HEGEMONI MAHASISWA BARU

26 July 2024 13:51:40 Dibaca : 29 Kategori : MAHASISWA

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

           Hegemoni mahasiswa baru di kampus adalah fenomena sosial yang menggambarkan dominasi kelompok tertentu atas mahasiswa baru yang baru memasuki lingkungan akademis. Konsep hegemoni, menurut Gramsci (1971), merujuk pada kontrol ideologis yang diterima sebagai norma oleh semua kelompok dalam Masyarakat. Dalam konteks ini, mahasiswa baru sering kali harus menyesuaikan diri dengan budaya dan nilai-nilai yang telah mapan di kampus. Tekanan untuk berkonformitas ini bisa datang dari berbagai pihak, termasuk senior, dosen, dan organisasi kemahasiswaan. Hal ini menciptakan dinamika yang kompleks dalam proses adaptasi mereka. Dengan demikian, memahami hegemoni ini penting untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih inklusif dan suportif.

          Masa orientasi merupakan momen penting bagi mahasiswa baru untuk mengenal lingkungan kampus. Namun, sering kali orientasi ini digunakan sebagai alat untuk memperkuat hegemoni yang ada. Kegiatan orientasi biasanya melibatkan pengenalan terhadap aturan tidak tertulis dan hierarki sosial di kampus. Mahasiswa baru diajarkan untuk mengikuti budaya dan tradisi yang telah ada, meskipun kadang-kadang bertentangan dengan nilai-nilai pribadi mereka. Hal ini menciptakan tekanan untuk menyesuaikan diri demi diterima oleh komunitas kampus.

          Senior di kampus sering kali memainkan peran penting dalam mempertahankan hegemoni. Mereka dianggap sebagai model yang harus diikuti oleh mahasiswa baru. Seperti yang dijelaskan oleh Bourdieu (1991) bahwa kekuasaan simbolik bekerja melalui pengakuan dan penerimaan dari mereka yang didominasi. Senioritas ini menciptakan struktur hierarkis yang membuat mahasiswa baru merasa harus menghormati dan mengikuti arahan senior mereka. Hal ini dapat menyebabkan mahasiswa baru merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan cara yang tidak alami. Oleh karenannya peran senior sangat penting dalam membentuk pengalaman awal mahasiswa baru di kampus.

          Budaya kampus terdiri dari tradisi, nilai-nilai, dan kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi mahasiswa ke generasi berikutnya. Ini mencakup berbagai aspek kehidupan kampus, mulai dari cara berpakaian hingga etika akademis, sehingga mahasiswa baru sering kali dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan budaya ini agar bisa diterima. Tekanan ini bisa datang dari berbagai sumber, termasuk teman sebaya dan institusi akademis. Hal tersebut mengisaratkan bahwa budaya kampus berfungsi sebagai alat untuk memperkuat hegemoni.

          Di era digital, media sosial memainkan peran penting dalam memperkuat hegemoni di kalangan mahasiswa baru. Informasi dan ekspektasi sosial sering kali disebarkan melalui platform ini, membentuk persepsi dan perilaku mahasiswa baru. Mahasiswa baru merasa perlu mengikuti tren dan norma yang ditetapkan di media sosial agar tidak tertinggal. Hal ini menambah tekanan untuk berkonformitas dengan budaya kampus yang sudah ada. Oleh karenanya media sosial menjadi alat yang efektif dalam memperkuat hegemoni. Tekanan dari teman sebaya adalah salah satu bentuk hegemoni yang paling kuat di kalangan mahasiswa baru.

         Mahasiswa baru sering kali merasa perlu menyesuaikan diri dengan kelompok mereka untuk mendapatkan penerimaan sosial. Tekanan ini bisa membuat mahasiswa baru merasa terpaksa untuk mengikuti perilaku atau gaya hidup tertentu. Akibatnya, mereka mungkin mengorbankan nilai-nilai pribadi mereka demi diterima oleh kelompok. Sehingga tekanan dari teman sebaya berperan penting dalam mempertahankan hegemoni. Proses penyesuaian diri di kampus sering kali melibatkan pembentukan identitas baru. Mahasiswa baru harus menavigasi lingkungan sosial yang kompleks dan sering kali harus mengubah diri mereka agar sesuai dengan ekspektasi. Dalam konteks ini, mahasiswa baru membentuk identitas baru yang sesuai dengan norma dan budaya kampus. Hal ini bisa menjadi proses yang sulit dan menantang. Namun, identitas baru ini penting untuk memastikan bahwa mereka dapat berintegrasi dengan baik dalam komunitas kampus.

