuh, nilai, dan simbol yang hidup dalam kebudayaan tempat konseli berasal. Misalnya, ekspresi kesedihan, rasa malu, atau harga diri bisa bermakna berbeda di tiap komunitas. Dengan memahami hal ini, konselor tidak terjebak pada bias psikologis Barat, tetapi mampu menghadirkan pendekatan konseling yang kontekstual, lokal, dan manusiawi.
Sementara itu, secara sosiologis, Sosioantrokonseling melihat individu sebagai bagian dari sistem sosial yang lebih besar. Masalah pribadi sering kali bukan murni persoalan internal, melainkan refleksi dari ketegangan sosial seperti ketimpangan ekonomi, stigma sosial, konflik nilai, atau disfungsi relasi komunitas. Maka, konselor perlu melihat problem manusia secara sistemik, bukan sekadar simptom psikologis. Pendekatan ini menjadikan konseling bukan hanya tindakan terapeutik individual, tetapi juga gerakan sosial yang menumbuhkan solidaritas, empati, dan kesejahteraan kolektif.
Sosioantrokonseling mengandung kesadaran epistemologis bahwa pengetahuan konseling harus bersifat dialogis dan partisipatif. Artinya, teori tidak hanya diturunkan dari atas atau dari hasil riset luar negeri, tetapi dibangun dari pengalaman hidup masyarakat sendiri. Dalam kerangka ini, penelitian kualitatif, etnografis, dan fenomenologis menjadi fondasi penting untuk memahami dinamika sosial-budaya yang melahirkan masalah dan potensi manusia Indonesia. Pendekatan ini sekaligus menegaskan bahwa Sosioantrokonseling bukan sekadar teori, tetapi gerakan akademik menuju indigenisasi konseling.
Pada tataran praksis, Sosioantrokonseling mendorong konselor menjadi “antropolog kecil” dalam kehidupan sehari-hari: peka terhadap nilai-nilai lokal, mendengarkan narasi kultural, dan berperan aktif dalam membangun jembatan antara nilai tradisional dan modernitas. Konselor menjadi fasilitator perubahan sosial yang berakar pada budaya, bukan agen penyamarataan global. Dengan demikian, Sosioantrokonseling menjadi jalan tengah antara psikologi Barat dan kebijaksanaan Timur, antara sains dan nilai, antara individualitas dan kebersamaan.
Konsep sosioantrokonseling bukan sebuah paradigma ilmiah baru, melainkan sebuah penegasan filosofis untuk kembali pada jati diri kemanusiaan yang berakar pada konteks sosial dan budaya. Ia adalah konseling yang berpihak pada manusia yang hidup dalam relasi, yang memuliakan kearifan lokal, dan yang mengakui bahwa perubahan pribadi selalu terkait dengan perubahan sosial. Paradigma ini mengajak dunia konseling untuk tidak hanya berbicara tentang manusia secara universal, tetapi memahami manusia sebagaimana ia hidup, tumbuh, dan bermakna di bumi budayanya sendiri.
Kategori
- ADAT
- ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
- BERITA.MOLAMETO.ID
- BK ARTISTIK
- BK MULTIKULTURAL
- BOOK CHAPTER
- BUDAYA
- CERITA FIKSI
- CINTA
- DEFENISI KONSELOR
- DOSEN BK UNG
- HIPNOKONSELING
- HKI/PATEN
- HMJ BK
- JURNAL PUBLIKASI
- KAMPUS
- KARAKTER
- KARYA
- KATA BANG JUM
- KEGIATAN MAHASISWA
- KENAKALAN REMAJA
- KETERAMPILAN KONSELING
- KOMUNIKASI KONSELING
- KONSELING LINTAS BUDAYA
- KONSELING PERGURUAN TINGGI
- KONSELOR SEBAYA
- KULIAH
- LABORATORIUM
- MAHASISWA
- OPINI
- ORIENTASI PERKULIAHAN
- OUTBOUND
- PENDEKATAN KONSELING
- PENGEMBANGAN DIRI
- PRAKTIKUM KULIAH
- PROSIDING
- PUISI
- PUSPENDIR
- REPOST BERITA ONLINE
- RINGKASAN BUKU
- SEKOLAH
- SISWA
- TEORI DAN TEKNIK KONSELING
- WAWASAN BUDAYA
Arsip
- October 2025 (4)
- August 2025 (3)
- April 2025 (11)
- March 2025 (1)
- January 2025 (11)
- December 2024 (18)
- October 2024 (2)
- September 2024 (15)
- August 2024 (5)
- July 2024 (28)
- June 2024 (28)
- May 2024 (8)
- April 2024 (2)
- March 2024 (2)
- February 2024 (15)
- December 2023 (12)
- November 2023 (37)
- July 2023 (6)
- June 2023 (14)
- January 2023 (4)
- September 2022 (2)
- August 2022 (4)
- July 2022 (4)
- February 2022 (3)
- December 2021 (1)
- November 2021 (1)
- October 2021 (1)
- June 2021 (1)
- February 2021 (1)
- October 2020 (4)
- September 2020 (4)
- March 2020 (7)
- January 2020 (4)
Blogroll
- AKUN ACADEMIA EDU JUMADI
- AKUN GARUDA JUMADI
- AKUN ONESEARCH JUMADI
- AKUN ORCID JUMADI
- AKUN PABLON JUMADI
- AKUN PDDIKTI JUMADI
- AKUN RESEARCH GATE JUMADI
- AKUN SCHOLER JUMADI
- AKUN SCOPUS JUMADI
- AKUN SINTA DIKTI JUMADI
- AKUN YOUTUBE JUMADI
- BERITA BEASISWA KEMDIKBUD
- BERITA KEMDIKBUD
- BLOG DOSEN JUMADI
- BLOG MATERI KONSELING JUMADI
- BLOG SAJAK JUMADI
- BOOK LIBRARY GENESIS - KUMPULAN REFERENSI
- BOOK PDF DRIVE - KUMPULAN BUKU
- FIP UNG BUDAYA KERJA CHAMPION
- FIP UNG WEBSITE
- FIP YOUTUBE PEDAGOGIKA TV
- JURNAL EBSCO HOST
- JURNAL JGCJ BK UNG
- JURNAL OJS FIP UNG
- KBBI
- LABORATORIUM
- LEMBAGA LLDIKTI WILAYAH 6
- LEMBAGA PDDikti BK UNG
- LEMBAGA PENELITIAN UNG
- LEMBAGA PENGABDIAN UNG
- LEMBAGA PERPUSTAKAAN NASIONAL
- LEMBAGA PUSAT LAYANAN TES (PLTI)
- ORGANISASI PROFESI ABKIN
- ORGANISASI PROFESI PGRI
- UNG KODE ETIK PNS - PERATURAN REKTOR
- UNG PERPUSTAKAAN
- UNG PLANET
- UNG SAHABAT
- UNG SIAT
- UNG SISTER
- WEBSITE BK UNG