KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA

09 October 2020 17:08:01 Dibaca : 86473 Kategori : KONSELING LINTAS BUDAYA

 Oleh: Jumadi Mori Salam Tuasikal

A.  Hakikat Konseling Lintas Budaya

Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Ponterotto, Casas, Suzuki, dan Alexander, 1995; Locke, 1992; Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994; Arrendondo, Psalti, dan Cella, 1993; Pedersen, 1991). Dilihat dari sisi identitas budaya, konseling lintas budaya merupakan hubungan konseling pada budaya yang berbeda antara konselor dengan konseli. Burn (1992) menjelaskan cross cultural counseling is the process of counseling individuals who are of different culture/cultures than that of the therapist.Oleh sebab itu menurutnya sensitivitas konselor terhadap budaya konseli menjadi sangat penting.Ia menegaskan: It is important for counselors to be sensitive to and considerate of a client's cultural makeup. Clinicians encounter many challenging and complex issues when attempting to provide accessible, effective, respectful and culturally affirming chemical dependency treatment to a multi-cultural population of Deaf and hard of hearing individuals.

Dalam pandangan Rendon (1992) perbedaan budaya bisa terjadi pada ras atau etnik yang sama ataupun berbeda. Oleh sebab itu definisi konseling lintas budaya yang dapat dijadikan rujukan adalah sebagai berikut.Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan konseli yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37). Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Bagi Dedi, konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural.Dengan demikian, maka konselingdipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselordan klien.

 B.  Pendekatan Konseling Lintas Budaya

Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya.Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok.Kedua, pendekatan emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156). Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.

Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut.

  1. Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya daripendekatan konseling yang digunakannya.
  2. Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
  3. Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
  4. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.

 Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transculturalsebagai berikut:

  1.  Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling;
  2. Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
  3. Kelas dan gender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.

 C.  Model Konseling Lintas Budaya

Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.

 1.      Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)

Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme.Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli.Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri.

Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya.Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian.Artinya, fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu.Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.

2.      Model Integratif (Integrative Model)

Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones(Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatupanduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :

  1. Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
  2. Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
  3. Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
  4. Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and endowments).

Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulituntuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut.Menurutnya,yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepatterhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumberperkembangan pribadi.Budaya tradisional yang dimaksud adalah segalapengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadariataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung(1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai-nilaibudaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itukekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilaibudaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.

3.      Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)

Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yangdalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993).Model inimerupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigmamemfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural.Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budayadengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.

a)   Konsepsi sakit (sickness conception)

Seseorang dikatakan sakit apa bila :

  • Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
  • Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
  • Melakukan pelanggaran hukum
  • Mengalami masalah interpersonal

b)   Causal/healing beliefs

  • Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
  • Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
  • Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
  • Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi (share) tentang keyakinan yang sama

c)    Kriteria sehat (wellbeing criteria)

Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya.Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.

  • Mampu menentukan sehat dan sakit
  • Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
  • Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
  • Menyadari dan memahami budayanya sendiri

d)   Body function beliefs

  • Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebihbermakna
  • Sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupansehari-hari
  • Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli

e)    Health practice efficacy beliefs

Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah denganpengarahan atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.

 

D.   Identitas dan Komponen-komponen Perbedaan Budaya

1.   Pengertian Budaya

Istilah budaya merupakan sesuatu yang kompleks.Apa lagi jika ditelusuridari asal usul kata di Indonesia, yang berasal dari budi dan daya. Budi berartipikiran, cara berpikir, atau pengertian; sedangkan daya merujuk padakekuatan, upaya-upaya, dan hasil-hasil. Jika saja budaya diterjemahkansebagai produk berpikir dan berkarya, maka jelaslah bahwa budaya memangmerupakan sesuatu yang amat luas.Bahkan apapun yang nampak di duniaini, asalkan bukan ciptaan Tuhan pastilah disebut budaya. Oleh sebab ituBerry, at all, (1992) menegaskan culture as “that complex whole whichincludes knowledge, belief, art, morals, laws, custom and any othercapabilities and habits acquared by man as a member of society”. Bahkanlebih tegas lagi Padden (1980) menjelaskan, bahwa budaya berarti, “the totalsocial heredity of mankind”. Ahli lainnya pun menegaskan demikian (Leongand Kim, 1991 : 112) bahwa culture refers to the widely shared ideals, values,formation and uses of categories, assumptions about life, and goal-directedactivities that become unconsciously or subconsciously accepted as 'right' and'correct' by people who identify themselves as members of a society".