          Ekspektasi akademis juga merupakan bagian dari hegemoni yang dihadapi oleh mahasiswa baru. Mereka diharapkan untuk mencapai standar tertentu yang telah ditetapkan oleh institusi. Mahasiswa baru sering kali merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi ini agar dianggap kompeten. Tekanan ini bisa menyebabkan stres dan kecemasan. Organisasi kemahasiswaan sering kali menjadi arena di mana hegemoni berlangsung. Mahasiswa baru didorong untuk bergabung dan aktif dalam organisasi ini, yang sering kali memiliki budaya dan aturan tersendiri. Menurut Putnam, keterlibatan dalam organisasi sosial dapat memperkuat jaringan sosial dan modal sosial (Putnam, 2000). Namun, organisasi kemahasiswaan juga bisa menjadi alat untuk memperkuat hegemoni. Mahasiswa baru merasa perlu mengikuti budaya dan tradisi organisasi agar bisa diterima. Hal ini menambah kompleksitas dalam proses penyesuaian diri mereka.

          Tradisi dan ritual kampus, seperti upacara penyambutan atau kegiatan tahunan, memainkan peran penting dalam memperkuat hegemoni. Mahasiswa baru diajak untuk mengambil bagian dalam kegiatan ini sebagai bentuk penerimaan dan adaptasi. Kegiatan ini sering kali memiliki makna simbolis yang mendalam dan memperkuat ikatan sosial di antara mahasiswa. Namun, mereka juga bisa menjadi alat untuk memperkuat hegemoni dengan menuntut konformitas dari peserta.

          Proses hegemoni di kampus melibatkan aspek eksklusi dan inklusi sosial. Mahasiswa baru yang tidak mampu atau tidak mau menyesuaikan diri sering kali merasa terisolasi dari kelompok utama. Eksklusi sosial ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan mahasiswa baru. Mereka mungkin merasa tidak diterima dan kurang berharga. Oleh karena itu, inklusi sosial yang lebih besar diperlukan untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih inklusif dan suportif. Hegemoni di kampus dapat berdampak signifikan pada kesehatan mental mahasiswa baru. Tekanan untuk menyesuaikan diri dan mencapai ekspektasi sosial dapat menimbulkan stres dan kecemasan. Mahasiswa baru mungkin merasa terbebani oleh tuntutan akademis dan sosial yang mereka hadapi. Hal ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental mereka, menyebabkan masalah seperti depresi dan burnout. Meskipun hegemoni dominan, terdapat juga bentuk resistensi dari mahasiswa baru. Beberapa dari mereka mungkin menolak untuk mengikuti aturan atau budaya yang dianggap tidak sesuai dengan nilai pribadi mereka. Mahasiswa baru mungkin menunjukkan resistensi dengan cara yang halus, seperti tidak berpartisipasi dalam kegiatan tertentu atau mempertahankan identitas asli mereka. Resistensi ini menunjukkan bahwa hegemoni tidak selalu diterima tanpa perlawanan. Dengan demikian, ada dinamika yang kompleks antara dominasi dan resistensi di kampus.

          Dinamika kelompok memainkan peran penting dalam praktik hegemoni. Kelompok yang dominan sering kali menentukan norma dan nilai yang harus diikuti oleh anggota baru. Mahasiswa baru sering kali merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan norma kelompok agar diterima. Hal ini menciptakan tekanan sosial yang kuat untuk berkonformitas. Fakultas dan dosen juga memiliki peran dalam memperkuat atau menantang hegemoni di kampus. Pendekatan pengajaran dan interaksi dengan mahasiswa baru dapat mempengaruhi bagaimana hegemoni terbentuk dan dipertahankan. Menurut Freire (1970), pendidikan harus bersifat dialogis dan memerdekakan, bukan menindas. Dosen yang menggunakan pendekatan inklusif dan suportif dapat membantu mengurangi tekanan hegemoni. Sebaliknya, dosen yang otoriter dan tidak peka terhadap perbedaan individu dapat memperkuat hegemoni.

          Kepemimpinan di kalangan mahasiswa, seperti ketua organisasi atau aktivis kampus, dapat menjadi agen hegemoni. Mereka sering kali menjadi figur yang menentukan arah dan budaya organisasi. Pemimpin mahasiswa yang karismatik dapat mempengaruhi mahasiswa baru untuk mengikuti visi dan nilai mereka. Namun, mereka juga bisa memperkuat hegemoni dengan menuntut konformitas dari anggota baru. Dengan demikian, kepemimpinan mahasiswa berperan ganda dalam membentuk dinamika hegemoni di kampus.

