SOSIOANTROKONSELING: LANDASAN FILOSOFIS DAN EPISTEMOLOGIS

12 October 2025 14:24:35 Dibaca : 2 Kategori : KONSELING LINTAS BUDAYA

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Paradigma Sosioantrokonseling tidak hanya lahir dari kegelisahan praktis terhadap keterbatasan model konseling Barat, tetapi juga dari pencarian filosofis tentang hakikat manusia, sumber pengetahuan, dan nilai yang membimbing tindakan konseling. Sebagai suatu paradigma, Sosioantrokonseling memiliki struktur filosofis yang kokoh yang berpijak pada tiga fondasi utama: ontologi manusia relasional, epistemologi dialogis-kontekstual, dan aksiologi kemanusiaan berakar budaya. Ketiga aspek ini menjadi landasan konseptual dalam memahami dan mengarahkan praktik konseling yang berkeadaban.

          Secara ontologis, Sosioantrokonseling berangkat dari pandangan bahwa manusia bukan entitas tunggal yang terisolasi, melainkan makhluk relasional yang keberadaannya selalu ditentukan oleh interaksi sosial, budaya, dan spiritual di sekitarnya. Hakikat manusia dipahami sebagai being in relation, yaitu eksistensi yang hadir dan bermakna karena keberadaannya bersama orang lain. Dalam konteks ini, konsep “diri” tidak dipahami sebagai ego individual seperti dalam psikologi Barat, melainkan sebagai diri sosial yang lahir dari jaringan nilai, bahasa, dan simbol budaya. Ontologi ini menegaskan bahwa memahami manusia berarti memahami dunia sosialnya, dan membantu manusia berarti memulihkan keterhubungannya dengan komunitas dan nilai yang ia anut.

          Sosioantrokonseling menolak pandangan mekanistik yang melihat individu semata-mata sebagai sistem psikologis yang bisa dipisah dari konteks sosial. Sebaliknya, paradigma ini menempatkan manusia dalam kerangka ontologi holistik yang memandang kehidupan sebagai jejaring makna. Masalah psikologis tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari ketegangan sosial-budaya yang dialami individu dalam upaya menemukan harmoni antara dirinya dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, konseling tidak hanya bertujuan memulihkan keseimbangan intrapsikis, tetapi juga membangun kembali keseimbangan relasional antara manusia dan lingkungannya, antara “aku” dan “kami”.

          Secara epistemologis, Sosioantrokonseling berpijak pada dialogical epistemology, bahwa pengetahuan lahir melalui dialog antara subjek dan konteksnya. Pengetahuan konseling bukanlah kebenaran objektif yang berdiri di luar manusia, melainkan hasil konstruksi bersama antara konselor, konseli, dan budaya tempat mereka berinteraksi. Oleh karena itu, proses konseling dipahami sebagai perjumpaan dua dunia makna: dunia konselor yang sarat dengan nilai profesional dan dunia konseli yang dipenuhi pengalaman budaya. Tugas utama konselor bukan mentransfer teori, tetapi membangun pemahaman baru melalui proses interpretatif dan empatik yang menghormati keragaman konteks klien.

          Dalam epistemologi ini, metode hermeneutik dan fenomenologis menjadi dasar bagi praktik dan riset Sosioantrokonseling. Konselor bertugas menafsirkan makna pengalaman konseli sebagaimana ia alami, bukan sebagaimana teori menjelaskannya. Dengan cara ini, konseling menjadi ruang pemaknaan ulang terhadap pengalaman hidup yang sering kali dikaburkan oleh struktur sosial atau kekuasaan budaya. Pengetahuan konseling bersifat situated knowledge, yaitu pengetahuan yang terletak dalam ruang sosial dan budaya tertentu. Hal ini menjadi penegasan bahwa kebenaran dalam konseling bersifat kontekstual, plural, dan dinamis.

          Lebih jauh, epistemologi Sosioantrokonseling menempatkan empati kultural sebagai bentuk tertinggi dari pengetahuan. Untuk memahami konseli, konselor perlu menghayati cara pandang hidupnya, cara ia menafsirkan kebahagiaan, penderitaan, dan relasi sosial. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh lewat observasi semata, tetapi melalui lived engagement, keterlibatan hidup bersama manusia lain dalam konteksnya. Epistemologi ini dengan demikian bersifat humanistik, partisipatif, dan reflektif. Ia tidak memisahkan peneliti dari yang diteliti, konselor dari konseli, atau teori dari kehidupan.

          Dari segi aksiologi, Sosioantrokonseling berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang berakar pada budaya lokal dan spiritualitas kolektif. Tujuan tertingginya bukan hanya penyembuhan pribadi, tetapi pemulihan kemanusiaan dalam relasi sosial. Nilai-nilai seperti gotong royong, empati, penghormatan terhadap orang tua, keseimbangan hidup, dan kebijaksanaan lokal menjadi pilar etika konseling. Dalam konteks ini, etika Sosioantrokonseling tidak bersumber dari norma universal yang kaku, tetapi dari nilai-nilai hidup yang tumbuh dalam kebudayaan masyarakat. Ini adalah etika yang kontekstual, yang hidup dan menghidupkan.

          Aksiologi ini juga menegaskan bahwa konseling harus berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan nilai kemanusiaan. Konselor tidak boleh netral terhadap ketimpangan sosial, penindasan budaya, atau kehilangan identitas yang dialami konseli. Dalam paradigma Sosioantrokonseling, praktik konseling adalah tindakan etis yang transformatif: membangkitkan kesadaran, memperkuat kemandirian, dan menumbuhkan harmoni sosial. Dengan demikian, nilai kebaikan tidak diukur dari seberapa cepat konseli “sembuh”, tetapi dari sejauh mana ia mampu hidup bermakna dalam komunitasnya.

          Landasan aksiologis ini membawa implikasi penting: konseling dipahami sebagai bentuk cultural care, yaitu perawatan kemanusiaan yang menghargai perbedaan dan keberagaman. Konselor menjadi penjaga nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam masyarakat yang tengah berubah. Ia bukan hanya pendengar masalah, tetapi juga penjaga kebijaksanaan sosial. Sosioantrokonseling, dalam pengertian ini, menjadi ruang spiritual di mana manusia menemukan kembali dirinya dalam kebersamaan, bukan dalam keterasingan.

          Dengan demikian, filosofi Sosioantrokonseling dapat dipahami sebagai gerakan epistemik dan moral yang berupaya mengembalikan konseling pada akar kemanusiaannya. Ia menghubungkan filsafat Barat yang menekankan otonomi individu dengan kearifan Timur yang menekankan harmoni dan keseimbangan sosial. Ia bukan sekadar teori, tetapi paradigma kemanusiaan yang menuntun konselor untuk berpikir, merasa, dan bertindak dalam kesadaran sosial-budaya yang utuh. Sosioantrokonseling hadir sebagai jembatan antara pengetahuan ilmiah dan kebijaksanaan lokal, antara akal dan nurani, antara individu dan masyarakat.