2.    Komponen-komponen Perbedaan Budaya

Model konseptual perbedaan budaya dalam pembahasan ini mengacu kepadaPalmer dan Laungani (2008 : 45). Konstruk teoretis perbedaan budaya yangdiajukannya sebagai berikut.

  1. Individualism ............ Communalism (Collectivism)
  2. Cognitivism ............... Emotionalism
  3. Free Will ................... Determinism
  4. Materialism .............. Spiritualism

Dalam pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia, perludiperhatikan komponen-komponen perbedaan budaya.Apalagi Indonesiadikenal dengan keragaman yang kompleks baik segi demografis, sosial-ekonomis,adat-istiadat, maupun latar budayanya.Bhinneka Tunggal Ika yang menjadisemboyan bangsa Indonesia dalam perspektif konseling lintas budaya, layaknyadikembangkan dimensi wawasan ke-bhinnekaan-nya dalam kerangka penegasankarakteristik ke-tunggal-an yang kuat.

Adapun komponen-komponen yang perlu diperhatikan dalampengembangan konsep utuh bimbingan dan konseling di Indonesia mestiterfokus pada orientasi nilai budaya yang menghendaki kehidupan masyarakatyang selaras dengan alam.Koentjaraningrat (1993) menyebut orientasi nilaibudaya sebagai mentalitas. Menurut dia, di antara sedemikian banyak komponenmentalitas yang dimiliki berbagai kebudayaan suku bangsa di Indonesia, dalampenelitian-penelitian yang telah dilakukan, terdapat empat komponen yangmenonjol, yaitu : (1) konsepsi waktu yang sifatnya sirkuler (waktu itu “beredar”tidak “berlangsung”); (2) hidup terlalu bergantung pada nasib; (3) sikapkekeluargaan dan gotong-royong yang sangat kuat; dan (4) orientasi nilai budayavertikal.

Persepsi waktu yang sirkuler adalah gagasan dan keyakinan, bahwa masayang telah lampau selalu akan kembali. Persepsi waktu yang beredar tidak linierdilatari oleh kehidupan agraris, yang menunjukkan lingkaran proses pertanianakan terulang tiap tahun. Hal inipun masih melatarbelakangi cara berpikir orangIndonesia pada umumnya, meskipun kaum pelajar di Indonesia telah banyakberpikir berdasarkan konsep waktu yang linier. Kalau tidak demikian, maka tidakmungkin bangsa Indonesia merencanakan berbagai kebijakan pembangunan dengan teliti. Konsep waktu yang sirkuler dalam cara berpikir umumnya orang Indonesia, seyogianya dipahami oleh konselor sebagai bahan masukan guna mengantisipasi atau memprediksi persepsi dan sikap klien terhadap persoalan yang tengah dihadapinya. Persepsi yang demikian tentang waktu kemungkinan berdampak terhadap anggapan dan sikap, bahwa persoalan yang dihadapi adalah biasa sehingga tidak diperlukan pengatasan atau bantuan orang lain untuk mengatasinya; mengingat orang lain pun berhadapan dengan persoalan yang sama dan selalu berulang. Kalaupun persoalan itu dibicarakan, terbatas pada lingkup orang-orang yang berlatar atau berkaitan secara kekeluargaan dan hanya menegaskan bahwa mereka pun mengalami hal yang sama. Pendek kata, persoalan kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang “biasa”, dibiarkan saja, karena akan hilang dan muncul secara alami. Dampaknya, diperkirakan “kita” tidak tertantang untuk kreatif dan inovatif dalam memproduksi piranti keras ataupun lunak.