          Proses pembelajaran di kelas juga dapat mencerminkan hegemoni. Mahasiswa baru dihadapkan pada metodologi dan kurikulum yang sudah ada, yang mungkin tidak selalu sesuai dengan latar belakang mereka. Mahasiswa baru harus menyesuaikan diri dengan pendekatan pengajaran yang mungkin berbeda dari yang mereka kenal sebelumnya. Hal ini bisa menjadi tantangan besar bagi mereka. Dengan demikian, hegemoni juga berperan dalam membentuk pengalaman akademis mahasiswa baru. Latar belakang sosial mahasiswa baru, seperti kelas ekonomi, etnisitas, dan agama, juga mempengaruhi bagaimana mereka menavigasi hegemoni di kampus. Mahasiswa dari latar belakang yang kurang beruntung mungkin menghadapi tantangan tambahan dalam proses penyesuaian diri. Mahasiswa baru yang memiliki modal sosial dan budaya yang tinggi mungkin lebih mudah menyesuaikan diri dengan hegemoni yang ada. Sebaliknya, mereka yang kurang memiliki modal ini mungkin merasa terpinggirkan.

          Hegemoni di kampus dapat berdampak pada mobilitas sosial mahasiswa baru. Mereka yang berhasil menyesuaikan diri dengan baik mungkin memiliki peluang yang lebih besar untuk sukses akademis dan karir. Namun, hegemoni juga bisa menjadi penghalang bagi mereka yang tidak mampu atau tidak mau menyesuaikan diri. Hal ini menunjukkan bahwa hegemoni memiliki dampak jangka panjang pada kehidupan mahasiswa baru. Dampak hegemoni pada mahasiswa baru tidak hanya terasa selama masa studi, tetapi juga dapat mempengaruhi kehidupan mereka setelah lulus. Nilai dan norma yang diterima di kampus sering kali dibawa ke dalam dunia kerja dan kehidupan pribadi. Mahasiswa yang berhasil menavigasi hegemoni di kampus mungkin lebih siap untuk menghadapi tantangan di masa depan. Namun, mereka juga perlu menyadari potensi dampak negatif dari hegemoni ini. Penting untuk terus mengevaluasi dan menantang praktik hegemoni di kampus. Untuk mengurangi dampak negatif hegemoni, diperlukan solusi dan rekomendasi yang efektif. Institusi pendidikan harus menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi mahasiswa baru.

          Program orientasi yang lebih sensitif terhadap perbedaan individu dan latar belakang sosial dapat membantu mahasiswa baru merasa lebih diterima. Selain itu, dukungan psikologis dan akademis yang memadai juga penting untuk membantu mereka mengatasi tekanan hegemoni. Dengan demikian, solusi yang komprehensif diperlukan untuk menciptakan lingkungan kampus yang lebih sehat. Kebijakan institusi yang adil dan inklusif dapat membantu mengatasi hegemoni. Misalnya, program orientasi yang lebih inklusif dapat membantu mahasiswa baru merasa lebih diterima. Institusi juga harus mengadopsi kebijakan yang mendukung keragaman dan inklusi di semua aspek kehidupan kampus. Hal ini termasuk pelatihan untuk staf dan dosen tentang pentingnya inklusi dan sensitivitas budaya.

          Fakultas dan dosen harus memainkan peran aktif dalam menciptakan lingkungan inklusif di kampus. Mereka harus sadar akan dinamika hegemoni dan bekerja untuk menciptakan ruang yang mendukung bagi semua mahasiswa. Dosen harus menggunakan pendekatan pengajaran yang memperhitungkan perbedaan individu dan latar belakang sosial. Hal ini dapat membantu mengurangi tekanan hegemoni dan mendukung keberhasilan akademis mahasiswa baru. 

          Membangun jaringan dukungan sosial yang kuat adalah langkah penting untuk membantu mahasiswa baru menavigasi hegemoni. Kelompok dukungan sebaya, mentor, dan program bimbingan dapat membantu mereka merasa lebih terhubung dan didukung. Jaringan dukungan ini dapat memberikan bantuan praktis dan emosional yang diperlukan untuk mengatasi tekanan hegemoni. Sehingga dengan membangun jaringan dukungan sosial yang kuat adalah langkah penting dalam menciptakan lingkungan kampus yang lebih inklusif. Meningkatkan kesadaran tentang hegemoni di kalangan mahasiswa dan staf adalah langkah penting untuk mengatasi masalah ini. Edukasi tentang dinamika kekuasaan dan dampaknya dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih kritis dan reflektif.