BK Sejak Dulu Telah Menjadi Ruang Pembelajaran Mendalam

28 November 2025 21:48:52 Dibaca : 4 Kategori : OPINI

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

          Praktik bimbingan dan konseling pada dasarnya telah lama berakar pada prinsip pengembangan diri peserta didik secara menyeluruh. Para guru bimbingan dan konseling atau konselor sekolah di Indonesia sudah sejak lama memposisikan dirinya bukan hanya sebagai pemecah masalah sesaat, tetapi sebagai fasilitator pertumbuhan pribadi, sosial, akademik, dan karier. Inilah esensi dari proses yang kini diberi label Deep Learning. Dengan kata lain, makna mendalam yang disematkan dalam Kurikulum Nasional 2025 sebenarnya bukanlah hal baru, melainkan penguatan terhadap ruh yang sudah hidup dalam budaya pelayanan BK selama puluhan tahun.         

          Ketika narasi kebijakan mengatakan bahwa “Deep Learning menggeser fokus layanan BK dari pemecahan masalah insidental menjadi fasilitasi pertumbuhan holistik,” seolah-olah BK sebelumnya hanya berkutat pada intervensi jangka pendek. Padahal, praktik lapangan menunjukkan bahwa konselor telah lama menempatkan perkembangan peserta didik sebagai fokus utama. Bahkan sebelum istilah ini populer, konselor sudah melaksanakan asesmen komprehensif, pembinaan karakter, penyadaran diri, dan pemberdayaan potensi sebagai bagian dari rutinitas profesionalnya.         

          Konselor berpengalaman di sekolah, sejak lama telah menggunakan pendekatan yang mendorong pemahaman mendalam: refleksi diri, klarifikasi nilai, pengambilan keputusan, dan pengembangan keterampilan hidup. Tidak sedikit konselor yang membimbing peserta didik melalui proses naratif, dialogis, dan transformatif yang bertujuan membentuk pemahaman diri yang utuh. Semua itu pada hakikatnya adalah deep learning experiences yang terjadi jauh sebelum kebijakan baru mencantumkannya secara eksplisit.         

           Jika kini konsep Deep Learning dikemas sebagai inovasi, sesungguhnya yang berubah adalah bahasanya, bukan substansinya. Istilah ini memformalkan praktik yang memang sudah biasa dijalankan dalam dunia konseling. Konselor senior kerap menegaskan bahwa keberhasilan layanan BK tidak pernah diukur dari cepatnya persoalan selesai, tetapi dari kedalaman kesadaran dan perubahan perilaku yang terjadi pada diri siswa. Esensi ini telah menjadi bagian identitas profesi sejak awal berkembangnya BK di Indonesia.         

          Dalam ruang konseling, proses bertumbuh secara reflektif, yang kini dianggap sebagai bagian dari Deep Learning tersebut telah berlangsung natural. Ketika konselor mengajak siswa mengevaluasi pola pikirnya, menelusuri emosi yang belum selesai, atau mengidentifikasi makna dari pengalaman hidup, sesungguhnya proses tersebut sudah masuk dalam kategori pembelajaran mendalam. Tidak ada konselor profesional yang hanya berhenti pada level gejala; mereka selalu masuk pada akar, penyebab, serta peluang pertumbuhan.         

           Pembaruan kurikulum seharusnya dibaca sebagai pengakuan formal atas praktik lama yang telah terbukti efektif. Konselor tidak perlu merasa bahwa pendekatan reflektif-eksploratif itu adalah hal baru yang perlu dipelajari dari nol. Yang perlu diperkuat justru bagaimana konsep Deep Learning ini dapat dipahami dalam bahasa pedagogik yang selaras dengan tradisi BK: empati, hubungan terapeutik, kesadaran diri, dan pemberdayaan keputusan yang bertanggung jawab.         

          Konselor selama ini telah melakukan proses pembelajaran bermakna melalui layanan klasikal, konseling individu, konseling kelompok, hingga kegiatan kolaboratif dengan guru dan orang tua. Banyak konselor di sekolah telah memfasilitasi siswa untuk menemukan jati diri, mengelola stres, memahami tujuan belajar, dan menemukan arah masa depan. Semua ini adalah bentuk nyata dari meaningful learning yang kemudian diberi nama baru dalam kebijakan kurikulum.         

           Dalam praktik keseharian layanan BK, konselor juga telah mengadopsi prinsip konstruktivisme, yang kini menjadi salah satu fondasi dari Deep Learning. Konselor memfasilitasi siswa membangun makna dari pengalaman, bukan memberikan nasihat secara instruktif. Pendekatan ini mendorong peserta didik untuk menjadi subjek aktif dalam proses perubahan dirinya, bukan sekadar penerima layanan. Karena itu, menyebut Deep Learning sebagai “arah baru” BK terkadang mengabaikan sejarah panjang perkembangan praktik BK itu sendiri.         

           Selain itu, layanan BK telah lama menempatkan relasi konselor-konseli sebagai pusat transformasi. Relasi inilah yang memungkinkan lahirnya pembelajaran emosional dan kognitif yang mendalam. Ketika siswa merasa aman secara psikologis, mereka lebih mudah mengeksplorasi diri, mengubah pola pikir, serta menata ulang cara memandang masalah. Proses ini jauh melampaui pemahaman sederhana tentang pemecahan masalah insidental, dan telah lama menjadi bagian inti dari profesi konselor.         

           Konsep Deep Learning di Kurikulum Nasional 2025 dapat dipahami sebagai bingkai baru untuk sesuatu yang sebenarnya telah lama hidup dalam tradisi bimbingan dan konseling. Konselor berpengalaman perlu melihat ini bukan sebagai perubahan orientasi, tetapi sebagai kesempatan untuk menegaskan kembali bahwa BK sejak dulu telah menjadi ruang pembelajaran mendalam bagi peserta didik. Alih-alih dianggap sebagai hal baru, Deep Learning justru memperkuat legitimasi terhadap praktik BK yang sejak lama berfokus pada pertumbuhan holistik, reflektif, dan bermakna.