Orientasi nilai budaya yang juga berakar pada kebudayaan agraris ditambah dengan keadaan yang diakibatkan oleh kemiskinan, adalah sikap hidup yang terlalu meggantungkan diri pada nasib. Menurut Koentjaraningrat (1993:4), apabila kita menginginkan peningkatan kemakmuran melalui jalur industrialisasi, maka orientasi nilai budaya atau mentalitas seperti itulah, yang sangat perlu diubah atau digeser menjadi mentalitas yang lebih aktif. Orang yang terlalu bergantung pada nasib artinya menyerahkan diri pada nasibnya sendiri, kehilangan semangat untuk berikhtiar, menjalani kehidupan tanpa repot-repot membuat rencana, kendati banyak alternatif tidak memandang perlu mengambil pilihan, menunda keputusan sampai nasib menghampirinya, kehilangan harapan yang optimis; bahkan mungkin melupakan firman Allah atas pentingnya ikhtiar untuk mengubah nasib. Dalam adegan pengembangan bimbingan dan konseling di Indonesia, tampaknya para konselor mesti memperkaya wawasannya tentang konsep takdir mubrom dan muallaq, hingga dirinya menjadi pribadi yang aktif dan proaktif serta mengembangkan layanan konseling berdasarkan landasan nilai optimistic dan pandangan kehidupan yang mencerahkan secara hakiki. Dengan kata lain dapat dikiaskan, bahwa pengembangan bimbingan dan konseling akan berkonstruksi rapuh, manakala dibangun di atas landasan menyerah kepada nasib menunggu bintang jatuh. Komponen ketiga yang perlu diperhatikan adalah orientasi nilai budaya yang berupa sikap kekeluargaan dan gotong royong yang sangat kuat dalam masyarakat Indonesia.Kendati mentalitas ini menyiratkan kesamaan pada umumnya, tetapi titik anjak dan bentuk pengoperasionalannya berbeda-beda pada sebagian besar anggota masyarakat.

Koentjaraningrat (1993) mengemukakan, dalam diskusi-diskusi pernah diajukan kemungkinan, bahwa untuk industrialisasi diperlukan mentalitas yang lebih mandiri, lebih bertanggungjawab sendiri, tidak terlampau menggantungkan diri pada keluarga ataupun bantuan gotong-royong dari lingkungan.Selanjutnya dia menyatakan, banyak di antara kita memang masih perlu membiasakan diri untuk bersikap lebih mandiri dalam banyak hal, serta lebih berani bertanggungjawab atas kekurangan dan kesalahan kita, tanpa mengurangi asas kekeluargaan dan penggeseran mentalitas yang terlalu menggantungkan diri pada gotong-royong.Namun tidak perlu khawatir, bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan gotong-royong menghambat kemajuan; sebab walaupun asas kekeluargaan dalam masyarakat Jepang tetap kuat, bangsa Jepang telah berhasil menjadi salah satu negara yang terkaya di dunia, dan memiliki sistem industri yang sangat maju.Implikasi dari komponen ketiga bagi pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia adalah pengembangan piranti-piranti strategis untuk kepentingan konseling kelompok dan konseling keluarga dalam perspektif lintas budaya.Dasar pertimbangannya adalah, bahwa orientasi nilai budaya kekeluargaan dan gotong-royong merupakan modal landasan konseptual yang dapat dijadikan mediator guna memfasilitasi keberlangsungan konseling lintas budaya dalam adegan kelompok ataupun keluarga. Rupanya, studi-studi ke arah penggalian dan pengembangan konsep ini perlu ditingkatkan guna mengokohkan bangun konseling lintas budaya di Indonesia. Komponen yang keempat, yaitu orientasi vertikal, terasa kuat tidak hanya dalam masyarakat Jawa dan Bali, tetapi ternyata juga dalam sebagian besar berbagai suku bangsa penduduk Sumatera dan Indonesia Timur.Kenyataan ini merupakan hasil penelitian orang Indonesia sendiri di beberapa tempat di Nusantara (Koentjaraningrat, 1993).

