CERITA FIKSI - MEMUTUSKAN PUTUS YANG TAK TERPUTUS

10 September 2024 15:15:27 Dibaca : 82 Kategori : CERITA FIKSI

Alwi dan Yanti, dua mahasiswa prodi Konseling, memiliki kisah cinta yang dimulai dengan cara yang indah dan sederhana. Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan kampus, ketika Alwi, yang terkenal proaktif dan serius, tiba-tiba membantu Yanti menemukan buku yang sulit didapatkan. Saat itu, Yanti mengucapkan terima kasih dengan senyuman lebar yang membuat Alwi tak bisa berhenti memikirkannya. Sejak saat itu, mereka mulai sering bertemu, awalnya karena tugas kelompok, kemudian karena obrolan yang panjang dan penuh tawa tentang kehidupan, cita-cita, dan impian.

Selama beberapa bulan, Alwi dan Yanti menjadi semakin dekat. Mereka menemukan banyak kesamaan dalam diri masing-masing, mulai dari minat terhadap konseling dan psikologi hingga kegemaran mereka akan film-film psikoedukasi. Yanti yang cenderung pemalu merasa nyaman berbicara dengan Alwi, sementara Alwi yang ceria merasa senang bisa membuat Yanti tertawa dan berbicara lebih banyak. Hubungan mereka berkembang dengan alami, hingga akhirnya mereka resmi berpacaran.

Semua tampak berjalan baik untuk sementara waktu. Mereka sering duduk di bangku taman kampus, berbicara tentang mimpi-mimpi besar mereka setelah lulus, tentang perjalanan yang ingin mereka lakukan bersama, dan bagaimana mereka akan saling mendukung satu sama lain. Alwi ingin melanjutkan studi magister dan mendalami tentang kajian konseling, sementara Yanti bercita-cita membuka praktik konseling di kota asalnya. Impian mereka berdua terasa nyata dan saling melengkapi.

Namun, tanpa tanda-tanda yang jelas, sesuatu mulai berubah di antara mereka. Alwi mulai merasa ada jarak yang tumbuh antara dirinya dan Yanti. Pesan singkat yang dulu dibalas dengan cepat kini menjadi lambat dan singkat. Yanti yang biasanya riang dan penuh energi ketika mereka bertemu, sekarang lebih banyak diam dan terkesan jauh. Ada keraguan dan kecemasan yang tak terucapkan di antara mereka, seperti ada sesuatu yang mengganjal namun sulit dijelaskan.

"Kenapa semua terasa berbeda?" pikir Alwi suatu hari. Ia mencoba bertanya kepada Yanti, tetapi jawabannya selalu sama, "Aku baik-baik saja, Alwi." Tapi Alwi bisa merasakan bahwa Yanti tidak benar-benar baik-baik saja. Ia merasakan sesuatu yang hilang, tetapi ia tidak tahu apa itu.

Yanti sendiri merasa kebingungan. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada perasaannya. Dia masih peduli pada Alwi, masih menyayangi pria itu, tetapi ada sesuatu yang menghalangi hatinya untuk tetap merasakan hal yang sama. Mungkin itu kelelahan, mungkin juga ketakutan akan masa depan yang mereka bayangkan terlalu cepat. Yanti tidak bisa mengerti dirinya sendiri.

Pada suatu sore di tempat favorit mereka, di mana mereka biasanya menghabiskan waktu bersama, Yanti tiba-tiba berkata, "Alwi, aku rasa kita harus berhenti." Alwi terkejut. "Maksudmu, berhenti? Maksudnya apa, Yanti?" Yanti hanya menunduk, tidak mampu menatap mata Alwi. "Aku tidak tahu, Alwi. Aku hanya merasa… kita perlu waktu untuk sendiri dulu."

Tidak ada pertengkaran. Tidak ada air mata yang mengalir. Tidak ada kata-kata yang kasar. Hanya ada keheningan panjang dan tatapan kosong. Alwi mencoba mencari alasan, mencoba memahami, tetapi Yanti tidak memberi jawaban yang jelas. "Ini bukan tentang kamu, Alwi. Ini tentang aku," kata Yanti, suaranya bergetar. Alwi tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bingung, terluka, dan ditinggalkan tanpa penjelasan.

