Resolusi yang Jujur dan Realita yang Mendidik Menjadi Refleksi Akhir Tahun

27 December 2025 01:12:53 Dibaca : 1 Kategori : OPINI

By. Jumadi Mori Salam Tuasikal

            Akhir tahun selalu menghadirkan ruang hening yang istimewa, ruang tempat manusia berhenti sejenak dari hiruk pikuk pencapaian. Di ruang inilah resolusi sering dilahirkan, sebagai harapan akan diri yang lebih baik. tidak jarang resolusi hanya menjadi daftar keinginan tanpa pijakan realita yang kokoh. Resolusi pada hakikatnya bukan sekadar janji kepada waktu, melainkan dialog batin antara idealisme dan keterbatasan. Namun, menuntut kejujuran intelektual dan emosional tentang siapa kita saat ini. Tanpa kejujuran itu, resolusi hanya akan menjadi retorika tahunan yang berulang.

          Realita sering kali tidak seindah yang direncanakan, dan di situlah banyak orang mulai kecewa pada dirinya sendiri. Padahal, realita bukan musuh resolusi, melainkan cermin yang menunjukkan titik awal perubahan. Orang yang mampu berdamai dengan realita justru memiliki peluang lebih besar untuk bertumbuh secara autentik. Dalam perjalanan hidup, saya belajar bahwa kegagalan mencapai resolusi bukan selalu tanda kelemahan karakter. Sering kali, kegagalan adalah sinyal bahwa strategi kita tidak selaras dengan kapasitas dan konteks kehidupan. Maka, refleksi yang matang jauh lebih penting daripada resolusi yang ambisius.

          Resolusi yang sehat lahir dari pemahaman mendalam tentang proses, bukan obsesi pada hasil instan. Mulai menghargai langkah kecil, konsistensi, dan kesabaran sebagai bagian dari perubahan bermakna. Inilah yang membedakan resolusi yang bertahan dengan resolusi yang gugur di pertengahan tahun. Sebagai akademisi, saya melihat resolusi sebagai hipotesis hidup yang harus diuji dalam realita sehari-hari. Tidak semua hipotesis terbukti benar, tetapi setiap pengujian selalu menghasilkan pembelajaran. Dengan cara ini, hidup menjadi ruang belajar yang terus memperkaya kesadaran diri.

          Refleksi akhir tahun seharusnya tidak dimulai dari pertanyaan “apa yang gagal,” melainkan “apa yang saya pelajari.” Pertanyaan ini menggeser fokus dari penyesalan menuju pemaknaan. Dari pemaknaan inilah lahir kedewasaan personal yang sejati. Resolusi yang paling kuat sering kali bukan tentang menjadi lebih hebat, tetapi menjadi lebih sadar. Sadar akan batas, sadar akan potensi, dan sadar akan nilai yang ingin diperjuangkan. Kesadaran inilah fondasi utama perubahan yang berkelanjutan.

          Realita mengajarkan bahwa hidup tidak selalu bergerak linear, dan kemunduran bukan berarti kehilangan arah. Justru, kemunduran sering kali memperjelas tujuan yang sesungguhnya. Orang yang bertahan adalah mereka yang mampu menafsirkan realita dengan bijaksana, bukan mereka yang menolaknya. Maka, di akhir tahun ini, marilah kita menata resolusi dengan kerendahan hati dan keberanian. Kerendahan hati untuk menerima realita apa adanya, dan keberanian untuk tetap melangkah meski perlahan. Sebab perubahan sejati bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tetapi seberapa setia kita berjalan pada nilai yang kita yakini.