Secara nyata orientasi vertikal itu adalah ketaatan pada orang tua, orang senior, guru, pemimpin, orang berpangkat tinggi,komandan, dan sebagainya, sehingga seseorang dengan orientasi vertikal tidak akan bertindak tanpa suatu instruksi atau restu dari atas. Khusus dalam kebudayaan Jawa, ketaatan merupakan sifat yang dinilai sangat tinggi.Anak yang manut (yaitu taat) adalah anak yang sangat terpuji, sementara anak yang selalu mempunyai kehendak sendiri dan gemar mengeksplorasi segala hal di sekitarnya, dianggap mengganggu dan tidak dianggap sebagai anak yang sopan dan santun.Disinyalir pula oleh Koentjaraningrat, bahwa sangat disayangkan kebanyakan orang di Indonesia masih kurang taat pada hal-hal yang kurang konkret, seperti misalnya hukum dan peraturan-peraturan, apalagi pada hal yang lebih abstrak, yaitu prinsip. Namun, untunglah orang Indonesia pada umumnya taat menjalani ibadah keagamaan, sehingga pelaksanaan sila pertama dalam ideologi negara kita dapat memperkuat ketenteraman jiwa manusia, yang hidup dalam masa pancaroba yang sedang dan masih akan dialami dalam 25 tahun mendatang.

Tampaknya ketaatan seperti itu perlu dipersoalkan, terutama dalam kerangka penumbuh-kembangan prinsip disiplin yang tidak bergantung pada ada atau tidak adanya pengawasan.Konsep Islam tentang khusyu’ dalam shalat dan imsyak dalam shaum perlu dikaji secara komprehensif untuk selanjutnya diterjemahkan ke dalam landasan kehidupan sehari-hari, termasuk dalam kehidupan konseling. Dalam konteks pengembangan konsep utuh bimbingan dan konseling di Indonesia, rupanya diperlukan pengkajian lintas-disiplin yang terfokus pada perspektif metafisis tentang orientasi nilai vertikal dan latar belakang sikap “orang atasan” terhadap perilaku dan nilai ketaatan. Hasil pengkajian dipandang sumbangan konseptual yang besar dan amat berharga, terutama bagi pengembangan bimbingan dan konseling yang berpijak pada nilai-nilai budaya lokal tetapi berlaku universal.

 

E.  Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya

1.  Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut :

  1. Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
  2. Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
  3. Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
  4. Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
  5. Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
  6. Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
  7. Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

2. Sikap Konselor

Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya.

Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.

 3.  Persyaratan Konselor Lintas Budaya

Dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang bereda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya, yaitu :

  1. Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
  2. Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
  3. Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
  4. Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
  5. Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
  6. Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.

 

KEPUSTAKAAN

Anak Agung Ngurah Adhiputra. 2013. Konsleling Lintas Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Corey, G. 1991. Theory And Practice Of Group Counseling. California. Brooks/Cole Publishing Company.

Dayakisni, Tri & Salis Yuniardi. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang. Umm Press.

Dedi Supriadi. 2001. Konseling Lintas Budaya: Isu – Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. Bandung. UPI.

Fukuyama, M. A. (1990). “Taking A Universal Approach To Multicultural Counseling.” Counselor Education And Supervision, 30, 6-17.

Palmer, Stephen & Laungani, Pittu. (2008). Counseling In A Multicultural Society. London : Sage Publisher.

Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-Isu Dan Relevansinya Di Indonesia. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sue, D.W. Dan Sue, D. 2003. Counseling The Culturally Diverse Theory And Practice. New York John Wiley And Sons, Inc.