Setelah putus, Alwi dan Yanti menjalani hari-hari mereka dengan berat. Alwi merasa seperti ada lubang di dadanya yang tidak bisa dia isi. Ia terus bertanya-tanya, “Apa yang salah? Mengapa Yanti tiba-tiba berubah?” Ia mulai menyalahkan dirinya sendiri, mencari-cari kesalahan di masa lalu, berusaha mengingat setiap kata, setiap percakapan yang mungkin menyebabkan perpisahan ini. Dia merasa kesepian dan hampa. Sekarang, setiap kali ia melihat Yanti di kampus, ada rasa sakit yang menusuk hatinya. Ia berusaha terlihat tegar, tetapi ada luka yang dalam di hatinya yang sulit disembuhkan.

Yanti juga merasa tidak tenang. Ia merasa kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, tetapi ia juga merasa lega setelah putus. Namun, perasaan bersalah sering menghantuinya. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia mengakhiri hubungan itu. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang berubah, tetapi ia tidak tahu apa. Dia sering menangis sendirian di kamarnya, mencoba mengerti perasaannya sendiri. Setiap kali melihat Alwi di kampus, hatinya terasa sesak, tetapi ia tahu keputusan ini adalah yang terbaik meski tanpa alasan yang jelas.

Alwi berharap bisa menemukan kedamaian di hatinya dan belajar menerima bahwa tidak semua hal bisa dijelaskan dengan logika. Ia berusaha fokus pada studinya dan mempersiapkan diri untuk beasiswa magister yang ia impikan. Ia ingin percaya bahwa suatu hari nanti, ia akan memahami mengapa Yanti memilih untuk pergi. Meski demikian, di dalam hatinya, ada harapan kecil bahwa mereka mungkin bisa kembali bersama ketika waktunya tepat.

Yanti berharap bisa menemukan ketenangan dalam dirinya dan mengerti apa yang sebenarnya ia inginkan. Dia ingin tetap fokus pada mimpinya untuk membuka lembaga konseling di kota asalnya, dan dia berharap bisa memahami perasaannya sendiri. Meskipun dia tahu hubungan mereka telah berakhir, dia berharap bisa berteman baik dengan Alwi suatu hari nanti. Ada perasaan bersalah yang terus menghantuinya, tapi dia juga tahu bahwa dia harus menemukan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum bisa menjalin hubungan yang sehat dengan siapa pun.

Alwi memandang hubungan mereka di masa lalu sebagai salah satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya. Dia merasa hubungan itu memberinya banyak pelajaran tentang cinta, komunikasi, dan penerimaan. Namun, ia juga merasa ada bagian dari dirinya yang terluka karena tidak pernah benar-benar mengerti mengapa Yanti memutuskan untuk pergi. Baginya, hubungan itu seperti sebuah buku yang tidak selesai, dengan banyak halaman kosong yang masih belum dituliskan.

Yanti melihat hubungan mereka sebagai bagian penting dari perjalanannya untuk menemukan jati diri. Dia merasa bersyukur atas semua momen indah yang mereka lewati bersama, tetapi dia juga tahu bahwa ada banyak hal tentang dirinya sendiri yang harus ia pahami lebih baik. Meskipun dia tidak bisa memberikan alasan yang jelas kepada Alwi, dia berharap suatu hari nanti mereka berdua bisa menemukan kebahagiaan masing-masing dan mengingat hubungan itu sebagai kenangan manis yang mengajarkan mereka tentang cinta dan kehilangan.

Mereka berdua berjalan di jalan yang berbeda sekarang, tetapi kenangan tentang cinta mereka tetap hidup di dalam hati masing-masing. Mungkin suatu hari nanti, mereka akan bertemu lagi di persimpangan hidup yang tak terduga, dan mungkin saat itu mereka bisa tersenyum dan mengucapkan salam tanpa ada lagi luka di hati. Hingga saat itu tiba, mereka terus menjalani hidup, membawa sepotong cerita yang hilang, namun tetap berarti.